Ruby tidak menggubris mereka yang berkenalan di kala ada orang yang sedang mencoba untuk melompat dari gedung yang punya tiga puluh lima lantai ini. Yongki tidak terlihat sungguh-sungguh ingin lompat. Sekujur tubuhnya gemetaran.
“Dulu suamimu suka mengajak Emilia dengan helikopternya dari gedung ini,” kata Yongki. Tangannya membelai-belai pelatuk. “Dia menawarkan dunia pada anakku. Ha. Bukan, Emilia bukan anakku… Dia sudah dinodai oleh kakeknya sendiri…” Yongki menangis. “Aku menyayangi dia seperti anakku sendiri!”
“Pak Yongki, apa Bapak tidak memikirkan perasaan Sandra jika kehilangan Bapak?” Sialan. Selama ini mana aku peduli perasaan wanita yang telah merebut suamiku? Tapi, bagaimana pun, kehilangan seorang ayah bukanlah hal yang mudah untuk dilalui.
“Aku telah memfitnah menantuku sendiri,” sambung Yongki. Ia terus mundur, mendekati pagar besi yang hanya setinggi perutnya. “Suamimu tidak menodai kedua putriku!” Begitu melihat Ruby mendekat, Yongki menodong
Kemudian dilepaskannya pelukannya dan menghampiri Bhisma. “Aku tidak akan meneruskan tudinganku pada dua pria Hardana,” katanya. “Aku akan menjadi pria yang layak untuk dihargai oleh anak dan menantuku.” Ruby tersenyum menutupi keletihannya. Terima kasih, Ya Allah, masalah yang menghadang keluargaku berkurang. Dirasakannya seseorang menggenggam tangannya dari belakang. Adam tengah tersenyum padanya. “Penyihir,” katanya dengan nada bergurau. “Sekali lagi, kamu berkorban untuk suamimu di depanku.” “Ruby?” Mereka menoleh pada Bhisma. Yongki dan dua sekuriti sudah turun dari atap itu. “Kamu hebat,” puji Bhisma. “Aku sudah berusaha keras untuk menghentikannya, dan ketika kamu datang, dia seakan dihipnotis.” “Semua ini berkat Adam,” jawab Ruby. “Aku terinspirasi banyak darinya. Dia telah mengajarkan aku menjadi orang yang mau memikirkan perasaan orang lain saat aku terpuruk.” “Kalian… sangat dekat,” pendapat Bhisma. Adam mera
Apakah masuk angin? Ruby pernah mengalaminya ketika dada kirinya sakit lantaran masuk angin. Wajar Attar masuk angin, kan? Ia lebih banyak di luar daripada di rumah. “Kamu sakit apa?” “Hanya nyeri saja,” jawab Attar. Sebenarnya dengan obat-obatan yang diberi dokter sudah menghilangkan nyerinya. Ia hanya tidak ingin ketergantungan dengan obat-obatan, karena itu ia mencoba untuk merendam dadanya saja walaupun percuma. “Faktor usia, mungkin.” “Sudah EKG?” Hampir Attar menjawab ‘ya’ dan memberitahu hasilnya. “Hmm, tidak penting. Barangkali karena sudah lama tidak bergairah saja hingga sakit begini.” “Kristi memang cantik,” balas Ruby tanpa perasaan. “Sayang sekali kamu harus mengusirnya. Kalau aku tahu kamu akan sakit begini, aku takkan membuatnya pergi dari rumah ini.” “Oh, Sweetheart, don’t play the dutiful wife,” desis Attar. “Aku tidak akan meladeni kecemburuanmu dan menghujanimu dengan kata-kata manis.” “Begitu, ya? S
Ketika Ruby membalikkan tubuhnya, suaminya sudah tidur di balik selimut, dengkurannya yang halus terdengar. Piyamanya sudah tergeletak rapi di kursi dekat tempat tidur. Celananya ikut dilepaskannya? Alis Ruby menaik. Suaminya memang belum berubah. Ruby merebahkan dirinya di sebelah suaminya. Ia lelah sekali hari ini. Adam—Bhisma—Yongki. Mereka seperti menekan pikirannya hari ini, dan Ruby bersyukur bisa menolong Yongki yang tersesat. Pria itu tidak akan menghabiskan waktunya di akhirat, belum. Ruby tidak membayangkan perasaan Sandra jika tahu ayahnya bunuh diri karena merasa bersalah pada dirinya. Pasti akan sedih seumur hidup. Kepala Ruby terasa pusing sekali. Memejamkan mataya pun sulit. Kehamilannya memang membuatnya mudah capek. Apalagi hari ini ia makan banyak, dan muntahannya pun lebih banyak. Andai saja ia memiliki suami yang dapat menyayanginya, merawatnya tanpa mengeluh, barangkali ia tak akan stres menghadapi sakit begini. Pikirannya memutar hingga
