Sudah satu minggu setelah pengiriman peralatan dan bahan untuk menjalankan usaha konveksi bersama Ayu, warga kampung sekitar menjadi dua kubu. Kubu pertama adalah mereka yang tetap membenci Widia karena pernah dikirim daging yang masih tabu bagi mereka sampai saat ini. Kubu yang lain nya sudah mulai memaafkan dan berkunjung ke rumahnya. Di rumah Widia kini, sudah tersedia sedikitnya 5 mesin jahit. Tentu saja kedatangan warga kampung yang tak malu-malu meminta pekerjaan kepada Widia sangat diterima dengan antusias olehnya. Diantara mereka adalah wanita berusia 25 tahun dan ibu-ibu rumah tangga berusia 30 lebih. Ada yang mencoba-coba dan akhirnya terbiasa menggunakan mesin jahit. Ada pula yang mendapatkan pekerjaan ber-skill ringan seperti buang benang dan memotong kain. Hari-hari Widia semakin bersemangat dengan bantuan Ayu. Begitu pun dengan Ayu yang sangat terbantu oleh Widia dan warga sekitar karena mereka berhasil memproduksi beberapa kodi cardigan dalam waktu satu minggu. Hasil
"Satya!" teriak Mama Ami saat menekankan kepadanya untuk mendatangi rumah Mita. Satu jam yang lalu, calon besannya menelpon dan mengabarkan keadaan Mita bahkan sampai mengirim foto Mita yang berbaring di atas ranjang kamarnya. "Aku gak mau, Ma." Sebisa mungkin, Satya tetap menolak. "Ya sudah kalo kamu gak mau nurut permintaan terakhir Mama. Terpaksa, Mama akan menuruti pinta Papa Haryadi untuk menandatangani surat kuasa itu." Surat kuasa perusahaan mamanya akan dipindah tangankan secara full kepada Haryadi. "Ma, please ... kenapa mama sampai segitunya jodohin aku sama wanita yang bahkan gak pernah sedetik pun ada di hati aku, Ma?" "Persetan itu, tentang perasaan mu. Seperti yang udah mama bilang, mama akan segera menandatangani surat kuasa itu. Lagian, kalo kamu gak bisa nikahin Mita. Ya udah sana! Nikahin Widia. Mama kasih waktu kamu 2 hari. Kalau sampai Widia gak mau nerima kamu, ya terpaksa kamu harus menikahi Mita. Titik!" Sengaja, Bunda Ami berbicara demikian karena ia pun ta
MDM 56"Jawab, Sat." Mita menengadah meluapkan semua kekesalannya kepada pria itu. "Mit, udah lah gak usah maksa gua. Kamu tau sendiri kan, kalo cinta gua itu cuma buat Widia dan itu sudah berlangsung selama bertahun-tahun. Jadi, gua mohon sama lu. Sudahi mimpi lu buat nikah sama gua." "Tega ya kamu, Satya. Ugh ...," keluh Mita saat ia merasakan nyeri di bagian kepalanya. Kepalanya pusing karena memang belum menyantap sesuatu apapun. Apalagi mendengar ocehan penolakan dari Satya yang sebenarnya tak sudi ia cintai. "Mit, lu kenapa? Jangan pura-pura!" Satya melihat Mita yang tampak begitu kesakitan. "Sana pergi lu, Sat. Gua gak butuh bantuan lu!"usir Mita yang sudah merasa muak dengan sikap Satya yang begitu mencintai Widia."Oke, gua panggilin bunda lu aja." Mita menyangka kalau Satya akan membujuknya tetapi ternyata tidak. Satya keluar untuk menyeru Bunda nya Mita dan ART yang ada di sana. "Tante, maaf. Mita mengeluh sakit kepala. Saya ada urusan penting saya pamit dulu, tante!"
