Hari ini Lusi libur, menjadikan waktu terasa panjang baginya. Dan tentu, rencana yang sedang ia buat semakin dekat. Membunuh Aarav! Benar, ia akan memikirkan cara agar kematian Aarav cepat laki-laki itu dapat. Dunia yang kejam menutup mata hati Lusi. Rasa sakit yang dipendam tak mampu meluluhkan hatinya bahwa sebuah pembunuh adalah dosa besar. Lusi tidak peduli, entah dicap apa Lusi akan menerima konsekuensi, termasuk sekarang. Ia akan melakukan apapun asal Aarav berhasil masuk ke dalam jebakannya. Tentunya tanpa diketahui Kinara. "Kak Kinar?" Lusi tersenyum polos kala mendapati kakanya hanya lesehan saja di ruang tengah. Wanita itu sedang menonton TV. "Eh, ada apa Lusi? Baru bangun?"Lusi mengangguk, pura-pura mengiyakan."Kak, Lusi kan libur ... libur panjang lagi. Lusi bosan kak," ucapnya membuat Kinara mengernyit. Melihat ketidak mengertian Kinara membuat Lusi langsung berkata, "kita liburan yuk kak? Ke pantai, kayaknya seru," ucap Lusi penuh girang. Gadis itu menatap binar K
"Khusus tiga hari ini ... kita akan pergi berlibur ...!" seru Aarav penuh kegirangan. Diikuti Kinara, perempuan itu tertawa renyah, dia menoleh pada Lusi yang ikut tertawa lebar. Ah, Lusi pasti sangat senang karena Aarav mengabulkan keinginannya dalam berlibur ke pantai. Kemarin, Kinara langsung memberitahukan pada Aarav akan keinginan Lusi yang katanya ingin liburan. Tak disangka, Aarav langsung menyetujuinya tanpa bertanya ini-itu, pria itu langsung mengiyakan tanpa syarat apapun, membut Kinara benar-benar senang bukan kepalang. Bagaimana tidak? Ia yang tidak pernah liburan diajak untuk berlibur, tentu hal tersebut tidak boleh ia sia-siakan. Sebelumnya barang-barang yang akan dibawa sudah dikemasi, membuat ketiga, ah bukan, sebenarnya Aarav mengajak pula semua pelayan yang ada di rumahnya untuk ikut bergabung. Sekitar 5 pelayan yang ada di rumahnya, membuat rumah itu kini kosong. Kini, orang yang akan berlibur itu langsung meluncur menuju tempat yang akan diliburi. Dengan dikemud
"Pakai ini, Mas gak mau sampai istri Mas masuk angin," ucap Aarav memakaikan jaket tebal kepada Kinara. Seperti seorang anak yang dipakaikan jaket oleh orang tua mereka, Kinara pun sama, dipakaikan oleh suaminya sendiri. Kinara tersenyum, suaminya itu benar-benar memanjakannya, sangat malah, dia tidak membiarkan barang sedetik pun untuk ia bekerja, atau mungkin membantu. Semuanya selalu diurus oleh Aarav. Katanya, hamil muda itu harus mengurangi rasa beban dan strees, dan lebih penting, jangan banyak bekerja yang membuat badan lelah. Ah, liburan kali ini benar-benar dibuat manja! Membuat Kinara semakin sayang pada Aarav. Entahlah, rasa cinta dan sayang itu kian besar saja. "Makasih sayang ...." seru Kinara. Aarav mengacak rambut Kinara yang tertutup jilbab. "Cium dulu?" Tanpa embel-embel malu, Kinara dengan segera mencium seluruh muka Aarav tanpa terkecuali, membuat Aarav dibuat tertawa geli karenanya. "Makin gemes ya?" tanya Aarav diangguki oleh Kinara. "Makin sayang Mas Aarav
