“Aku tidak akan menceraikanmu, inii tidak sesuai perjanjian, jadi aku ingin kita menjalankan sesuai perjanjian,” ucap Alby menolak. Jelas ia menolak, karena Khalifa begitu tiba-tiba dengan ucapannya itu, membuat Alby curiga bahwa ada sesuatu yang Khalifa sembunyikan. “Kak—”“Hanya 22 hari lagi, kan? Kenapa tidak mencoba untuk menjalani saja dulu?” Ucapan enteng Alby membuat Khalifa mendengus kesal ke arahnya. “Aku tidak bisa tinggal di sini, aku harus meneruskan perusahaan Papa,” ucapnya beralasan. Khalifa tak peduli, intinya hari ini ia harus resmi bercerai dengan Alby. Terikat akan pernikahan ini membuatnya terbelunggu rasa sesak, lebih tepatnya ia tak enak setelah mendengar ucapan adiknya—Nazeeva.Ya, Khalifa mendengarkan percakapan Nazeeva tadi dan saat itu pula Khalifa sadar bahwa kehadirannya justru membebani orang lain. Kehadirannya sebenarnya tidak diinginkan, hanya saja mereka diam karena tak ingin menyakiti hatinya. Khalifa tidak ingin dikasihani, itu mengapa Khalifa lebi
Pagi buta, selepas Alby selesai melakukan salat subuh, pria itu langsung bersiap-siap. Mandi, berganti pakaian dan yah … tampil lebih tampan dari biasanya. Niatnya sekarang … ingin PDKT bersama Khalifa, yah, walau gagal di awal tak memungkinkan gagal di akhir kan? Alby terkekeh, menyisir sebagian rambutnya yang sudah rapi. Ia menatap dirinya dalam pantulan cermin. “Kau tampan, tidak mungkin jika Khalifa menolak pesona seorang Albyshaka!” ucapnya percaya diri. Alby kembali terkekeh, lantas menyemprotkan sebagian parfum ke tubuhnya, tidak terlalu banyak, takut Khalifa malah makin terklepek-kelepek, ntar … kan makin cinta deh. Tak sadar ternyata butuh satu jam untuk Alby bersiap-siap, biasanya paling lama setengah jam, ini sejam! Lagi-lagi Alby terkekeh. “Pokoknya hari ini harus jadi!” ucap Alby penuh tekad. Alby berjalan menuju pintu setelah dirasa beres semuanya, untung jarak kamar dirinya dengan Khalifa hanya tertutup satu ruangan saja membuat Alby mudah untuk pergi menujunya.
Alby menatap bangunan besar di depannya, rumah Khalifa, menjadi rumah yang akan Alby datangi. Seorang satpam berlari untuk membuka gerbang yang tertutup membuat Alby tersenyum merekah. “Wah, den Alby ya? Silahkan masuk Den,” ucap satpam tersebut yang tidak diketahui namanya.“Khalifanya ada, Pak?”“Ada den, silahkan masuk,” ujarnya mempersilahkan. Alby melajukanlantas mengemudi kembali untuk sampai ke halaman depan rumah. Alby berhenti, memarkirkan mobilnya di tempat yang seharusnya. Pria itu lantas keluar, mengambil koper yang ada di bagasi. “Bismillah! Semangat dapetin cinta Khalifa, Al!” ucapnya penuh semangat.Alby merapikan terlebih dahulu kemejanya, rambutnya sedikit ia sugarkan ke belakang hal itu membuat damage Alby bertambah plus-plus. “Assalamu'alaikum?” Alby mengucap salam sembari mengetuk pintu. Alby menunggu sejenak, dirasa tak ada respon Alby kembali mengucap salam sembari mengetuk pintu. Kaki Alby sedikit gemeter, lebih tepatnya resah karena pintu tak kunjung di
