“Kaden? Udah cukup, aku capek!” keluh Khalifa berhenti dari larinya. Gadis berumur 9 tahun itu berhenti dari larinya. “Yah, payah! Masa gitu aja udah capek, dasar gendut!” Khalifa melotot mendengar ucapan itu, membuatnya menahan geram. “Kaden nyebelin!” Khalifa berteriak lantang. Kaki kecil dengan tubuh gemuk itu berlari menuju Kaden yang malah menertawakannya. “Ayo kejar, siapa takut, wleee ….” Kaden menjulurkan lidahnya pertanda mengejek, hal itu jelas membuat Khalifa makin kesal. Dua anak berumur tak lebih 9 tahun itu saling berlari, lebih tepatnya Khalifa yang berlari mengejar Kaden. Khalifa merasa pasokan oksigennya kian berkurang, membuat ia menyerah untuk berlari mengejar Kaden. Khalifa memilih diam, bodo amatlah dengn Kaden yang terus berlari. Kaden menggeleng kecil sesaat melihat Khalifa malah duduk. Anak laki-laki berkacamata itu membenarkan kacamatanya, gegas berbalik menuju Khalifa. “Katanya pengen kurus?” sindir Kaden mengingatkan. “Capek ah, mana gak kurus-kuru
“Alif, tolong buka pintunya, please…” Di luar pintu Gama masih setia menunggu. Berharap bahwa Khalifa akan membuka pintunya. Gama hendak mengetuk pintu kembali namun… Ceklek! Pintu terbuka, Gama yang melihat itu langsung mendekat. “Alif?”Grep! Gama melebarkan pupil matanya sesaat ia merasakan cairan bening membasahi dadanya. Selain itu Khalifa … memeluknya? Tak bisa menetralkan degup jantungnya yang berdetak tak karuan, Gama membeku di tempat saat pelukan itu kian mengerat. Gama tak bisa diam, tangannya secara refleks membalas pelukan itu. Pelukan yang tak pernah dirasa Gama kecuali Kaden. Sebuah pelukan yang tidak pernah Khalifa beri selain kepada Kaden, dan untuk sekarang … untuk pertama kalinya Gama merasakan pelukan hangat itu. Khalifa menangis terisak. “Kak … ayo pergi ke danau … aku … rindu Kaden ….”Hati Gama terasa tersentil, ada rasa sakit saat nama itu keluar dari bibir Khalifa. Gama sempat senang saat Khalifa memeluknya, tapi sekarang … ia bagaikan dilemparkan kemb
Motor Gama berhenti di sebuah tempat, tempt itu kosong, tampak seperti sebuah gubuk. Khalifa langsung saja turun saat keduanya sudah sampai di tempat tujuan. “Ayo,” ucap Khalifa yang mulai jalan kaki. Di belakang Gama mengekori Khalifa, pria itu melihat wajah Khalifa yang kini sudah lebih baik. Tidak seperti tadi, menyimpan sebuah luka … sendirian. Sedang di sisi lain pula Alby mengekori ke arah mana Gama pergi. Untung Alby mendapatkan jejak keduanya, sampai akhirnya bisa bertemu di sini. Kedua orang itu saling bersisian, sedang di belakang Alby masih sibuk mengikuti keduanya, takut kehilangan jejak. “Bukannya ini … hutan yang terakhir kali Khalifa datangi?” gumam Alby menyadari kalau ini sebuah hutan. Hutan yang sempat Khalifa masuki seorang diri. Alby melebarkan pupil matanya, “apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa, kenapa mereka masuk ke dalam hutan?” Pikiran Alby mulai tak baik. Namun tak urung rasa penasaran itu kian menyergap dirinya. Alby terus mengekori keduanya dengan pe
