Ia kembali tidur. Ketika ia terbangun, ia mendapati cahaya yang menyilaukan matanya hingga ia memejamkan matanya kembali. Bau ini… bau obat-obatan. Dibukanya matanya lebar-lebar dan melihat jarum infus yang menusuk tangannya.
Dia berada di tempat yang asing. Tempat yang mengingatkannya pada seberkas cahaya putih yang memantul pada jasad ayahnya yang dimandikan di kamar mandi jenazah. Astaga, dia berada di rumah sakit? Ruby tidak suka berada di sini. Rumah sakit tidak pernah memberinya kenangan baik.
“Damn, I hate this place,” terdengar gumam Attar.
Ruby menegakkan tubuhnya dan bersandar di bantalan. Suaminya sedang melipat-lipat bajunya dan memasukkannya ke lemari. Selagi suaminya tidak menyadari ia sudah bangun, Ruby menoleh pada nakas.
Terdapat kertas pada buket mawar itu. Ruby meraihnya, dan membacanya. Get well soon, my grand-daughter. Hasyim Hardana. Apa? Kakek Hasyim sepertinya sudah mulai pikun. Atau mungkin dia sudah menyayan
“You’re kidding aren’t you?” Mata Attar menyipit tidak percaya pada istrinya. “Hmm, benarkah? Kuharap begitu.” Ruby merebahkan dirinya dan mulai memejamkan matanya, dan merasakan gundangan di lengannya. “Damn you, my wife,” desis Attar. “Jangan coba menghindari pertanyaanku dengan pura-pura tidur.” Ia menepiskan lengannya dari tangan suaminya. Dengan mata terpejam ia tersenyum licik. “Itulah yang kurasakan ketika kamu mengaku tak mencintaiku, Sweetheart.” “Kalau begitu jangan membuatku penasaran begini, Ruby. Oh, aku paham sekarang. Itukah sebabnya kamu manis lagi padaku? Karena kamu tahu aku akan mati sebentar lagi, dan merasa untuk apa bercerai jika tak lama lagi kita berpisah?!” Sontak Ruby membuka matanya. “Aku sama sekali tidak berpikir begitu!” bantahnya. “Memikirkanmu akan mati dalam waktu dekat pun tidak. Dan jangan katakan hal semacam itu lagi padaku.” Tidak heran reaksi Ruby berlebihan. Kehilangan a
Attar menjemput anaknya di bandara. Anaknya, yang belum genap delapan tahun, sudah berani naik pesawat sendiri. Attar sudah mewanti-wanti ibunya agar tidak meninggalkan Eda sendiri, tapi Mama justru mengingatkannya, “Eda ini sepertimu. Tentu kamu masih ingat ketika kamu pergi ke Malaysia menyusul papamu, kan? Tahu-tahu Mama besok dimarahi Papa karena telah lengah menjagamu. Tapi tenang saja, Mami sudah meminta pilot pribadi kita untuk menjaganya baik-baik. Selain itu Mama mau menemani Papa dulu di rumah sakit. Biasa, cek tahunan. Jaga istrimu baik-baik, Tara. Sampaikan salam Mama pada istrimu.” Ya, masalahnya akan lain jika anaknya pergi dengan pesawat kontroversial. Untungnya Mama tidak sembrono membiarkan cucunya pergi dengan pesawat umum dengan orang-orang asing. Dari bandara mereka langsung ke rumah sakit. Di jalan Eda cerita banyak. Teman-temannya yang menyenangkan. Nilai-nilainya yang bagus. Dan sekarang dia sudah mendapat libur akhir tahun dan bisa tinggal di
“Mereka memberikan ini untuk menyambutku. Kapan lagi milyuner makan di restoran mereka?” Kakek tertawa kecil. “Kamu tidak marah lagi padaku?” “Saya belajar untuk tidak membenci Kakek,” jawab Attar tenang. “Kalau pun saya bukan…, nggg, pewaris kekayaan Kakek yang seharusnya, saya akan menerima Kakek sebagai kakek dari istri saya.” “Tidak apa. Artinya kamu tidak akan bercerai dengan Rubinia, begitu?” “Membuat Ruby mencintai saya dan menjatuhkannya seperti yang Kakek lakukan pada saya bukanlah hal yang sulit dilakukan.” Hasyim mendelik padanya. “Jangan berani kamu lakukan itu pada cucuku, Tara,” katanya dingin. “Sejak kapan Anda peduli pada cucu Anda?” sahut Attar sama batunya. “Anda bisa tidak memperburuk masalah ini dengan mengakuinya dari dulu atau mati dengan rahasia itu, Pak Hasyim.” “Kalau bukan karena ketololanmu, kamu tidak akan mengakui itu pada istrimu, ingat?” Ya, Attar masih ingat mengapa Ruby sampai tahu tentang rahas
