“Siapa yang menggendongku ke sini?” tanya Khalifa menyimpan terlebih dahulu gelasnya. Alby meringis tertahan, seharusnya ia tadi tak menuruti keinginan Anwar tadi. Mana sekarang ditanya lagi. “Maaf ….” Hanya kalimat itu yang keluar di bibir Alby membuat Khalifa mengernyitkan alisnya. “aku yang menggendongmu tadi.” Ucapan Alby berikutnya jelas membuat Khalifa terkejut, terlihat dari mata perempuan itu yang melebar.“Tapi aku bersumpah, Alif, aku tidak mencuri kesempatan dalam kesempitan. Tadi aku sudah bangunkan kamu, tapi kau tak kunjung bangun. Jadi ….” Alby menggantung ucapannya kembali. “Maaf,” lanjutnya setelah beberapa detik terdiam. Khalifa tampak menghembuskan napas pelan. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain. “T--tidak apa-apa. Itu suatu hal yang tidak disengaja juga.”Mendengar penuturan tersebut membuat Alby menatap Khalifa dalam diam. Ia mengamati raut wajah Khalifa yang biasa saja. Apa perempuan itu … tak merasakan debaran? Atau deg-deg an? Padahal katanya setiap pere
“Kami enggak saling mencintai Mama. Dan jelas, pernikahan ini hanyalah palsu. Mungkin aku akan menghargainya, sebagai anak dari Bunda Laila dan Ayah Bara tapi untuk memenuhi kewajiban itu … selebihnya hanya Khanza yang lebih pantas Mam. Ya kan Pah?” tanya Khalifa sembari melirik Aarav. “Ah, i--iya, mungkin ….” Aarav bingung sendiri untuk menjawab. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Alby memilih terdiam, jika menyangkut dalam pernikahan ini ia lebih baik diam saja. Entahlah, semakin ke sini Khalifa semakin bersemangat untuk berpisah dengannya. Jika begitu, toh Alby senang-senang saja, itu berarti ia juga tidak akan mempunyai tanggung jawab besar, lebih tepatnya hidupnya akan lebih tenang. Jelas, karena ia juga tak menginginkan pernikahan ini. “Baiklah, terserah kamu saja,” ucap Kinara pada akhirnya. Ia tidak mungkin jika harus memaksa putrinya untuk ini-itu, karena selebihnya kehidupan putrinya ada ditangan dirinya sendiri.“Oh iya, gimana perlombaan kamu yang katanya bakal dia
“Al, Khalifa mana? Kenapa dia gak keluar-keluar ya?” Pertanyaan Laila membuat gerakan makan Alby terhenti. Alby menoleh kepada Laila, pun juga Bara. “Alby gak tau, Bunda.” Merasa tak peduli Alby lantas melanjutkan makannya. Malam ini, ketiga orang itu sudah duduk di meja makan, kecuali satu, yap, Khalifa yang tak kunjung keluar setelah sore tadi. “Lihat sana, takutnya kenapa-napa lagi,” ucap Laila. Alby menghela napas pelan, acara makan pria itu harus terganggu hanya karena perempuan bernama Khalifa itu. Jujur saja, ada sedikit kesal kepada Khalifa, namun pula ada rasa kasihan juga pada perempuan itu. “Ajak Khalifa untuk makan bersama, Alby. Dia kayaknya enggk makan setelah sore tadi. Atau sebelum itu, apa di rumahnya kalian makan terlebih dahulu?” Kini Bara yang bertanya. Alby terdiam, ia baru ingat kalau setelah sore tadi keduanya memang belum makan. “Al coba samperin, tadi kelupaan gak makan di sana, “ ucap Alby sedikit malas. Walau terasa berat untuk beranjak namun pria it
“Ga–gambar ini … bukankah ini sebuah danau? I--ini …?” Alby tak percaya ini, gambar danau yang dilukis Khalifa adalah danau yang dulu pernah menenggelamkannya. Ya, Alby ingat danau tersebut, walau tidak sama persis tapi Alby masih mengingatnya. Alby menatap lekat apa isi di dalam lukisan tersebut. Tatapannya jatuh pada seorang pria, di sampingnya seorang wanita duduk sembari tersenyum mengarah pada pria tersebut. Alby bisa menebak, kalau wanita yang ada di gambar tersebut tak lain Khalifa sendiri, wajah serta gestur tubuhnya sama persis yang dimiliki Khalifa. Alby menatap takjub, gambar yang dibuat Khalifa benar-benar tampak nyata, apalagi pada dua manusia yang sengaja digambar, terlihat seperti nyata. Namun, ada satu hal yang tidak Alby sukai, sosok laki-laki yang Khalifa gambar. Alby tidak mengenali siapa laki-laki tersebut, karena memang dalam gambar hanyalah tampak ilustrasinya saja. Di dalam lukisan itu, Khalifa menggambarkan dua orang berbeda gender yang saling duduk berd
