Alby sudah sampai di rumahnya, secepat mungkin Alby melepas jas hujan yang ia kenakan, lantas bergegas masuk ke dalam rumah dengan tubuh gemetar dingin. “Huft!” Hawa dingin yang keluar membuat Alby mengusap kedua tangannya dengan cara digosok. “Assalamu'alaikum, Bunda Alby pulang,” ucap Alby mengucap salam lebih dahulu. “Wa'alaikumussalam. Al---ya Allah, kamu kehujanan Al?” Laila yang tengah menonton siaran televisi gegas menuju Alby. Perempuan itu tampak khawatir saat melihat Alby basah kuyup bagian bawah. “Cepat mandi air hangat, Bunda gak mau kamu sakit,” ucapnya membuat Alby mengangguk lemah. Pria itu hendak pergi namun ucapan Laila menghentikan langkahnya. “Khalifa kok belum pulang ya?” Bukan pertanyaan, melainkan gumaman Laila yang masih terdengar oleh Alby. Alby terdiam sesaat. Ia teringat pasca kejadian tadi, di mana ia melihat Khalifa yang berdiri di halte seorang diri. Alby tau bahwa itu Khalifa, namun ia sengaja melakukan motornya melewati dia begitu saja. Bukan apa-
“Orang lain sibuk khawatir memikirkan nasib anak orang. Tapi kau? Kau malah bersenang-senang, Khalif?” ucap Alby. Keduanya berdiri secara berhadapan. “Kukira kau gadis lugu, yang membuatku harus menyesal saat itu karenaa sempat menyakitimu. Tapi makin ke sini … aku semakin tau siapa sebenarnya kamu, Khalifa.” Khalifa tidak mengerti apa maksud dari perkataan Alby. Kenapa dia tampak marah?“Aku tadi terjebak hujan, bukan berniat untuk bersenang-senang,” ujar Khalifa menyangkal tuduhan. “Okke, mungkin ini alasanmu untuk yang terakhir kalinya! Aku memakluminya. Tapi … setelah ini aku harap kau intropeksi pada dirimu sendiri Khalifa, sadar diri!” ucap Alby penuh penegasan. “Aku tidak mengerti apa maksudmu, Kak,” ucap Khalifa pelan. “Kau pengantin pengganti 30 hari, kan? Yang artinyaa hanya sementara Khalif, kau hanya sementara untuk tinggal di sini! 30 hari, kau hanyalah sebatas pengantin pengganti! Bukan berarti kau bisa melakukannya seenak hati!” Dada Alby bergejolak kesal. “Apa ya
“Maafin Khalif, Bunda. Khalifa gak bermaksud buat khawatir Bunda dan yang lainnya, tapi memang saat itu Khalif terjebak hujan,” ucap Khalifa menunduk. Setelah ia pulang dirinya langsung ditemui Laila secara langsung, datang ke kamar dengan raut khawatir. “Kamu gak perlu minta maaf, justru Bunda yang harusnya minta maaf. Maaf karena gak bisa jaga kamu, seharusnya Bunda bisa—”“Enggak. Bunda udah baik, Khalif aja yang ceroboh. Harusnya Khalifa kasih tahu dulu ke Bunda, tapi malah enggak.”Laila terkekeh kecil. “Mau di kasih tau gimana, kamunya aja gak punya nomor kontak Bunda,” ucap Laila membuat Khalifa tertawa kecil. “Kalau gitu nomor Bunda mana? Biar Khalif save ya? Nanti kalau ada apa-apa Khalifa kasih tau Bunda, biar Bunda enggak khawatir lagi,” ujar Khalifa. Laila memberikan kontaknya pada Khalifa. Lupa pula kenapa sebelumnya ia tak meminta pada Khalifa? “Ya udah, sekarang kamu istirahat aja ya, besok-besok kamu bakal di antar jemput sama Pak Andi, Bunda gak mau kamu pulang ke
“Kak Gama, lho? Kamu ada di sini?” Yuza langsung merubah wajahnya, tersenyum berseri. Gama tak mengubris pertanyaan Yuza, dengan cepat pria itu menyentakkan tangan Kila dan Olive yang menahan pergerakan Khalifa. “Lepaskan tangan hina kalian dari Khalif!” sentaknya kasar. Gama tertegun sesaat melihat Khalifa yang tampak pucat. “Kak—”“Pergi!” “Kami tidak melakukan—”“Apa kalian gak denger?! Gue bilang pergi!” teriak Gama dengan murka. “sekali lagi gue lihat Khalifa kayak gini karena ulah kalian … gue gak segan-segan laporin kalian ke pihak berkewajib!” “Eh, eh, jangan dong Kak. Ini, ini hanya…”“Pergi!” sengak Gama untuk sekali lagi. Olive dan Kila saling membisik, menyuruh Yuza untuk pergi saja. Ketiga perempuan itu pada akhirnya pergi menuju mobil, lantas menjauh sesaat mobil itu melaju ditengah derasnya hujan. Gama secara langsung menatap Khalifa yang tertunduk, tubuh perempuan itu lemas membuat Gama menahannya. “Alif?” “Enggak, pergi … pergi, jangan, tolong jangan …” Khal