Glek! Alby menelan salivanya gusar. Keringat dingin mulai bermunculan di pelipisnya. Rasa takut menyelinap masuk sebelum film itu diputar. “Yang mana?” tanya Khalifa menunjukkan sebuah kaset yang mungkin akan mereka tonton. Film horror yang akan menemani mereka malam ini, siapa yang nanti ketakutan saat menonton bahkan sampai berteriak maka dia kalah dalam tantangan. Sebaliknya, jika tidak takut maka dialah pemenangnya. Bagi Khalifa hal ini jelas kesenangan untuknya. Menerima tantangan ini sama hal nya membuka harapan lain, jika ia bisa memenangkannya maka ada satu keinginan yang ia mau dari Alby, dan itu … akan ia menangkan hari ini juga. “Hm, judulnya lumayan serem juga,” gumam Khalifa melihat-lihat kaset yang bergambar film-film horror.Alby hanya berdehem, jangankan untuk melihat, mendengarnya saja sudah membuat nyalinya menciut. Ah, kenapa pula ia harus menerima tantangan ini? Kalau kalah?“Kak, mau judul yang mana?” tanya Khalifa membuat Alby menoleh. “Judulnya ada Sijjin,
“Ada apa?” tanya Alby berpura-pura. “Tolong, itu, itu …” Khalifa mengatur rasa takutnya lebih dahulu, sampai sadar akan sesuatu. Dua menit lama terdiam, Khalifa langsung melepas pelukan itu dengan terkejut. Mendorong dada bidang Alby. “Ah, maaf, aku tak sengaja.” Khalifa beranjak dari pangkuan Alby namun sang empu justru menahannya. Khalifa melotot, “kak?”“Kamu berteriak Khalif, barusan kamu menjerit keras. Em, bukankah itu … takut?”“Apa?” Khalifa terperangah. “Ingat tantangannya kan?” tanya Alby tersenyum miring. “I--itu, aku takut sebab ular, bukan karena filmnya.”“Sama aja, kau … takut!” ucap Alby membisik tepat ditelinga Khalifa. Buku kuduk Khaliifa meremang, hembusan napas yang dikeluarkan Alby menyentuh lehernya. Khalifa menelan salivanya susah.“Terima saja kekalahanmu Khalif, tak perlu bersusah-susah menyangkal bahwa kau tidak takut. Sudah jelas kamu takut!”Khalifa menatap kesal. “Awas!” ujarnya memaksa diri untuk terlepas dari pelukan Alby. Alby hanya tersenyum, me
“Ini sudah menjadi urusanku, Khalif! Kamu istri aku! Tanggung jawab aku, dan kamu apa-apa yang sekarang aku jaga!” ucap Alby tegas. Khalifa terdiam, matanya melebar sempurna mendengar ucapan Alby. Namun dalam hitungan detik tiba-tiba Khalifa tertawa. “Ya ampun, Kak. Kau … mengunci diriku di rumah aku sendiri?” tanya Khalifa tak percaya. “tunggu deh, ini rumahku, ini hidupku, tapi kenapa kau yang bermasalah?” Untuk pertama kalinya Khalifa memberanikan diri dalam menjawab, tak ada rasa takut yang ia perlihatkan. “Okke aku tau, aku istri kamu. Tapi biar aku ingatkan jika kamu lupa, Kak. Aku … bukan istri sungguhan kamu, aku hanya pengantin pengganti yang tak lama lagi akan bercerai dengan kamu. Oh, seharusnya hari ini saja kita sudah bercerai bukan? Tapi kenapa kau justru mengundurkan perpisahan di antara kita?”“Khalif—”“Perlu aku ingatkan juga! Ingat Khanza Kak … Ingat Khanza! Wanita yang kamu cintai! Harusnya kamu sibuk cari dia, bukan sibuk ngurusin orang lain.”“Tapi aku—-”“Ja
Tangan Alby terkepal, rahangnya makin mengeras saat melihat Gama menangkup kedua pipi Khalifa. Kobaran api di dalam hati membakar seluruh jiwa Alby, ia cemburu, sangat cemburu. Apalagi saat Gama dengan beraninya menarik Khalifa ke dalam pelukan, rasanya Alby tak tahan untuk tidak menghajarnya. Alby makin marah, tak rela istrinya disentuh pria lain membuatnya melangkah mendekat. Namun sebelum itu… “Kaden juga pernah bilang gitu, Kak. Tapi, kenapa dia yang justru meninggalkan aku lebih dahulu? Apa dia enggak tau kalau aku mencintainya? Apa dia enggak tau kalau aku selalu menunggunya tiap hari?” Khalifa memalingkan wajahnya. “Dia berbohong, untuk apa aku hidup demi orang yang mencintaiku jika pada akhirnya mereka juga meninggalkan aku?”