Tangan Alby terkepal, rahangnya makin mengeras saat melihat Gama menangkup kedua pipi Khalifa. Kobaran api di dalam hati membakar seluruh jiwa Alby, ia cemburu, sangat cemburu. Apalagi saat Gama dengan beraninya menarik Khalifa ke dalam pelukan, rasanya Alby tak tahan untuk tidak menghajarnya. Alby makin marah, tak rela istrinya disentuh pria lain membuatnya melangkah mendekat. Namun sebelum itu… “Kaden juga pernah bilang gitu, Kak. Tapi, kenapa dia yang justru meninggalkan aku lebih dahulu? Apa dia enggak tau kalau aku mencintainya? Apa dia enggak tau kalau aku selalu menunggunya tiap hari?” Khalifa memalingkan wajahnya. “Dia berbohong, untuk apa aku hidup demi orang yang mencintaiku jika pada akhirnya mereka juga meninggalkan aku?”“Al?”“Ayo pergi Kak.” Khalifa beranjak di tempat tersebut, sebelum itu ia menghapus air matanya yang tadi jatuh. Gama hanya bisa menghela napas saat Khalifa mulai berjalan, ia mengikuti dari belakang. Alby yang hendak menuju Gama malah tertinggal ke
“Apa?!”Seakan jantung Alby berhenti berdetak, ponselnya bahkan langsung terjatuh saking kagetnya. Mobil yang melaju cepat langsung di rem dadakan tepat di tepi jalan. Dirinya masih terkejut. “Apa maksud Bunda?” tanya Alby membenarkan, takut kalau tadi ia salah mendengar.“Khanza udah ditemukan Al, dia ada di rumah sakit. Cepatlah datang ke sini bersama Khalifa!”“Tapi—”“Dia kritis, entah apa yang terjadi padanya tapi … kondisinya tidak baik-baik saja,” ucap Laila dengan napas menggebu. Di sebrang sana Laila resah, mondar-mandir di depan ruangan di mana Khanza berada. “Se--sekarang Alby bakal ke sana!”! ucap Alby.“Baiklah, Bunda tunggu kalian,” ucap Laila lantas sambungan itu terputus. Alby menatap kosong jalan di depannya. Tak menyangka kalau Khanza … sudah ditemukan? “Jika Khanza telah kembali, lalu pernikahan kami … ?” Alby bergumam lirih. “Ayah dan Bunda akan menjadi saksi, apabila Khanza sudah ditemukan, maka kau harus menceraikanku saat itu juga, Kak.” Ucapan Khalifa sa
“Hmm … bagaimana jika ….”“Kita sembunyikan saja Khanza dari Khalifa?”Mendadak suasana hening, ketiga orang yang berkumpul itu saling memandang. “Tidak bisa Mas, masalahnya bagaimana kalau dia sadar? Menanyakan perihal keluarganya? Kita enggak bisa selamanya menyembunyikan dia,” ucap Laila. Bara tampak bergeming, benar juga. Krieeekkk… Di tengah pikiran yang sama-sama berkecamuk tiba-tiba pintu ruangan di mana Khanza di periksa terbuka. Menampilkan dokter yang baru keluar.Alby, Bara maupun Laila langsung terkejut, mendekat kepada Dokter tersebut yang sempat ingin pergi. “Dok?” seru Bara. “bagaimana keadaan Khanza?” tanyanya. “Kalian kerabat dekat pasien?”Ketiganya mengangguk. Dokter itu tampak menghela napas pelan. “Pasien dinyatakan koma untuk saat ini. Nutrisi di dalam tubuh tidak dia dapatkan, selain itu ada gangguan peredaran darah ke otak, menjadikan kondisinya saat ini tidak bisa dikatakan baik.”“Koma?” Bara melirih. “Kira-kira berapa lama pasien akan siuman, Dok?”
