Kinara membekap mulutnya sendiri, terkejut mendapati Aarav yang … terbaring lemah di atas ranjang. “Mas?!” Kinara dengan cepat menyerobot masuk, tak sadar air matanya jatuh tatkala mata itu menatap jelas wajah suaminya. “Mas Aarav ….” Tak bisa membendung tangis, Kinara dengan sigap memeluk tubuh Aarav yang kurus kering, pria itu amat tirus, bibirnya pucat, dan … matanya memejam. “Mas, kamu kenapa?” Kinara menangis, menggoyangkan Aarav agar membuka matanya. “Mas! Ini aku istri kamu!” teriaknya semakin terisak menangis. Namun lagi, Aarav tidak membuka matanya. “Mas, kamu kenapa ….?” Semakin menangis terisak, Kinara dibuat sesenggukan tatkala mata itu tak kunjung terbuka. “Kami tidak tau apa yang terjadi dengan Aarav.” Ucapan Devan yang terdengar di telinga Kinara membuat perempuan itu menoleh. “Apa maksudmu? Katakan, apa maksudmu?” Kinara menatap Devan dengan sorot mata tajam. Menunggu Devan agar segera mengatakan yang sebenarnya. “Sepertinya dia tidak akan bangun lagi, Kinar. Do
“Kau sudah menemukan Kinara?” tanya Vanzo menatap cucunya yang baru pulang dari pencarian Kinara. Sekarang Vanzo ikut tinggal di kediaman Aarav, melihat keadaan di mana Kinara tidak ada membuat Vanzo ikut mencari. “Belum Kek, entah ke mana Kinar pergi, sampai-sampai kami harus kewalahan dibuatnya.” Aarav merasa frustasi, menjatuhkan bobot tubuhnya di atas kursi sofa. Pria itu memijit pelipis, terasa pusing karena setiap hari waktunya digunakan untuk mencari Kinara. “Kinara tidak akan pergi jauh, kakek yakin itu. Hanya saja mungkin tempat persembunyiannya yang memang sulit untuk dicari, membuat kita harus extra sabar dalam mencarinya.”Aarav menghembuskan napas lelah, mata pria itu tampak sekali bundaran hitam, sangat terlihat bahwa Aarav kurang tidur. Bagaimana mau tidur jika istrinya saja belum ditemukan? Bagaimana hidupnya akan tenang sedang di sisi lain ada kehidupan lain yang dia bawa? Ya, anaknya. Kinara membawa anaknya. “Biar kakek yang cari, kau istirahat saja Aarav.”“Tidak
“Jadi maksud Kakek, karena kecelakaan itu mengakibatkan Mas Aarav kehilangan kesadaraannya? Itu berarti, apa-apa yang dia rasa tidak akan merasakan apapun selain perasaan hampa nak kosong?” tanya Kinara tidak percaya. “Iya, itulah maksud dari perkataan Dokter saat itu. Karena memang, saat Aarav tersadar … dia tak memiliki gairah hidup di dalamnya. Tatapannya kosong, hampa, bahkan tak sekali dua kali dia terdiam saat kakek memanggil namanya.”“Tapi Mas Aarav masih hidup dan sadar kan Kek? Lalu kenapa saat aku mencoba membangunkannya dia tak kunjung bangun Kek. Ada apa dengan Mas Aarav?” Kinara menatap sayu Vanzo, meminta kejelaskan lebih mengenai Aarav. “Itu dikarenakan perasaannya yang mati. Menjadikan hati dan pikiran tidak bisa berjalan beriringan. Tapi kau tenang saja, setelah ini Aarav pasti akan terbangun. Dia sering begitu, karena hidup yang tampak tidak ada rasa membuat tidur Aarav pun tak merasakan apapun. Jadi, sebesar apapun kita mencoba membangunkannya, jika bukan karena d
Rombak ulang dari part 112-114. Yang pernah baca sebelumnya bisa baca ulang ya. Terimakasih. . . . Kinara mengelus perutnya yang sudah memasuki 8 bulan, tak sadar bahwa kemarin baru 7 bulan, sekarang tau-tau sudah 8 bulan saja. “Kamu bakal cepat lahir sayang, tetap bertahan di sana ya? Sehat-sehat,” ujar Kinara tersenyum kecil. Perempuan itu tengah duduk di tepi ranjang, menunggu Aarav yang tadi pergi ke kamar mandi. Menunggu suaminya untuk kembali. Seperti biasa, setiap harinya Aarav tidak pernah berbicara. Pria itu dingin, hanya saja bukan dingin seperti awal melainkan dingin tanpa perasaan apapun. Hatinya masih kosong, membuat Kinara harus berusaha keras untuk mengembalikan perasaannya. Malam ini Kinara memilih untuk tidur bersama, kemarin-kemarin Aarav selalu menatapnya dengan tatapan dingin namun kosong, seolah mengatakan kalau dirinya tidak boleh tidur seranjang. Kala itu Kinara menurut, tidur di tempat lain demi ketenangan Aarav. “Semoga Ayah kalian cepat sembuh dari p