“Al?”“Ayo pergi Kak.” Khalifa beranjak di tempat tersebut, sebelum itu ia menghapus air matanya yang tadi jatuh. Gama hanya bisa menghela napas saat Khalifa mulai berjalan, ia mengikuti dari belakang. Alby yang hendak menuju Gama malah tertinggal ke
“Apa?!”Seakan jantung Alby berhenti berdetak, ponselnya bahkan langsung terjatuh saking kagetnya. Mobil yang melaju cepat langsung di rem dadakan tepat di tepi jalan. Dirinya masih terkejut. “Apa maksud Bunda?” tanya Alby membenarkan, takut kalau tadi ia salah mendengar.“Khanza udah ditemukan Al, dia ada di rumah sakit. Cepatlah datang ke sini bersama Khalifa!”“Tapi—”“Dia kritis, entah apa yang terjadi padanya tapi … kondisinya tidak baik-baik saja,” ucap Laila dengan napas menggebu. Di sebrang sana Laila resah, mondar-mandir di depan ruangan di mana Khanza berada. “Se--sekarang Alby bakal ke sana!”! ucap Alby.“Baiklah, Bunda tunggu kalian,” ucap Laila lantas sambungan itu terputus. Alby menatap kosong jalan di depannya. Tak menyangka kalau Khanza … sudah ditemukan? “Jika Khanza telah kembali, lalu pernikahan kami … ?” Alby bergumam lirih. “Ayah dan Bunda akan menjadi saksi, apabila Khanza sudah ditemukan, maka kau harus menceraikanku saat itu juga, Kak.” Ucapan Khalifa sa
“Assalamu'alaikum…?” Khalifa mengucap salam saat ia masuk ke dalam rumah, ah, bukan hanya Khalifa, Alby juga ada. Keduanya masuk dengan raut muka terlihat capek. “Kak, eum … aku mau mandi dulu ya, seharian kerja bikin aku gerah,” ucap Khalifa pada Alby. Alby tersenyum. “okke, tapi jangan lama-lama ya, udah malam soalnya. Ah iya, pake air hangat biar nggak kedinginan.”Khalifa terkekeh. “Aku bukan kamu yang harus pake air dingin kali, aku kan nggak alergi dingin,” timpal Khalifa menjawab. “Masalahnya kan udah malam, nggak baik buat kesehatan.”“Enggak bakal kak. Udah, lagian aku mandi bakal cepet kok. Dah ya, aku mau mandi dulu!” ucap Khalifa gegas berlari namun dengan cepat Alby menahannya lebih dahulu membuat Khalifa kembali berbalik menatap Alby. “Kalo udah mandi nanti turun ke bawah ya? Aku mau masakin kesukaan kamu. Kita makan bareng,” ucap Alby. Kebetulan sekali keduanya belum makan membuat Khalifa mengangguk antusias. “Cium dulu sini.” Alby menampilkan pipi kanannya. Ia men
Seminggu berlalu…Seorang wanita berjalan dengan menyeret kopernya. Tergesa-gesa sebab terlambat,bahkan saking tergesa-gesanya, wanita itu tanpa sengaja menabrak bahu seseorang membuat wanita itu menyeru minta maaf. “Ya ampun maaf, Mas. Saya enggak sengaja!” ucapnya sedikit menundukkan kepala, detik berikut kepala wanita itu mendongak. Namun… “Lho?” Sesaat pandangan keduanya bertemu. “Gama?”“Khanza?” Keduanya berseru secara berbarengan. Gama dengan pandangan mata menelisik, sedang Khanza menatap dengan tarikan napas. “Kukira siapa, taunya kamu,” ucapnya merubah raut wajah. Khanza menghela napas, tanpa sepatah kata apapun perempuan itu pergi begitu saja. Gama menaikan alisnya, namun sedetik kemudian ia mengedikkan bahu, ikut pergi dengan menyeret kopernya. Ia tahu yang dirinya tabrak, untuk itu tidak peduli baginya.Gama memilih duduk setelah melakukan check up,melalui maskapai yang telah memberitahukannya kini ia duduk menunggu antrian untuk masuk ke dalam pesawat. Gama menghel
