"Bu ... dimana Widia?" tanya Satya saat ia sampai di toko roti. Sebelumnya, sudah sekian jam Satya menunggu kabar dari Widia setelah ia berjanji untuk tidak mengganggunya dahulu. Namun, seperti biasa Satya yang tidak pernah santai jika dambaan hatinya tengah menghadapi masalah. Pria ini sempat memanggil nomor kontak perempuan itu beberapa kali karena kekhawatirannya. Namun, ia tak kunjung mendapatkan jawaban. Setelah timbul perasaan menyerah di dasar hatinya, pria itu pun segera melacak nomor kontak Widia untuk membunuh kekhawatirannya yang semakin menjadi setiap menitnya. Setelah mengetahui titik merah pada map di layar ponsel nya, ia tahu bahwa Widia memilih toko roti itu sebagai tempat menenangkan pikirannya. Awalnya, Satya lega. Namun, saat panggilannya tak kunjung dijawab oleh Widia. Akhirnya, Satya memilih untuk mengunjungi toko roti itu sekalian menjemput Widia dan mengantarnya pulang. "Begini, Nak ... Duh, bagaimana ya saya ceritanya?" Wanita separuh baya itu panik saat men
"Dex, lu dimana sekarang?" tanya Haryadi saat mengecek keberadaan anak buahnya. "Di depan pintu apartemen, Bos." "Oke, lu udah ketemu sama si Bram?" "Udah, Bos. Ceweknya aman, Bos. Tenang aja, dia masih belum sadar di dalam." "Sip, sekitar 30 menit lagi saya akan sampai di sana!""Siap, Bos." Sambungan terputus antara Danu dengan majikannya. Seringai penuh rencana tampak di sudut bibir pria yang kini sudah siap beraksi menyelamatkan Widia, mantan istrinya. "Berani macam-macam sama cewek gua, berarti lu cari mati, Bos! Tidak ada yang bisa menyentuh wanita itu selain gua sendiri." Danu memang berniat menyelamatkan Widia dan menghajar Haryadi. Namun, kali ini ia akan melakukannya dengan sedikit manipulasi demi pekerjaannya yang masih ia butuhkan dari bos jahatnya. Karena bagaimana pun, pria ini masih harus bertahan hidup untuk kembali merebut Widia dari Satya. Danu melirik ke arah kanan dan kiri. Pria itu memindai lorong apartemen untuk memastikan rencananya berjalan dengan lancar
"Go!" titah Danu sambil memapah Widia sampai pintu apartemen. Widia terus memperhatikan wajah pria yang menolongnya, namun Danu memalingkan wajahnya untuk menghindari tatapan Widia. Ia tak mau wanita itu tahu identitasnya. Lagi pula, Danu memiliki rencana lain dibalik menyelamatkan Widia dari kejahatan Haryadi. Widia tak sempat menyampaikan terima kasih kepada pria itu. Ia terus melangkah pergi menyelamatkan diri untuk segera keluar dari gedung apartemen. "Hh, hh," desah Widia karena lelah, ia tak faham cara menggunakan lift. Maka, ia pun menuruni tangga dengan langkah tergesa, langkahnya seakan lamban karena takut dikejar oleh komplotan pria jahat. Sambil melirik ke belakang, Widia masih berusaha keras meninggalkan tempat itu. Satu demi satu anak tangga ia lalui tanpa menyerah untuk berhenti. Sesaat, ingatan Widia kembali pada pria yang sudah menyelamatkannya. Meskipun pria itu mengenakan penutup kepala. Namun, Widia yakin kalau pria itu adalah Danu, mantan suaminya. "Jika pria it