Suara kicauan burung di pagi hari menjadi pemicu seseorang mengerjapkan mata. Dia, Aarav. Mengerjakan matanya tatkala kicauan burung itu semakin nyaring masuk ke dalam telinga. Perlahan, mata itu terbuka lebar. Terdiam dengan tatapan kosong, manik hitamnya menatap lurus atap-atap. Ia terdiam, tampak sekali hampa yang dirinya rasakan. “Anak kita bakal perempuan, Mas.”Suara yang amat familiar membuat Aarav menoleh ke kanan, di mana ia menemukan seorang wanita yang … entahlah. Tidak ada gairah sedikitpun dalam menatapnya. Aarav terdiam kembali. Yng sering dirinya lakukan tak lebih berkedip mata, bernapas dan terdiam. Aarav kembali menatap atap-atap, masih sama. Terasa kosong dan hampa. Sampai saat tak sengaja tangan Kinara tersimpan di bawah perutnya … jantung Aarav terasa berhenti berdetak. Pria itu menelan salivanya pelan saat melihat tangan Kinara tersimpan di sana. Gelenyar aneh terasa di dalam dirinya, namun tidak tahu apa itu. Aarav menolehkan kembali pandangan mata dalam me
“Bagaimana dengan kondisi suami saya sekarang, Dok?” tanya Kinara pada Dokter yang barusan memeriksa Aarav. Hari ini adalah hari pemeriksaan untuk Aarav, membuat Kinara mengajaknya untuk diperiksa. Ditambah Vanzo yang tidak bisa datang menjadikan pemeriksaan itu dilakukan oleh dirinya saja. “Ada sedikit perubahan pada Aarav. Sedikitnya dia sudah mulai berbicara dengan orang lain. Walau terlihat masih kebingungan tapi perubahan itu cukup bagus untuk otaknya yang berfungsi kembali.” “Apalagi yang harus aku lakukan demi meningkatkan fungsi otaknya agar terus berjalan Dok? Aku ingin Mas Aarav benar-benar sembuh dari penyakit ini,” ucap Kinara sayu. Perempuan itu menatap Aarav yang tengah duduk di kursi sofa, sendirian. Pria itu hanya terdiam, tampak kebingungan yang diperlihatkan oleh Aarav. “Kau hanya perlu mengajaknya untuk beradaptasi dengan orang-orang terdekatnya. Mengenalkan kembali lingkungannya agar bisa memahami sekitar. Jangan jauh-jauh,cukup dekatkan saja dia dengan orang-o
“Di mana—”“Pergi?!” Aarav, pria itu ternyata sudah berdiri di depan Kinara sembari membawa kayu balok. Pria itu tampak ketakutan namun juga terlihat berani. “Pergi?!” Aarav kembali berteriak, sesekali dia melihat Kinara yang kesakitan. Seakan perasaan untuk menjaga hadir, Aarav berdiri untuk melindungi Kinara. “Hah, menyusahkan!” ucap pria berwajah bengis itu. “lawan dia?!” perintahnya kemudian diangguki oleh dua orang. Dua orang berbadan kekar maju menuju Aarav, dengan sigap Aarav menghuyungkan kayu balok tersebut pada mereka, namun sayang, kekuatan Aarav yang tidak stabil membuat dua orang berbadan kekar itu tertawa keras. “Laki-laki pengecut!” desis mereka lantas menarik paksa kayu balok yang dipegang oleh Aarav. Bugh! “Mas Aarav?!” Kinara menjerit histeris tatkala satu pukulan didapat Aarav. Pria itu terjatuh. “Mas Aarav?!” Kinara menangis histeris saat seseorang menendang tubuhnya yang sudah tergeletak. “Hentikan, tolong hentikan! Lepaskan suamiku?!” Kinara menjerit hist
“Shh … sakit, perutku sakit.”“Cepat bawa ke ruang darurat!” perintah Dokter pada para perawat yang mendorong brankar. Di belakang juga Aarav berada di atas brankar, didorong menuju ruang darurat lain. Keduanya harus terpisah ruangan kala Kinara sudah dibawa ke arah lain. Ruang di mana Kinara berada berwarna lampu merah, tak jauh beda dengan Aarav yang sudah dimasukan ke ruang darurat pula. Ruangan itu berlampu merah, bertandakan bahwa keadaan mereka tidak baik-baik saja. Di belakang Anwar bingung untuk memilih antara siapa yang harus ia lihat keadaan, pasalnya Kinara dibelokkan ke arah kanan, sedang Aarav dibelokkan ke arah kiri, membuatnya bingung untuk ikut ke siapa. Karena panik yang Anwar rasakan pada akhirnya Anwar memilih menelpon kepada Vanzo, memberitahukan akan keadaan keduanya yang tidak baik-baik saja, termasuk dirinya sendiri yang tadi terkena serangan brutal. Telepon awal Vanzo tidak mengangkatnya, namun saat telepon kedua pria paruh baya itu mengangkatnya. Tak perl