Alby memarkirkan mobilnya di halaman rumah Khalifa. Sedari tadi dirinya penasaran akan ucapan Gama yang katanya ada kejutan. Kejutan apa? Alby melihat ada mobil yang sebelumnya Khalifa kendarai, itu berarti perempuan itu sudah pulang semenjak tadi. Gegas Alby keluar, berlari masuk. "Assalamu'alaikum.... "Tidak ada sahutan apapun sesaat ia masuk. Apa Khalifa ada di kamarnya? Pikirnya. Alby menaiki anak tangga, berlari kecil menuju kamar Khalifa. Tok tok tok! "Khalif, kamu ada di dalam?" tanya Alby cemas. Entah kenapa perasaannya tidak tenang saat ini. Perkataan Gama berhasil membuat pikirannya berkecamuk. "kha... ""Kau sudah pulang?" Pintu terbuka menampilkan Khalifa yang sudah berganti pakaian. Khalifa dengan pesonanya, sellau berhasil membuat Alby senang dalam menatap. "Harusnya aku yang bertanya, kamu dari mana saja? Tadi kamu pergi ke mana?" tanya Alby. Khalifa tampak bergeming, dirinya malah menggeleng kecil. "Karena kamu ada di sini aku mau nunjukin sesuatu ke kamu, Ka
Bertemu dengan bibir Alby? Khalifa tersadar atas apa yang ia lakukan, gegas beranjak namun… “Akh!” Kepalanya harus menghadap Alby kembali saat menyadari liontin yang ia gunakan menyangkut di kancing kameja yang Alby kenakan. “Ma---maaf, biar aku lepas.” Merasa posisi ini yang memang tidak nyaman, membuat Khalifa dengan cepat melepaskan pengait liontinnya. Meyebalkan! Kenapa puls harus menyangkut? “Pelan-pelan saja, Alif. Nanti liontinnya rusak,” ucap Alby menahan pergelangan tangan Khalifa yang melepaskan pengait itu secara paksa. “Sini, biar aku bantu.” Masih dalam posisi Alby berada di bawah, ia membantu liontin Khalifa agar terlepas. Oh, tidak. Lebih tepatnya berpura-pura melepas. Dalam posisi seperti ini dengan Khalifa yang amat dekat pada Alby, tentu tidak boleh disia-siakan oleh Alby. Hal yang amat langka bisa dekat seperti ini harus Alby manfaatkan. Walau kini hatinya berdetak tidak karuan tapi … ia bisa bahagia hanya dengan melihat rautt cemas Khalifa. Alby … menyukain
“Em … itu, anu punya kak Al… terbuka….”“Hah?”“Kancing bajunya, terbuka…” Khalifa melanjutkan ucapannya, berpaling menatap ke arah lain, sedang Alby ia menurunkan pandangan membenarkan ucapan Khalifa di mana kancingnya terbuka. Bukannya merasa malu justru Alby senyum-senyum sendiri. “Gpp terbuka, sengaja kok, soalnya gerah,” ucap Alby yang justru membuka satu lagi kancing, memperlihatkan dadanya yang kebetulan tidak memakai kaos. Merasa risih Khalifa memilih beranjak pergi, mengambil pula ponsel yang sebelumnya ikut terjatuh. Dan saat ia beranjak tiba-tiba suara Alby terdengar. “Aw!” Alby memekik sakit, hal itu jelas membuat Khalifa menoleh. “Shhh … tanganku …”“Kenapa? Ada apa dengan tanganmu?” tanya Khalifa sesaat melihat Alby tengah memegang lengan kirinya. Pria itu tampak kesakitan. “Kau bertanya kenapa? Jelas semua ini karena kamu, Alif.” Khalifa menatap aneh, tuduhan macam apa coba? “Kenapa jadi aku?”“Ck! Kamu kira jatuh itu tidak sakit? Kamu yang enak jatuh di atasku,
