Khalifa menarik napas dalam-dalam. Pelukan yang Alby beri padanya membuat pasokan oksigen sedikit berkurang. Dengan pelan Khalifa mengangkat lengan kiri Alby, berharap Alby tidak bangun supaya ia terlepas dari pelukannya ini. Mana mau Khalifa tidur dengan seorang pria! Mana orang yang membencinya lagi, tidak, tidak! Itu tidak boleh sampai terjadi! Khalifa menyipitkan matanya tatkala mengangkat pelan lengan itu, sampai tiba-tiba… “Kau?” Alby berucap dengan mata menyipit, terlihat setengah sadar. Khalifa menggeleng, refleks menepuk-nepuk rambut Alby dengan pelan. “Tidurlah … tidurlah ….” Seakan ucapan Khalifa sebuah hipnotis, Alby kembali memejamkan matanya tatkala ditepuk-tepuk begitu. “Huft, selamat!” Khalifa bernapas lega, lantas ia kembali menjalankan misi dalam melepaskan diri dari kurungan Alby. Pelan namun pasti, Khalifa berhasil mengangkat lengan Alby dengan gerakan pelan, menjadikan ia terlepas dari pelukan itu. Khalifa bernapas lega. Merasa takut apabila Alby bangun
“Ayah dan Bunda akan menjadi saksi bahwa kami ….”“Kami akan bercerai setelah 30 hari.” Khalifa melirik ke arah Alby, “jika sebelum 30 hari Khanza sudah ditemukan, aku bersyukur, itu berarti pernikahan ini memang akan terlepas. Tapi, jika dalam waktu 30 hari Khanza masih belum ditemukan, aku tetap menginginkan perpisahan ini terjadi.” “Dan untuk itu … aku ingin membuat kalian menjadi saksi bahwa 30 hari ini kami tidak akan bersama, entah seatap ataupun dalam hal lain. Aku---aku ingin kami terpisah saja. Maksudku, aku ingin hidup antara aku dan Kak Alby masing-masing, aku tidak mengurusi hidupnya dan hidup Kak Alby tidak aku urusi urusannya. A--aku—”“Ayah mengerti.” Bara melangkah menuju Khalifa, ia tersenyum seraya mengusap lembut bahu Khalifa. “Kau tidak ingin Alby mendekatimu? Kau tidak ingin disentuh olehnya? Kecuali atas izinmu?”Khalifa mengangguk, namun pula menunduk. “Ayah, t–tolong buat kak Alby berjanji, bahwa dia … tidak akan menyentuhku, ataupun berkata kasar lagi pada
Seperti yang dikatakan Laila kemarin, bahwa sekarang Alby akan pergi ke kediaman Ayah mertuanya. Yah, jika bukan karena kesalahan dirinya yang memang telah menyakiti Khalifa tak mungkin jika ia mau berangkat hanya berdua saja. Benar. Sekarang, dengan Alby sendiri yang mengendarai mobilnya, Khalifa sudah duduk manis di samping kemudi, dari awal sampai akhir ini perempuan itu tak pernah bergerak, hanya diam menatap jendela luar. Alby yang selalu ingin membuka suara untuk meminta maaf terurungkan kembali karena ketidak tahuan. Niatnya ingin minta maaf, tapi kelihatan bahwa dia sedang tertidur, eh, tau-tau tidak. Saat hendak berkata pun mendadak bibir Alby selalu asa-ada dalam berucap takut keseleo seperti kemarin. Dan berakhirlah seperti sekarang, hening dalam diam, sunyi berhenyakan deru mesin yang hanya terdengar. “Huft!” Alby membuang napas penuh. Terasa susah sekali ternyata meminta maaf dengan menghilangkan terlebih dahulu sifat gengsinya. Apalagi ini terhadap seorang perempuan.