“Tapi itu tidak mungkin, Kak. Secara pasti Khanza sudah menanti pernikahan dirinya dengan Kak Alby. Jika benar Khanza sendiri yang melakukannya lantas mengenai Kak Alby? Tidak mungkin kan jika Khanza harus mengorbankan cintanya begitu saja, “ ucap Khalifa mengingat kembali bagaimana senangnya saat Khanza tau bahwa perempuan itu akan menikah dengan sosok yang dia kagumi. “Tapi keberadaan Khanza sedang dicari kan?” tanya Gama. “Sudah, tapi masih belum ada tanda-tanda dia ditemukan.”“Eum, untuk sekarang kita pikirkan tentang kamu Alif. Sekarang, kau habis bisa bebas dari mereka. Sekarang aku tak bisa diam saja Alif.”“Tapi, aku tidak ingin merepotkan kamu, Kak.”Gama tersenyum. “tidak sama sekali. Aku tidak merasa direpotkan Alif. Justru, aku senang membantumu,” ucap Gama. “Alifa? Mau kan berteman lagi denganku?” tanya Gama menatap penuh dalam manik hitam Khalifa. Khalifa tertegun. Ia menunduk. “Walau tidak ada Friska dan Kaden … kita bisa seperti dulu Alif. Pergi ke danau, naik pe
Alby tersenyum smirik saat melihat ada Khalifa di sini. Ternyata perempuan itu sering jajan di kantin sini juga. Mendadak Alby tebar pesona, ia ingin melihat bagaimana reaksi Khalifa saat perempuan itu melihat dirinya. Oh, pasti terkejut, karena secara kebetulan orang-orang yang melihat hari ini saja dibuat terpesona. Seorang senior di kalangan populer datang ke sini? Tentu akan membuat siapa saja saling mencuri-curi pandang. Alby menatap Khalifa sesaat perempuan itu akan menoleh, lihat, mukanya pasti terkejut. ‘Ish! Kenapa dengannku? Kenapa jadi aku sendri yang merasa caper terhadapnya?’ batin Alby bersuara. Dan benar. Saat Khalifa menoleh ke belakang Alby pula menatapnya. Mata perempuan itu melotot—terkejut, namun … Alby melihat arah mata Khalifa yang tidak tertuju padanya, justru pada … “Gama?” gumam Alby sesaat mengarahkan pandangannya ke arah di mana Khalifa melihat. Di sana, Gama tersenyum tipis, dia pula menatap Khalifa yang kini sudah memalingkan muka. Alby mengedipkan
“Kaden? Udah cukup, aku capek!” keluh Khalifa berhenti dari larinya. Gadis berumur 9 tahun itu berhenti dari larinya. “Yah, payah! Masa gitu aja udah capek, dasar gendut!” Khalifa melotot mendengar ucapan itu, membuatnya menahan geram. “Kaden nyebelin!” Khalifa berteriak lantang. Kaki kecil dengan tubuh gemuk itu berlari menuju Kaden yang malah menertawakannya. “Ayo kejar, siapa takut, wleee ….” Kaden menjulurkan lidahnya pertanda mengejek, hal itu jelas membuat Khalifa makin kesal. Dua anak berumur tak lebih 9 tahun itu saling berlari, lebih tepatnya Khalifa yang berlari mengejar Kaden. Khalifa merasa pasokan oksigennya kian berkurang, membuat ia menyerah untuk berlari mengejar Kaden. Khalifa memilih diam, bodo amatlah dengn Kaden yang terus berlari. Kaden menggeleng kecil sesaat melihat Khalifa malah duduk. Anak laki-laki berkacamata itu membenarkan kacamatanya, gegas berbalik menuju Khalifa. “Katanya pengen kurus?” sindir Kaden mengingatkan. “Capek ah, mana gak kurus-kuru
“Alif, tolong buka pintunya, please…” Di luar pintu Gama masih setia menunggu. Berharap bahwa Khalifa akan membuka pintunya. Gama hendak mengetuk pintu kembali namun… Ceklek! Pintu terbuka, Gama yang melihat itu langsung mendekat. “Alif?”Grep! Gama melebarkan pupil matanya sesaat ia merasakan cairan bening membasahi dadanya. Selain itu Khalifa … memeluknya? Tak bisa menetralkan degup jantungnya yang berdetak tak karuan, Gama membeku di tempat saat pelukan itu kian mengerat. Gama tak bisa diam, tangannya secara refleks membalas pelukan itu. Pelukan yang tak pernah dirasa Gama kecuali Kaden. Sebuah pelukan yang tidak pernah Khalifa beri selain kepada Kaden, dan untuk sekarang … untuk pertama kalinya Gama merasakan pelukan hangat itu. Khalifa menangis terisak. “Kak … ayo pergi ke danau … aku … rindu Kaden ….”Hati Gama terasa tersentil, ada rasa sakit saat nama itu keluar dari bibir Khalifa. Gama sempat senang saat Khalifa memeluknya, tapi sekarang … ia bagaikan dilemparkan kemb