Khalifa melirikan ekor matanya pada Alby, terdiam sejenak. “Heem, secepatnya bakal ketemu juga kok.” Masih dalam menelpon, Khalifa mengalihkan pandangannya. “... ““Sekarang?”“.... ““Oh, ya udah.”“... ““Hm, ditempat biasa,” ucap Khalifa lantas diakhir oleh salam. Ia menutup sambungan telponnya, matanya melirik Alby. “Siapa yang menelpon?” tanya Alby merubah kembali raut wajahnya. “Bukan siapa-siaa,” jawab Khalifa. “aku mau ke atas.”“Tunggu!” Alby menahan Khalifa yang hendak beranjak. “Kau sudah tau keberadaan Khanza?” tanya Alby dibalas tatapan Khalifa. Perempuan itu terdiam sejenak, sampai melepaskan tangan Alby yang menahannya. “Tidak. Masih dalam pencarian polisi bukan?” tangannya balik bertanya. Khalifa menghembuskan napas pelan, tidak jadi beranjak pergi. “Kak, tidak bisakah kamu tanda tangani surat cerai itu sekarang?” tanya Khalifa tampak menahan kesal. Geram sekaligus tak sabaran ia perlihatkan di depan Alby. “aku ingin cepat-cepat terlepas dari pernikahan ini!” uc
Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Sehabis mengambil buku diary milik Khalifa gegas Alby berangkat menuju rumah sakit. Sekarang ia akan mengecek keadaan di sana. Selain itu, ada rasa berdosa sebab sudah merepotkan Ayah dan Bundanya. Ah, seharusnya Alby tidak menyusahkan mereka, seharusnya ini sudah menjadi tanggung jawabnya. Permasalahan yang hadir jelas karenanya, lantas kenapa jadi orang tuanya yang harus ikut-ikutan? Bodoh! Itulah satu ucapan untuk Alby saat ini. Bisa-bisanya ia tak berpikir dewasa. Alby melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Takut kemalaman pas pulang ke rumah, nanti istrinya marah-marah lagi. Derrttt DerrtttAlby mengambil ponsel yang berdering di saku jaketnya, gegas ia melihat siapa penelpon malam-malam begini. Ah, ternyata oh ternyata. Baru saja Alby sedang memikirkan sosoknya, eh, langsung dditelpon. Emang ya, definisi jodoh gak bakal ke mana. Pas jauh dicariin kan, eh, apa deket malah dianggurin. Tidak ingin menunggu lama pujaan hatiny
“Assalamu'alaikum…?” Khalifa mengucap salam saat ia masuk ke dalam rumah, ah, bukan hanya Khalifa, Alby juga ada. Keduanya masuk dengan raut muka terlihat capek. “Kak, eum … aku mau mandi dulu ya, seharian kerja bikin aku gerah,” ucap Khalifa pada Alby. Alby tersenyum. “okke, tapi jangan lama-lama ya, udah malam soalnya. Ah iya, pake air hangat biar nggak kedinginan.”Khalifa terkekeh. “Aku bukan kamu yang harus pake air dingin kali, aku kan nggak alergi dingin,” timpal Khalifa menjawab. “Masalahnya kan udah malam, nggak baik buat kesehatan.”“Enggak bakal kak. Udah, lagian aku mandi bakal cepet kok. Dah ya, aku mau mandi dulu!” ucap Khalifa gegas berlari namun dengan cepat Alby menahannya lebih dahulu membuat Khalifa kembali berbalik menatap Alby. “Kalo udah mandi nanti turun ke bawah ya? Aku mau masakin kesukaan kamu. Kita makan bareng,” ucap Alby. Kebetulan sekali keduanya belum makan membuat Khalifa mengangguk antusias. “Cium dulu sini.” Alby menampilkan pipi kanannya. Ia men
Seminggu berlalu…Seorang wanita berjalan dengan menyeret kopernya. Tergesa-gesa sebab terlambat,bahkan saking tergesa-gesanya, wanita itu tanpa sengaja menabrak bahu seseorang membuat wanita itu menyeru minta maaf. “Ya ampun maaf, Mas. Saya enggak sengaja!” ucapnya sedikit menundukkan kepala, detik berikut kepala wanita itu mendongak. Namun… “Lho?” Sesaat pandangan keduanya bertemu. “Gama?”“Khanza?” Keduanya berseru secara berbarengan. Gama dengan pandangan mata menelisik, sedang Khanza menatap dengan tarikan napas. “Kukira siapa, taunya kamu,” ucapnya merubah raut wajah. Khanza menghela napas, tanpa sepatah kata apapun perempuan itu pergi begitu saja. Gama menaikan alisnya, namun sedetik kemudian ia mengedikkan bahu, ikut pergi dengan menyeret kopernya. Ia tahu yang dirinya tabrak, untuk itu tidak peduli baginya.Gama memilih duduk setelah melakukan check up,melalui maskapai yang telah memberitahukannya kini ia duduk menunggu antrian untuk masuk ke dalam pesawat. Gama menghel
