Pagi buta, selepas Alby selesai melakukan salat subuh, pria itu langsung bersiap-siap. Mandi, berganti pakaian dan yah … tampil lebih tampan dari biasanya. Niatnya sekarang … ingin PDKT bersama Khalifa, yah, walau gagal di awal tak memungkinkan gagal di akhir kan? Alby terkekeh, menyisir sebagian rambutnya yang sudah rapi. Ia menatap dirinya dalam pantulan cermin. “Kau tampan, tidak mungkin jika Khalifa menolak pesona seorang Albyshaka!” ucapnya percaya diri. Alby kembali terkekeh, lantas menyemprotkan sebagian parfum ke tubuhnya, tidak terlalu banyak, takut Khalifa malah makin terklepek-kelepek, ntar … kan makin cinta deh. Tak sadar ternyata butuh satu jam untuk Alby bersiap-siap, biasanya paling lama setengah jam, ini sejam! Lagi-lagi Alby terkekeh. “Pokoknya hari ini harus jadi!” ucap Alby penuh tekad. Alby berjalan menuju pintu setelah dirasa beres semuanya, untung jarak kamar dirinya dengan Khalifa hanya tertutup satu ruangan saja membuat Alby mudah untuk pergi menujunya.
Alby menatap bangunan besar di depannya, rumah Khalifa, menjadi rumah yang akan Alby datangi. Seorang satpam berlari untuk membuka gerbang yang tertutup membuat Alby tersenyum merekah. “Wah, den Alby ya? Silahkan masuk Den,” ucap satpam tersebut yang tidak diketahui namanya.“Khalifanya ada, Pak?”“Ada den, silahkan masuk,” ujarnya mempersilahkan. Alby melajukanlantas mengemudi kembali untuk sampai ke halaman depan rumah. Alby berhenti, memarkirkan mobilnya di tempat yang seharusnya. Pria itu lantas keluar, mengambil koper yang ada di bagasi. “Bismillah! Semangat dapetin cinta Khalifa, Al!” ucapnya penuh semangat.Alby merapikan terlebih dahulu kemejanya, rambutnya sedikit ia sugarkan ke belakang hal itu membuat damage Alby bertambah plus-plus. “Assalamu'alaikum?” Alby mengucap salam sembari mengetuk pintu. Alby menunggu sejenak, dirasa tak ada respon Alby kembali mengucap salam sembari mengetuk pintu. Kaki Alby sedikit gemeter, lebih tepatnya resah karena pintu tak kunjung di
Glek! Alby menelan salivanya gusar. Keringat dingin mulai bermunculan di pelipisnya. Rasa takut menyelinap masuk sebelum film itu diputar. “Yang mana?” tanya Khalifa menunjukkan sebuah kaset yang mungkin akan mereka tonton. Film horror yang akan menemani mereka malam ini, siapa yang nanti ketakutan saat menonton bahkan sampai berteriak maka dia kalah dalam tantangan. Sebaliknya, jika tidak takut maka dialah pemenangnya. Bagi Khalifa hal ini jelas kesenangan untuknya. Menerima tantangan ini sama hal nya membuka harapan lain, jika ia bisa memenangkannya maka ada satu keinginan yang ia mau dari Alby, dan itu … akan ia menangkan hari ini juga. “Hm, judulnya lumayan serem juga,” gumam Khalifa melihat-lihat kaset yang bergambar film-film horror.Alby hanya berdehem, jangankan untuk melihat, mendengarnya saja sudah membuat nyalinya menciut. Ah, kenapa pula ia harus menerima tantangan ini? Kalau kalah?“Kak, mau judul yang mana?” tanya Khalifa membuat Alby menoleh. “Judulnya ada Sijjin,
“Ada apa?” tanya Alby berpura-pura. “Tolong, itu, itu …” Khalifa mengatur rasa takutnya lebih dahulu, sampai sadar akan sesuatu. Dua menit lama terdiam, Khalifa langsung melepas pelukan itu dengan terkejut. Mendorong dada bidang Alby. “Ah, maaf, aku tak sengaja.” Khalifa beranjak dari pangkuan Alby namun sang empu justru menahannya. Khalifa melotot, “kak?”“Kamu berteriak Khalif, barusan kamu menjerit keras. Em, bukankah itu … takut?”“Apa?” Khalifa terperangah. “Ingat tantangannya kan?” tanya Alby tersenyum miring. “I--itu, aku takut sebab ular, bukan karena filmnya.”“Sama aja, kau … takut!” ucap Alby membisik tepat ditelinga Khalifa. Buku kuduk Khaliifa meremang, hembusan napas yang dikeluarkan Alby menyentuh lehernya. Khalifa menelan salivanya susah.“Terima saja kekalahanmu Khalif, tak perlu bersusah-susah menyangkal bahwa kau tidak takut. Sudah jelas kamu takut!”Khalifa menatap kesal. “Awas!” ujarnya memaksa diri untuk terlepas dari pelukan Alby. Alby hanya tersenyum, me