"Tolong, tolong mereka?!" teriak Kinara dengan suara bergetar, perempuan itu hendak berlari namun ditahan oleh salah satu pelayan. "Pak Anwar ikut turun Non, jadi Nona tak usah khawatir."Bagaimana aku tidak bisa khawatir jika suami dan adikku ada di sana?" teriak Kinara dengan napas memburu. Perempuan itu menatap Aarav yang sedari tadi terus bertarung dengan air. Di kejauhan sana pria itu mencari adiknya. Namun, kebaikan kali ini tampaknya berpihak pada Aarav, terbukti dari orang-orang yang juga ikut turun ke dasar laut. Ikut mencari perempuan yang tadi berteriak. Bahkan tak hanya itu, sebuah perahu nelayan pula berlayar ke dasar air tersebut, mencoba membantu mereka. Lusi mengepalkan tangannya saat melihat begitu banyak orang yang berkontribusi dalam menolong. Sial! Lagi-lagi rencananya harus gagal! Atau ah? Apa ia terlalu gegabah dengan melakukan rencana ini? Yang ia kira akan berhasil justru gagal total? Karena tidak ingin mendapat tuduhan dan kecurigaan, Lusi yang bersembunyi
Lusi meluruhkan tubuhnya di dekat gundukan tanah milik Ayahnya. Memeluk batu nisan bernamakan Nizam. "Ayah ... Lusi rindu Ayah ... Lusi juga rindu Ibu ...." Lirih. Lusi mengatakan kalimat tersebut dengan amat lirih. Kelopak matanya tak bisa menahan air mata yang siap jatuh, kembali meruntuhkan pertahanannya. "Lusi mau Ayah dan Ibu ...."Lusi menangis. Gadis itu memejamkan matanya dengan tangan yang setia memeluk batu nisan. "Ayah, Ayah di sana udah tenang Dek." Kinara yang sedari tadi hanya diam akhirnya bersuara. Setelah memenuhi keinginan Lusi untuk bertemu dengan Ayahnya, Kinara sedari tadi hanya terdiam menyaksikan semuanya. Ada perasaan rindu yang amat mendalam, namun pula ada perasaan sesak saat rindu itu terucap. Bagaimana tidak? Sekalipun rindu itu terobati, semuanya pasti akan berbeda. Menahan rasa dari sakitnya kehilangan, apalagi menahan gejolak sesak yang kian sakit akibat ditinggal pergi membuat Kinara merasakan di posisi Lusi. Ah tidak, seiring berjalannya waktu Kin
"Kakek tau semuanya?" tanya Aarav tidak percaya. "lalu siapa orang yang kakek maksud?" tanya Aarav. Pria itu menarik Vanzo agar sedikit berjauh dari rumah. Sebatas halaman, Aarav mengajak Vanzo berbincang empat mata. "Kau tidak akan percaya ini setelah kakek menyebutkan namanya.""Katakan saja," ucap Aarav tak sabaran. "siapa orangnya?"Vanzo tampak menarik napas terlebih dahulu sebelum berucap, "Lusi."Bola mata Aarav berhasil melebar. Pria itu terkejut dengan tatapan termangu. "Apa?" tanyanya memastikan. "Lusi, dialah dalang dibalik kecelakaan yang terjadi padamu," ucap Vanzo mengulangi ucapannya. "Alasan apa yang membuat Kakek yakin kalau Lusi adalah pelakunya?" "Bukti ini." Vanzo menunjukkan ponselnya, menunjukkan hasil di mana Lusi yang masuk ke dalam mobil Aarav secara diam-diam. Bola mata Aarav lagi-lagi dibuat terkejut. "Bukti ini berhasil ditemukan oleh Aavar. Dia menyelediki kasus ini sampai benar-benar menemukan pelakunya.""Aavar?" Raut Aarav mulai menunjukkan raut
"Lusi sekarang harus langsung istirahat, oh iya, nanti kakak bawain makan ke kamar Lusi, biar tidurnya nyenyak."Lusi tersenyum mengangguk mendapati perhatian besar dari Kinara. Ah, kakaknya ini selalu saja baik dan perhatian, membuat Lusi benar-benar amat senang. Keduanya masuk ke dalam, tak sadar kalau di belakang sana Aarav dan Vanzo sedang sibuk berbicara satu sama lain. Sampai saat Kinara masuk ke dalam ... "Kau sudah kembali?" Sebuah suara menghentikan langkah Kinara dan Lusi. Kinara