Pagi ini Khalifa bangun lebih awal, melihat sosok suaminya yang tertidur pulas. Ah, mungkin efek cairan infus yang masuk ke dalam tubuhnya, membuat pria itu terjaga dari tidurnya. Merasa pegal dibagian lengannya, Khalifa merenggangkan otot-ototnya. Tidur seranjang dengan Alby jelas membuatnya tak bergerak sana-sini, menjadikan ia merasakan pegal. Khalifa menghela napas, ia menunduk melihat pakaiannya yang kotor nan penuh darah, lupa, bahwa memang ia tak mengganti baju. Ah, jangankan untuk mengganti baju, justru hatinya saat itu resah memikirkan Alby. “Aku harus memberitahukan Bunda. Jika tidak mereka pasti khawatir.” Khalifa menatap terlebih dahulu Alby, mumpung pria itu masih tertidur membuat Khalifa gegas pergi. Selain merasa tak nyaman dengan pakaiannya ia juga tak nyaman dengan keadaan ini. Sungguh, walau ada perasaan lega melihat Alby selamat namun ada sisi lain yang membuatnya resah. Mengenai Khanza … Ia belum berani untuk menghadap padanya dan mengatakan yang sejujurnya. *
Lihatlah, wajah Alby yang dulunya tampan kini banyak dipenuhi luka. Beberapa luka itu diperban, entah bagian kepala, rahang, maupun anggota tubuh lainnya. Tak kuasa melihat keadaannya seperti ini, Khalifa menunduk dengan hati penuh sesal. “Maafin, Alifa Kak… maaf ….” Khalifa terduduk di kursi yang berada di pinggir ranjang tersebut, menggenggam tangan Alby yang begitu kekar. Dulu, tangan inilah yang selalu siap siaga menggenggam tangannya. “Andai aku tidak menurutinya, andai kita kabur saat itu mungkin keadaan kamu enggak bakal separah ini Kak. Bodoh, harusnya aku menolak ajakanmu untuk melawan mereka. Bodoh!” Khalifa merutuk dirinya, menarik tangan Alby untuk ia kecup. “Sekarang aku baru menyadarinya, Kak. Kalau aku … benar-benar takut kehilangan kamu. Aku takut ….” Khalifa tak bisa lagi membendung tangis yang kian jatuh menimpa pipinya, bengkak sudah kedua matanya sebab terus menangis. “Setelah kehilangan Mama dan Papa, aku enggak mau kehilangan kamu, Kak. Boleh aku egois? Aku i
Khalifa menunduk, semakin menangis tertahan dengan tangan yang masi menyentuh kepala Alby. “Kak … tolong … jangan tinggalin aku kayak gini … tolong bangunlah….”“Uhuk!”Sebuah semburat darah tiba-tiba keluar di bibir Alby tatkala pria itu terbatuk. “Kak Al?” Terkejut, Khalifa mendapati Alby membuka matanya dengan ringisan kecil yang keluar. “Khalifa….”Sudah menangis deras kini Khalifa menambah tangisnya tatkala suara lembut itu terdengar. Bergetar hatinya mendengar hal itu. “Kak Al….” Khalifa menangis, memeluk kepala Alby. “maafin aku, Kak. Maaf….”Alby memejamkan matanya menahan rasa sakit, ia menggeleng. “aku kembali untuk kamu, Alif….”Khalifa mengangguk, entah harus bagaiamana tapi ia benar-benar senang tatkala Alby kembali. Terbangun untuk menepati janjinya. Menggenggam erat tangan yang amat dingin itu Khalifa berucap, ““Kita harus ke rumah sakit dulu, Kak. Secepatnya luka kakak harus diatasi,” ucap Khalifa melihat keadaan Alby yang kian parah. “Kakak masih sanggup berdiri?