“Menakjubkan …” ucap Alby setengah lirih. Ruangan ini terlihat kecil dari luar, namun justru besar sesaat masuk ke dalamnya. Alby mengerlingkan matanya, tempat ini banyak dihiasi oleh sebuah gambar. Gambar itu bermacam-macam, banyak warna yang menghiasi papan kayu tersebut. Kepala Alby mendongak, di atas atap-atap, begitu banyak burung bangau yang terbuat dari kertas origami. Tampaknya kertas-kertas ini sengaja dibuat menjadi tampak seperti burung. Alby mengambil satu dari banyaknya kertas yang ada. Kertas itu bewarna kuning, melipat sempurna dengan bergambar burung bangau. Alby membuka lipatan kertas tersebut, tak menyangka bahwa ada tulisan di dalamnya. [Satu dari harapan besar yang ku punya. Semoga aku bisa sembuh dari penyakit ini, Tuhan ….]Sebuah kalimat yang tertulis di sana. Tidak ada nama penulisnya, namun cukup membuat hati Alby terasa sentilan halus. Dicari siapa yang menuliskannya namun tak ada, hanya kalimat itu yang tercipta di sana. Alby mencoba mengambil satu bu
“Eh?”Tak berseling lama keduanya terdiam, sampai kemudian Khalifa menjauhkan dirinya dari Alby. “Maaf,” ucap keduanya berbarengan. Khalifa dan Alby saling pandang. Namun dengan cepat Khalifa mengalihkan pandangannya. “Aku yang salah, tadi tak melihatmu,” ucap Alby merasa canggung. Hening menyelimuti keduanya. Tak ada jawaban dari Khalifa membuat Alby lebih baik pergi saja. “A---aku masuk duluan,” ucapnya gegas berdiri.“Berhenti.” Alby terkejut sesaat lengannya ditahan oleh Khalifa. Dirinya tak jadi berdiri. “Itu … anu, di keningmu.” Khalifa memalingkan wajahnya, sial, dikening Alby terdapat warna lipstik miliknya. Alby mengernyitkan alisnya, pandangan mata itu justru melirik pada lengannya yang masih di tahan oleh Khalifa. “B--bersihkan dulu, takut ada yang salah paham,” ucap Khalifa kembali. Menyadari satu hal membuat Khalifa dengan cepat melepaskan pegangan pada lengan Alby. “Aku tidak mengerti, coba jelaskan apa maksudnya?” tanya Alby. Sungguh, ia tak mengerti apa maksu
Bagaikan tertimpa reruntuhan yang menghimpit tubuhnya, Khalifa mendadak lemas. Tubuhnya kehilangan keseimbangan. “Apa yang kau katakan Dok? Semuanya tidak benar, yang kau katakan tidak benar!” ucap Bara tegas. “Perjuangan kami hanya sampai sini, maaf ….”“Enggak … mereka tidak mati, tidak ….” Khalifa menggeleng. Lantas dengan tiba-tiba mencengkram kuat jas yang dikenakan Dokter tersebut membuat Bara, Laila maupun Alby tercengang. “Kau berbohong kan dok! Katakan, kau berbohong kan?!” teriak Khalifa marah. Tangis itu meluncur membasahi pipinya. “Enggak, enggak mungkin!” teriak Khalifa lantas mendorong tubuh dokter tersebut. Khalifa berlari masuk ke dalam, namun kakinya mendadak lemas sesaat melihat sebuah kain putih menutupi tubuh seseorang yang kini terbaring di atas brannkar. Tubuh Khalifa semakin bergetar, bibirnya gemetar,kepalanya terus menggeleng, meyakinkan bahwa apa yang ia lihat sekarang tidaklah seperti apa yang ia rasakan. “Ma? Mama?” Khalifa berlari menuju brankar ters
“Sudah 5 hari setelah kepergian Mbak Kinara dan Mas Aarav, Khalifa benar-benar menyendirikan dirinya, Mas, bagaimana ini?” tanya Laila dengan perasaan cemas. Benar. Setelah hari itu, hari di mana Kinara dan Aarav dinyatakan telah meninggal dunia, sejak hari itu pula Khalifa menjadi sosok yang sangat penyendiri, pendiam, dan tampak tidak bergairah. Kehidupan Khalifa berubah drastis semenjak itu, tak ada lagi senyuman, tak ada lagi obrolan kecil. Setiap ditanya Laila, Khalifa hanya jawab