Bertemu dengan bibir Alby? Khalifa tersadar atas apa yang ia lakukan, gegas beranjak namun… “Akh!” Kepalanya harus menghadap Alby kembali saat menyadari liontin yang ia gunakan menyangkut di kancing kameja yang Alby kenakan. “Ma---maaf, biar aku lepas.” Merasa posisi ini yang memang tidak nyaman, membuat Khalifa dengan cepat melepaskan pengait liontinnya. Meyebalkan! Kenapa puls harus menyangkut? “Pelan-pelan saja, Alif. Nanti liontinnya rusak,” ucap Alby menahan pergelangan tangan Khalifa yang melepaskan pengait itu secara paksa. “Sini, biar aku bantu.” Masih dalam posisi Alby berada di bawah, ia membantu liontin Khalifa agar terlepas. Oh, tidak. Lebih tepatnya berpura-pura melepas. Dalam posisi seperti ini dengan Khalifa yang amat dekat pada Alby, tentu tidak boleh disia-siakan oleh Alby. Hal yang amat langka bisa dekat seperti ini harus Alby manfaatkan. Walau kini hatinya berdetak tidak karuan tapi … ia bisa bahagia hanya dengan melihat rautt cemas Khalifa. Alby … menyukain
“Em … itu, anu punya kak Al… terbuka….”“Hah?”“Kancing bajunya, terbuka…” Khalifa melanjutkan ucapannya, berpaling menatap ke arah lain, sedang Alby ia menurunkan pandangan membenarkan ucapan Khalifa di mana kancingnya terbuka. Bukannya merasa malu justru Alby senyum-senyum sendiri. “Gpp terbuka, sengaja kok, soalnya gerah,” ucap Alby yang justru membuka satu lagi kancing, memperlihatkan dadanya yang kebetulan tidak memakai kaos. Merasa risih Khalifa memilih beranjak pergi, mengambil pula ponsel yang sebelumnya ikut terjatuh. Dan saat ia beranjak tiba-tiba suara Alby terdengar. “Aw!” Alby memekik sakit, hal itu jelas membuat Khalifa menoleh. “Shhh … tanganku …”“Kenapa? Ada apa dengan tanganmu?” tanya Khalifa sesaat melihat Alby tengah memegang lengan kirinya. Pria itu tampak kesakitan. “Kau bertanya kenapa? Jelas semua ini karena kamu, Alif.” Khalifa menatap aneh, tuduhan macam apa coba? “Kenapa jadi aku?”“Ck! Kamu kira jatuh itu tidak sakit? Kamu yang enak jatuh di atasku,
Khalifa melirikan ekor matanya pada Alby, terdiam sejenak. “Heem, secepatnya bakal ketemu juga kok.” Masih dalam menelpon, Khalifa mengalihkan pandangannya. “... ““Sekarang?”“.... ““Oh, ya udah.”“... ““Hm, ditempat biasa,” ucap Khalifa lantas diakhir oleh salam. Ia menutup sambungan telponnya, matanya melirik Alby. “Siapa yang menelpon?” tanya Alby merubah kembali raut wajahnya. “Bukan siapa-siaa,” jawab Khalifa. “aku mau ke atas.”“Tunggu!” Alby menahan Khalifa yang hendak beranjak. “Kau sudah tau keberadaan Khanza?” tanya Alby dibalas tatapan Khalifa. Perempuan itu terdiam sejenak, sampai melepaskan tangan Alby yang menahannya. “Tidak. Masih dalam pencarian polisi bukan?” tangannya balik bertanya. Khalifa menghembuskan napas pelan, tidak jadi beranjak pergi. “Kak, tidak bisakah kamu tanda tangani surat cerai itu sekarang?” tanya Khalifa tampak menahan kesal. Geram sekaligus tak sabaran ia perlihatkan di depan Alby. “aku ingin cepat-cepat terlepas dari pernikahan ini!” uc
Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Sehabis mengambil buku diary milik Khalifa gegas Alby berangkat menuju rumah sakit. Sekarang ia akan mengecek keadaan di sana. Selain itu, ada rasa berdosa sebab sudah merepotkan Ayah dan Bundanya. Ah, seharusnya Alby tidak menyusahkan mereka, seharusnya ini sudah menjadi tanggung jawabnya. Permasalahan yang hadir jelas karenanya, lantas kenapa jadi orang tuanya yang harus ikut-ikutan? Bodoh! Itulah satu ucapan untuk Alby saat ini. Bisa-bisanya ia tak berpikir dewasa. Alby melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Takut kemalaman pas pulang ke rumah, nanti istrinya marah-marah lagi. Derrttt DerrtttAlby mengambil ponsel yang berdering di saku jaketnya, gegas ia melihat siapa penelpon malam-malam begini. Ah, ternyata oh ternyata. Baru saja Alby sedang memikirkan sosoknya, eh, langsung dditelpon. Emang ya, definisi jodoh gak bakal ke mana. Pas jauh dicariin kan, eh, apa deket malah dianggurin. Tidak ingin menunggu lama pujaan hatiny
