"Pakai ini, Mas gak mau sampai istri Mas masuk angin," ucap Aarav memakaikan jaket tebal kepada Kinara. Seperti seorang anak yang dipakaikan jaket oleh orang tua mereka, Kinara pun sama, dipakaikan oleh suaminya sendiri. Kinara tersenyum, suaminya itu benar-benar memanjakannya, sangat malah, dia tidak membiarkan barang sedetik pun untuk ia bekerja, atau mungkin membantu. Semuanya selalu diurus oleh Aarav. Katanya, hamil muda itu harus mengurangi rasa beban dan strees, dan lebih penting, jangan banyak bekerja yang membuat badan lelah. Ah, liburan kali ini benar-benar dibuat manja! Membuat Kinara semakin sayang pada Aarav. Entahlah, rasa cinta dan sayang itu kian besar saja. "Makasih sayang ...." seru Kinara. Aarav mengacak rambut Kinara yang tertutup jilbab. "Cium dulu?" Tanpa embel-embel malu, Kinara dengan segera mencium seluruh muka Aarav tanpa terkecuali, membuat Aarav dibuat tertawa geli karenanya. "Makin gemes ya?" tanya Aarav diangguki oleh Kinara. "Makin sayang Mas Aarav
"Tolong, tolong mereka?!" teriak Kinara dengan suara bergetar, perempuan itu hendak berlari namun ditahan oleh salah satu pelayan. "Pak Anwar ikut turun Non, jadi Nona tak usah khawatir."Bagaimana aku tidak bisa khawatir jika suami dan adikku ada di sana?" teriak Kinara dengan napas memburu. Perempuan itu menatap Aarav yang sedari tadi terus bertarung dengan air. Di kejauhan sana pria itu mencari adiknya. Namun, kebaikan kali ini tampaknya berpihak pada Aarav, terbukti dari orang-orang yang juga ikut turun ke dasar laut. Ikut mencari perempuan yang tadi berteriak. Bahkan tak hanya itu, sebuah perahu nelayan pula berlayar ke dasar air tersebut, mencoba membantu mereka. Lusi mengepalkan tangannya saat melihat begitu banyak orang yang berkontribusi dalam menolong. Sial! Lagi-lagi rencananya harus gagal! Atau ah? Apa ia terlalu gegabah dengan melakukan rencana ini? Yang ia kira akan berhasil justru gagal total? Karena tidak ingin mendapat tuduhan dan kecurigaan, Lusi yang bersembunyi
Lusi meluruhkan tubuhnya di dekat gundukan tanah milik Ayahnya. Memeluk batu nisan bernamakan Nizam. "Ayah ... Lusi rindu Ayah ... Lusi juga rindu Ibu ...." Lirih. Lusi mengatakan kalimat tersebut dengan amat lirih. Kelopak matanya tak bisa menahan air mata yang siap jatuh, kembali meruntuhkan pertahanannya. "Lusi mau Ayah dan Ibu ...."Lusi menangis. Gadis itu memejamkan matanya dengan tangan yang setia memeluk batu nisan. "Ayah, Ayah di sana udah tenang Dek." Kinara yang sedari tadi hanya diam akhirnya bersuara. Setelah memenuhi keinginan Lusi untuk bertemu dengan Ayahnya, Kinara sedari tadi hanya terdiam menyaksikan semuanya. Ada perasaan rindu yang amat mendalam, namun pula ada perasaan sesak saat rindu itu terucap. Bagaimana tidak? Sekalipun rindu itu terobati, semuanya pasti akan berbeda. Menahan rasa dari sakitnya kehilangan, apalagi menahan gejolak sesak yang kian sakit akibat ditinggal pergi membuat Kinara merasakan di posisi Lusi. Ah tidak, seiring berjalannya waktu Kin
"Kakek tau semuanya?" tanya Aarav tidak percaya. "lalu siapa orang yang kakek maksud?" tanya Aarav. Pria itu menarik Vanzo agar sedikit berjauh dari rumah. Sebatas halaman, Aarav mengajak Vanzo berbincang empat mata. "Kau tidak akan percaya ini setelah kakek menyebutkan namanya.""Katakan saja," ucap Aarav tak sabaran. "siapa orangnya?"Vanzo tampak menarik napas terlebih dahulu sebelum berucap, "Lusi."Bola mata Aarav berhasil melebar. Pria itu terkejut dengan tatapan termangu. "Apa?" tanyanya memastikan. "Lusi, dialah dalang dibalik kecelakaan yang terjadi padamu," ucap Vanzo mengulangi ucapannya. "Alasan apa yang membuat Kakek yakin kalau Lusi adalah pelakunya?" "Bukti ini." Vanzo menunjukkan ponselnya, menunjukkan hasil di mana Lusi yang masuk ke dalam mobil Aarav secara diam-diam. Bola mata Aarav lagi-lagi dibuat terkejut. "Bukti ini berhasil ditemukan oleh Aavar. Dia menyelediki kasus ini sampai benar-benar menemukan pelakunya.""Aavar?" Raut Aarav mulai menunjukkan raut
