"Maaf ya,saya jadi repotin kamu," ucap ibu pemilik toko dengan wajah memelas. "Gak apa-apa, Bu." Widia segera membuntuti wanita itu yang ternyata berjalan menuju ke arah mobil miliknya. Widia sedikit bingung, bukankah letak ATM tak jauh dari toko tersebut? Wanita yang berpakaian modis itu sudah masuk dan duduk di samping pengemudi. "Kenapa kamu masih berdiri di sana? Ayok ikut saja!" serunya. "Mm, saya jalan kaki saja,"" tolak Widia dengan halus. "Ayok, ikut naik aja, saya terburu-buru ini. Bentar lagi para tamu saya datang loh." seru wanita itu sambil berusaha meyakinkan Widia untuk ikut bersamanya.Mau tidak mau, Widia pun segera naik mobil tersebut demi mementingkan keinginan pembeli. Widia juga tak ingin gara-gara dia, kue yang sudah dibeli malah kembali di-return.Seringai pria yang kini mengemudi tampak terlihat jelas oleh Widia dari kaca spion saat mobil tersebut mulai berderum meninggalkan wanita sepuh yang masih berdiri sambil sedikit mengkhawatirkan Widia. Widia hanya d
"Bu ... dimana Widia?" tanya Satya saat ia sampai di toko roti. Sebelumnya, sudah sekian jam Satya menunggu kabar dari Widia setelah ia berjanji untuk tidak mengganggunya dahulu. Namun, seperti biasa Satya yang tidak pernah santai jika dambaan hatinya tengah menghadapi masalah. Pria ini sempat memanggil nomor kontak perempuan itu beberapa kali karena kekhawatirannya. Namun, ia tak kunjung mendapatkan jawaban. Setelah timbul perasaan menyerah di dasar hatinya, pria itu pun segera melacak nomor kontak Widia untuk membunuh kekhawatirannya yang semakin menjadi setiap menitnya. Setelah mengetahui titik merah pada map di layar ponsel nya, ia tahu bahwa Widia memilih toko roti itu sebagai tempat menenangkan pikirannya. Awalnya, Satya lega. Namun, saat panggilannya tak kunjung dijawab oleh Widia. Akhirnya, Satya memilih untuk mengunjungi toko roti itu sekalian menjemput Widia dan mengantarnya pulang. "Begini, Nak ... Duh, bagaimana ya saya ceritanya?" Wanita separuh baya itu panik saat men
"Dex, lu dimana sekarang?" tanya Haryadi saat mengecek keberadaan anak buahnya. "Di depan pintu apartemen, Bos." "Oke, lu udah ketemu sama si Bram?" "Udah, Bos. Ceweknya aman, Bos. Tenang aja, dia masih belum sadar di dalam." "Sip, sekitar 30 menit lagi saya akan sampai di sana!""Siap, Bos." Sambungan terputus antara Danu dengan majikannya. Seringai penuh rencana tampak di sudut bibir pria yang kini sudah siap beraksi menyelamatkan Widia, mantan istrinya. "Berani macam-macam sama cewek gua, berarti lu cari mati, Bos! Tidak ada yang bisa menyentuh wanita itu selain gua sendiri." Danu memang berniat menyelamatkan Widia dan menghajar Haryadi. Namun, kali ini ia akan melakukannya dengan sedikit manipulasi demi pekerjaannya yang masih ia butuhkan dari bos jahatnya. Karena bagaimana pun, pria ini masih harus bertahan hidup untuk kembali merebut Widia dari Satya. Danu melirik ke arah kanan dan kiri. Pria itu memindai lorong apartemen untuk memastikan rencananya berjalan dengan lancar
"Go!" titah Danu sambil memapah Widia sampai pintu apartemen. Widia terus memperhatikan wajah pria yang menolongnya, namun Danu memalingkan wajahnya untuk menghindari tatapan Widia. Ia tak mau wanita itu tahu identitasnya. Lagi pula, Danu memiliki rencana lain dibalik menyelamatkan Widia dari kejahatan Haryadi. Widia tak sempat menyampaikan terima kasih kepada pria itu. Ia terus melangkah pergi menyelamatkan diri untuk segera keluar dari gedung apartemen. "Hh, hh," desah Widia karena lelah, ia tak faham cara menggunakan lift. Maka, ia pun menuruni tangga dengan langkah tergesa, langkahnya seakan lamban karena takut dikejar oleh komplotan pria jahat. Sambil melirik ke belakang, Widia masih berusaha keras meninggalkan tempat itu. Satu demi satu anak tangga ia lalui tanpa menyerah untuk berhenti. Sesaat, ingatan Widia kembali pada pria yang sudah menyelamatkannya. Meskipun pria itu mengenakan penutup kepala. Namun, Widia yakin kalau pria itu adalah Danu, mantan suaminya. "Jika pria it
