“Em … itu, anu punya kak Al… terbuka….”“Hah?”“Kancing bajunya, terbuka…” Khalifa melanjutkan ucapannya, berpaling menatap ke arah lain, sedang Alby ia menurunkan pandangan membenarkan ucapan Khalifa di mana kancingnya terbuka. Bukannya merasa malu justru Alby senyum-senyum sendiri. “Gpp terbuka, sengaja kok, soalnya gerah,” ucap Alby yang justru membuka satu lagi kancing, memperlihatkan dadanya yang kebetulan tidak memakai kaos. Merasa risih Khalifa memilih beranjak pergi, mengambil pula ponsel yang sebelumnya ikut terjatuh. Dan saat ia beranjak tiba-tiba suara Alby terdengar. “Aw!” Alby memekik sakit, hal itu jelas membuat Khalifa menoleh. “Shhh … tanganku …”“Kenapa? Ada apa dengan tanganmu?” tanya Khalifa sesaat melihat Alby tengah memegang lengan kirinya. Pria itu tampak kesakitan. “Kau bertanya kenapa? Jelas semua ini karena kamu, Alif.” Khalifa menatap aneh, tuduhan macam apa coba? “Kenapa jadi aku?”“Ck! Kamu kira jatuh itu tidak sakit? Kamu yang enak jatuh di atasku,
Khalifa melirikan ekor matanya pada Alby, terdiam sejenak. “Heem, secepatnya bakal ketemu juga kok.” Masih dalam menelpon, Khalifa mengalihkan pandangannya. “... ““Sekarang?”“.... ““Oh, ya udah.”“... ““Hm, ditempat biasa,” ucap Khalifa lantas diakhir oleh salam. Ia menutup sambungan telponnya, matanya melirik Alby. “Siapa yang menelpon?” tanya Alby merubah kembali raut wajahnya. “Bukan siapa-siaa,” jawab Khalifa. “aku mau ke atas.”“Tunggu!” Alby menahan Khalifa yang hendak beranjak. “Kau sudah tau keberadaan Khanza?” tanya Alby dibalas tatapan Khalifa. Perempuan itu terdiam sejenak, sampai melepaskan tangan Alby yang menahannya. “Tidak. Masih dalam pencarian polisi bukan?” tangannya balik bertanya. Khalifa menghembuskan napas pelan, tidak jadi beranjak pergi. “Kak, tidak bisakah kamu tanda tangani surat cerai itu sekarang?” tanya Khalifa tampak menahan kesal. Geram sekaligus tak sabaran ia perlihatkan di depan Alby. “aku ingin cepat-cepat terlepas dari pernikahan ini!” uc
Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Sehabis mengambil buku diary milik Khalifa gegas Alby berangkat menuju rumah sakit. Sekarang ia akan mengecek keadaan di sana. Selain itu, ada rasa berdosa sebab sudah merepotkan Ayah dan Bundanya. Ah, seharusnya Alby tidak menyusahkan mereka, seharusnya ini sudah menjadi tanggung jawabnya. Permasalahan yang hadir jelas karenanya, lantas kenapa jadi orang tuanya yang harus ikut-ikutan? Bodoh! Itulah satu ucapan untuk Alby saat ini. Bisa-bisanya ia tak berpikir dewasa. Alby melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Takut kemalaman pas pulang ke rumah, nanti istrinya marah-marah lagi. Derrttt DerrtttAlby mengambil ponsel yang berdering di saku jaketnya, gegas ia melihat siapa penelpon malam-malam begini. Ah, ternyata oh ternyata. Baru saja Alby sedang memikirkan sosoknya, eh, langsung dditelpon. Emang ya, definisi jodoh gak bakal ke mana. Pas jauh dicariin kan, eh, apa deket malah dianggurin. Tidak ingin menunggu lama pujaan hatiny