Sebenarnya ada perasaan sakit yang dirasa Alby saat ini. Mengenai Khalifa, dia menyebut nama orang lain. Saat Khalifa menyebut nama ‘Ka … ia kira kata itu untuknya, mengingat bagaimana Khalifa memanggilnya kakak. Tapi ternyata bukan, ‘Ka’ yang dimaksud adalah Kaden… Siapa dia? Alby tidak tahu. Awalnya pula Alby dibuat senang saat Khalifa memintanya untuk menemaninya semalam ini—tidur bersama. Tapi, saat nama Kaden terucap lagi-lagi perasaan Alby terasa diporak-porandakan. Sakit. Ah, atau mungkin ini balasan untuknya karena sebelumnya telah menyia-nyiakan Khalifa? Itu mengapa saat ini ia merasakan sesak? Alby mengeratkan pelukannya terhadap Khalifa. Istrinya ini masih tertidur, sama sekali tidak terganggu. “Walau mungkin kamu cinta orang lain, tapi aku yakin, suatu saat nanti kau akan mencintaiku juga,” gumam Alby. Tiba-tiba Khalifa melenguh kecil dalam tidurnya, membuat Alby dengan sigap menutup mata. Dalam diam Alby berpura-pura tidur, ia mengetahui kalau saat ini Khalifa terb
Alby menghela napas gusar. Baru saja bermimpi indah, malah dihancurkan dengan hal yang membuatnya sadar diri. “Kak Alby ngapain tidur di sini? Terus semalam, kakak kan yang bawa aku ke sini?” tanya Khalifa. Alby hanya mampu diam, ia masih sedikit mencerna atas apa yang terjadi. “Padahal enggak perlu pindahin aku, toh aku bakal pindah sendiri.” Khalifa masih berucap, membuat Alby kini menatapnya. “Tidur kamu semalam bahkan gak bener, mau gimana aku gak pindahin?” tanya Alby. Ia beranjak dari kasurnya. Ia melihat Khalifa yang hanya berdiri menatapnya. Ia mendekat. “Semalam … kita tidur bersama kan?” “Hah?” Khalifa bergeming, sedang Alby tersenyum tipis. Khalifa memang tidur seranjang dengan Alby, tapi hal itu diluar inginnya. Entah kenapa saat Khalifa membuka matanya ia dikejutkan oleh Alby yang tidur di sampingnya. Menolak malu, Khalifa menjawab. “Itu---itu aku enggak tau! Aku—”“Udah salat subuh?” tanya Alby mengalihkan topik. Ia melihat jam yang menggantung di dinding. Waktu
Khalifa tidak peduli lagi. Gegas ia keluar dari kamar walau tau masih memakai mukena. Meninggalkan Alby yang sedari tadi hanya diam. Bagi Khalifa, sekaki-kali pria sombong itu harus diberi pelajaran. Biar tau rasanya bagaiamana berada di posisinya dulu yang selalu merasakan sakit dan sesak. Ah, mungkin ini tidak seberapa, tapi Khalifa yakin Alby pasti mengerti atas apa yang ia ucapkan. Semoga setelah ucapan itu keluar Alby mampu memahami, bahwa ia tidak pernah menginginkan pria itu! Khalifa mendengkus, hari ini paginya di lingkup hawa marah saja. Ah, bahkan ia terpaksa keluar dari kamarnya sendiri. Krruukkk… Sesaat amarah itu masih dirasa tiba-tiba perut Khalifa berbunyi. Ia lapar. Khalifa menghela napas. “ Kak Alby msnyebalkan! Ke manakan semua pelayan yang ada di sini, huh!” ucap Khalifa setengah kesal. Tidak hanya pada perubahan Alby yeng membuat Khalifa kesal dan marah, pun dengan semua pelayan yang ada di kediaman ini Alby hilangkan. Entah ke manakan pelayan itu, Alby benar-
“Ini uang bulanan untuk kamu, gunakan apa yang kamu butuhkan atau jika ada hal yang kamu inginkan, bisa gunakan uang ini. Kalau kurang, bilang aja. Aku bakal ngasih.” Alby menyimpan sebuah amplop putih di depan Khalifa. Mata perempuan itu tampak shok. Dirinya menatap amplop tersebut dengan kening berkerut. Khalifa yang sudah disuguhi oleh beberapa kertas-kertas diatas meja kini justru disuguhi oleh sosok Alby yang menyimpan sebuah amplop. Hari ini ia disibukkan dengan pekerjaan yang sebelumnya Aarav tanggung jawabi. Setelah kepergian Papanya dirinya lah yang akan mengambil alih perusahaan. Sebenarnya memikul beban besar ini terasa berat untuk Khalifa, namun mengingat bahwa hanya ada dirinya di rumah ini membuat tanggung jawab itu ada padanya. Khalifa menghela napas, pekerjaannya sedikit tertunda atas kehadiran Alby. “Uang bulanan?” tanya Khalifa. “Heem, maafin sebab baru sekarang aku kasih.” “Tidak perlu, aku tidak butuh!” Khalifa menolak, menggeser kembali amplop putih danterse