Ia kembali tidur. Ketika ia terbangun, ia mendapati cahaya yang menyilaukan matanya hingga ia memejamkan matanya kembali. Bau ini… bau obat-obatan. Dibukanya matanya lebar-lebar dan melihat jarum infus yang menusuk tangannya. Dia berada di tempat yang asing. Tempat yang mengingatkannya pada seberkas cahaya putih yang memantul pada jasad ayahnya yang dimandikan di kamar mandi jenazah. Astaga, dia berada di rumah sakit? Ruby tidak suka berada di sini. Rumah sakit tidak pernah memberinya kenangan baik. “Damn, I hate this place,” terdengar gumam Attar. Ruby menegakkan tubuhnya dan bersandar di bantalan. Suaminya sedang melipat-lipat bajunya dan memasukkannya ke lemari. Selagi suaminya tidak menyadari ia sudah bangun, Ruby menoleh pada nakas. Terdapat kertas pada buket mawar itu. Ruby meraihnya, dan membacanya. Get well soon, my grand-daughter. Hasyim Hardana. Apa? Kakek Hasyim sepertinya sudah mulai pikun. Atau mungkin dia sudah menyayan
“You’re kidding aren’t you?” Mata Attar menyipit tidak percaya pada istrinya. “Hmm, benarkah? Kuharap begitu.” Ruby merebahkan dirinya dan mulai memejamkan matanya, dan merasakan gundangan di lengannya. “Damn you, my wife,” desis Attar. “Jangan coba menghindari pertanyaanku dengan pura-pura tidur.” Ia menepiskan lengannya dari tangan suaminya. Dengan mata terpejam ia tersenyum licik. “Itulah yang kurasakan ketika kamu mengaku tak mencintaiku, Sweetheart.” “Kalau begitu jangan membuatku penasaran begini, Ruby. Oh, aku paham sekarang. Itukah sebabnya kamu manis lagi padaku? Karena kamu tahu aku akan mati sebentar lagi, dan merasa untuk apa bercerai jika tak lama lagi kita berpisah?!” Sontak Ruby membuka matanya. “Aku sama sekali tidak berpikir begitu!” bantahnya. “Memikirkanmu akan mati dalam waktu dekat pun tidak. Dan jangan katakan hal semacam itu lagi padaku.” Tidak heran reaksi Ruby berlebihan. Kehilangan a
Attar menjemput anaknya di bandara. Anaknya, yang belum genap delapan tahun, sudah berani naik pesawat sendiri. Attar sudah mewanti-wanti ibunya agar tidak meninggalkan Eda sendiri, tapi Mama justru mengingatkannya, “Eda ini sepertimu. Tentu kamu masih ingat ketika kamu pergi ke Malaysia menyusul papamu, kan? Tahu-tahu Mama besok dimarahi Papa karena telah lengah menjagamu. Tapi tenang saja, Mami sudah meminta pilot pribadi kita untuk menjaganya baik-baik. Selain itu Mama mau menemani Papa dulu di rumah sakit. Biasa, cek tahunan. Jaga istrimu baik-baik, Tara. Sampaikan salam Mama pada istrimu.” Ya, masalahnya akan lain jika anaknya pergi dengan pesawat kontroversial. Untungnya Mama tidak sembrono membiarkan cucunya pergi dengan pesawat umum dengan orang-orang asing. Dari bandara mereka langsung ke rumah sakit. Di jalan Eda cerita banyak. Teman-temannya yang menyenangkan. Nilai-nilainya yang bagus. Dan sekarang dia sudah mendapat libur akhir tahun dan bisa tinggal di
“Mereka memberikan ini untuk menyambutku. Kapan lagi milyuner makan di restoran mereka?” Kakek tertawa kecil. “Kamu tidak marah lagi padaku?” “Saya belajar untuk tidak membenci Kakek,” jawab Attar tenang. “Kalau pun saya bukan…, nggg, pewaris kekayaan Kakek yang seharusnya, saya akan menerima Kakek sebagai kakek dari istri saya.” “Tidak apa. Artinya kamu tidak akan bercerai dengan Rubinia, begitu?” “Membuat Ruby mencintai saya dan menjatuhkannya seperti yang Kakek lakukan pada saya bukanlah hal yang sulit dilakukan.” Hasyim mendelik padanya. “Jangan berani kamu lakukan itu pada cucuku, Tara,” katanya dingin. “Sejak kapan Anda peduli pada cucu Anda?” sahut Attar sama batunya. “Anda bisa tidak memperburuk masalah ini dengan mengakuinya dari dulu atau mati dengan rahasia itu, Pak Hasyim.” “Kalau bukan karena ketololanmu, kamu tidak akan mengakui itu pada istrimu, ingat?” Ya, Attar masih ingat mengapa Ruby sampai tahu tentang rahas
“Tidak, Tara. Kamulah pria baik itu. Sampai sekarang kukira Ruby tidak tahu kan kamu serangan jantung setelah ia pergi dari rumah?” Attar mengangguk. “Sudah jarang kambuh. Tidak ada gunanya memberitahunya.” “Mungkin itu bisa membuatnya berpikir lain mengenai dirimu. Seorang wanita, meski di depannya tegar, dalam hati memiliki sekelebat pikiran yang tak diutarakan, Attar. Kamu harus mengubah perspektif istrimu mengenai dirimu.” “Saya rasa dengan ia mengetahui bahwa saya yang menebus McLaren-nya, dia telah mengubah pola pikirnya tentang saya.” “Belum cukup. Uang bukanlah masalah untukmu. Tapi, nyawa, ketika ia tahu kamu nyaris mati karenanya, itu akan membuatnya cinta padamu seperti dulu.” “Apa gunanya? Ayahnya sudah mati dan aku masih dapat melihat kesakitan yang mengerudungi wajahnya. Kematianku bukanlah hal yang besar untuk istriku.” “Hm, kamu pesimis sekali,” dengus Hasyim. “Baiklah. Mungkin aku akan mulai menulis untuk Edo.” Kakek m