Sebenarnya ada perasaan sakit yang dirasa Alby saat ini. Mengenai Khalifa, dia menyebut nama orang lain. Saat Khalifa menyebut nama ‘Ka … ia kira kata itu untuknya, mengingat bagaimana Khalifa memanggilnya kakak. Tapi ternyata bukan, ‘Ka’ yang dimaksud adalah Kaden… Siapa dia? Alby tidak tahu. Awalnya pula Alby dibuat senang saat Khalifa memintanya untuk menemaninya semalam ini—tidur bersama. Tapi, saat nama Kaden terucap lagi-lagi perasaan Alby terasa diporak-porandakan. Sakit. Ah, atau mungkin ini balasan untuknya karena sebelumnya telah menyia-nyiakan Khalifa? Itu mengapa saat ini ia merasakan sesak? Alby mengeratkan pelukannya terhadap Khalifa. Istrinya ini masih tertidur, sama sekali tidak terganggu. “Walau mungkin kamu cinta orang lain, tapi aku yakin, suatu saat nanti kau akan mencintaiku juga,” gumam Alby. Tiba-tiba Khalifa melenguh kecil dalam tidurnya, membuat Alby dengan sigap menutup mata. Dalam diam Alby berpura-pura tidur, ia mengetahui kalau saat ini Khalifa terb
Alby menghela napas gusar. Baru saja bermimpi indah, malah dihancurkan dengan hal yang membuatnya sadar diri. “Kak Alby ngapain tidur di sini? Terus semalam, kakak kan yang bawa aku ke sini?” tanya Khalifa. Alby hanya mampu diam, ia masih sedikit mencerna atas apa yang terjadi. “Padahal enggak perlu pindahin aku, toh aku bakal pindah sendiri.” Khalifa masih berucap, membuat Alby kini menatapnya. “Tidur kamu semalam bahkan gak bener, mau gimana aku gak pindahin?” tanya Alby. Ia beranjak dari kasurnya. Ia melihat Khalifa yang hanya berdiri menatapnya. Ia mendekat. “Semalam … kita tidur bersama kan?” “Hah?” Khalifa bergeming, sedang Alby tersenyum tipis. Khalifa memang tidur seranjang dengan Alby, tapi hal itu diluar inginnya. Entah kenapa saat Khalifa membuka matanya ia dikejutkan oleh Alby yang tidur di sampingnya. Menolak malu, Khalifa menjawab. “Itu---itu aku enggak tau! Aku—”“Udah salat subuh?” tanya Alby mengalihkan topik. Ia melihat jam yang menggantung di dinding. Waktu
Khalifa tidak peduli lagi. Gegas ia keluar dari kamar walau tau masih memakai mukena. Meninggalkan Alby yang sedari tadi hanya diam. Bagi Khalifa, sekaki-kali pria sombong itu harus diberi pelajaran. Biar tau rasanya bagaiamana berada di posisinya dulu yang selalu merasakan sakit dan sesak. Ah, mungkin ini tidak seberapa, tapi Khalifa yakin Alby pasti mengerti atas apa yang ia ucapkan. Semoga setelah ucapan itu keluar Alby mampu memahami, bahwa ia tidak pernah menginginkan pria itu! Khalifa mendengkus, hari ini paginya di lingkup hawa marah saja. Ah, bahkan ia terpaksa keluar dari kamarnya sendiri. Krruukkk… Sesaat amarah itu masih dirasa tiba-tiba perut Khalifa berbunyi. Ia lapar. Khalifa menghela napas. “ Kak Alby msnyebalkan! Ke manakan semua pelayan yang ada di sini, huh!” ucap Khalifa setengah kesal. Tidak hanya pada perubahan Alby yeng membuat Khalifa kesal dan marah, pun dengan semua pelayan yang ada di kediaman ini Alby hilangkan. Entah ke manakan pelayan itu, Alby benar-
“Ini uang bulanan untuk kamu, gunakan apa yang kamu butuhkan atau jika ada hal yang kamu inginkan, bisa gunakan uang ini. Kalau kurang, bilang aja. Aku bakal ngasih.” Alby menyimpan sebuah amplop putih di depan Khalifa. Mata perempuan itu tampak shok. Dirinya menatap amplop tersebut dengan kening berkerut. Khalifa yang sudah disuguhi oleh beberapa kertas-kertas diatas meja kini justru disuguhi oleh sosok Alby yang menyimpan sebuah amplop. Hari ini ia disibukkan dengan pekerjaan yang sebelumnya