seadanya. Laila tidak marah mengenai hal itu, justru ia khawatir mengenai Khalifa yang justru memilih untuk menjalankan hidupnya seorang diri. Beban yang ia pikul tak pernah ia bebankan kepada orang lain, justru dirinya sendiri simpan rapat-rapat masalah itu, sendirian. “Mas juga enggak tau, mas bingung La. Mas udah cari kejadian pada kecelakaan itu, tapi kecelakaan itu memang tidak disengaja, katanya jalanan saat itu licin, membuat pengendara kehilangan keseimbangan.”Laila terdiam, ia sudah tau me
“Aku tidak akan menceraikanmu, inii tidak sesuai perjanjian, jadi aku ingin kita menjalankan sesuai perjanjian,” ucap Alby menolak. Jelas ia menolak, karena Khalifa begitu tiba-tiba dengan ucapannya itu, membuat Alby curiga bahwa ada sesuatu yang Khalifa sembunyikan. “Kak—”“Hanya 22 hari lagi, kan? Kenapa tidak mencoba untuk menjalani saja dulu?” Ucapan enteng Alby membuat Khalifa mendengus kesal ke arahnya. “Aku tidak bisa tinggal di sini, aku harus meneruskan perusahaan Papa,” ucapnya beralasan. Khalifa tak peduli, intinya hari ini ia harus resmi bercerai dengan Alby. Terikat akan pernikahan ini membuatnya terbelunggu rasa sesak, lebih tepatnya ia tak enak setelah mendengar ucapan adiknya—Nazeeva.Ya, Khalifa mendengarkan percakapan Nazeeva tadi dan saat itu pula Khalifa sadar bahwa kehadirannya justru membebani orang lain. Kehadirannya sebenarnya tidak diinginkan, hanya saja mereka diam karena tak ingin menyakiti hatinya. Khalifa tidak ingin dikasihani, itu mengapa Khalifa lebi
“Assalamu'alaikum…?” Khalifa mengucap salam saat ia masuk ke dalam rumah, ah, bukan hanya Khalifa, Alby juga ada. Keduanya masuk dengan raut muka terlihat capek. “Kak, eum … aku mau mandi dulu ya, seharian kerja bikin aku gerah,” ucap Khalifa pada Alby. Alby tersenyum. “okke, tapi jangan lama-lama ya, udah malam soalnya. Ah iya, pake air hangat biar nggak kedinginan.”Khalifa terkekeh. “Aku bukan kamu yang harus pake air dingin kali, aku kan nggak alergi dingin,” timpal Khalifa menjawab. “Masalahnya kan udah malam, nggak baik buat kesehatan.”“Enggak bakal kak. Udah, lagian aku mandi bakal cepet kok. Dah ya, aku mau mandi dulu!” ucap Khalifa gegas berlari namun dengan cepat Alby menahannya lebih dahulu membuat Khalifa kembali berbalik menatap Alby. “Kalo udah mandi nanti turun ke bawah ya? Aku mau masakin kesukaan kamu. Kita makan bareng,” ucap Alby. Kebetulan sekali keduanya belum makan membuat Khalifa mengangguk antusias. “Cium dulu sini.” Alby menampilkan pipi kanannya. Ia men
Seminggu berlalu…Seorang wanita berjalan dengan menyeret kopernya. Tergesa-gesa sebab terlambat,bahkan saking tergesa-gesanya, wanita itu tanpa sengaja menabrak bahu seseorang membuat wanita itu menyeru minta maaf. “Ya ampun maaf, Mas. Saya enggak sengaja!” ucapnya sedikit menundukkan kepala, detik berikut kepala wanita itu mendongak. Namun… “Lho?” Sesaat pandangan keduanya bertemu. “Gama?”“Khanza?” Keduanya berseru secara berbarengan. Gama dengan pandangan mata menelisik, sedang Khanza menatap dengan tarikan napas. “Kukira siapa, taunya kamu,” ucapnya merubah raut wajah. Khanza menghela napas, tanpa sepatah kata apapun perempuan itu pergi begitu saja. Gama menaikan alisnya, namun sedetik kemudian ia mengedikkan bahu, ikut pergi dengan menyeret kopernya. Ia tahu yang dirinya tabrak, untuk itu tidak peduli baginya.Gama memilih duduk setelah melakukan check up,melalui maskapai yang telah memberitahukannya kini ia duduk menunggu antrian untuk masuk ke dalam pesawat. Gama menghel