Pagi ini Khalifa bangun lebih awal, melihat sosok suaminya yang tertidur pulas. Ah, mungkin efek cairan infus yang masuk ke dalam tubuhnya, membuat pria itu terjaga dari tidurnya. Merasa pegal dibagian lengannya, Khalifa merenggangkan otot-ototnya. Tidur seranjang dengan Alby jelas membuatnya tak bergerak sana-sini, menjadikan ia merasakan pegal. Khalifa menghela napas, ia menunduk melihat pakaiannya yang kotor nan penuh darah, lupa, bahwa memang ia tak mengganti baju. Ah, jangankan untuk mengganti baju, justru hatinya saat itu resah memikirkan Alby. “Aku harus memberitahukan Bunda. Jika tidak mereka pasti khawatir.” Khalifa menatap terlebih dahulu Alby, mumpung pria itu masih tertidur membuat Khalifa gegas pergi. Selain merasa tak nyaman dengan pakaiannya ia juga tak nyaman dengan keadaan ini. Sungguh, walau ada perasaan lega melihat Alby selamat namun ada sisi lain yang membuatnya resah. Mengenai Khanza … Ia belum berani untuk menghadap padanya dan mengatakan yang sejujurnya. *
Lihatlah, wajah Alby yang dulunya tampan kini banyak dipenuhi luka. Beberapa luka itu diperban, entah bagian kepala, rahang, maupun anggota tubuh lainnya. Tak kuasa melihat keadaannya seperti ini, Khalifa menunduk dengan hati penuh sesal. “Maafin, Alifa Kak… maaf ….” Khalifa terduduk di kursi yang berada di pinggir ranjang tersebut, menggenggam tangan Alby yang begitu kekar. Dulu, tangan inilah yang selalu siap siaga menggenggam tangannya. “Andai aku tidak menurutinya, andai kita kabur saat itu mungkin keadaan kamu enggak bakal separah ini Kak. Bodoh, harusnya aku menolak ajakanmu untuk melawan mereka. Bodoh!” Khalifa merutuk dirinya, menarik tangan Alby untuk ia kecup. “Sekarang aku baru menyadarinya, Kak. Kalau aku … benar-benar takut kehilangan kamu. Aku takut ….” Khalifa tak bisa lagi membendung tangis yang kian jatuh menimpa pipinya, bengkak sudah kedua matanya sebab terus menangis. “Setelah kehilangan Mama dan Papa, aku enggak mau kehilangan kamu, Kak. Boleh aku egois? Aku i
Khalifa menunduk, semakin menangis tertahan dengan tangan yang masi menyentuh kepala Alby. “Kak … tolong … jangan tinggalin aku kayak gini … tolong bangunlah….”“Uhuk!”Sebuah semburat darah tiba-tiba keluar di bibir Alby tatkala pria itu terbatuk. “Kak Al?” Terkejut, Khalifa mendapati Alby membuka matanya dengan ringisan kecil yang keluar. “Khalifa….”Sudah menangis deras kini Khalifa menambah tangisnya tatkala suara lembut itu terdengar. Bergetar hatinya mendengar hal itu. “Kak Al….” Khalifa menangis, memeluk kepala Alby. “maafin aku, Kak. Maaf….”Alby memejamkan matanya menahan rasa sakit, ia menggeleng. “aku kembali untuk kamu, Alif….”Khalifa mengangguk, entah harus bagaiamana tapi ia benar-benar senang tatkala Alby kembali. Terbangun untuk menepati janjinya. Menggenggam erat tangan yang amat dingin itu Khalifa berucap, ““Kita harus ke rumah sakit dulu, Kak. Secepatnya luka kakak harus diatasi,” ucap Khalifa melihat keadaan Alby yang kian parah. “Kakak masih sanggup berdiri?