“Tidak, Tara. Kamulah pria baik itu. Sampai sekarang kukira Ruby tidak tahu kan kamu serangan jantung setelah ia pergi dari rumah?” Attar mengangguk. “Sudah jarang kambuh. Tidak ada gunanya memberitahunya.” “Mungkin itu bisa membuatnya berpikir lain mengenai dirimu. Seorang wanita, meski di depannya tegar, dalam hati memiliki sekelebat pikiran yang tak diutarakan, Attar. Kamu harus mengubah perspektif istrimu mengenai dirimu.” “Saya rasa dengan ia mengetahui bahwa saya yang menebus McLaren-nya, dia telah mengubah pola pikirnya tentang saya.” “Belum cukup. Uang bukanlah masalah untukmu. Tapi, nyawa, ketika ia tahu kamu nyaris mati karenanya, itu akan membuatnya cinta padamu seperti dulu.” “Apa gunanya? Ayahnya sudah mati dan aku masih dapat melihat kesakitan yang mengerudungi wajahnya. Kematianku bukanlah hal yang besar untuk istriku.” “Hm, kamu pesimis sekali,” dengus Hasyim. “Baiklah. Mungkin aku akan mulai menulis untuk Edo.” Kakek m
“Tanyalah pada mamamu, Tante Anna, mengapa dulu Kakek lebih menyayangi Armand Adiwangsa daripada anak-anaknya yang lain. Dia merasa bersalah karena tak punya kesanggupan untuk mengakui yang sebenarnya di depan ayah Ruby.” “Dan itu artinya kamu telah menikah dengan sepupumu?” Attar tertawa, menggeleng. “Tidak, Adam. Apakah kamu tidak pernah mempertanyakan kenapa wajah keluargaku seperti orang Latin? Karena Nenek Miriam ditinggal suami pertamanya yang berkebangsaan Spanyol.” “Hell no,” bantah Adam dengan desisan tak percaya. “Semua orang tahu betapa kamu dielu-elukan oleh Kakek Hasyim. Bagaimana mungkin dia mendukung kamu yang tidak punya hubungan darah dengannya?” “Pertanyaan yang cerdas, tapi aku lebih suka membiarkannya sebagai rahasia Kakek Hasyim.” Attar tersenyum. Tersenyum untuk pertama kalinya tanpa kejengkelan menyergapi hatinya untuk Adam. “Dia bahkan memaafkan aku yang telah…, kamu tahu.., anaknya dengan nenek Ruby. Barangkali ia men
Fariz masuk ke ruang kerjanya sambil membawa map. Tanpa permisi ia duduk di sofa, memperhatikan sepupunya yang sedang berkutat dengan kertas-kertas dan data-data statistik di laptop. “What the hell are you doing?” tegur Fariz.“Memeriksa laporan-laporan akhir tahun, Sepupu,” jawab Attar. “Ada berita terbaru? Mengapa masuk tanpa izin begitu?”“Oke, maaf sebelumnya. Aku baru tahu kamu bersih, Tara. Betapa bodohnya aku selama ini, pura-pura polos memaafkanmu sebagai penyebab kematian Emilia. Sekali lagi aku minta maaf telah menuduhmu.”“Baiklah kumaafkan. Ada lagi?”“Kamu sudah tahu yang sebenarnya?” tanya Fariz kaget. “Kukira Kakek hanya memberikan jurnal mengenai Loki Idrus hanya padaku dan istrimu. Maksudku, Ruby bisa saja memberitahumu, tapi aku tahu sekali kamu tidak akan percaya begitu saja.”“Aku tidak peduli lagi, Iz,” jawa
“Mengapa tidak kamu saja yang melakukan proyek ini? Aku yakin kamu bisa menggantikan aku di sini. Kamu lebih berhak.”“Oh, Tara, bahkan aku tidak merasa ada bedanya kamu cucu Kakek atau bukan,” dengus Fariz. “You’re always my leader, cousin. Aku menyesal telah mengantarkan pesan Stephen mengenai tawaran itu. Mereka selalu welcome kapan pun kamu menerima mereka.”“Tidak ada ketegasan sekali. Mengapa tidak mencari CEO lain saja?”“Memang banyak pengusaha properti yang sukses, tapi mereka memilih untuk menjaga perusahaan mereka sendiri. Stephen berpikir dengan anggota keluarga Hardana yang banyak, melepasmu bukanlah masalah besar untuk kita. Tapi nyatanya, itu masalah juga.”“Aku percaya padamu.”“Tidak, Attar,” jawab Fariz tegas. “Aku akan sangat membencimu jika kamu meninggalkan perusahaan ini. Aku tahu passion-ku bukan di sini.