terkejut, namun kemudian ia berseru, " Mas Aavar?" Baik Aavar dan Kinara mereka langsung terkekeh kecil. Aavar berjalan menuju Kinara, pria itu menatap sekilas Lusi. "Bagaimana liburan kalian? Senang atau ... telah terjadi suatu hal yang tak diinginkan?" Enteng Aavar berkata demikian. Tatapan mata sesekali mengarah pada Lusi. Kinara terdiam sejenak, mendengar pertanyaan tersebut tak memungkinkan jika ia harus berkata jujur. "Baik. Semuanya jelas baik. Kami bersenang-senang di pantai sana. Ah,
Semua orang yang ada tercengang mendengar pernyataan dari Lusi, apalagi teruntuk Kinara yang mendadak lemas. "Lusi---""Tidak!" Lusi berteriak murka saat melihat Aavar hendak menujunya. "jangan menghentikan aku ketika semua orang menyudutkan aku atas kesalahan ini! Sedari tadi aku hanya diam, tapi apa ada yang membelaku, ha? Berbeda lagi dengan laki-laki pembunuh itu, kalian langsung membelanya! Tidak menyudutkannya!" Lusi tertawa hambar, tangannya dengan kasar menghapus air mata yang jatuh ke pipi. "Lusi ... kakak---"Tanpa mendengar ucapan Kinara, Lusi berlari meninggalkan semua orang yang ada. Dia berlari dengan tangis yang berhasil jatuh secara terus-menerus. Mata Kinara berkaca-kaca melihat kepergian Lusi. Matanya menunduk untuk melihat telapak tangan yang sempat menampar Lusi. Ia ... telah menampar adiknya. Lusi yang tidak pernah ia bentak seberapa nakal anak itu. Apalagi menampar seberapa susahnya Lusi apabila diatur. Tapi dengan mudahnya ia telah mengecewakan adiknya? "K
“Assalamu'alaikum…?” Khalifa mengucap salam saat ia masuk ke dalam rumah, ah, bukan hanya Khalifa, Alby juga ada. Keduanya masuk dengan raut muka terlihat capek. “Kak, eum … aku mau mandi dulu ya, seharian kerja bikin aku gerah,” ucap Khalifa pada Alby. Alby tersenyum. “okke, tapi jangan lama-lama ya, udah malam soalnya. Ah iya, pake air hangat biar nggak kedinginan.”Khalifa terkekeh. “Aku bukan kamu yang harus pake air dingin kali, aku kan nggak alergi dingin,” timpal Khalifa menjawab. “Masalahnya kan udah malam, nggak baik buat kesehatan.”“Enggak bakal kak. Udah, lagian aku mandi bakal cepet kok. Dah ya, aku mau mandi dulu!” ucap Khalifa gegas berlari namun dengan cepat Alby menahannya lebih dahulu membuat Khalifa kembali berbalik menatap Alby. “Kalo udah mandi nanti turun ke bawah ya? Aku mau masakin kesukaan kamu. Kita makan bareng,” ucap Alby. Kebetulan sekali keduanya belum makan membuat Khalifa mengangguk antusias. “Cium dulu sini.” Alby menampilkan pipi kanannya. Ia men
Seminggu berlalu…Seorang wanita berjalan dengan menyeret kopernya. Tergesa-gesa sebab terlambat,bahkan saking tergesa-gesanya, wanita itu tanpa sengaja menabrak bahu seseorang membuat wanita itu menyeru minta maaf. “Ya ampun maaf, Mas. Saya enggak sengaja!” ucapnya sedikit menundukkan kepala, detik berikut kepala wanita itu mendongak. Namun… “Lho?” Sesaat pandangan keduanya bertemu. “Gama?”“Khanza?” Keduanya berseru secara berbarengan. Gama dengan pandangan mata menelisik, sedang Khanza menatap dengan tarikan napas. “Kukira siapa, taunya kamu,” ucapnya merubah raut wajah. Khanza menghela napas, tanpa sepatah kata apapun perempuan itu pergi begitu saja. Gama menaikan alisnya, namun sedetik kemudian ia mengedikkan bahu, ikut pergi dengan menyeret kopernya. Ia tahu yang dirinya tabrak, untuk itu tidak peduli baginya.Gama memilih duduk setelah melakukan check up,melalui maskapai yang telah memberitahukannya kini ia duduk menunggu antrian untuk masuk ke dalam pesawat. Gama menghel