“Ini sudah menjadi urusanku, Khalif! Kamu istri aku! Tanggung jawab aku, dan kamu apa-apa yang sekarang aku jaga!” ucap Alby tegas. Khalifa terdiam, matanya melebar sempurna mendengar ucapan Alby. Namun dalam hitungan detik tiba-tiba Khalifa tertawa. “Ya ampun, Kak. Kau … mengunci diriku di rumah aku sendiri?” tanya Khalifa tak percaya. “tunggu deh, ini rumahku, ini hidupku, tapi kenapa kau yang bermasalah?” Untuk pertama kalinya Khalifa memberanikan diri dalam menjawab, tak ada rasa takut yang ia perlihatkan. “Okke aku tau, aku istri kamu. Tapi biar aku ingatkan jika kamu lupa, Kak. Aku … bukan istri sungguhan kamu, aku hanya pengantin pengganti yang tak lama lagi akan bercerai dengan kamu. Oh, seharusnya hari ini saja kita sudah bercerai bukan? Tapi kenapa kau justru mengundurkan perpisahan di antara kita?”“Khalif—”“Perlu aku ingatkan juga! Ingat Khanza Kak … Ingat Khanza! Wanita yang kamu cintai! Harusnya kamu sibuk cari dia, bukan sibuk ngurusin orang lain.”“Tapi aku—-”“Ja
Tangan Alby terkepal, rahangnya makin mengeras saat melihat Gama menangkup kedua pipi Khalifa. Kobaran api di dalam hati membakar seluruh jiwa Alby, ia cemburu, sangat cemburu. Apalagi saat Gama dengan beraninya menarik Khalifa ke dalam pelukan, rasanya Alby tak tahan untuk tidak menghajarnya. Alby makin marah, tak rela istrinya disentuh pria lain membuatnya melangkah mendekat. Namun sebelum itu… “Kaden juga pernah bilang gitu, Kak. Tapi, kenapa dia yang justru meninggalkan aku lebih dahulu? Apa dia enggak tau kalau aku mencintainya? Apa dia enggak tau kalau aku selalu menunggunya tiap hari?” Khalifa memalingkan wajahnya. “Dia berbohong, untuk apa aku hidup demi orang yang mencintaiku jika pada akhirnya mereka juga meninggalkan aku?”“Al?”“Ayo pergi Kak.” Khalifa beranjak di tempat tersebut, sebelum itu ia menghapus air matanya yang tadi jatuh. Gama hanya bisa menghela napas saat Khalifa mulai berjalan, ia mengikuti dari belakang. Alby yang hendak menuju Gama malah tertinggal ke
“Apa?!”Seakan jantung Alby berhenti berdetak, ponselnya bahkan langsung terjatuh saking kagetnya. Mobil yang melaju cepat langsung di rem dadakan tepat di tepi jalan. Dirinya masih terkejut. “Apa maksud Bunda?” tanya Alby membenarkan, takut kalau tadi ia salah mendengar.“Khanza udah ditemukan Al, dia ada di rumah sakit. Cepatlah datang ke sini bersama Khalifa!”“Tapi—”“Dia kritis, entah apa yang terjadi padanya tapi … kondisinya tidak baik-baik saja,” ucap Laila dengan napas menggebu. Di sebrang sana Laila resah, mondar-mandir di depan ruangan di mana Khanza berada. “Se--sekarang Alby bakal ke sana!”! ucap Alby.“Baiklah, Bunda tunggu kalian,” ucap Laila lantas sambungan itu terputus. Alby menatap kosong jalan di depannya. Tak menyangka kalau Khanza … sudah ditemukan? “Jika Khanza telah kembali, lalu pernikahan kami … ?” Alby bergumam lirih. “Ayah dan Bunda akan menjadi saksi, apabila Khanza sudah ditemukan, maka kau harus menceraikanku saat itu juga, Kak.” Ucapan Khalifa sa
“Hmm … bagaimana jika ….”“Kita sembunyikan saja Khanza dari Khalifa?”Mendadak suasana hening, ketiga orang yang berkumpul itu saling memandang. “Tidak bisa Mas, masalahnya bagaimana kalau dia sadar? Menanyakan perihal keluarganya? Kita enggak bisa selamanya menyembunyikan dia,” ucap Laila. Bara tampak bergeming, benar juga. Krieeekkk… Di tengah pikiran yang sama-sama berkecamuk tiba-tiba pintu ruangan di mana Khanza di periksa terbuka. Menampilkan dokter yang baru keluar.Alby, Bara maupun Laila langsung terkejut, mendekat kepada Dokter tersebut yang sempat ingin pergi. “Dok?” seru Bara. “bagaimana keadaan Khanza?” tanyanya. “Kalian kerabat dekat pasien?”Ketiganya mengangguk. Dokter itu tampak menghela napas pelan. “Pasien dinyatakan koma untuk saat ini. Nutrisi di dalam tubuh tidak dia dapatkan, selain itu ada gangguan peredaran darah ke otak, menjadikan kondisinya saat ini tidak bisa dikatakan baik.”“Koma?” Bara melirih. “Kira-kira berapa lama pasien akan siuman, Dok?”