"Assalamualaikum, Bu." Widia mempercepat langkahnya menuju ibunya yang tengah duduk di kursi depan rumah. "Waalaikumsalam. Widia ...." "Bu, maaf aku baru pulang, kemarin-kemarin aku nginep di rumahku." Widia menggapai punggung tangan ibunya."Iya, Satya sudah bilang sama ibu tentang itu." Raut wajah Bu Siti tampak datar, sementara yang dikatakan Satya beliau sangat mengkhawatirkan. Widia berpikir, "Kenapa tidak sama dengan apa yang dikatakan Mas Satya? Ah, sudah lah. Tidak penting juga.""Gimana kerjanya, Wid?" Sebenarnya Bu Siti sudah mengetahui perihal berita viral yang mencemari nama baik putrinya sehingga Widia dipecat dari perusahaan. Namun, ia ingin menguji kejujuran putrinya itu. Kini, ibunya terhasut oleh ucapan dan gunjingan orang-orang yang telah menyampaikan berita itu. Dalam penilaian Bu Siti sendiri, Widia terlalu munafik karena sempat menolak Satya dan tidak mau menikah dengan pria itu. Namun, ternyata sempat-sempat nya mereka bermesraan di tempat kerja dan tentu saj
"Bu, aku pamit," sapa Widia kepada Bu Siti yang tengah melaksanakan shalat fardu shubuh. Widia berjongkok dan meminta ibunya untuk mengulur tangan dan menerima salam dari putrinya. "Hm," jawab ibunya tanpa kata. Widia pun masih memaklumi sikap ibunya karena ia benar-benar merasa bersalah atas pencemaran nama baik keluarganya. Widia bergegas pergi setelah mengantongi beberapa helai pakaian ke dalam tas miliknya. Bu Siti hanya mampu menatap punggung Widia yang semakin jauh dan buram dalam pandangannya. Pintu sudah ditutup oleh Widia, namun langkah kaki putrinya masih terdengar dan seakan memaku jantung wanita yang masih duduk di atas hamparan sejadah. "Maapkan, ibu, nak. Hanya dengan cara seperti ini yang bisa ibu lakukan demi kebaikanmu." Wanita itu bukan tak memaafkan ke khilafan yang dilakukan oleh putrinya dengan calon menantu idaman seperti Satya. Bukan juga ingin mengasingkan putrinya. Namun, dengan cara tersebut wanita sepuh itu berharap agar Widia mampu menjaga dirinya sendir
Malam hari ketika Widia telah berhasil menyelamatkan diri dan pergi dari hotel (apartemen). Haryadi terbangun setelah tak sadarkan diri beberapa puluh menit. Ia bangkit dan leher belakangnya terasa nyeri setelah terkena pukulan tongkat bassball berlapis emas yang dilayangkan oleh Dex anak buahnya sendiri yang tak lain adalah Danu. "Sial, siapa orang yang telah memukulku sampai aku tak sadar!" Kini pria bertubuh gagah itu sudah mampu berdiri sambil memegangi tengkuknya. Kelopak matanya beberapa kali mengerjap setelah memindai seisi ruangan. "Kemana perginya wanita itu?" Satu orang yang kini akan menerima sasaran kemarahannya adalah Dex. Karena dia lah satu-satunya yang diamanati menjaga Widia, tapi pria itu sudah tak ada di sekiling pandangan Haryadi. "Dex! Dimana kau?" teriak Haryadi dengan derap langkah tegas menyisir setiap ruangan di apartemennya. Sementara, tangannya mengepal kuat. Pria itu sudah tak sabar ingin menghadiahi Dex dengan pukulan bogem nya. Bahkan mungkin sebuah
Sudah satu minggu setelah pengiriman peralatan dan bahan untuk menjalankan usaha konveksi bersama Ayu, warga kampung sekitar menjadi dua kubu. Kubu pertama adalah mereka yang tetap membenci Widia karena pernah dikirim daging yang masih tabu bagi mereka sampai saat ini. Kubu yang lain nya sudah mulai memaafkan dan berkunjung ke rumahnya. Di rumah Widia kini, sudah tersedia sedikitnya 5 mesin jahit. Tentu saja kedatangan warga kampung yang tak malu-malu meminta pekerjaan kepada Widia sangat diterima dengan antusias olehnya. Diantara mereka adalah wanita berusia 25 tahun dan ibu-ibu rumah tangga berusia 30 lebih. Ada yang mencoba-coba dan akhirnya terbiasa menggunakan mesin jahit. Ada pula yang mendapatkan pekerjaan ber-skill ringan seperti buang benang dan memotong kain. Hari-hari Widia semakin bersemangat dengan bantuan Ayu. Begitu pun dengan Ayu yang sangat terbantu oleh Widia dan warga sekitar karena mereka berhasil memproduksi beberapa kodi cardigan dalam waktu satu minggu. Hasil
