“Mas, Mas beneran udah maafin Kinar?”Kening Aarav mengernyit. “Maafkan untuk apa?”“Sebelum kecelakaan itu, Kinar udah cuekin Mas.”“Ooo yang itu ….” Aarav tampak mangut-mangut saja. Sebenarnya perkara ini sudah dibicarakan kemarin tepat saat Aarav sudah sadar. Kinara mengatakan kalau alasan dibalik cueknya ia semata-mata karena ingin memberinya sebuah hadiah.Dikarenakan hari itu adalah hari ulang tahun Aarav membuat semua kediaman Vanzo ikut memeriahkan. Hal itu pula membuat Aarav merasa bersalah karena sempat berpikiran buruk pada Kinara. Bukan, lebih tepatnya ia takut Kinara mendadak berpaling dari dirinya. Namun, ternyata alasan di balik semua itu tak lain karena ulang tahunnya. Jika begitu, bukankah tidak ada alasan untuk Aarav marah terhadap Kinara? Mau bagaimana pun Kinara kan istrinya. Dan tentu ia sangat menyayangi istrinya itu. “Eum … maafin gak ya?” jawab Aarav seolah-olah tengah berpikir. Pura-pura berpikir antara memaafkan atau tidak. “Maaf ya? Mas kan suami paling b
Sehabis masuk ke dalam kamar Kinara langsung membersihkan dirinya ke dalam kamar mandi. Tadi ia belum sempat mandi, menjadikan tubuhnya terasa lengket. “Mas, Kinar mau mandi dulu ya? Kalau Mas mau istirahat duluan—”“Mandi?” tanya Aarav tiba-tiba. Pria itu sempat ingin duduk di tepi ranjang namun ia urungkan saat mendengar kata mandi. “Iya, kenapa?”“Mas juga mau mandi,” ujarnya gemblang. Aarav menoleh pada Kinara. “Mandi bareng yu?”“Hah?” Kinara melongo mendengar penuturan tersebut. Bukan apa-apa tapi … “Iya? Kenapa? Ada masalah?* Kinara meneguk salivanya pelan. Masalahnya ya … masa mandi bareng? Keduanya saja bahkan belum … tidak! Kinara dengan spontan menggeleng. “Mas boleh mandi duluan,” ucap Kinara pada akhirnya. Sungguh, ia malu jika harus mandi berdua dengan Aarav. Mau bagaimana pun ia belum berpengalaman dalam hal begini. Aarav menggeleng, pria itu berjalan menuju Kinara. “Mas mau mandi bareng!” ucapnya menegaskan. Pria itu terus berjalan menuju Kinara. Kinara semakin
“Sakit Mas, Kinar gak tau sakit ini bakal berlanjut apa enggak,” jawab Kinar pelan. Apa yang barusan keduanya lakukan memang menyenangkan, bahkan membuat ia mabuk kepalang. Ya, nyatanya Kinara menikmati juga apa yang barusan dilakukan selama lebih dari tiga puluh menit, perasaan aneh yang mampu membuatnya ingin bermain lagi. Hanya saja rasa sakit nan linu di bawah sana membuat ia ragu apa ia bisa melakukannya lagi atau tidak? “Nanti juga gak bakal sakit kok, sayang. Biasalah, kan ini awal-awal jadi ya … terasa sakit.”Kinara tersenyum, menyembunyikan kepalanya di dada Aarav yang polos saja. “Hari ini Kinar benar-benar terpuaskan,” ucapnya dengan jejujuran penuh. “semoga Mas juga merasa puas, ya Mas?”Aarav tersenyum, “belum puas karena gak lanjut ronde dua!”Kinara terkekeh kecil. “Mas bohong sama Kinar ya?” “Bohong?”Kinara mengangguk. “Bilangnya sakit, tapi pas ginian kok ….”Kinara tak melanjutkan ucapannya, namun berbeda dengan Aarav, pria itu tergelak tawa. “Justru dengan mela
“Ada apa?” tanya Kinara. Aarav melepaskan genggaman tangannya. “Tunggu sebentar,” ucapnya kemudian berlalu. Pria itu mengambil sebuah kain di lemari, kemudian berbalik menuju Kinara. “Mas gak mau ada yang melihat rambut indah ini kecuali Mas sendiri,” ucap Aarav. “sekarang pake kerudungnya bukan cuma ke luar dari rumah, melainkan ketika keluar dari kamar.”Seulas senyum terbit di bibir Kinara. Wanita itu menatap sang suami yang tengah memakainya kerudung. Karena bukan wanita alim ia melupakan kalau berjilbab harus benar-benar tertutup dari mata yang bukan mahramnya. Karena belum terbiasa membuat Kinara lupa tiap kali ia ke luar kamar dirinya tak memakai jilbab. Namun berbeda saat ke luar dari rumah atau berpergian, ia selalu memakai kerudung—penutup kepala. “Makasih Mas ….” Kinara berterima kasih saat Aarav selesai memakainya. “Kinar akan menurut sama ucapan Mas,” lanjutnya membuat Aarav mengangguk.“Ayo.”**“Ini kunci rumah yang bakal kalian tinggali,” ucap Hanzo sembari menyera