Aarav tanggung jawabi. Setelah kepergian Papanya dirinya lah yang akan mengambil alih perusahaan. Sebenarnya memikul beban besar ini terasa berat untuk Khalifa, namun mengingat bahwa hanya ada dirinya di rumah ini membuat tanggung jawab itu ada padanya. Khalifa menghela napas, pekerjaannya sedikit tertunda atas kehadiran Alby. “Uang bulanan?” tanya Khalifa. “Heem, maafin sebab baru sekarang aku kasih.” “Tidak perlu, aku tidak butuh!” Khalifa menolak, menggeser kembali amplop putih danterse
Alby melajukan motornya dengan kecepatan di atas rata-rata. Ucapan Khalifa barusan berhasil membuat hatinya merasa galau kumat. “Teman?”Hanya sebait kalimat namun membuat Alby tidak tenang dibuatnya. Untuk apa teman coba? Jika suami adalah status yang paling penting? Alby kesal, benar-benar kesal! Selain pada penceraian menyebalkan itu Alby pula kesal terhadap dirinya yang belum bisa membuat Khalifa jatuh cinta. Ada pikiran Alby yang sering bertanya-tanya. Mengenai Khalifa, kenapa sulit sekali membuat perempuan itu mengerti kalau dirinya mencintai perempuan itu? Tidak bisakah Khalifa merasa baper atas sikapnya? Atau mungkin merasa paling istimewa di antara sikapnya yang lain? Kenapa Khalifa tidak merasakan hal itu? Alby menghela napas gusar, makin ke sini Khalifa makin berulah. Meminta penceraian sekaligus menjadi teman untuknya.Ah, kesal sudah untuk semuanya, sampai Alby tidak peduli lagi tentang hidupnya ini. Ia galau kumat, dengan begitu menjalankan motor pun begitu ugal-uga
“Assalamu'alaikum…?” Khalifa mengucap salam saat ia masuk ke dalam rumah, ah, bukan hanya Khalifa, Alby juga ada. Keduanya masuk dengan raut muka terlihat capek. “Kak, eum … aku mau mandi dulu ya, seharian kerja bikin aku gerah,” ucap Khalifa pada Alby. Alby tersenyum. “okke, tapi jangan lama-lama ya, udah malam soalnya. Ah iya, pake air hangat biar nggak kedinginan.”Khalifa terkekeh. “Aku bukan kamu yang harus pake air dingin kali, aku kan nggak alergi dingin,” timpal Khalifa menjawab. “Masalahnya kan udah malam, nggak baik buat kesehatan.”“Enggak bakal kak. Udah, lagian aku mandi bakal cepet kok. Dah ya, aku mau mandi dulu!” ucap Khalifa gegas berlari namun dengan cepat Alby menahannya lebih dahulu membuat Khalifa kembali berbalik menatap Alby. “Kalo udah mandi nanti turun ke bawah ya? Aku mau masakin kesukaan kamu. Kita makan bareng,” ucap Alby. Kebetulan sekali keduanya belum makan membuat Khalifa mengangguk antusias. “Cium dulu sini.” Alby menampilkan pipi kanannya. Ia men
Seminggu berlalu…Seorang wanita berjalan dengan menyeret kopernya. Tergesa-gesa sebab terlambat,bahkan saking tergesa-gesanya, wanita itu tanpa sengaja menabrak bahu seseorang membuat wanita itu menyeru minta maaf. “Ya ampun maaf, Mas. Saya enggak sengaja!” ucapnya sedikit menundukkan kepala, detik berikut kepala wanita itu mendongak. Namun… “Lho?” Sesaat pandangan keduanya bertemu. “Gama?”“Khanza?” Keduanya berseru secara berbarengan. Gama dengan pandangan mata menelisik, sedang Khanza menatap dengan tarikan napas. “Kukira siapa, taunya kamu,” ucapnya merubah raut wajah. Khanza menghela napas, tanpa sepatah kata apapun perempuan itu pergi begitu saja. Gama menaikan alisnya, namun sedetik kemudian ia mengedikkan bahu, ikut pergi dengan menyeret kopernya. Ia tahu yang dirinya tabrak, untuk itu tidak peduli baginya.Gama memilih duduk setelah melakukan check up,melalui maskapai yang telah memberitahukannya kini ia duduk menunggu antrian untuk masuk ke dalam pesawat. Gama menghel
