“Jadi maksud Kakek, karena kecelakaan itu mengakibatkan Mas Aarav kehilangan kesadaraannya? Itu berarti, apa-apa yang dia rasa tidak akan merasakan apapun selain perasaan hampa nak kosong?” tanya Kinara tidak percaya. “Iya, itulah maksud dari perkataan Dokter saat itu. Karena memang, saat Aarav tersadar … dia tak memiliki gairah hidup di dalamnya. Tatapannya kosong, hampa, bahkan tak sekali dua kali dia terdiam saat kakek memanggil namanya.”“Tapi Mas Aarav masih hidup dan sadar kan Kek? Lalu kenapa saat aku mencoba membangunkannya dia tak kunjung bangun Kek. Ada apa dengan Mas Aarav?” Kinara menatap sayu Vanzo, meminta kejelaskan lebih mengenai Aarav. “Itu dikarenakan perasaannya yang mati. Menjadikan hati dan pikiran tidak bisa berjalan beriringan. Tapi kau tenang saja, setelah ini Aarav pasti akan terbangun. Dia sering begitu, karena hidup yang tampak tidak ada rasa membuat tidur Aarav pun tak merasakan apapun. Jadi, sebesar apapun kita mencoba membangunkannya, jika bukan karena d
Rombak ulang dari part 112-114. Yang pernah baca sebelumnya bisa baca ulang ya. Terimakasih. . . . Kinara mengelus perutnya yang sudah memasuki 8 bulan, tak sadar bahwa kemarin baru 7 bulan, sekarang tau-tau sudah 8 bulan saja. “Kamu bakal cepat lahir sayang, tetap bertahan di sana ya? Sehat-sehat,” ujar Kinara tersenyum kecil. Perempuan itu tengah duduk di tepi ranjang, menunggu Aarav yang tadi pergi ke kamar mandi. Menunggu suaminya untuk kembali. Seperti biasa, setiap harinya Aarav tidak pernah berbicara. Pria itu dingin, hanya saja bukan dingin seperti awal melainkan dingin tanpa perasaan apapun. Hatinya masih kosong, membuat Kinara harus berusaha keras untuk mengembalikan perasaannya. Malam ini Kinara memilih untuk tidur bersama, kemarin-kemarin Aarav selalu menatapnya dengan tatapan dingin namun kosong, seolah mengatakan kalau dirinya tidak boleh tidur seranjang. Kala itu Kinara menurut, tidur di tempat lain demi ketenangan Aarav. “Semoga Ayah kalian cepat sembuh dari p
Suara kicauan burung di pagi hari menjadi pemicu seseorang mengerjapkan mata. Dia, Aarav. Mengerjakan matanya tatkala kicauan burung itu semakin nyaring masuk ke dalam telinga. Perlahan, mata itu terbuka lebar. Terdiam dengan tatapan kosong, manik hitamnya menatap lurus atap-atap. Ia terdiam, tampak sekali hampa yang dirinya rasakan. “Anak kita bakal perempuan, Mas.”Suara yang amat familiar membuat Aarav menoleh ke kanan, di mana ia menemukan seorang wanita yang … entahlah. Tidak ada gairah sedikitpun dalam menatapnya. Aarav terdiam kembali. Yng sering dirinya lakukan tak lebih berkedip mata, bernapas dan terdiam. Aarav kembali menatap atap-atap, masih sama. Terasa kosong dan hampa. Sampai saat tak sengaja tangan Kinara tersimpan di bawah perutnya … jantung Aarav terasa berhenti berdetak. Pria itu menelan salivanya pelan saat melihat tangan Kinara tersimpan di sana. Gelenyar aneh terasa di dalam dirinya, namun tidak tahu apa itu. Aarav menolehkan kembali pandangan mata dalam me
“Bagaimana dengan kondisi suami saya sekarang, Dok?” tanya Kinara pada Dokter yang barusan memeriksa Aarav. Hari ini adalah hari pemeriksaan untuk Aarav, membuat Kinara mengajaknya untuk diperiksa. Ditambah Vanzo yang tidak bisa datang menjadikan pemeriksaan itu dilakukan oleh dirinya saja. “Ada sedikit perubahan pada Aarav. Sedikitnya dia sudah mulai berbicara dengan orang lain. Walau terlihat masih kebingungan tapi perubahan itu cukup bagus untuk otaknya yang berfungsi kembali.” “Apalagi yang harus aku lakukan demi meningkatkan fungsi otaknya agar terus berjalan Dok? Aku ingin Mas Aarav benar-benar sembuh dari penyakit ini,” ucap Kinara sayu. Perempuan itu menatap Aarav yang tengah duduk di kursi sofa, sendirian. Pria itu hanya terdiam, tampak kebingungan yang diperlihatkan oleh Aarav. “Kau hanya perlu mengajaknya untuk beradaptasi dengan orang-orang terdekatnya. Mengenalkan kembali lingkungannya agar bisa memahami sekitar. Jangan jauh-jauh,cukup dekatkan saja dia dengan orang-o