“Kinar, ucapan Kakek kemarin … sepertinya kita tidak bisa menghindar dari Paman Devan. Tentang rumah ini, dia pasti akan tahu.”“Jika dipikirkan perkataanmu memang benar Mas. Seberapa besar kita merahasiakan di mana keberadaan kita dari dia, dia pasti akan tau. Lalu, apa yang harus kita lakukan?”Aarav terdiam sejenak. Ia menelusuri rumah yang sudah ia tinggali ini. Ya, kemarin keduanya langsung pindah rumah, sebelum itu Aarav mengadakan terlebih dahulu acara syukuran demi keberkahan rumah ini. Semua itu ia lakukan pula agar tidak ada hal-hal yang tak diinginkan. Sekarang keduanya tengah duduk di kursi sofa ruang tengah. Dengan Kinara yang bersandar di bahu sang suami. “Mas tidak akan melakukan apapun, hanya saja … Mas percayakan padamu.” Ucapan Aarav membuat Kinara menarik kepalanya. “Kenapa jadi Kinar?” tanyanya protes. “Iya karena memang ada di kamu.”“Ooo, jadi Mas gak mau peduli? Terus kalau Kinar pada akhirnya kembali ke Mas Dev—”“Gak ya! Mas gak mau kalau kamu sampai kemba
"Hueeek ... huekk ...."Kinara memuntahkan cairan bening di wastafel. Perutnya kali ini terasa mual, terasa terkocok di dalamnya, membuat ia terus menerus memuntahkan cairan yang ada. Namun anehnya hanya cairan bening yang keluar di dalam mulutnya. "Huekk!""Non, Non Kinar tidak apa-apa?" Bi Wawa, selaku pelayan yang dikhususkan dalam mengurus Kinara berseru khawatir. Wanita itu berlari menuju dapur di mana sang tuan majikan tidak enak badan. Setelah dua minggu pindah dari rumah baru, majikan barunya itu sering tidak enak badan. Tidak parah, hanya saja perempuan itu selalu terlihat lemas. Sebelumnya Kinara di suruh untuk memeriksa kondisinya ke rumah sakit, namun perempuan itu menolak. Katanya dia baik-baik saja. Tapi setelah hari ini wanita itu tampak tak baik-baik saja, terlihat dari bibirnya yang tampak pucat. Ah, andai Aarav mengetahui jika istrinya seperti ini jelas membuat Aarav akan merasa bersalah sekaligus khawatir, pasalnya sudah tiga hari ini Aarav izin pergi ke luar ko
"Mas, Kinar bosan ... jalan-jalan yu?"Kinara melingkarkan tangannya di perut suami. Dia memeluk Aarav dari belakang. "Mau jalan-jalan ke mana?"Laila bergeming. Bingung juga mau jalan-jalan ke mana. Aarav membalikkan badannya untuk menatap sang istri. Dia kemudian mencium keningnya. "Mas ayo, ayo aja kalau kamu mau," ujarnya tersenyum tipis. Kinara akan menjawab, namun tiba-tiba perutnya terasa mual, membuat ia refleks mengeluarkan suara muntah. "Hueek ..." Telapak tangannya langsung menutup bibir. "Huuek....""Kinar, kamu kenapa?" Aarav dengan cepat bangun dari jaringannya. Sedang Kinara sudah ngebirit lari menuju wastafel, melupa bahwa ia belum memakai baju. Aarav yang terlihat akan wajah pucat sang istri dengan segera berlari membawa handuk, sebelum itu, ia memakai celana pendek lebih dahulu kemudian menuju wastafel di mana istrinya berada. Menutup tubuh polosnya kemudian membantu istrinya yang sedari tadi terus muntah-muntah. Pria itu bergeming. "Sepertinya ... kamu hamil
Mobil yang ditumpangi Aarav meninggalkan perkarangan rumah. Dengan dikemudi oleh sopir— Pak Anwar, Aarav menatap kepergian Kinara dari belakang sana. "Pak, tolong arahkan mobilnya ke rumah sakit." Mendengar penuturan tersebut membuat Pak Anwar terkejut. "Aden tidak apa-apa kan?" tanya Pak Anwar melihat Aarav dari kaca tengah yang tergantung. Pria itu melihat raut yang tak biasa dari wajah majikan barunya."Cepat arahkan saja apa yang aku suruh!" perintah Aarav dengan nada tegas. Mendengar penuturan tersebut mau tak mau Pak Anwar mengarahkan mobilnya ke rumah sakit terdekat, takut-takut telah terjadi sesuatu pada majikannya itu. Walau Pak Anwar amat kepo namun tak menjadikan dia memperlihatkan wajah khawatirnya. Diam-diam pria itu hanya menatap majikannya dengan prihatin. "Semoga tidak terjadi sesuatu pada Aden," batin Pak Anwar berucap. **"Uhuk!" Aarav keluar dari mobil dengan terbatuk, sebuah cairan merah keluar dari mulutnya. "Astaghfirullah Aden!" Pak Anwar terpekik saat mend