"Satya!" teriak Mama Ami saat menekankan kepadanya untuk mendatangi rumah Mita. Satu jam yang lalu, calon besannya menelpon dan mengabarkan keadaan Mita bahkan sampai mengirim foto Mita yang berbaring di atas ranjang kamarnya. "Aku gak mau, Ma." Sebisa mungkin, Satya tetap menolak. "Ya sudah kalo kamu gak mau nurut permintaan terakhir Mama. Terpaksa, Mama akan menuruti pinta Papa Haryadi untuk menandatangani surat kuasa itu." Surat kuasa perusahaan mamanya akan dipindah tangankan secara full kepada Haryadi. "Ma, please ... kenapa mama sampai segitunya jodohin aku sama wanita yang bahkan gak pernah sedetik pun ada di hati aku, Ma?" "Persetan itu, tentang perasaan mu. Seperti yang udah mama bilang, mama akan segera menandatangani surat kuasa itu. Lagian, kalo kamu gak bisa nikahin Mita. Ya udah sana! Nikahin Widia. Mama kasih waktu kamu 2 hari. Kalau sampai Widia gak mau nerima kamu, ya terpaksa kamu harus menikahi Mita. Titik!" Sengaja, Bunda Ami berbicara demikian karena ia pun ta
"Kamu kenapa,Widia?" Danu menempelkan punggung tangannya pada dahi yang berkeringat. Widia menggigil kedinginan dan seperti yang ingin muntah."Gak tau, Bang. Aku ... pusing dan mual. Aku juga meriang." "Ah, mungkin kamu masuk angin, Widia." "Iya, Bang. Tolong ambilkan air hangat aku ingin minum air hangat." "Sebentar." Danu segera pergi ke dapur dan mengambilkan air minum. Namun, belum juga sampai dapur. Widia muntah-muntah di lantai kamar. Danu panik dan berfikir untuk membawa Widia ke klinik terdekat. Di klinik, Widia menjalani serangkaian pemeriksaan yang dilakukan oleh tenaga medis yang berpengalaman. Mereka memeriksa kondisi fisik Widia dengan seksama dan melakukan tes yang diperlukan.Setelah hasil tes keluar, tenaga medis memberikan kabar yang mengejutkan kepada Danu dan Widia. Widia dinyatakan hamil! Mereka berdua merasakan kombinasi antara kegembiraan, kejutan, dan sedikit kecemasan. Namun, perasaan bahagia mereka jauh lebih dominan karena mereka telah lama menginginkan
"Keluarlah dan mulailah hidup baru. Jalani kehidupan dengan baik," ucap seorang pria berseragam coklat yang bertugas mengeluarkan Danu dari penjara. Tiba saat yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Setelah menjalani tiga tahun di balik jeruji besi, Danu akhirnya bebas dari penjara yang telah membatasi kebebasannya. Dengan hati yang penuh harap, Danu melangkah keluar dari pintu penjara dan menuju ke tempat yang telah lama dinantikannya.Tidak ada waktu yang terbuang sia-sia bagi Danu. Begitu kaki-kakinya menyentuh tanah yang bebas, pria itu segera bergegas menemui Widia, orang yang selalu ada di pikirannya selama masa penahanannya. Dalam hati, ia berharap bahwa Widia masih setia menantikannya.Dengan langkah tergesa-gesa, Danu berjalan menuju rumah Widia. Detak jantungnya semakin cepat ketika ia mendekati pintu rumah yang sudah sangat akrab baginya. Dalam sekejap, Danu berdiri di depan pintu dan mengetuk dengan penuh harap."Assalamualaikum," sapa Danu dari luar. Bak seperti mimpi di sia