“Mengapa kamu di sini?”“Mengapa aku di sini?” Suara Attar meninggi mendengar pertanyaan istrinya. “Well, kenapa aku harus di tempat lain di saat istriku sedang dirawat?”“Kamu terbiasa di kantor setiap akhir tahun atau bersama Nina dan yang lainnya berpesta menyambut tahun baru.”“Aku tidak begitu semangat di Hardana Land untuk saat ini. Bagaimana menurutmu jika aku pindah ke perusahaan Stephen? Hm, Stephen ini teman Fariz yang waktu itu kuceritakan. Dia yang menawarkan aku jadi CEO di Osvaldo Property.”Ruby mengernyit tanda tidak setuju. “Itu artinya kita akan tinggal di Singapura?”“Kita bisa berpisah dan aku bisa pulang setiap akhir minggu. Yah, mungkin juga tidak, karena uangku tidak akan sebanyak saat di Hardana Land dan aku tidak bisa memesan pesawat pribadiku sesukaku di sana.”“Aku tidak setuju jika kita harus berpisah. Maksudku, kita
“Bagaimana dengan kontrak itu? Ketika kamu bilang mengenai lamaran itu, aku teringat pada kontrak itu.” “Curse the contract. Kamu tidak akan meninggalkan suamimu yang satu ini, kan?” Attar terus mencium, menggigit, leher serta bahu istrinya. “I will never give up on you, Rubiniaku. You’re the light of my life, I love you so much. Way too much.” “Attar, katakan dulu apa yang terjadi dengan kontrak itu.” Ruby membalikkan tubuhnya dan menatap suaminya dengan penuh tuntutan. “Apa yang kamu lakukan dengan perjanjian itu?” “Well, aku tidak peduli dengan perjanjian itu. Kakekmu juga sudah tidak ada, bukan? Bahkan notaris yang menyaksikan perjanjian itu sudah pergi juga. Dan aku.” Attar terdiam sejenak. “Aku tidak perlu kontrak atau jaminan apa pun untuk memilikimu dan anak-anak.” “Benarkah?” “Mau taruhan? Sebelumnya, aku ingin tahu apakah aku masih kuat menggendongmu atau tidak.” Dengan tubuhnya yang kekar Attar ma
ItaliaPemuda dengan memakai kemeja kotak-kotak menggandeng gadis kecil berambut panjang. “Papa!” teriak gadis kecil itu.“Miriam!” Attar menghampiri putri kecilnya dan menggendongnya. “Bagaimana jalan-jalannya dengan Kak Eda?”Tujuh tahun berlalu begitu cepat. Attar bersyukur, dengan kesehatannya yang semakin membaik, dan di usianya yang menginjak empat puluh, ia mendapat semuanya—anak-anak yang cantik dan tampan yang pintar—istri yang begitu sabar menghadapinya. Kehidupannya sangat sempurna tujuh tahun terakhir, setelah puluhan tahun sebelumnya ia habiskan dengan kebohongan dan kemarahan yang tak terkendali.Attar menamakan anak keduanya Miriam. Sebagai tanda hormatnya pada sang nenek yang sudah lama pergi. Nenek yang dicintai kakeknya, yang akan selamanya Attar kenang akan kebaikan sang kakek semasa hidupnya.Sebelum meninggalkan Hardana Land dan tinggal di Singapura, Attar melakuk