“Kau akan mati ditanganku!” Bugh! Alby langsung menghindar saat orang itu hendak menendang, belati yang dirinya pegang ia tusukkan ke depan untuk mengenal tubuh Alby, namun dengan gesit, Alby menghindar secara agresif. Memilih melawan dari belakang, Alby bisa menghajarnya dari belakang tersebut. Seseorang itu terjatuh, mukanya makin memerah. Satu diantara mereka berjalan maju, membuat Alby harus melawan dua orang sekaligus. Ah tidak, bahkan satunya lagi ikut-ikutan maju, menambah orang yang harus Alby lawan. Cukup kewalahan sebab mereka memiliki senjata masing-masing, sedang Alby hanya menggunakan tangan kosong sebagai tameng dirinya. Satu kali dua kali ia mendapat pukulan yang tak bisa ia hindari, bahkan goresan belati pula harus terkena sampai kulitnya saking keagresifan mereka. Murka, mereka murka sebab merasa terkalahkan oleh Alby. Alby mengatur napasnya dalam-dalam. Melawan 10 orang sekaligus benar-benar menguras tenaganya. Apalagi tidak diberi jeda untuk berhenti se
Khalifa berlari dan langsung memeluk Alby. Ia menangis dengan tubuh bergetar hebat. “Kak Al, makasih, makasih telah kembali….” Alby menelan salivanya pelan, bergetar hatinya kala melihat keadaan Khalifa seperti ini. “Maaf, maafkan aku baru datang Alif. Maaf telah meninggalkan kamu seorang diri.” Khalifa menggeleng, ia melerai pelukannya, mendongak untuk melihat wajah Alby. “Mereka … mereka ingin melecehkan aku, Kak. Aku--aku takut ….” Alby melihat wajah ketakutan itu, ia pegang tangan Khalifa untuk menenangkan gadisnya. Namun, yang ia lihat justru gurat merah dari pergelangan tangannya. Khalifa menunduk, ia masih terisak. “Mereka pegang tangan aku dengan keras Kak… mereka kasar dan menyeramkan….” Mendengar lirihan itu rahang Alby mengeras, menoleh ke kanan, ia dapati 11 orang itu yang tampak tertawa saja. “Ayo kabur, Kak. Mereka bukan tandingan kita,” ucap Khalifa kembali. Alby menatap Khalifa, memilih kabur? Itu bukan dirinya. “Tidak Alif, mereka harus membayar at
Nyatanya bukan sehabis magrib Khalifa pulang, melainkan sehabis isya baru ia bisa pulang. Jangan tanyakan kenapa, karena saat ini Khalifa ingin sendirian, menjadikan ia habiskan beberapa waktu sendirian di kantor. Dan sekarang waktunya ia pulang beberapa security yang jaga pula sebagian sudah pulang, paling hanya beberapa yang tetap berjaga karena bekerja sesuai shif. Khalifa berjalan terburu-buru menuju mobilnya, lantas melaju membelah jalan tanpa menunggu lama. Takut kemalaman Khalifa makin mempercepat lajunya. Sebuah dering ponsel terdengar namun tak Khalifa gubris untuk mengangkatnya. Memilih abai Khalifa terus melajukan mobilnya di tengah keramaian. Namun, kala ia berbelok ia harus di hadapkan dengan jalan yang cukup sepi. “Huft, semoga tidak terjadi apa-apa.” Khalifa mengucap doa dalam hati. Mau bagaimana pun ia perempuan, dan jelas ia takut jika tiba-tiba ada hal aneh yang melintas. Suara bisingnya motor terdengar dari arah belakang, memusat perhatian Khalifa untuk m
Khalifa menangkup kedua pipi di atas meja, bosan melanda hatinya. Hari ini tugas yang diberikan Aavar dalam mempelajari berbagai perbisnisan cukup menguras pikiran dan tenaga. Ternyata susah sekali untuk memahami berbagai persoalan dalam perbisnisan ini. Jika bukan karena otak yang encer mungkin Khalifa memilih tidur saja di atas kasur. Hari ini jam sudah menunjukan pukul empat sore. Tidak terasa, dari pagi sampai saat ini Khalifa menghabiskan waktu hanya di kantor saja, tentunya dengan Khanza. Namun, saat ini perempuan itu entah pergi ke mana, katanya izin keluar sebentar. “Khalifa, Om pulang lebih dulu ya, istri Om kasihan di rumah sendirian.” Tiba-tiba suara Aavar terdengar setelah pintu terbuka. “Kamu pulang lah, besok bisa dilanjutkan.” Punggung Khalifa berdiri tegap. “Nggak deh, Khalifa mau lembur. Soalnya masih banyak banget yang belum dikerjakan Om.” Aavar menoleh. “lembur?” Ia tertawa. “ya ampun Khalifa, ini kan cuma belajar aja. Gak usah terlalu dibuat serius jug