"Mulai tani lagi, Mbak Wid?" tanya beberapa warga yang berpapasan dengannya saat hendak pergi ke ladang. "Iya, Bu. Hari ini aku mau panen kacang." "Oh, boleh bantu gak , Mbak?" "Tentu saja, Bu. Ayok. Kebetulan saya tidak ada teman untuk memanen kacang." Dua orang wanita sahabat Ibundanya dulu mendekati langkah Widia dan akhirnya mereka pun ikut ke ladang Widia. Ada hal yang berbeda dengan Widia saat ini yang tampak enak dipandang oleh warga sekitar. Yaitu, Widia yang kembali tersenyum dan berwajah ceria. Widia kembali ke ladang pertaniannya dengan semangat yang membara. Dia memiliki tujuan yang jelas dalam pikirannya: untuk mensukseskan hasil pertanian dan membuat ibunya yang telah tiada bangga.Setiap hari, Widia bekerja keras di ladangnya. Dia memberikan perawatan yang cermat kepada tanaman, memastikan mereka mendapatkan nutrisi yang cukup, air yang cukup, dan perlindungan dari hama atau penyakit. Widia juga memantau perkembangan tanaman dengan seksama, memastikan mereka tumbu
"Assalamualaikum," sapa Widia saat memasuki rumahnya kembali setelah seharian berpetualan dengan pengalaman menegangkan dan penuh dengan resiko kematian. Hening, tiada sesiapa yang bisa ia ajak bicara di sana. Semua sudah pergi. Dia sendirian. Setelah peristiwa yang melelahkan dan menegangkan, Widia pulang ke rumah dalam keadaan lelah. Langkahnya terasa berat saat ia memasuki pintu rumah. Tubuhnya terasa lelah setelah melewati berbagai emosi dan perjuangan selama hari itu.Widia melepas sepatu dan duduk di sofa dengan nafas yang terengah-engah. Wajahnya mencerminkan kelelahan dan ketegangan yang masih terasa. Matanya terlihat lelah dan berat, mungkin akibat dari kurangnya istirahat dan ketegangan yang ia alami."Ahhh, apakah ini benar-benar akan selesai? Semuanya pergi meninggalkanku," Dia merasakan tubuhnya yang tegang dan otot-ototnya yang kaku. Setelah melewati hari yang penuh dengan emosi dan perjuangan, Widia merasakan kelelahan yang mendalam. Dia merasa butuh istirahat yang b
Di tengah kesibukan seorang petani yang tak pernah rehat, Widia memutuskan untuk melarikan diri sejenak dari kesibukan. Mereka berdua, duduk berdampingan di atas motor tua berwarna hitam milik Danu, bersiap untuk memulai perjalanan mereka."Apa harimu menjadi lebih baik?" "Sedikit," jawab Widia santai berusaha melalui hari ini dengan tenang meski akan terasa sangat diluar eksptasi. Widia, seorang gadis berjiwa bebas dengan rambut panjangnya yang berombak, duduk di belakang Danu. Matanya yang cemerlang menatap jauh ke depan, seolah-olah dia bisa melihat apa yang akan terjadi di masa depan. Sementara itu, Danu, pemuda yang tenang namun penuh semangat, memegang setir dengan erat, siap untuk membawa mereka berdua ke tempat yang belum pernah mereka kunjungi sebelumnya.Mereka berdua memulai perjalanan mereka di tengah malam, saat bintang-bintang di langit mulai berkelip, seolah-olah mereka sedang menunjukkan jalan bagi Widia dan Danu. Suara mesin motor yang berdengung seirama dengan det
"Jadi lu punya rencana apa?" tanya Danu yang sudah sangat tidak sabar ingin mengetahui rencana Mita. "Ntar, gua harus tau dulu apa yang dilakukan Widia akhir-akhir ini?" Mita mencoba mengumpulkan Informasi terlebih dahulu dari pria di hadapannya. "Sekarang dia tinggal di rumah Bu Siti sendirian. Ia juga sering datang ke ladang ibunya untuk melanjutkan usaha tani ibunya yang sudah meninggal." "Oke, gua catat apa yang dilakukan Widia akhir-akhir ini. Tapi, gimana hubungan lu sama dia sekarang?" tanya Mita mendikte."Buruk, Mit. Sangan buruk." Memang seperti itu adanya. Danu tidak sedang berbohong hari ini. "Oke. Berarti lu bisa gua perintah dengan baik. Sebaiknya kita pancing dia dalam urusan pertanian seputar pekerjaannya sekarang. Misal dia lagi ada keperluan ke pasar. Lu tabrak aja dia!" "Maksud lu?" "Atau, kita bakar saja tanamannya di ladang. Gimana?" tanya Mita penasaran dengan jawaban Danu. "Apa ini tidak terlalu sadis?" "Heh, dodol! Dimana ada penjahat memikirkan sadis a