Pagi ini Khalifa bangun lebih awal, melihat sosok suaminya yang tertidur pulas. Ah, mungkin efek cairan infus yang masuk ke dalam tubuhnya, membuat pria itu terjaga dari tidurnya. Merasa pegal dibagian lengannya, Khalifa merenggangkan otot-ototnya. Tidur seranjang dengan Alby jelas membuatnya tak bergerak sana-sini, menjadikan ia merasakan pegal. Khalifa menghela napas, ia menunduk melihat pakaiannya yang kotor nan penuh darah, lupa, bahwa memang ia tak mengganti baju. Ah, jangankan untuk mengganti baju, justru hatinya saat itu resah memikirkan Alby. “Aku harus memberitahukan Bunda. Jika tidak mereka pasti khawatir.” Khalifa menatap terlebih dahulu Alby, mumpung pria itu masih tertidur membuat Khalifa gegas pergi. Selain merasa tak nyaman dengan pakaiannya ia juga tak nyaman dengan keadaan ini. Sungguh, walau ada perasaan lega melihat Alby selamat namun ada sisi lain yang membuatnya resah. Mengenai Khanza … Ia belum berani untuk menghadap padanya dan mengatakan yang sejujurnya. *
Lihatlah, wajah Alby yang dulunya tampan kini banyak dipenuhi luka. Beberapa luka itu diperban, entah bagian kepala, rahang, maupun anggota tubuh lainnya. Tak kuasa melihat keadaannya seperti ini, Khalifa menunduk dengan hati penuh sesal. “Maafin, Alifa Kak… maaf ….” Khalifa terduduk di kursi yang berada di pinggir ranjang tersebut, menggenggam tangan Alby yang begitu kekar. Dulu, tangan inilah yang selalu siap siaga menggenggam tangannya. “Andai aku tidak menurutinya, andai kita kabur saat itu mungkin keadaan kamu enggak bakal separah ini Kak. Bodoh, harusnya aku menolak ajakanmu untuk melawan mereka. Bodoh!” Khalifa merutuk dirinya, menarik tangan Alby untuk ia kecup. “Sekarang aku baru menyadarinya, Kak. Kalau aku … benar-benar takut kehilangan kamu. Aku takut ….” Khalifa tak bisa lagi membendung tangis yang kian jatuh menimpa pipinya, bengkak sudah kedua matanya sebab terus menangis. “Setelah kehilangan Mama dan Papa, aku enggak mau kehilangan kamu, Kak. Boleh aku egois? Aku i
Khalifa menunduk, semakin menangis tertahan dengan tangan yang masi menyentuh kepala Alby. “Kak … tolong … jangan tinggalin aku kayak gini … tolong bangunlah….”“Uhuk!”Sebuah semburat darah tiba-tiba keluar di bibir Alby tatkala pria itu terbatuk. “Kak Al?” Terkejut, Khalifa mendapati Alby membuka matanya dengan ringisan kecil yang keluar. “Khalifa….”Sudah menangis deras kini Khalifa menambah tangisnya tatkala suara lembut itu terdengar. Bergetar hatinya mendengar hal itu. “Kak Al….” Khalifa menangis, memeluk kepala Alby. “maafin aku, Kak. Maaf….”Alby memejamkan matanya menahan rasa sakit, ia menggeleng. “aku kembali untuk kamu, Alif….”Khalifa mengangguk, entah harus bagaiamana tapi ia benar-benar senang tatkala Alby kembali. Terbangun untuk menepati janjinya. Menggenggam erat tangan yang amat dingin itu Khalifa berucap, ““Kita harus ke rumah sakit dulu, Kak. Secepatnya luka kakak harus diatasi,” ucap Khalifa melihat keadaan Alby yang kian parah. “Kakak masih sanggup berdiri?
