"Go!" titah Danu sambil memapah Widia sampai pintu apartemen. Widia terus memperhatikan wajah pria yang menolongnya, namun Danu memalingkan wajahnya untuk menghindari tatapan Widia. Ia tak mau wanita itu tahu identitasnya. Lagi pula, Danu memiliki rencana lain dibalik menyelamatkan Widia dari kejahatan Haryadi. Widia tak sempat menyampaikan terima kasih kepada pria itu. Ia terus melangkah pergi menyelamatkan diri untuk segera keluar dari gedung apartemen. "Hh, hh," desah Widia karena lelah, ia tak faham cara menggunakan lift. Maka, ia pun menuruni tangga dengan langkah tergesa, langkahnya seakan lamban karena takut dikejar oleh komplotan pria jahat. Sambil melirik ke belakang, Widia masih berusaha keras meninggalkan tempat itu. Satu demi satu anak tangga ia lalui tanpa menyerah untuk berhenti. Sesaat, ingatan Widia kembali pada pria yang sudah menyelamatkannya. Meskipun pria itu mengenakan penutup kepala. Namun, Widia yakin kalau pria itu adalah Danu, mantan suaminya. "Jika pria it
"Assalamualaikum, Bu." Widia mempercepat langkahnya menuju ibunya yang tengah duduk di kursi depan rumah. "Waalaikumsalam. Widia ...." "Bu, maaf aku baru pulang, kemarin-kemarin aku nginep di rumahku." Widia menggapai punggung tangan ibunya."Iya, Satya sudah bilang sama ibu tentang itu." Raut wajah Bu Siti tampak datar, sementara yang dikatakan Satya beliau sangat mengkhawatirkan. Widia berpikir, "Kenapa tidak sama dengan apa yang dikatakan Mas Satya? Ah, sudah lah. Tidak penting juga.""Gimana kerjanya, Wid?" Sebenarnya Bu Siti sudah mengetahui perihal berita viral yang mencemari nama baik putrinya sehingga Widia dipecat dari perusahaan. Namun, ia ingin menguji kejujuran putrinya itu. Kini, ibunya terhasut oleh ucapan dan gunjingan orang-orang yang telah menyampaikan berita itu. Dalam penilaian Bu Siti sendiri, Widia terlalu munafik karena sempat menolak Satya dan tidak mau menikah dengan pria itu. Namun, ternyata sempat-sempat nya mereka bermesraan di tempat kerja dan tentu saj
"Bu, aku pamit," sapa Widia kepada Bu Siti yang tengah melaksanakan shalat fardu shubuh. Widia berjongkok dan meminta ibunya untuk mengulur tangan dan menerima salam dari putrinya. "Hm," jawab ibunya tanpa kata. Widia pun masih memaklumi sikap ibunya karena ia benar-benar merasa bersalah atas pencemaran nama baik keluarganya. Widia bergegas pergi setelah mengantongi beberapa helai pakaian ke dalam tas miliknya. Bu Siti hanya mampu menatap punggung Widia yang semakin jauh dan buram dalam pandangannya. Pintu sudah ditutup oleh Widia, namun langkah kaki putrinya masih terdengar dan seakan memaku jantung wanita yang masih duduk di atas hamparan sejadah. "Maapkan, ibu, nak. Hanya dengan cara seperti ini yang bisa ibu lakukan demi kebaikanmu." Wanita itu bukan tak memaafkan ke khilafan yang dilakukan oleh putrinya dengan calon menantu idaman seperti Satya. Bukan juga ingin mengasingkan putrinya. Namun, dengan cara tersebut wanita sepuh itu berharap agar Widia mampu menjaga dirinya sendir
Malam hari ketika Widia telah berhasil menyelamatkan diri dan pergi dari hotel (apartemen). Haryadi terbangun setelah tak sadarkan diri beberapa puluh menit. Ia bangkit dan leher belakangnya terasa nyeri setelah terkena pukulan tongkat bassball berlapis emas yang dilayangkan oleh Dex anak buahnya sendiri yang tak lain adalah Danu. "Sial, siapa orang yang telah memukulku sampai aku tak sadar!" Kini pria bertubuh gagah itu sudah mampu berdiri sambil memegangi tengkuknya. Kelopak matanya beberapa kali mengerjap setelah memindai seisi ruangan. "Kemana perginya wanita itu?" Satu orang yang kini akan menerima sasaran kemarahannya adalah Dex. Karena dia lah satu-satunya yang diamanati menjaga Widia, tapi pria itu sudah tak ada di sekiling pandangan Haryadi. "Dex! Dimana kau?" teriak Haryadi dengan derap langkah tegas menyisir setiap ruangan di apartemennya. Sementara, tangannya mengepal kuat. Pria itu sudah tak sabar ingin menghadiahi Dex dengan pukulan bogem nya. Bahkan mungkin sebuah