“Siapa yang menggendongku ke sini?” tanya Khalifa menyimpan terlebih dahulu gelasnya. Alby meringis tertahan, seharusnya ia tadi tak menuruti keinginan Anwar tadi. Mana sekarang ditanya lagi. “Maaf ….” Hanya kalimat itu yang keluar di bibir Alby membuat Khalifa mengernyitkan alisnya. “aku yang menggendongmu tadi.” Ucapan Alby berikutnya jelas membuat Khalifa terkejut, terlihat dari mata perempuan itu yang melebar.“Tapi aku bersumpah, Alif, aku tidak mencuri kesempatan dalam kesempitan. Tadi aku sudah bangunkan kamu, tapi kau tak kunjung bangun. Jadi ….” Alby menggantung ucapannya kembali. “Maaf,” lanjutnya setelah beberapa detik terdiam. Khalifa tampak menghembuskan napas pelan. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain. “T--tidak apa-apa. Itu suatu hal yang tidak disengaja juga.”Mendengar penuturan tersebut membuat Alby menatap Khalifa dalam diam. Ia mengamati raut wajah Khalifa yang biasa saja. Apa perempuan itu … tak merasakan debaran? Atau deg-deg an? Padahal katanya setiap pere
“Kami enggak saling mencintai Mama. Dan jelas, pernikahan ini hanyalah palsu. Mungkin aku akan menghargainya, sebagai anak dari Bunda Laila dan Ayah Bara tapi untuk memenuhi kewajiban itu … selebihnya hanya Khanza yang lebih pantas Mam. Ya kan Pah?” tanya Khalifa sembari melirik Aarav. “Ah, i--iya, mungkin ….” Aarav bingung sendiri untuk menjawab. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Alby memilih terdiam, jika menyangkut dalam pernikahan ini ia lebih baik diam saja. Entahlah, semakin ke sini Khalifa semakin bersemangat untuk berpisah dengannya. Jika begitu, toh Alby senang-senang saja, itu berarti ia juga tidak akan mempunyai tanggung jawab besar, lebih tepatnya hidupnya akan lebih tenang. Jelas, karena ia juga tak menginginkan pernikahan ini. “Baiklah, terserah kamu saja,” ucap Kinara pada akhirnya. Ia tidak mungkin jika harus memaksa putrinya untuk ini-itu, karena selebihnya kehidupan putrinya ada ditangan dirinya sendiri.“Oh iya, gimana perlombaan kamu yang katanya bakal dia
“Al, Khalifa mana? Kenapa dia gak keluar-keluar ya?” Pertanyaan Laila membuat gerakan makan Alby terhenti. Alby menoleh kepada Laila, pun juga Bara. “Alby gak tau, Bunda.” Merasa tak peduli Alby lantas melanjutkan makannya. Malam ini, ketiga orang itu sudah duduk di meja makan, kecuali satu, yap, Khalifa yang tak kunjung keluar setelah sore tadi. “Lihat sana, takutnya kenapa-napa lagi,” ucap Laila. Alby menghela napas pelan, acara makan pria itu harus terganggu hanya karena perempuan bernama Khalifa itu. Jujur saja, ada sedikit kesal kepada Khalifa, namun pula ada rasa kasihan juga pada perempuan itu. “Ajak Khalifa untuk makan bersama, Alby. Dia kayaknya enggk makan setelah sore tadi. Atau sebelum itu, apa di rumahnya kalian makan terlebih dahulu?” Kini Bara yang bertanya. Alby terdiam, ia baru ingat kalau setelah sore tadi keduanya memang belum makan. “Al coba samperin, tadi kelupaan gak makan di sana, “ ucap Alby sedikit malas. Walau terasa berat untuk beranjak namun pria it
“Ga–gambar ini … bukankah ini sebuah danau? I--ini …?” Alby tak percaya ini, gambar danau yang dilukis Khalifa adalah danau yang dulu pernah menenggelamkannya. Ya, Alby ingat danau tersebut, walau tidak sama persis tapi Alby masih mengingatnya. Alby menatap lekat apa isi di dalam lukisan tersebut. Tatapannya jatuh pada seorang pria, di sampingnya seorang wanita duduk sembari tersenyum mengarah pada pria tersebut. Alby bisa menebak, kalau wanita yang ada di gambar tersebut tak lain Khalifa sendiri, wajah serta gestur tubuhnya sama persis yang dimiliki Khalifa. Alby menatap takjub, gambar yang dibuat Khalifa benar-benar tampak nyata, apalagi pada dua manusia yang sengaja digambar, terlihat seperti nyata. Namun, ada satu hal yang tidak Alby sukai, sosok laki-laki yang Khalifa gambar. Alby tidak mengenali siapa laki-laki tersebut, karena memang dalam gambar hanyalah tampak ilustrasinya saja. Di dalam lukisan itu, Khalifa menggambarkan dua orang berbeda gender yang saling duduk berd
Khalifa secara refleks langsung melepas tangan kirinya yang melingkar sesaat Alby menghentikan motornya. “Maaf, aku tak sengaja,” ucap Khalifa. Alby menatap ke arah kaca spion, terlihat Khalifa yang tampak gugup. Alby membuka kaca helmnya, lantas berkata. “Siniin barangnya, biar disimpan di depan.” Melihat Khalifa yang memang tampak kesusahan dalam memegang barang tersebut membuat Alby berinisiatif membantunya. “Tidak usah, aku masih bisa kok,” tolak Khalifa. Ia menggenggam erat lukisannya di tangan kanan. Memang ada pegangan tapi ia lebih baik memegangnya sendiri. “Bukan kamu yang susah, aku yang susah sendiri dalam menjalankan motornya,” ucap Alby. “lukisanmu menghalangi …” Alby menggantung ucapannya. “Menghalangi apa?”“Ck! Sini, lukisannya simpan di sini!” Alby memaksa merebut barang yang dibawa Khalifa, membuat sang empu terkejut. “Kak?”“Udah, begini lebih baik,” ucap Alby sesaat ia menggantungkan lukisan tersebut dibalik gantungan motornya. Sengaja ia melakukan ini, pas