Share

Bab 2

Mendengar perkataan itu, tangan Livy langsung gemetaran. Ponselnya tergelincir dari tangannya dan terjatuh ke lantai. Livy bahkan sempat curiga pendengarannya bermasalah.

Sambil memegang dadanya, Livy buru-buru memungut kembali ponselnya dan bertanya dengan terbata-bata, "Pak Preston, apa ... ada masalah?"

"Kamu tahu sendiri." Setelah melontarkan ucapan tersebut, Preston langsung menutup teleponnya. Wajah Livy memucat seketika.

Ini benar-benar gawat! Preston pasti mau buat perhitungan dengannya!

Setelah Livy meletakkan koper Preston di dalam apartemennya, dia segera pulang ke rumah dan mulai mengirimkan lamaran pekerjaan. Karena terlalu lelah, Livy tertidur di atas meja begitu selesai mengirimkan beberapa lamaran. Tiba-tiba, dering telepon membangunkannya.

Melihat nama Preston di layar, Livy langsung terkejut dan rasa kantuknya hilang seketika. Dia segera mengangkat telepon itu. "Pak ... Pak Preston."

"Di mana kamu?" Pertanyaan yang sederhana itu membuat bulu kuduknya berdiri.

Livy melirik jamnya sekilas. Saat ini sudah pukul setengah tujuh malam. "Maaf, Pak, saya ketiduran dan belum sempat ke sana," jawab Livy sambil buru-buru meminta maaf.

"Datang ke sini dalam waktu setengah jam," Preston memberi perintah singkat.

Setelah telepon ditutup, Livy langsung memesan taksi dan memohon kepada sopir untuk mempercepat laju kendaraannya. Sopir itu bahkan mengira dia sedang terburu-buru untuk memergoki orang yang berselingkuh.

Dengan napas tersengal-sengal, Livy akhirnya berhasil tiba tepat waktu. Rasanya hampir saja dia kehabisan napas. Kalau sampai pingsan di depan rumah Preston, mungkin pria itu benar-benar akan menghancurkan tubuhnya sampai tak bersisa!

Walaupun Livy sudah mengetahui kode pintu apartemen, dia tetap mengikuti aturan dan mengetuk pintu dengan sopan. Begitu pintu terbuka, di hadapannya muncul wajah tampan Preston.

Tak bisa dipungkiri, Preston benar-benar rupawan. Tak heran dia menjadi pria idaman dari semua wanita, baik di kota ini maupun di seluruh negeri.

"Pak Preston," sapa Livy dengan suara pelan sambil menundukkan kepala.

Preston yang memang jauh lebih tinggi darinya, hanya bisa melihat bagian belakang kepala Livy yang tertunduk. Dia menahan tawa kecil, lalu berkata, "Masuk."

Livy mengikutinya masuk ke apartemen tersebut. Dia menyadari bahwa suasana hati Preston tampaknya sangat baik. Sepertinya proyek resor yang mereka kunjungi sangat memuaskan.

Kalau begitu, apa dia boleh menggunakan kesempatan ini untuk minta maaf? Livy benar-benar tidak ingin kehilangan pekerjaan ini. Saat mencoba melamar pekerjaan di tempat lain tadi siang, Livy menyadari bahwa posisi yang ditawarkan tidak sesuai dan gajinya bahkan setengah dari yang dia terima di Grup Sandiaga.

Selain itu, Livy bukan sekretaris utama Preston, melainkan hanya salah satu sekretaris di departemen itu. Posisi Livy bisa digantikan kapan saja. Hanya dengan sebuah perintah dari Preston, Livy bisa langsung dipecat tanpa diberi kesempatan untuk membela diri.

Sebab bagaimanapun, Livy hanyalah orang yang tidak terlalu penting.

"Pak Preston, kumohon jangan pecat aku. Aku bersumpah, kalau Bapak nggak mau melihatku, aku bisa menghindari Bapak. Bapak bahkan boleh memindahkanku ke departemen yang jauh. Aku bisa melakukan pekerjaan apa pun. Aku nggak mau meninggalkan Grup Sandiaga ...."

Livy merasa seperti ingin menangis. Dia benar-benar tidak rela kehilangan pekerjaan yang menguntungkan ini!

"Siapa bilang aku mau pecat kamu?" Preston berbalik melihat wajah wanita ini yang merona dan matanya yang berkaca-kaca. Penampilannya tampak mudah sekali ditindas.

Pengalaman semalam meninggalkan kesan mendalam baginya. Kini, tenggorokan Preston terasa kering dan benaknya masih dipenuhi dengan apa yang telah terjadi.

"Ah?" Livy tiba-tiba mendongak menatap mata Preston yang tajam. Tatapan itu membuat jantung Livy berpacu kencang. Dia tidak bisa memahami apa yang tersembunyi di balik tatapan itu.

Tunggu! Apakah maksud Preston tadi, dia tidak berencana untuk memecatnya? Lalu, kenapa Preston memanggilnya ke sini? Apakah hanya untuk memarahinya secara pribadi?

"Kamu punya pacar?"

Pertanyaan yang mendadak itu menyadarkan Livy dari lamunannya. Dia menggelengkan kepala dengan bingung. "Nggak ada," jawabnya. Memang, Livy tidak punya pacar lagi setelah putus dari Stanley dan saat ini dia sedang dalam status lajang.

Preston mengangguk perlahan, seakan-akan sudah menduga jawabannya. Sebab, dia tahu bahwa kejadian semalam adalah pengalaman pertama bagi Livy dan dia bisa merasakannya.

"Besok pagi jam sembilan, ikut aku ke kantor catatan sipil," ucap Preston dengan tenang.