Pagi ini Khalifa bangun lebih awal, melihat sosok suaminya yang tertidur pulas. Ah, mungkin efek cairan infus yang masuk ke dalam tubuhnya, membuat pria itu terjaga dari tidurnya. Merasa pegal dibagian lengannya, Khalifa merenggangkan otot-ototnya. Tidur seranjang dengan Alby jelas membuatnya tak bergerak sana-sini, menjadikan ia merasakan pegal. Khalifa menghela napas, ia menunduk melihat pakaiannya yang kotor nan penuh darah, lupa, bahwa memang ia tak mengganti baju. Ah, jangankan untuk mengganti baju, justru hatinya saat itu resah memikirkan Alby. “Aku harus memberitahukan Bunda. Jika tidak mereka pasti khawatir.” Khalifa menatap terlebih dahulu Alby, mumpung pria itu masih tertidur membuat Khalifa gegas pergi. Selain merasa tak nyaman dengan pakaiannya ia juga tak nyaman dengan keadaan ini. Sungguh, walau ada perasaan lega melihat Alby selamat namun ada sisi lain yang membuatnya resah. Mengenai Khanza … Ia belum berani untuk menghadap padanya dan mengatakan yang sejujurnya. *
Lihatlah, wajah Alby yang dulunya tampan kini banyak dipenuhi luka. Beberapa luka itu diperban, entah bagian kepala, rahang, maupun anggota tubuh lainnya. Tak kuasa melihat keadaannya seperti ini, Khalifa menunduk dengan hati penuh sesal. “Maafin, Alifa Kak… maaf ….” Khalifa terduduk di kursi yang berada di pinggir ranjang tersebut, menggenggam tangan Alby yang begitu kekar. Dulu, tangan inilah yang selalu siap siaga menggenggam tangannya. “Andai aku tidak menurutinya, andai kita kabur saat itu mungkin keadaan kamu enggak bakal separah ini Kak. Bodoh, harusnya aku menolak ajakanmu untuk melawan mereka. Bodoh!” Khalifa merutuk dirinya, menarik tangan Alby untuk ia kecup. “Sekarang aku baru menyadarinya, Kak. Kalau aku … benar-benar takut kehilangan kamu. Aku takut ….” Khalifa tak bisa lagi membendung tangis yang kian jatuh menimpa pipinya, bengkak sudah kedua matanya sebab terus menangis. “Setelah kehilangan Mama dan Papa, aku enggak mau kehilangan kamu, Kak. Boleh aku egois? Aku i
Khalifa menunduk, semakin menangis tertahan dengan tangan yang masi menyentuh kepala Alby. “Kak … tolong … jangan tinggalin aku kayak gini … tolong bangunlah….”“Uhuk!”Sebuah semburat darah tiba-tiba keluar di bibir Alby tatkala pria itu terbatuk. “Kak Al?” Terkejut, Khalifa mendapati Alby membuka matanya dengan ringisan kecil yang keluar. “Khalifa….”Sudah menangis deras kini Khalifa menambah tangisnya tatkala suara lembut itu terdengar. Bergetar hatinya mendengar hal itu. “Kak Al….” Khalifa menangis, memeluk kepala Alby. “maafin aku, Kak. Maaf….”Alby memejamkan matanya menahan rasa sakit, ia menggeleng. “aku kembali untuk kamu, Alif….”Khalifa mengangguk, entah harus bagaiamana tapi ia benar-benar senang tatkala Alby kembali. Terbangun untuk menepati janjinya. Menggenggam erat tangan yang amat dingin itu Khalifa berucap, ““Kita harus ke rumah sakit dulu, Kak. Secepatnya luka kakak harus diatasi,” ucap Khalifa melihat keadaan Alby yang kian parah. “Kakak masih sanggup berdiri?