“Kata Tante Nina, Oom Attar tidak bisa bawa yang berat-berat dulu sejak serangan kayak Kakek.”Anak kecil tidak mungkin berbohong. Agar tidak membahas lebih lanjut, Attar bangkit dan mengajak istrinya untuk ke kamarnya yang berada di lantai yang sama. Sebelumnya ia menitip pesan pada Eda untuk menemani Kakek Malik dan Nenek Lenny di sana.Ketika Attar mendorong kursi roda istrinya ke kamar, sosok Kakek Gun dan keluarga Adiwangsa lainnya muncul. Mereka menjelaskan bahwa di luar macet sekali hingga Kakek Gun harus naik helikopter dari Menara Adiwangsa yang lokasinya tak jauh dari rumah.Kakek Gun meminta Ruby untuk beristirahat dulu sementara keluarga Adiwangsa menjenguk Hasyim. Ruby menolak, namun tak punya pilihan karena Edo dan Shera ikut mengkhawatirkan keadaannya.Begitu sampai kamar Attar membantu istrinya untuk bangun dan berbaring di tempat tidur. Dipastikannya kepala istrinya sudah nyaman dengan bantalnya. Kemudian ia duduk di tepi temp
“Kakek saya tidak pernah terlihat sakit.”“Anda pun juga begitu. Tapi Anda pernah serangan juga, bukan?” Dokter Prapto, dokter yang sama yang menangani Attar ketika ia dirawat. “Sekarang temuilah anggota keluarga yang lain di lorong, Pak Attar.”Dengan lemas Attar keluar dari kamar kakeknya. Di lorong sudah ada semua anggota keluarga Hardana, termasuk dari keluarga menantu. Adam, Fariz, dan sepupu yang lain memeluknya, memberi semangat padanya.Attar menghampiri istrinya yang duduk di atas kursi roda di pojok sebelah ibunya. Sebelumnya Attar memeluk mama-papanya, dan meminta Eda untuk mendoakan kakek buyutnya agar cepat sembuh.Ia duduk di kursi yang paling dekat dengan istrinya. “Bagaimana ceritanya? Kata Pak Mahdi dia serangan di kamarmu.”Ruby mengangguk. “Kakek mengakui semuanya di depanku.”“Apakah kamu menyakitinya?”Mata Ruby menyipit. Apakah suaminya berni
“Kakek Hasyim,” kata Ruby. “Ada perlu apa kemari?” Tidak perlu bertanya sebenarnya. Ia tahu apa yang ingin dikatakan kakek. Mengenai hubungan mereka yang sebenarnya. Tapi Ruby tidak tertarik. Yang diinginkannya adalah menemui Attar, membahas jenis kelamin bayinya.“Apakah Attar belum memberitahu bahwa aku…”“Kakekku? Sudah.”Ketenangan yang ditunjukkan Ruby membuat Hasyim terbelalak. “Kamu tidak marah atau benci padaku, Rubinia…”“Saya tidak punya pilihan, bukan,” jawab Ruby sinis. “Anda sudah mendapatkan apa yang Anda inginkan. Attar tidak dipenjara, dan saya telah menikah atas kehendak Anda.”“Ruby, saya tidak menyangka kamu berpikir seperti itu mengenai saya…” Hasyim mengira dirinya sudah baik pada cucunya yang satu ini. Ia telah lama berdiam diri dengan fakta yang ditelannya puluhan tahun. Dan reaksi Ruby adalah beban besar untuk
Armand memiliki temper yang sulit diduga. Ketika Edo masuk usia remaja, sikap Armand berubah pada putranya. Kasih sayang yang dulu disalurkannya pada anak-anaknya sirna begitu saja. Berganti dengan kemarahan karena anak-anaknya tidak ada yang menghargainya sebagai kepala rumah tangga, kebenciannya pada Gunawan yang tak pernah bersikap tegas padanya, bahkan seakan menunjukkan sikap tidak sayang pada anaknya dengan mendukung hubungan Armand dengan Hasyim.Hingga suatu hari Hasyim melakukan kesalahan.Dia tidak bisa mengekang dirinya untuk mengakui Armand. Pada acara open house Lebaran yang diadakan keluarga Adiwangsa, ia memanggil Ruby dengan sebutan yang tak biasa. “Hai, gadis kecil. Tidak salam pada kakekmu?”Ruby menoleh padanya dengan heran. Saat itu ia sudah remaja dan dia bukan cucu Hasyim. “Saya bukan Nina,” kata Ruby kikuk.“Tentu saja. Kamu Rubinia. Cucuku.”Percakapan mereka tidak berlanjut tatka