Livy terdiam selama beberapa detik dan pupil matanya langsung menyusut tajam. Tadinya dia mengira dirinya akan dibawa ke kantor polisi, tapi kenapa malah jadi ke kantor catatan sipil?

"Pak Preston, untuk apa kita ke kantor catatan sipil?" Livy masih bingung.

"Nikah."

Preston mendekati Livy, lalu mendorongnya dengan perlahan ke sofa. Livy kehilangan keseimbangan dan terjatuh di atasnya.

Tak lama kemudian, dia merasakan cahaya di depannya menjadi redup karena dihalangi oleh tubuh Preston. Dia tidak menyangka akan ada malam kedua bersama Preston. Mereka terus bergumul dari sofa hingga ke kamar tidur dengan pakaian yang berserakan di lantai.

....

Livy benar-benar tidak menyangka, Preston memberinya "pelajaran" secara pribadi. Namun, konteks "pelajaran" yang diberikannya ternyata berbeda dari yang dibayangkannya.

"Pak Preston, kenapa Bapak mau nikah denganku? Sebenarnya Bapak nggak perlu bertanggung jawab."

Livy sebenarnya ingin mengatakan bahwa dia memang sengaja menggoda Preston semalam. Namun, Preston tampaknya mengira semua itu adalah sebuah kecelakaan.

"Aku butuh seseorang untuk dinikahi dan kamu yang paling cocok."

....

Keesokan paginya, pukul setengah sepuluh.

Setelah mengambil dokumen-dokumennya dari apartemen, Livy dan Preston pergi ke kantor catatan sipil. Kini, Livy melangkah keluar dari kantor itu sambil menatap akta nikah di tangannya. Dia merasa seolah-olah baru saja bermimpi.

Apa benar dia baru saja menikah dengan Preston? Nikah mendadak sama atasannya?

Tentu saja, Livy sudah memahami tujuan Preston menikahinya. Ini bukan karena Preston ingin bertanggung jawab, tetapi lebih karena dia membutuhkan seseorang untuk menghadapi tekanan dari keluarganya. Apalagi, ayahnya terus memaksanya menikah.

Di perusahaan, Livy tetap hanya seorang sekretaris dan hubungan pernikahan mereka dirahasiakan dari publik. Selain itu, pernikahan mereka bukanlah pernikahan yang sebenarnya, melainkan sebuah pernikahan kontrak. Mereka juga menandatangani perjanjian pernikahan.

Preston memberikan uang dan Livy menjalankan perannya sesuai permintaan. Keduanya memiliki kepentingan masing-masing.

"Kamu boleh libur setengah hari. Pulang dan kemas barang-barangmu, pindah ke Harmony Residence," kata Preston saat mengantarkan Livy ke apartemennya sebelum berangkat ke kantor.

Livy tidak punya banyak barang. Hanya dalam sekejap, dia telah selesai membereskan semuanya. Saat baru saja hendak memesan taksi untuk pindahan, dia melihat sebuah sosok yang tidak asing. Orang itu adalah asisten pribadi Preston, Bendy.

"Pak Bendy," sapa Livy dengan sedikit terkejut.

Bendy segera menghampirinya dan mengambil koper Livy sambil berkata, "Nyonya, Pak Preston memintaku untuk mengantarkanmu ke sana."

Livy merasa tidak nyaman mendengar panggilan itu. "Pak Bendy, panggil aku Livy saja atau Bu Livy. Pernikahanku dan Pak Preston harus dirahasiakan. Ini cuma sebuah transaksi," jawab Livy dengan senyum canggung.

Di perusahaan, Bendy memiliki otoritas satu tingkat di bawah Preston. Di antara para karyawan, mereka sering bercanda menyebutnya sebagai "pengawas utama". Meskipun begitu, posisinya sangat tinggi, sehingga semua orang tetap hormat padanya.

Sekarang, melihat Bendy bersikap sopan dan bahkan membantu membawakan barang-barangnya, Livy merasa sangat tidak nyaman.

"Baiklah, Bu Livy," jawab Bendy mengikuti permintaannya Namun, jelas terlihat bahwa sikap Bendy menjadi jauh lebih hormat terhadap Livy.

Livy mencoba bersikap lebih santai dan berkata, "Pak Bendy, bisa lebih santai saja ya ...."

"Baik," kata Bendy sambil mengangguk, tapi tetap dengan nada serius. Livy hanya bisa pasrah dengan keadaannya.

Setelah tiba di Harmony Residence, Livy sibuk membereskan kopernya. Namun, dia tiba-tiba mendapat pesan dari Stanley.

[ Livy, kamu sudah balik ke ibu kota? Kapan ada waktu? Kita ketemuan dan ngobrol sebentar, ya? ]

[ Hadiah pernikahannya sudah kusiapin, kamu nggak perlu keluar uang sepeser pun. Kuserahkan langsung waktu ketemu nanti ya? ]

[ Kamu cuma perlu hadir waktu hari pernikahan itu saja. Biar aku yang tanggung semua uang gaun dan keperluan lainnya! ]

Menanggung semuanya?

Livy merasa konyol. Dia langsung membalas pesan itu.

[ Boleh, jam 12 siang, di kafe Star. ]

Kebetulan dia bisa langsung berangkat kerja setelah bertemu dengan Stanley. Bagaimanapun, bosnya hanya memberi izin cuti setengah hari.

....

Saat Livy tiba di kafe, Stanley telah menunggunya di sana. Melihat Livy yang berjalan mendekatinya, Stanley buru-buru menyodorkan sebuah amplop ke hadapannya.

Livy berkata dengan nada tenang, "Stanley, terima kasih atas amplopnya. Kebetulan aku baru nikah hari ini. Hadiahmu ini memang pas sekali."

"Apa kamu bilang?" Stanley tampak tidak percaya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status