“Kak Gama, lho? Kamu ada di sini?” Yuza langsung merubah wajahnya, tersenyum berseri. Gama tak mengubris pertanyaan Yuza, dengan cepat pria itu menyentakkan tangan Kila dan Olive yang menahan pergerakan Khalifa. “Lepaskan tangan hina kalian dari Khalif!” sentaknya kasar. Gama tertegun sesaat melihat Khalifa yang tampak pucat. “Kak—”“Pergi!” “Kami tidak melakukan—”“Apa kalian gak denger?! Gue bilang pergi!” teriak Gama dengan murka. “sekali lagi gue lihat Khalifa kayak gini karena ulah kalian … gue gak segan-segan laporin kalian ke pihak berkewajib!” “Eh, eh, jangan dong Kak. Ini, ini hanya…”“Pergi!” sengak Gama untuk sekali lagi. Olive dan Kila saling membisik, menyuruh Yuza untuk pergi saja. Ketiga perempuan itu pada akhirnya pergi menuju mobil, lantas menjauh sesaat mobil itu melaju ditengah derasnya hujan. Gama secara langsung menatap Khalifa yang tertunduk, tubuh perempuan itu lemas membuat Gama menahannya. “Alif?” “Enggak, pergi … pergi, jangan, tolong jangan …” Khal
“Tapi itu tidak mungkin, Kak. Secara pasti Khanza sudah menanti pernikahan dirinya dengan Kak Alby. Jika benar Khanza sendiri yang melakukannya lantas mengenai Kak Alby? Tidak mungkin kan jika Khanza harus mengorbankan cintanya begitu saja, “ ucap Khalifa mengingat kembali bagaimana senangnya saat Khanza tau bahwa perempuan itu akan menikah dengan sosok yang dia kagumi. “Tapi keberadaan Khanza sedang dicari kan?” tanya Gama. “Sudah, tapi masih belum ada tanda-tanda dia ditemukan.”“Eum, untuk sekarang kita pikirkan tentang kamu Alif. Sekarang, kau habis bisa bebas dari mereka. Sekarang aku tak bisa diam saja Alif.”“Tapi, aku tidak ingin merepotkan kamu, Kak.”Gama tersenyum. “tidak sama sekali. Aku tidak merasa direpotkan Alif. Justru, aku senang membantumu,” ucap Gama. “Alifa? Mau kan berteman lagi denganku?” tanya Gama menatap penuh dalam manik hitam Khalifa. Khalifa tertegun. Ia menunduk. “Walau tidak ada Friska dan Kaden … kita bisa seperti dulu Alif. Pergi ke danau, naik pe
Alby tersenyum smirik saat melihat ada Khalifa di sini. Ternyata perempuan itu sering jajan di kantin sini juga. Mendadak Alby tebar pesona, ia ingin melihat bagaimana reaksi Khalifa saat perempuan itu melihat dirinya. Oh, pasti terkejut, karena secara kebetulan orang-orang yang melihat hari ini saja dibuat terpesona. Seorang senior di kalangan populer datang ke sini? Tentu akan membuat siapa saja saling mencuri-curi pandang. Alby menatap Khalifa sesaat perempuan itu akan menoleh, lihat, mukanya pasti terkejut. ‘Ish! Kenapa dengannku? Kenapa jadi aku sendri yang merasa caper terhadapnya?’ batin Alby bersuara. Dan benar. Saat Khalifa menoleh ke belakang Alby pula menatapnya. Mata perempuan itu melotot—terkejut, namun … Alby melihat arah mata Khalifa yang tidak tertuju padanya, justru pada … “Gama?” gumam Alby sesaat mengarahkan pandangannya ke arah di mana Khalifa melihat. Di sana, Gama tersenyum tipis, dia pula menatap Khalifa yang kini sudah memalingkan muka. Alby mengedipkan
“Kaden? Udah cukup, aku capek!” keluh Khalifa berhenti dari larinya. Gadis berumur 9 tahun itu berhenti dari larinya. “Yah, payah! Masa gitu aja udah capek, dasar gendut!” Khalifa melotot mendengar ucapan itu, membuatnya menahan geram. “Kaden nyebelin!” Khalifa berteriak lantang. Kaki kecil dengan tubuh gemuk itu berlari menuju Kaden yang malah menertawakannya. “Ayo kejar, siapa takut, wleee ….” Kaden menjulurkan lidahnya pertanda mengejek, hal itu jelas membuat Khalifa makin kesal. Dua anak berumur tak lebih 9 tahun itu saling berlari, lebih tepatnya Khalifa yang berlari mengejar Kaden. Khalifa merasa pasokan oksigennya kian berkurang, membuat ia menyerah untuk berlari mengejar Kaden. Khalifa memilih diam, bodo amatlah dengn Kaden yang terus berlari. Kaden menggeleng kecil sesaat melihat Khalifa malah duduk. Anak laki-laki berkacamata itu membenarkan kacamatanya, gegas berbalik menuju Khalifa. “Katanya pengen kurus?” sindir Kaden mengingatkan. “Capek ah, mana gak kurus-kuru