“Mustahil untuk membuka pintu maafmu,” bisik Attar di lehernya. “Aku insyaf, lelaki yang kini menjadi suamimu lelaki yang serakah, meraup apa yang diinginkannya, dan sekarang kamu menyadarkan aku bahwa malaikat pun tak sanggup memaafkan aku.”“Aku bukan malaikat,” jawab Ruby, masih memunggungi suaminya. “Aku hanya wanita tolol yang mencintaimu.”“Aku tetap suamimu, Nia. It’s my duty to ease your ache, and…” “Berhentilah mengesankan kamu melakukan ini karena statusmu,” bentak Ruby. Ia berbalik menatap suaminya. “Bisakah sekali saja kamu katakan padaku, kamu merawatku, menolongku, karena kamu seorang manusia yang memiliki hati nurani? Seorang suami yang mencintai istrinya?”“Kalau pun aku mengatakannya, kamu tidak akan percaya lagi padaku,” jawab Attar kaku. “Aku tidak perlu membusakan mulutku dengan janji-janji lagi. Aku akan buktika
“Mengapa kamu di sini?”“Mengapa aku di sini?” Suara Attar meninggi mendengar pertanyaan istrinya. “Well, kenapa aku harus di tempat lain di saat istriku sedang dirawat?”“Kamu terbiasa di kantor setiap akhir tahun atau bersama Nina dan yang lainnya berpesta menyambut tahun baru.”“Aku tidak begitu semangat di Hardana Land untuk saat ini. Bagaimana menurutmu jika aku pindah ke perusahaan Stephen? Hm, Stephen ini teman Fariz yang waktu itu kuceritakan. Dia yang menawarkan aku jadi CEO di Osvaldo Property.”Ruby mengernyit tanda tidak setuju. “Itu artinya kita akan tinggal di Singapura?”“Kita bisa berpisah dan aku bisa pulang setiap akhir minggu. Yah, mungkin juga tidak, karena uangku tidak akan sebanyak saat di Hardana Land dan aku tidak bisa memesan pesawat pribadiku sesukaku di sana.”“Aku tidak setuju jika kita harus berpisah. Maksudku, kita
“Mengapa tidak kamu saja yang melakukan proyek ini? Aku yakin kamu bisa menggantikan aku di sini. Kamu lebih berhak.”“Oh, Tara, bahkan aku tidak merasa ada bedanya kamu cucu Kakek atau bukan,” dengus Fariz. “You’re always my leader, cousin. Aku menyesal telah mengantarkan pesan Stephen mengenai tawaran itu. Mereka selalu welcome kapan pun kamu menerima mereka.”“Tidak ada ketegasan sekali. Mengapa tidak mencari CEO lain saja?”“Memang banyak pengusaha properti yang sukses, tapi mereka memilih untuk menjaga perusahaan mereka sendiri. Stephen berpikir dengan anggota keluarga Hardana yang banyak, melepasmu bukanlah masalah besar untuk kita. Tapi nyatanya, itu masalah juga.”“Aku percaya padamu.”“Tidak, Attar,” jawab Fariz tegas. “Aku akan sangat membencimu jika kamu meninggalkan perusahaan ini. Aku tahu passion-ku bukan di sini.