Pagi ini Khalifa bangun lebih awal, melihat sosok suaminya yang tertidur pulas. Ah, mungkin efek cairan infus yang masuk ke dalam tubuhnya, membuat pria itu terjaga dari tidurnya. Merasa pegal dibagian lengannya, Khalifa merenggangkan otot-ototnya. Tidur seranjang dengan Alby jelas membuatnya tak bergerak sana-sini, menjadikan ia merasakan pegal. Khalifa menghela napas, ia menunduk melihat pakaiannya yang kotor nan penuh darah, lupa, bahwa memang ia tak mengganti baju. Ah, jangankan untuk mengganti baju, justru hatinya saat itu resah memikirkan Alby. “Aku harus memberitahukan Bunda. Jika tidak mereka pasti khawatir.” Khalifa menatap terlebih dahulu Alby, mumpung pria itu masih tertidur membuat Khalifa gegas pergi. Selain merasa tak nyaman dengan pakaiannya ia juga tak nyaman dengan keadaan ini. Sungguh, walau ada perasaan lega melihat Alby selamat namun ada sisi lain yang membuatnya resah. Mengenai Khanza … Ia belum berani untuk menghadap padanya dan mengatakan yang sejujurnya. *
Lihatlah, wajah Alby yang dulunya tampan kini banyak dipenuhi luka. Beberapa luka itu diperban, entah bagian kepala, rahang, maupun anggota tubuh lainnya. Tak kuasa melihat keadaannya seperti ini, Khalifa menunduk dengan hati penuh sesal. “Maafin, Alifa Kak… maaf ….” Khalifa terduduk di kursi yang berada di pinggir ranjang tersebut, menggenggam tangan Alby yang begitu kekar. Dulu, tangan inilah yang selalu siap siaga menggenggam tangannya. “Andai aku tidak menurutinya, andai kita kabur saat itu mungkin keadaan kamu enggak bakal separah ini Kak. Bodoh, harusnya aku menolak ajakanmu untuk melawan mereka. Bodoh!” Khalifa merutuk dirinya, menarik tangan Alby untuk ia kecup. “Sekarang aku baru menyadarinya, Kak. Kalau aku … benar-benar takut kehilangan kamu. Aku takut ….” Khalifa tak bisa lagi membendung tangis yang kian jatuh menimpa pipinya, bengkak sudah kedua matanya sebab terus menangis. “Setelah kehilangan Mama dan Papa, aku enggak mau kehilangan kamu, Kak. Boleh aku egois? Aku i
Khalifa menunduk, semakin menangis tertahan dengan tangan yang masi menyentuh kepala Alby. “Kak … tolong … jangan tinggalin aku kayak gini … tolong bangunlah….”“Uhuk!”Sebuah semburat darah tiba-tiba keluar di bibir Alby tatkala pria itu terbatuk. “Kak Al?” Terkejut, Khalifa mendapati Alby membuka matanya dengan ringisan kecil yang keluar. “Khalifa….”Sudah menangis deras kini Khalifa menambah tangisnya tatkala suara lembut itu terdengar. Bergetar hatinya mendengar hal itu. “Kak Al….” Khalifa menangis, memeluk kepala Alby. “maafin aku, Kak. Maaf….”Alby memejamkan matanya menahan rasa sakit, ia menggeleng. “aku kembali untuk kamu, Alif….”Khalifa mengangguk, entah harus bagaiamana tapi ia benar-benar senang tatkala Alby kembali. Terbangun untuk menepati janjinya. Menggenggam erat tangan yang amat dingin itu Khalifa berucap, ““Kita harus ke rumah sakit dulu, Kak. Secepatnya luka kakak harus diatasi,” ucap Khalifa melihat keadaan Alby yang kian parah. “Kakak masih sanggup berdiri?