“Di mana—”“Pergi?!” Aarav, pria itu ternyata sudah berdiri di depan Kinara sembari membawa kayu balok. Pria itu tampak ketakutan namun juga terlihat berani. “Pergi?!” Aarav kembali berteriak, sesekali dia melihat Kinara yang kesakitan. Seakan perasaan untuk menjaga hadir, Aarav berdiri untuk melindungi Kinara. “Hah, menyusahkan!” ucap pria berwajah bengis itu. “lawan dia?!” perintahnya kemudian diangguki oleh dua orang. Dua orang berbadan kekar maju menuju Aarav, dengan sigap Aarav menghuyungkan kayu balok tersebut pada mereka, namun sayang, kekuatan Aarav yang tidak stabil membuat dua orang berbadan kekar itu tertawa keras. “Laki-laki pengecut!” desis mereka lantas menarik paksa kayu balok yang dipegang oleh Aarav. Bugh! “Mas Aarav?!” Kinara menjerit histeris tatkala satu pukulan didapat Aarav. Pria itu terjatuh. “Mas Aarav?!” Kinara menangis histeris saat seseorang menendang tubuhnya yang sudah tergeletak. “Hentikan, tolong hentikan! Lepaskan suamiku?!” Kinara menjerit hist
“Shh … sakit, perutku sakit.”“Cepat bawa ke ruang darurat!” perintah Dokter pada para perawat yang mendorong brankar. Di belakang juga Aarav berada di atas brankar, didorong menuju ruang darurat lain. Keduanya harus terpisah ruangan kala Kinara sudah dibawa ke arah lain. Ruang di mana Kinara berada berwarna lampu merah, tak jauh beda dengan Aarav yang sudah dimasukan ke ruang darurat pula. Ruangan itu berlampu merah, bertandakan bahwa keadaan mereka tidak baik-baik saja. Di belakang Anwar bingung untuk memilih antara siapa yang harus ia lihat keadaan, pasalnya Kinara dibelokkan ke arah kanan, sedang Aarav dibelokkan ke arah kiri, membuatnya bingung untuk ikut ke siapa. Karena panik yang Anwar rasakan pada akhirnya Anwar memilih menelpon kepada Vanzo, memberitahukan akan keadaan keduanya yang tidak baik-baik saja, termasuk dirinya sendiri yang tadi terkena serangan brutal. Telepon awal Vanzo tidak mengangkatnya, namun saat telepon kedua pria paruh baya itu mengangkatnya. Tak perl
“Mas Aarav---Mas Aaa—” Ucapan Kinara tercekat tatkala di depannya terlihat … Aarav? Bola mata Kinara melebar, tangis yang terkumpul di pelupuk mata berhasil jatuh membasahi pipinya. Ia tersenyum, namun pula menangis. “Mas Aarav … ?” Mendengar lirihan Kinara, Vanzo ikut menjatuhkan tatapannya ke depan. Seketika matanya melebar sempurna. Ya, tepat di hadapan koridor setelah belokan, Aarav, pria itu berdiri didampingi oleh Aavar dan Devan. Mata Aarav berkaca-kaca di kejauhan sana, menatap Kinara dengan tatapan … rindu? “Kinar ….?”Suara yang amat dirindukan Kinara berhasil membuat perempuan itu melebarkan pupil matanya. Sampai tepat saat Aarav kembali memanggil namanya, Kinara dengan gegas melepas pegangan tangan Vanzo yang menahannya. Perempuan itu kian menangis, berjalan menuju Aarav yang juga tengah berjalan menuju ke arahnya. Ya, di sisi Aarav pria itu juga melepas pegangan tangan Aavar yang menahan tubuhnya. Gegas pria itu berjalan menuju Kinara. “Mas Aarav ….” Antara tangis da
-SEASON 2-Sekuel ini akan berfokus ke anak-anaknya Kinara Aarav. Semoga sukkkaaa … . . . .. . “Sayang … sayangnya Papa, umm ….” Aarav mencium penuh wajah putrinya. Menggendong sampai mengajaknya bermain. “Haha, geli ….” Anak perempuan yang kini Aarav ajak main tertawa geli. Tertawa lepas menampilkan sederet gigi yang belum tumbuh. “Anak Papa siapa namanya, hm?”“Khanza!” Anak perempuan itu menjawab cepat. Umurnya sekarang sudah memasuki 5 tahun, menjadikan dia mengerti bahasa manusia. “Khanza apa sayang?”“Khanza Amara Andszar!”Aarav tertawa lepas melihat tingkah putrinya yang amat menggemaskan, membuat ia tak tahan untuk tidak mencium wajahnya. Wajah Khanza lebih mirip ke Kinara, sangat mirip malah. Dilihat dari bibir dan mata, putrinya itu sangat mirip dengan Kinara. “Eh, Khalifa mana?” tanya Aarav baru sadar akan putri satunya. Sebenarnya ia baru pulang kerja. Dan setiap hari Aarav selalu menyempatkan diri untuk bermain dengan putrinya itu. Seberapa sibuknya ia akan