“Kau akan mati ditanganku!” Bugh! Alby langsung menghindar saat orang itu hendak menendang, belati yang dirinya pegang ia tusukkan ke depan untuk mengenal tubuh Alby, namun dengan gesit, Alby menghindar secara agresif. Memilih melawan dari belakang, Alby bisa menghajarnya dari belakang tersebut. Seseorang itu terjatuh, mukanya makin memerah. Satu diantara mereka berjalan maju, membuat Alby harus melawan dua orang sekaligus. Ah tidak, bahkan satunya lagi ikut-ikutan maju, menambah orang yang harus Alby lawan. Cukup kewalahan sebab mereka memiliki senjata masing-masing, sedang Alby hanya menggunakan tangan kosong sebagai tameng dirinya. Satu kali dua kali ia mendapat pukulan yang tak bisa ia hindari, bahkan goresan belati pula harus terkena sampai kulitnya saking keagresifan mereka. Murka, mereka murka sebab merasa terkalahkan oleh Alby. Alby mengatur napasnya dalam-dalam. Melawan 10 orang sekaligus benar-benar menguras tenaganya. Apalagi tidak diberi jeda untuk berhenti se
Khalifa berlari dan langsung memeluk Alby. Ia menangis dengan tubuh bergetar hebat. “Kak Al, makasih, makasih telah kembali….” Alby menelan salivanya pelan, bergetar hatinya kala melihat keadaan Khalifa seperti ini. “Maaf, maafkan aku baru datang Alif. Maaf telah meninggalkan kamu seorang diri.” Khalifa menggeleng, ia melerai pelukannya, mendongak untuk melihat wajah Alby. “Mereka … mereka ingin melecehkan aku, Kak. Aku--aku takut ….” Alby melihat wajah ketakutan itu, ia pegang tangan Khalifa untuk menenangkan gadisnya. Namun, yang ia lihat justru gurat merah dari pergelangan tangannya. Khalifa menunduk, ia masih terisak. “Mereka pegang tangan aku dengan keras Kak… mereka kasar dan menyeramkan….” Mendengar lirihan itu rahang Alby mengeras, menoleh ke kanan, ia dapati 11 orang itu yang tampak tertawa saja. “Ayo kabur, Kak. Mereka bukan tandingan kita,” ucap Khalifa kembali. Alby menatap Khalifa, memilih kabur? Itu bukan dirinya. “Tidak Alif, mereka harus membayar at
Nyatanya bukan sehabis magrib Khalifa pulang, melainkan sehabis isya baru ia bisa pulang. Jangan tanyakan kenapa, karena saat ini Khalifa ingin sendirian, menjadikan ia habiskan beberapa waktu sendirian di kantor. Dan sekarang waktunya ia pulang beberapa security yang jaga pula sebagian sudah pulang, paling hanya beberapa yang tetap berjaga karena bekerja sesuai shif. Khalifa berjalan terburu-buru menuju mobilnya, lantas melaju membelah jalan tanpa menunggu lama. Takut kemalaman Khalifa makin mempercepat lajunya. Sebuah dering ponsel terdengar namun tak Khalifa gubris untuk mengangkatnya. Memilih abai Khalifa terus melajukan mobilnya di tengah keramaian. Namun, kala ia berbelok ia harus di hadapkan dengan jalan yang cukup sepi. “Huft, semoga tidak terjadi apa-apa.” Khalifa mengucap doa dalam hati. Mau bagaimana pun ia perempuan, dan jelas ia takut jika tiba-tiba ada hal aneh yang melintas. Suara bisingnya motor terdengar dari arah belakang, memusat perhatian Khalifa untuk m
Khalifa menangkup kedua pipi di atas meja, bosan melanda hatinya. Hari ini tugas yang diberikan Aavar dalam mempelajari berbagai perbisnisan cukup menguras pikiran dan tenaga. Ternyata susah sekali untuk memahami berbagai persoalan dalam perbisnisan ini. Jika bukan karena otak yang encer mungkin Khalifa memilih tidur saja di atas kasur. Hari ini jam sudah menunjukan pukul empat sore. Tidak terasa, dari pagi sampai saat ini Khalifa menghabiskan waktu hanya di kantor saja, tentunya dengan Khanza. Namun, saat ini perempuan itu entah pergi ke mana, katanya izin keluar sebentar. “Khalifa, Om pulang lebih dulu ya, istri Om kasihan di rumah sendirian.” Tiba-tiba suara Aavar terdengar setelah pintu terbuka. “Kamu pulang lah, besok bisa dilanjutkan.” Punggung Khalifa berdiri tegap. “Nggak deh, Khalifa mau lembur. Soalnya masih banyak banget yang belum dikerjakan Om.” Aavar menoleh. “lembur?” Ia tertawa. “ya ampun Khalifa, ini kan cuma belajar aja. Gak usah terlalu dibuat serius jug