MDM 57"Ayu, maaf aku telpon kamu malam-malam begini," sapa Widia seraya meminta maaf. "Gak papa, aku juga belum tidur, ini. Kenapa, Wid?" Suara Ayu terdengar berat dari sana, tampaknya dia sedang terkena flu. "Em ... kamu bisa kirim bahan produksi secepatnya gak?" Langsung saja, Widia mengutarakan maksudnya. "Oh, soal itu. Mm, belum kayaknya, Wid. Kainnya masih OTW dari luar. Jadi, aku gak berani kalo pake kain sembarangan meskipun warna dan motifnya samaan." "Gitu, ya. Paling kapan tuh kira-kira barangnya sampai?" "Gak tau juga, Wid. Emang kenapa, sih? Rehat dulu aja kali, kamu udah kerja keras beberapa hari ini kan." "Gak, gak papa, kok. Ya udah, aku tunggu kabar baiknya segera ya ...," ucap Widia sebelum menutup telponnya. "Eh, bentar dulu, Wid. Ada apa dulu, heii! Ayo cerita!" "Gak ada apa-apa. Aku cuma BT aja gak ada kerjaan, Yu." "Ya udah, nanti aku kabarin cepet-cepet kalo barangnya udah sampe, ya." "Siap, Yu." Sambungan telpon terputus detik itu juga. Widia tak teg
MDM 58"Bakar! Bakar saja rumah perempuan ini!" seru seseorang dari kerumunan paling belakang. "Ba ... kar, ba ... kar, bakar!" sorak mereka semakin melangitkan suaranya. Masih dalam keadaan tubuh terikat di kursi, Widia sudah pasrah bahkan jika mereka akan menghakiminya sampai mati pun ia sudah tidak punya harapan lagi untuk bisa menyelamatkan diri. Di depan mata kepala si pemilik rumah. Tempat tinggalnya benar-benar disembur minyak dari derigen yang sebelumnya berjejer di depan rumah terpencil itu. Perlahan, si jago merah yang berasal dari satu batang korek itu membesar saat dilempar pada tiang dan dinding rumah yang telah dibasahi oleh minyak tanah. "Huu!" sorak warga ketika melihat api itu benar-benar besar dan menjadi pelita di daerah itu. Satya yang memang sedang dalam perjalanan saat hendak menuju kampung Widia melihat jelas bias merah di langit gelap, serta kepulan asap dan suara gemeretak material yang terbakar. Satya yakin, semua itu berasal dari rumah Widia. Hanya tin
MDM 59Kelopak mata Widia melebar saat kalimat lamaran diucapkan oleh pria di hadapannya. Satya seperti memaksanya untuk menerimanya detik itu juga. Widia menunduk menghindari tatapan dalam dari lawan bicaranya. Seluruh pikirannya dipenuhi pertanyaan untuk apa yang akan terjadi jika ia menerima Satya. "Tak ada yang perlu kamu khawatirkan, semua akan baik-baik saja," ucap Satya seraya menggapai dagu lancip wanita itu sehingga Widia kembali menatapnya. "Mita ...." "Sahabatmu itu tidak mencintai aku sedikit pun. Percayalah." "Aku tidak akan pernah tenang sebelum menggenggam tanganmu, berjalan bersama melalu semua halang rintangan. Aku mohon, Wid." Pria itu sampai berlutut di hadapan Widia dengan cairan bening yang membentuk kaca pada indra penglihatannya. "Apa aku egois?" Widia kembali bersua. Pria itu menggelengkan kepala. "Kita harus meminta restu kan? Ibumu tidak akan merestui, Mas." "Aku akan berusaha untuk itu, yang penting kamu bersedia. Selebihnya, itu urusanku, oke. Besok,
"Bu," sapa Widia seraya menghamburkan diri menghampiri Bu Siti. Wanita itu langsung menggapai punggung tangan yang sudah kian keriput. "Kamu kemana saja, Nak?" balas Bu Siti sambil mengelus puncak kepala putri satu-satunya itu. Seandainya Widia tau, sungguh dia begitu menantikan kehadiran Widia setiap ia membuka mata di pagi hari, di malam hari. Namun, semua keinginannya itu terhalang ego yang mengurung niatnya. Kini pertemuan mereka mampu menghapus ego masing-masing antara ibu dan anak itu."Maafkan aku, Bu." Widia pun lantas mendekap wanita sepuh itu yang tinggi badannya 10 cm lebih rendah darinya. Kerinduan mereka berdua kini hanyut dalam pelukan hangat antara anak dan ibu. Di hadapan Satya yang terabaikan untuk sementara karena fokus sambutan Bu Siti hanya kepada putrinya yang begitu ia rindukan. "Nak Satya. Maaf ibu membuat kamu nunggu tanpa mempersilakan masuk." Akhirnya, pemilik rumah menyadari kehadiran pria yang datang bersama putrinya. "Gak apa, Bu. Justru aku senang seka
Setelah mengetuk pintu, Satya memegang gagang pintu secara perlahan. Pintu itu terbuka, tampak wanita yang telah melahirkan pria itu terbaring di atas ranjang rumah sakit menatap lesu ke arah putranya. Punggung tangan yang masih tertusuk jarum infus membuat wanita itu sulit bergerak. "Satya, sibuk sekali kamu. Sampai tak menghiraukan mama." Namun, ia masih mampu meluapkan kekesalannya kepada pria yang baru saja datang membesuknya. "Maaf, Ma. Aku gak tau mama masuk rumah sakit." Perlahan Satya melangkah kemudian duduk di kursi depan ranjang pasien. "Bakal tau dari mana kalau seharian kamu cuma ngurusin janda gatel itu." "Maafkan aku ya, Ma. Lagian, semalam mama gak kenapa-napa kan? Malah ada Om juga nemenin Mama." "Mm," desis Ibunda diakhiri pecahnya tangisan yang sedari tadi ia tahan."Mama kenapa?" Secepatnya, wanita itu menggeleng supaya permasalahan yang tengah ia hadapi itu tak diketahui oleh Satya. "Ma, kenapa? Jangan buat aku curiga sama pria itu." Feeling Satya seketika