Khalifa secara refleks langsung melepas tangan kirinya yang melingkar sesaat Alby menghentikan motornya. “Maaf, aku tak sengaja,” ucap Khalifa. Alby menatap ke arah kaca spion, terlihat Khalifa yang tampak gugup. Alby membuka kaca helmnya, lantas berkata. “Siniin barangnya, biar disimpan di depan.” Melihat Khalifa yang memang tampak kesusahan dalam memegang barang tersebut membuat Alby berinisiatif membantunya. “Tidak usah, aku masih bisa kok,” tolak Khalifa. Ia menggenggam erat lukisannya di tangan kanan. Memang ada pegangan tapi ia lebih baik memegangnya sendiri. “Bukan kamu yang susah, aku yang susah sendiri dalam menjalankan motornya,” ucap Alby. “lukisanmu menghalangi …” Alby menggantung ucapannya. “Menghalangi apa?”“Ck! Sini, lukisannya simpan di sini!” Alby memaksa merebut barang yang dibawa Khalifa, membuat sang empu terkejut. “Kak?”“Udah, begini lebih baik,” ucap Alby sesaat ia menggantungkan lukisan tersebut dibalik gantungan motornya. Sengaja ia melakukan ini, pas
“Gimana rasanya malam pertama?”Sebuah pertanyaan dilontarkan pada Alby, membuat Alby menoleh saat itu juga, menatap tajam sang pembicara. “Eh, eh, biasa aja kali Al, gue kan cuma bercanda!” ujar Varel cengengesan. Pria itu salah satu teman Alby, untuk itulah dia berani berkata demikian. “Malam pertama gitu-gitu aja, bro! Gak ada yang spesial, yang spesial itu kalo pernikahannya didasari cinta, baru enak dan nikmat!” ucap Samu. Pria itu sudah menikah, pantas jika tahu bagaimana rasanya malam pertama. “Gak juga, gue baca di novel-novel banyak tuh yang malam pertama walau gak didasari perasaan cinta. Nah, gue tanya gini sama Alby kan barangkali dia—” Ucapan Varel harus terhenti sesaat Alby kembali menatapnya dengan tajam. Seketika ruangan yang hadir di sana menciut melihat tatapan Alby. “Jangan suka ngurusin hidup orang lain. Kalo dia yang jalanin, ya biar dia jalanin sendiri, gak usah risih!” Kini Gama yang menjawab. Dia lelaki paling kalem diantara yang lain. Sama seperti Alby, pa
Alby sudah sampai di rumahnya, secepat mungkin Alby melepas jas hujan yang ia kenakan, lantas bergegas masuk ke dalam rumah dengan tubuh gemetar dingin. “Huft!” Hawa dingin yang keluar membuat Alby mengusap kedua tangannya dengan cara digosok. “Assalamu'alaikum, Bunda Alby pulang,” ucap Alby mengucap salam lebih dahulu. “Wa'alaikumussalam. Al---ya Allah, kamu kehujanan Al?” Laila yang tengah menonton siaran televisi gegas menuju Alby. Perempuan itu tampak khawatir saat melihat Alby basah kuyup bagian bawah. “Cepat mandi air hangat, Bunda gak mau kamu sakit,” ucapnya membuat Alby mengangguk lemah. Pria itu hendak pergi namun ucapan Laila menghentikan langkahnya. “Khalifa kok belum pulang ya?” Bukan pertanyaan, melainkan gumaman Laila yang masih terdengar oleh Alby. Alby terdiam sesaat. Ia teringat pasca kejadian tadi, di mana ia melihat Khalifa yang berdiri di halte seorang diri. Alby tau bahwa itu Khalifa, namun ia sengaja melakukan motornya melewati dia begitu saja. Bukan apa-
“Orang lain sibuk khawatir memikirkan nasib anak orang. Tapi kau? Kau malah bersenang-senang, Khalif?” ucap Alby. Keduanya berdiri secara berhadapan. “Kukira kau gadis lugu, yang membuatku harus menyesal saat itu karenaa sempat menyakitimu. Tapi makin ke sini … aku semakin tau siapa sebenarnya kamu, Khalifa.” Khalifa tidak mengerti apa maksud dari perkataan Alby. Kenapa dia tampak marah?“Aku tadi terjebak hujan, bukan berniat untuk bersenang-senang,” ujar Khalifa menyangkal tuduhan. “Okke, mungkin ini alasanmu untuk yang terakhir kalinya! Aku memakluminya. Tapi … setelah ini aku harap kau intropeksi pada dirimu sendiri Khalifa, sadar diri!” ucap Alby penuh penegasan. “Aku tidak mengerti apa maksudmu, Kak,” ucap Khalifa pelan. “Kau pengantin pengganti 30 hari, kan? Yang artinyaa hanya sementara Khalif, kau hanya sementara untuk tinggal di sini! 30 hari, kau hanyalah sebatas pengantin pengganti! Bukan berarti kau bisa melakukannya seenak hati!” Dada Alby bergejolak kesal. “Apa ya