Sudah satu minggu setelah pengiriman peralatan dan bahan untuk menjalankan usaha konveksi bersama Ayu, warga kampung sekitar menjadi dua kubu. Kubu pertama adalah mereka yang tetap membenci Widia karena pernah dikirim daging yang masih tabu bagi mereka sampai saat ini. Kubu yang lain nya sudah mulai memaafkan dan berkunjung ke rumahnya. Di rumah Widia kini, sudah tersedia sedikitnya 5 mesin jahit. Tentu saja kedatangan warga kampung yang tak malu-malu meminta pekerjaan kepada Widia sangat diterima dengan antusias olehnya. Diantara mereka adalah wanita berusia 25 tahun dan ibu-ibu rumah tangga berusia 30 lebih. Ada yang mencoba-coba dan akhirnya terbiasa menggunakan mesin jahit. Ada pula yang mendapatkan pekerjaan ber-skill ringan seperti buang benang dan memotong kain. Hari-hari Widia semakin bersemangat dengan bantuan Ayu. Begitu pun dengan Ayu yang sangat terbantu oleh Widia dan warga sekitar karena mereka berhasil memproduksi beberapa kodi cardigan dalam waktu satu minggu. Hasil
"Satya!" teriak Mama Ami saat menekankan kepadanya untuk mendatangi rumah Mita. Satu jam yang lalu, calon besannya menelpon dan mengabarkan keadaan Mita bahkan sampai mengirim foto Mita yang berbaring di atas ranjang kamarnya. "Aku gak mau, Ma." Sebisa mungkin, Satya tetap menolak. "Ya sudah kalo kamu gak mau nurut permintaan terakhir Mama. Terpaksa, Mama akan menuruti pinta Papa Haryadi untuk menandatangani surat kuasa itu." Surat kuasa perusahaan mamanya akan dipindah tangankan secara full kepada Haryadi. "Ma, please ... kenapa mama sampai segitunya jodohin aku sama wanita yang bahkan gak pernah sedetik pun ada di hati aku, Ma?" "Persetan itu, tentang perasaan mu. Seperti yang udah mama bilang, mama akan segera menandatangani surat kuasa itu. Lagian, kalo kamu gak bisa nikahin Mita. Ya udah sana! Nikahin Widia. Mama kasih waktu kamu 2 hari. Kalau sampai Widia gak mau nerima kamu, ya terpaksa kamu harus menikahi Mita. Titik!" Sengaja, Bunda Ami berbicara demikian karena ia pun ta
MDM 56"Jawab, Sat." Mita menengadah meluapkan semua kekesalannya kepada pria itu. "Mit, udah lah gak usah maksa gua. Kamu tau sendiri kan, kalo cinta gua itu cuma buat Widia dan itu sudah berlangsung selama bertahun-tahun. Jadi, gua mohon sama lu. Sudahi mimpi lu buat nikah sama gua." "Tega ya kamu, Satya. Ugh ...," keluh Mita saat ia merasakan nyeri di bagian kepalanya. Kepalanya pusing karena memang belum menyantap sesuatu apapun. Apalagi mendengar ocehan penolakan dari Satya yang sebenarnya tak sudi ia cintai. "Mit, lu kenapa? Jangan pura-pura!" Satya melihat Mita yang tampak begitu kesakitan. "Sana pergi lu, Sat. Gua gak butuh bantuan lu!"usir Mita yang sudah merasa muak dengan sikap Satya yang begitu mencintai Widia."Oke, gua panggilin bunda lu aja." Mita menyangka kalau Satya akan membujuknya tetapi ternyata tidak. Satya keluar untuk menyeru Bunda nya Mita dan ART yang ada di sana. "Tante, maaf. Mita mengeluh sakit kepala. Saya ada urusan penting saya pamit dulu, tante!"
MDM 57"Ayu, maaf aku telpon kamu malam-malam begini," sapa Widia seraya meminta maaf. "Gak papa, aku juga belum tidur, ini. Kenapa, Wid?" Suara Ayu terdengar berat dari sana, tampaknya dia sedang terkena flu. "Em ... kamu bisa kirim bahan produksi secepatnya gak?" Langsung saja, Widia mengutarakan maksudnya. "Oh, soal itu. Mm, belum kayaknya, Wid. Kainnya masih OTW dari luar. Jadi, aku gak berani kalo pake kain sembarangan meskipun warna dan motifnya samaan." "Gitu, ya. Paling kapan tuh kira-kira barangnya sampai?" "Gak tau juga, Wid. Emang kenapa, sih? Rehat dulu aja kali, kamu udah kerja keras beberapa hari ini kan." "Gak, gak papa, kok. Ya udah, aku tunggu kabar baiknya segera ya ...," ucap Widia sebelum menutup telponnya. "Eh, bentar dulu, Wid. Ada apa dulu, heii! Ayo cerita!" "Gak ada apa-apa. Aku cuma BT aja gak ada kerjaan, Yu." "Ya udah, nanti aku kabarin cepet-cepet kalo barangnya udah sampe, ya." "Siap, Yu." Sambungan telpon terputus detik itu juga. Widia tak teg