"Thank you, Angel. Gua bisa happy-happy sebelum gua pulang ke Indonesia lagi." "Lho? Kok pulang?" tanya Angel sambil merasa mehilangan saat membayangkan Mita yang assyik diajak belanja itu memutuskan untuk pulang. "Ya. Sepertinya tugasku di Indonesi lebih penting." "Perusahaan?" Tanya Angel menebak-nebak."No. Sesuatu yang lebih penting dari apapun." Mita mengulum senyum membayangkan sebentar lagi balas dendamnya akan segera tuntas. Meskipun keadaan Widia sekarang sudah sangat memprihatinkan. Tapi, ia khawatir jika jika suatu saat kebahagiaan kembali menyapanya. Mereka pun kembali melewati malam terakhir yang indah. Suasana malam di perjalanan memberikan pemandangan yang sangat indah dan mempesona bagi Mita dan Angel. Saat ini, Mita merasa bahwa alam serta apapun yang ada di dunia ini tengah berpihak kepadanya. Sampai Haryadi pun terciduk kejahatannya sehingga ia harus mendekam di bui. Hal itu sangat menguntungkan bagi Mita karena akhirnya pria bayaran yang bisa diandalkan oleh
933Danu keluar dari rumah Widia. Melangkah pasti dengan tujuan menggebu di dadanya. Layaknya seorang pria dengan hati yang lembut namun penuh emosi. Ia mengetahui bahwa kekasihnya, Widia, telah disakiti oleh Satya dan Mita, emosi yang membara dalam hatinya tidak bisa ditahan. Dia merasa seolah-olah dunianya runtuh, hatinya hancur berkeping-keping. Namun, di balik rasa sakit yang mendalam itu, ada juga keinginan kuat untuk membalas perbuatan mereka. Meski memang Danu juga terlibat, mungkin ini lah yang bisa ia lakukan sebelum menghukum dirinya sendiri atas dosa yang ia lakukan kepada Widia. Danu duduk di taman yang sepi, menatap suasana malam dengan pandangan kosong. Matanya yang biasanya berbinar sekarang tampak suram, mencerminkan kepedihan hatinya. "Hei, pergi sana! Ini tempat gua!" Seorang pria pemabuk datang menghampiri Danu. Danu sedang tak ingin menghiraukan siapapun. Fokusnya hanya merenung sekaligus merencanakan langkah-langkah untuk menemui Satya dan juga Mita. Entah den
"Kenapa semuanya jadi seperti ini?" Danu mengeluh sendirian di dalam apartemen sewaanya yang tinggal beberapa hari ini akan habis masa sewa. Bahkan ia sudah menerima pesan penagihan dari pihak hotel untuk segera melakukan payment sebelum waktu habis. Setelah kehilangan pekerjaannya, Danu berjuang untuk mencari pekerjaan baru. Namun, dalam situasi ekonomi dia terus menghubungi para penjahat kelas kakap untuk menawarkan diri menjadi bodyguard, tetapi belum berhasil mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengannya. Ini semua karena pria itu bekerja kepada Haryadi. Yang merupakan musuh atau saingan mereka. Maka otomatis Danu ditolaknya. Hidupnya menjadi semakin sulit ketika uang tabungannya semakin menyusut. Dia harus membatasi pengeluaran dan mengatur keuangan dengan sangat hati-hati. Apalagi jika ia mengingat apartemen satu-satunya yang ia jadikan tempat untuk istirahat itu kini hanya tinggal beberapa hari lagi. Setelah itu masa sewa habis. Mungkin ia akan menjadi orang jalanan lagi. "Si