“Kau akan mati ditanganku!” Bugh! Alby langsung menghindar saat orang itu hendak menendang, belati yang dirinya pegang ia tusukkan ke depan untuk mengenal tubuh Alby, namun dengan gesit, Alby menghindar secara agresif. Memilih melawan dari belakang, Alby bisa menghajarnya dari belakang tersebut. Seseorang itu terjatuh, mukanya makin memerah. Satu diantara mereka berjalan maju, membuat Alby harus melawan dua orang sekaligus. Ah tidak, bahkan satunya lagi ikut-ikutan maju, menambah orang yang harus Alby lawan. Cukup kewalahan sebab mereka memiliki senjata masing-masing, sedang Alby hanya menggunakan tangan kosong sebagai tameng dirinya. Satu kali dua kali ia mendapat pukulan yang tak bisa ia hindari, bahkan goresan belati pula harus terkena sampai kulitnya saking keagresifan mereka. Murka, mereka murka sebab merasa terkalahkan oleh Alby. Alby mengatur napasnya dalam-dalam. Melawan 10 orang sekaligus benar-benar menguras tenaganya. Apalagi tidak diberi jeda untuk berhenti se
Khalifa berlari dan langsung memeluk Alby. Ia menangis dengan tubuh bergetar hebat. “Kak Al, makasih, makasih telah kembali….” Alby menelan salivanya pelan, bergetar hatinya kala melihat keadaan Khalifa seperti ini. “Maaf, maafkan aku baru datang Alif. Maaf telah meninggalkan kamu seorang diri.” Khalifa menggeleng, ia melerai pelukannya, mendongak untuk melihat wajah Alby. “Mereka … mereka ingin melecehkan aku, Kak. Aku--aku takut ….” Alby melihat wajah ketakutan itu, ia pegang tangan Khalifa untuk menenangkan gadisnya. Namun, yang ia lihat justru gurat merah dari pergelangan tangannya. Khalifa menunduk, ia masih terisak. “Mereka pegang tangan aku dengan keras Kak… mereka kasar dan menyeramkan….” Mendengar lirihan itu rahang Alby mengeras, menoleh ke kanan, ia dapati 11 orang itu yang tampak tertawa saja. “Ayo kabur, Kak. Mereka bukan tandingan kita,” ucap Khalifa kembali. Alby menatap Khalifa, memilih kabur? Itu bukan dirinya. “Tidak Alif, mereka harus membayar at
Nyatanya bukan sehabis magrib Khalifa pulang, melainkan sehabis isya baru ia bisa pulang. Jangan tanyakan kenapa, karena saat ini Khalifa ingin sendirian, menjadikan ia habiskan beberapa waktu sendirian di kantor. Dan sekarang waktunya ia pulang beberapa security yang jaga pula sebagian sudah pulang, paling hanya beberapa yang tetap berjaga karena bekerja sesuai shif. Khalifa berjalan terburu-buru menuju mobilnya, lantas melaju membelah jalan tanpa menunggu lama. Takut kemalaman Khalifa makin mempercepat lajunya. Sebuah dering ponsel terdengar namun tak Khalifa gubris untuk mengangkatnya. Memilih abai Khalifa terus melajukan mobilnya di tengah keramaian. Namun, kala ia berbelok ia harus di hadapkan dengan jalan yang cukup sepi. “Huft, semoga tidak terjadi apa-apa.” Khalifa mengucap doa dalam hati. Mau bagaimana pun ia perempuan, dan jelas ia takut jika tiba-tiba ada hal aneh yang melintas. Suara bisingnya motor terdengar dari arah belakang, memusat perhatian Khalifa untuk m
Khalifa menangkup kedua pipi di atas meja, bosan melanda hatinya. Hari ini tugas yang diberikan Aavar dalam mempelajari berbagai perbisnisan cukup menguras pikiran dan tenaga. Ternyata susah sekali untuk memahami berbagai persoalan dalam perbisnisan ini. Jika bukan karena otak yang encer mungkin Khalifa memilih tidur saja di atas kasur. Hari ini jam sudah menunjukan pukul empat sore. Tidak terasa, dari pagi sampai saat ini Khalifa menghabiskan waktu hanya di kantor saja, tentunya dengan Khanza. Namun, saat ini perempuan itu entah pergi ke mana, katanya izin keluar sebentar. “Khalifa, Om pulang lebih dulu ya, istri Om kasihan di rumah sendirian.” Tiba-tiba suara Aavar terdengar setelah pintu terbuka. “Kamu pulang lah, besok bisa dilanjutkan.” Punggung Khalifa berdiri tegap. “Nggak deh, Khalifa mau lembur. Soalnya masih banyak banget yang belum dikerjakan Om.” Aavar menoleh. “lembur?” Ia tertawa. “ya ampun Khalifa, ini kan cuma belajar aja. Gak usah terlalu dibuat serius jug