"Assalamualaikum, Bu." Widia mempercepat langkahnya menuju ibunya yang tengah duduk di kursi depan rumah. "Waalaikumsalam. Widia ...." "Bu, maaf aku baru pulang, kemarin-kemarin aku nginep di rumahku." Widia menggapai punggung tangan ibunya."Iya, Satya sudah bilang sama ibu tentang itu." Raut wajah Bu Siti tampak datar, sementara yang dikatakan Satya beliau sangat mengkhawatirkan. Widia berpikir, "Kenapa tidak sama dengan apa yang dikatakan Mas Satya? Ah, sudah lah. Tidak penting juga.""Gimana kerjanya, Wid?" Sebenarnya Bu Siti sudah mengetahui perihal berita viral yang mencemari nama baik putrinya sehingga Widia dipecat dari perusahaan. Namun, ia ingin menguji kejujuran putrinya itu. Kini, ibunya terhasut oleh ucapan dan gunjingan orang-orang yang telah menyampaikan berita itu. Dalam penilaian Bu Siti sendiri, Widia terlalu munafik karena sempat menolak Satya dan tidak mau menikah dengan pria itu. Namun, ternyata sempat-sempat nya mereka bermesraan di tempat kerja dan tentu saj
"Bu, aku pamit," sapa Widia kepada Bu Siti yang tengah melaksanakan shalat fardu shubuh. Widia berjongkok dan meminta ibunya untuk mengulur tangan dan menerima salam dari putrinya. "Hm," jawab ibunya tanpa kata. Widia pun masih memaklumi sikap ibunya karena ia benar-benar merasa bersalah atas pencemaran nama baik keluarganya. Widia bergegas pergi setelah mengantongi beberapa helai pakaian ke dalam tas miliknya. Bu Siti hanya mampu menatap punggung Widia yang semakin jauh dan buram dalam pandangannya. Pintu sudah ditutup oleh Widia, namun langkah kaki putrinya masih terdengar dan seakan memaku jantung wanita yang masih duduk di atas hamparan sejadah. "Maapkan, ibu, nak. Hanya dengan cara seperti ini yang bisa ibu lakukan demi kebaikanmu." Wanita itu bukan tak memaafkan ke khilafan yang dilakukan oleh putrinya dengan calon menantu idaman seperti Satya. Bukan juga ingin mengasingkan putrinya. Namun, dengan cara tersebut wanita sepuh itu berharap agar Widia mampu menjaga dirinya sendir
Malam hari ketika Widia telah berhasil menyelamatkan diri dan pergi dari hotel (apartemen). Haryadi terbangun setelah tak sadarkan diri beberapa puluh menit. Ia bangkit dan leher belakangnya terasa nyeri setelah terkena pukulan tongkat bassball berlapis emas yang dilayangkan oleh Dex anak buahnya sendiri yang tak lain adalah Danu. "Sial, siapa orang yang telah memukulku sampai aku tak sadar!" Kini pria bertubuh gagah itu sudah mampu berdiri sambil memegangi tengkuknya. Kelopak matanya beberapa kali mengerjap setelah memindai seisi ruangan. "Kemana perginya wanita itu?" Satu orang yang kini akan menerima sasaran kemarahannya adalah Dex. Karena dia lah satu-satunya yang diamanati menjaga Widia, tapi pria itu sudah tak ada di sekiling pandangan Haryadi. "Dex! Dimana kau?" teriak Haryadi dengan derap langkah tegas menyisir setiap ruangan di apartemennya. Sementara, tangannya mengepal kuat. Pria itu sudah tak sabar ingin menghadiahi Dex dengan pukulan bogem nya. Bahkan mungkin sebuah
Sudah satu minggu setelah pengiriman peralatan dan bahan untuk menjalankan usaha konveksi bersama Ayu, warga kampung sekitar menjadi dua kubu. Kubu pertama adalah mereka yang tetap membenci Widia karena pernah dikirim daging yang masih tabu bagi mereka sampai saat ini. Kubu yang lain nya sudah mulai memaafkan dan berkunjung ke rumahnya. Di rumah Widia kini, sudah tersedia sedikitnya 5 mesin jahit. Tentu saja kedatangan warga kampung yang tak malu-malu meminta pekerjaan kepada Widia sangat diterima dengan antusias olehnya. Diantara mereka adalah wanita berusia 25 tahun dan ibu-ibu rumah tangga berusia 30 lebih. Ada yang mencoba-coba dan akhirnya terbiasa menggunakan mesin jahit. Ada pula yang mendapatkan pekerjaan ber-skill ringan seperti buang benang dan memotong kain. Hari-hari Widia semakin bersemangat dengan bantuan Ayu. Begitu pun dengan Ayu yang sangat terbantu oleh Widia dan warga sekitar karena mereka berhasil memproduksi beberapa kodi cardigan dalam waktu satu minggu. Hasil