"Lusi sekarang harus langsung istirahat, oh iya, nanti kakak bawain makan ke kamar Lusi, biar tidurnya nyenyak."Lusi tersenyum mengangguk mendapati perhatian besar dari Kinara. Ah, kakaknya ini selalu saja baik dan perhatian, membuat Lusi benar-benar amat senang. Keduanya masuk ke dalam, tak sadar kalau di belakang sana Aarav dan Vanzo sedang sibuk berbicara satu sama lain. Sampai saat Kinara masuk ke dalam ... "Kau sudah kembali?" Sebuah suara menghentikan langkah Kinara dan Lusi. Kinara terkejut, namun kemudian ia berseru, " Mas Aavar?" Baik Aavar dan Kinara mereka langsung terkekeh kecil. Aavar berjalan menuju Kinara, pria itu menatap sekilas Lusi. "Bagaimana liburan kalian? Senang atau ... telah terjadi suatu hal yang tak diinginkan?" Enteng Aavar berkata demikian. Tatapan mata sesekali mengarah pada Lusi. Kinara terdiam sejenak, mendengar pertanyaan tersebut tak memungkinkan jika ia harus berkata jujur. "Baik. Semuanya jelas baik. Kami bersenang-senang di pantai sana. Ah,
Semua orang yang ada tercengang mendengar pernyataan dari Lusi, apalagi teruntuk Kinara yang mendadak lemas. "Lusi---""Tidak!" Lusi berteriak murka saat melihat Aavar hendak menujunya. "jangan menghentikan aku ketika semua orang menyudutkan aku atas kesalahan ini! Sedari tadi aku hanya diam, tapi apa ada yang membelaku, ha? Berbeda lagi dengan laki-laki pembunuh itu, kalian langsung membelanya! Tidak menyudutkannya!" Lusi tertawa hambar, tangannya dengan kasar menghapus air mata yang jatuh ke pipi. "Lusi ... kakak---"Tanpa mendengar ucapan Kinara, Lusi berlari meninggalkan semua orang yang ada. Dia berlari dengan tangis yang berhasil jatuh secara terus-menerus. Mata Kinara berkaca-kaca melihat kepergian Lusi. Matanya menunduk untuk melihat telapak tangan yang sempat menampar Lusi. Ia ... telah menampar adiknya. Lusi yang tidak pernah ia bentak seberapa nakal anak itu. Apalagi menampar seberapa susahnya Lusi apabila diatur. Tapi dengan mudahnya ia telah mengecewakan adiknya? "K
"Bi, tolong bawa ini ke kamar Kinar ya? Pastiin kalau dia makan!" ucap Aarav memberikan nampan pada Bi Wawa. "Iye Den, kalaupun Non Kinar nolak lagi, Bibi bakal paksa dia buat makan!" ujarnya dengan tegas. Aarav mengangguk saja, pria itu menatap kepergian Bi Wawa ke dalam kamar. Rasa cemas, khawatir dan takut Aarav rasakan saat Kinara enggan makan. Perempuan itu menolak untuk makan setelah tiga kali dikirimkan oleh Bi Wawa. Lihatlah, bahkan menjelang malam pun perempuan itu tak mau keluar kamar atau bahkan makan, membuat Aarav nambah khawatir saja. Aarav menatap pintu yang tertutup, pria itu menghembuskan napas gusar. Tak bisa dipungkiri, bahwa ketakutan ini pada akhirnya terjadi juga. Kinaranya marah tanpa mau mendengarkan penjelasannya terlebih dahulu. Aarav berjalan gontai menuju kamar Lusi, ah, gadis itu sama seperti kakaknya, tidak keluar kamar atau bahkan menerima makanan barang satu suap saja. Keduanya memiliki sikap yang sama, "Lusi?" Aarav memanggil namanya sembari menge
"Apa yang Mas lakukan?!" teriak Kinara membuang pisau tersebut ke sembarang arah. Napas perempuan itu menggebu-gebu, tangisan yang sudah basah makin basah jatuh ke pipinya. "Apa kamu tidak waras, hah?" teriak Kinara marah, namun dibalik itu dengan sigap Kinara memeluk tubuh Aarav dan menangis di sandaran dadanya. "Kau tidak waras Mas ... kau sudah tidak waras ...," ujarnya tersedu-sedu. Siapa yang menyangka bahwa Aarav tadi nekad ingin menusukkan pisau tersebut di dada tepat jantungnya? Siapa yang mengira kalau Aarav akan melakukan sampai sejauh itu? "Ini bukan jantungku, Kinar. Ini bukan jantungku ...," ucap Aarav dengan tatapan sendu. "Ini jantung Ayahmu. Kau ingin jantung ini kan? Maka ambil Kinar, ambil jantung ini. Mas ... Mas tidak membutuhkannya. Mas bahkan rela mati jika memang kamu yang meminta, Mas ... ""Diamlah!" teriak Kinara dengan suara parau. Tampaknya suara perempuan itu sedikit habis karena tangisan, membuat Kinara hanya menjawab dengan seadanya. "Kinar memang m