“Alif, tolong buka pintunya, please…” Di luar pintu Gama masih setia menunggu. Berharap bahwa Khalifa akan membuka pintunya. Gama hendak mengetuk pintu kembali namun… Ceklek! Pintu terbuka, Gama yang melihat itu langsung mendekat. “Alif?”Grep! Gama melebarkan pupil matanya sesaat ia merasakan cairan bening membasahi dadanya. Selain itu Khalifa … memeluknya? Tak bisa menetralkan degup jantungnya yang berdetak tak karuan, Gama membeku di tempat saat pelukan itu kian mengerat. Gama tak bisa diam, tangannya secara refleks membalas pelukan itu. Pelukan yang tak pernah dirasa Gama kecuali Kaden. Sebuah pelukan yang tidak pernah Khalifa beri selain kepada Kaden, dan untuk sekarang … untuk pertama kalinya Gama merasakan pelukan hangat itu. Khalifa menangis terisak. “Kak … ayo pergi ke danau … aku … rindu Kaden ….”Hati Gama terasa tersentil, ada rasa sakit saat nama itu keluar dari bibir Khalifa. Gama sempat senang saat Khalifa memeluknya, tapi sekarang … ia bagaikan dilemparkan kemb
Motor Gama berhenti di sebuah tempat, tempt itu kosong, tampak seperti sebuah gubuk. Khalifa langsung saja turun saat keduanya sudah sampai di tempat tujuan. “Ayo,” ucap Khalifa yang mulai jalan kaki. Di belakang Gama mengekori Khalifa, pria itu melihat wajah Khalifa yang kini sudah lebih baik. Tidak seperti tadi, menyimpan sebuah luka … sendirian. Sedang di sisi lain pula Alby mengekori ke arah mana Gama pergi. Untung Alby mendapatkan jejak keduanya, sampai akhirnya bisa bertemu di sini. Kedua orang itu saling bersisian, sedang di belakang Alby masih sibuk mengikuti keduanya, takut kehilangan jejak. “Bukannya ini … hutan yang terakhir kali Khalifa datangi?” gumam Alby menyadari kalau ini sebuah hutan. Hutan yang sempat Khalifa masuki seorang diri. Alby melebarkan pupil matanya, “apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa, kenapa mereka masuk ke dalam hutan?” Pikiran Alby mulai tak baik. Namun tak urung rasa penasaran itu kian menyergap dirinya. Alby terus mengekori keduanya dengan pe
“Menakjubkan …” ucap Alby setengah lirih. Ruangan ini terlihat kecil dari luar, namun justru besar sesaat masuk ke dalamnya. Alby mengerlingkan matanya, tempat ini banyak dihiasi oleh sebuah gambar. Gambar itu bermacam-macam, banyak warna yang menghiasi papan kayu tersebut. Kepala Alby mendongak, di atas atap-atap, begitu banyak burung bangau yang terbuat dari kertas origami. Tampaknya kertas-kertas ini sengaja dibuat menjadi tampak seperti burung. Alby mengambil satu dari banyaknya kertas yang ada. Kertas itu bewarna kuning, melipat sempurna dengan bergambar burung bangau. Alby membuka lipatan kertas tersebut, tak menyangka bahwa ada tulisan di dalamnya. [Satu dari harapan besar yang ku punya. Semoga aku bisa sembuh dari penyakit ini, Tuhan ….]Sebuah kalimat yang tertulis di sana. Tidak ada nama penulisnya, namun cukup membuat hati Alby terasa sentilan halus. Dicari siapa yang menuliskannya namun tak ada, hanya kalimat itu yang tercipta di sana. Alby mencoba mengambil satu bu
“Eh?”Tak berseling lama keduanya terdiam, sampai kemudian Khalifa menjauhkan dirinya dari Alby. “Maaf,” ucap keduanya berbarengan. Khalifa dan Alby saling pandang. Namun dengan cepat Khalifa mengalihkan pandangannya. “Aku yang salah, tadi tak melihatmu,” ucap Alby merasa canggung. Hening menyelimuti keduanya. Tak ada jawaban dari Khalifa membuat Alby lebih baik pergi saja. “A---aku masuk duluan,” ucapnya gegas berdiri.“Berhenti.” Alby terkejut sesaat lengannya ditahan oleh Khalifa. Dirinya tak jadi berdiri. “Itu … anu, di keningmu.” Khalifa memalingkan wajahnya, sial, dikening Alby terdapat warna lipstik miliknya. Alby mengernyitkan alisnya, pandangan mata itu justru melirik pada lengannya yang masih di tahan oleh Khalifa. “B--bersihkan dulu, takut ada yang salah paham,” ucap Khalifa kembali. Menyadari satu hal membuat Khalifa dengan cepat melepaskan pegangan pada lengan Alby. “Aku tidak mengerti, coba jelaskan apa maksudnya?” tanya Alby. Sungguh, ia tak mengerti apa maksu