“Kau akan mati ditanganku!” Bugh! Alby langsung menghindar saat orang itu hendak menendang, belati yang dirinya pegang ia tusukkan ke depan untuk mengenal tubuh Alby, namun dengan gesit, Alby menghindar secara agresif. Memilih melawan dari belakang, Alby bisa menghajarnya dari belakang tersebut. Seseorang itu terjatuh, mukanya makin memerah. Satu diantara mereka berjalan maju, membuat Alby harus melawan dua orang sekaligus. Ah tidak, bahkan satunya lagi ikut-ikutan maju, menambah orang yang harus Alby lawan. Cukup kewalahan sebab mereka memiliki senjata masing-masing, sedang Alby hanya menggunakan tangan kosong sebagai tameng dirinya. Satu kali dua kali ia mendapat pukulan yang tak bisa ia hindari, bahkan goresan belati pula harus terkena sampai kulitnya saking keagresifan mereka. Murka, mereka murka sebab merasa terkalahkan oleh Alby. Alby mengatur napasnya dalam-dalam. Melawan 10 orang sekaligus benar-benar menguras tenaganya. Apalagi tidak diberi jeda untuk berhenti se
Khalifa berlari dan langsung memeluk Alby. Ia menangis dengan tubuh bergetar hebat. “Kak Al, makasih, makasih telah kembali….” Alby menelan salivanya pelan, bergetar hatinya kala melihat keadaan Khalifa seperti ini. “Maaf, maafkan aku baru datang Alif. Maaf telah meninggalkan kamu seorang diri.” Khalifa menggeleng, ia melerai pelukannya, mendongak untuk melihat wajah Alby. “Mereka … mereka ingin melecehkan aku, Kak. Aku--aku takut ….” Alby melihat wajah ketakutan itu, ia pegang tangan Khalifa untuk menenangkan gadisnya. Namun, yang ia lihat justru gurat merah dari pergelangan tangannya. Khalifa menunduk, ia masih terisak. “Mereka pegang tangan aku dengan keras Kak… mereka kasar dan menyeramkan….” Mendengar lirihan itu rahang Alby mengeras, menoleh ke kanan, ia dapati 11 orang itu yang tampak tertawa saja. “Ayo kabur, Kak. Mereka bukan tandingan kita,” ucap Khalifa kembali. Alby menatap Khalifa, memilih kabur? Itu bukan dirinya. “Tidak Alif, mereka harus membayar at
Nyatanya bukan sehabis magrib Khalifa pulang, melainkan sehabis isya baru ia bisa pulang. Jangan tanyakan kenapa, karena saat ini Khalifa ingin sendirian, menjadikan ia habiskan beberapa waktu sendirian di kantor. Dan sekarang waktunya ia pulang beberapa security yang jaga pula sebagian sudah pulang, paling hanya beberapa yang tetap berjaga karena bekerja sesuai shif. Khalifa berjalan terburu-buru menuju mobilnya, lantas melaju membelah jalan tanpa menunggu lama. Takut kemalaman Khalifa makin mempercepat lajunya. Sebuah dering ponsel terdengar namun tak Khalifa gubris untuk mengangkatnya. Memilih abai Khalifa terus melajukan mobilnya di tengah keramaian. Namun, kala ia berbelok ia harus di hadapkan dengan jalan yang cukup sepi. “Huft, semoga tidak terjadi apa-apa.” Khalifa mengucap doa dalam hati. Mau bagaimana pun ia perempuan, dan jelas ia takut jika tiba-tiba ada hal aneh yang melintas. Suara bisingnya motor terdengar dari arah belakang, memusat perhatian Khalifa untuk m
Khalifa menangkup kedua pipi di atas meja, bosan melanda hatinya. Hari ini tugas yang diberikan Aavar dalam mempelajari berbagai perbisnisan cukup menguras pikiran dan tenaga. Ternyata susah sekali untuk memahami berbagai persoalan dalam perbisnisan ini. Jika bukan karena otak yang encer mungkin Khalifa memilih tidur saja di atas kasur. Hari ini jam sudah menunjukan pukul empat sore. Tidak terasa, dari pagi sampai saat ini Khalifa menghabiskan waktu hanya di kantor saja, tentunya dengan Khanza. Namun, saat ini perempuan itu entah pergi ke mana, katanya izin keluar sebentar. “Khalifa, Om pulang lebih dulu ya, istri Om kasihan di rumah sendirian.” Tiba-tiba suara Aavar terdengar setelah pintu terbuka. “Kamu pulang lah, besok bisa dilanjutkan.” Punggung Khalifa berdiri tegap. “Nggak deh, Khalifa mau lembur. Soalnya masih banyak banget yang belum dikerjakan Om.” Aavar menoleh. “lembur?” Ia tertawa. “ya ampun Khalifa, ini kan cuma belajar aja. Gak usah terlalu dibuat serius jug