“Kau akan mati ditanganku!” Bugh! Alby langsung menghindar saat orang itu hendak menendang, belati yang dirinya pegang ia tusukkan ke depan untuk mengenal tubuh Alby, namun dengan gesit, Alby menghindar secara agresif. Memilih melawan dari belakang, Alby bisa menghajarnya dari belakang tersebut. Seseorang itu terjatuh, mukanya makin memerah. Satu diantara mereka berjalan maju, membuat Alby harus melawan dua orang sekaligus. Ah tidak, bahkan satunya lagi ikut-ikutan maju, menambah orang yang harus Alby lawan. Cukup kewalahan sebab mereka memiliki senjata masing-masing, sedang Alby hanya menggunakan tangan kosong sebagai tameng dirinya. Satu kali dua kali ia mendapat pukulan yang tak bisa ia hindari, bahkan goresan belati pula harus terkena sampai kulitnya saking keagresifan mereka. Murka, mereka murka sebab merasa terkalahkan oleh Alby. Alby mengatur napasnya dalam-dalam. Melawan 10 orang sekaligus benar-benar menguras tenaganya. Apalagi tidak diberi jeda untuk berhenti se
Khalifa berlari dan langsung memeluk Alby. Ia menangis dengan tubuh bergetar hebat. “Kak Al, makasih, makasih telah kembali….” Alby menelan salivanya pelan, bergetar hatinya kala melihat keadaan Khalifa seperti ini. “Maaf, maafkan aku baru datang Alif. Maaf telah meninggalkan kamu seorang diri.” Khalifa menggeleng, ia melerai pelukannya, mendongak untuk melihat wajah Alby. “Mereka … mereka ingin melecehkan aku, Kak. Aku--aku takut ….” Alby melihat wajah ketakutan itu, ia pegang tangan Khalifa untuk menenangkan gadisnya. Namun, yang ia lihat justru gurat merah dari pergelangan tangannya. Khalifa menunduk, ia masih terisak. “Mereka pegang tangan aku dengan keras Kak… mereka kasar dan menyeramkan….” Mendengar lirihan itu rahang Alby mengeras, menoleh ke kanan, ia dapati 11 orang itu yang tampak tertawa saja. “Ayo kabur, Kak. Mereka bukan tandingan kita,” ucap Khalifa kembali. Alby menatap Khalifa, memilih kabur? Itu bukan dirinya. “Tidak Alif, mereka harus membayar at
Nyatanya bukan sehabis magrib Khalifa pulang, melainkan sehabis isya baru ia bisa pulang. Jangan tanyakan kenapa, karena saat ini Khalifa ingin sendirian, menjadikan ia habiskan beberapa waktu sendirian di kantor. Dan sekarang waktunya ia pulang beberapa security yang jaga pula sebagian sudah pulang, paling hanya beberapa yang tetap berjaga karena bekerja sesuai shif. Khalifa berjalan terburu-buru menuju mobilnya, lantas melaju membelah jalan tanpa menunggu lama. Takut kemalaman Khalifa makin mempercepat lajunya. Sebuah dering ponsel terdengar namun tak Khalifa gubris untuk mengangkatnya. Memilih abai Khalifa terus melajukan mobilnya di tengah keramaian. Namun, kala ia berbelok ia harus di hadapkan dengan jalan yang cukup sepi. “Huft, semoga tidak terjadi apa-apa.” Khalifa mengucap doa dalam hati. Mau bagaimana pun ia perempuan, dan jelas ia takut jika tiba-tiba ada hal aneh yang melintas. Suara bisingnya motor terdengar dari arah belakang, memusat perhatian Khalifa untuk m
Khalifa menangkup kedua pipi di atas meja, bosan melanda hatinya. Hari ini tugas yang diberikan Aavar dalam mempelajari berbagai perbisnisan cukup menguras pikiran dan tenaga. Ternyata susah sekali untuk memahami berbagai persoalan dalam perbisnisan ini. Jika bukan karena otak yang encer mungkin Khalifa memilih tidur saja di atas kasur. Hari ini jam sudah menunjukan pukul empat sore. Tidak terasa, dari pagi sampai saat ini Khalifa menghabiskan waktu hanya di kantor saja, tentunya dengan Khanza. Namun, saat ini perempuan itu entah pergi ke mana, katanya izin keluar sebentar. “Khalifa, Om pulang lebih dulu ya, istri Om kasihan di rumah sendirian.” Tiba-tiba suara Aavar terdengar setelah pintu terbuka. “Kamu pulang lah, besok bisa dilanjutkan.” Punggung Khalifa berdiri tegap. “Nggak deh, Khalifa mau lembur. Soalnya masih banyak banget yang belum dikerjakan Om.” Aavar menoleh. “lembur?” Ia tertawa. “ya ampun Khalifa, ini kan cuma belajar aja. Gak usah terlalu dibuat serius jug