Share

Bab 9

Raut wajah Preston jadi lebih rileks dan suaranya juga jadi lebih lembut saat bertanya, "Perlu suruh Bendy untuk jemput kamu nggak?"

Livy merasa terkejut dengan perhatian Preston. Dia jadi lupa dengan masalah Stanley dan buru-buru memanggil sebuah taksi. "Nggak usah, aku bisa pulang sendiri, kok." Setelah memeriksa waktu sejenak, dia kembali menimpali, "Jalanan agak macet, mungkin masih butuh sekitar satu jam."

Khawatir bahwa Preston mungkin akan membutuhkan bantuannya, Livy terus mendesak sopir taksi untuk mempercepat laju kendaraan sepanjang perjalanan. Akhirnya, dia tiba di Harmony Residence sesuai waktu yang diperkirakan.

Lampu di ruang tamu sedang menyala dan tercium aroma kopi yang khas memenuhi udara. Pencahayaan dan aroma ini membawa nuansa yang hangat dalam apartemen yang didekorasi dengan indah tersebut.

Livy melangkah masuk dengan hati-hati dan menemukan Preston sedang berdiri di dekat bar dapur. Berbeda dengan penampilannya di kantor, saat ini Preston sedang mengenakan pakaian santai berwarna abu-abu. Rambutnya masih agak basah, mungkin dia baru saja selesai mandi. Aura di sekujur tubuhnya terlihat jauh lebih lembut dari biasanya.

Namun, satu hal yang tidak berubah adalah postur tubuhnya yang sempurna. Pakaian rumah yang lembut dan nyaman itu menempel pas di tubuhnya, menonjolkan otot-otot punggung dan pinggangnya yang jelas terlihat dari belakang.

Livy berpikir, 'Pantas saja tubuhnya terasa keras setiap kali aku memeluknya.'

"Cakep ya?"

Livy mengangguk secara refleks dan menjawab, "Iya."

Begitu ucapan itu dilontarkan, Livy baru menyadari bahwa Preston sedang menatapnya dengan mata intens. Seketika, Livy terdiam sejenak.

Tebersit senyuman yang samar dari sorot mata Preston. Kemudian, dia menyodorkan gelas putih di tangannya kepada Livy. "Susu hangat."

Livy menerima gelas itu dengan wajah yang merona dan menjawab dengan suara pelan, "Terima kasih."

Dalam hati, Livy merasa bahwa Preston ternyata bisa begitu perhatian dan lembut. Citra ini jauh berbeda dengan sosoknya yang dingin dan menakutkan di kantor. Namun, hal yang paling ingin dia jelaskan adalah, "Tadi, maksudku ... gelasnya cakep."

Pandangan Preston terfokus pada pipi Livy yang semakin merona. Tenggorokannya tiba-tiba terasa sangat kering. Kemudian, dia menyeruput kopinya dengan perlahan. Kopi yang lembut dan wangi itu tidak berhasil meredakan kehausannya.

Preston meredupkan tatapannya untuk menyembunyikan emosinya. Kemudian, dia bertanya dengan suara yang berat dan tegas, "Bukannya tadi kamu bilang kamu lembur? Tapi sepertinya aku nggak melihatmu."

'Kenapa dia bisa tahu aku nggak ada di kantor?' batin Livy.

Livy tertegun sejenak, sebuah pikiran konyol melintas di benaknya. Apakah mungkin Preston sengaja menunggunya setelah tahu dia lembur?

Pikiran itu hanya muncul sekejap sebelum Livy buru-buru menepisnya. Setelah kejadian dengan Stanley, Livy belajar satu hal. Jangan terlalu banyak berimajinasi tentang pria dan jangan membuat diri sendiri tersentuh secara emosional.

Livy menenangkan dirinya. Setelah ragu-ragu sejenak, dia memutuskan untuk menjawab dengan jujur, "Aku pergi menjenguk nenekku."

Sebelumnya, dia menyembunyikan hal ini karena merasa hubungan mereka hanyalah kerja sama belaka, bukan pernikahan yang sebenarnya. Oleh karena itu, dia juga tidak perlu membicarakan urusan pribadinya terlalu banyak.

Sambil memegang gelas putih tersebut, Livy merasakan kehangatan yang mengalir dari ujung jarinya hingga menyebar ke seluruh tubuhnya. Dia merasa sedikit lebih rileks, lalu menjelaskan, "Nenekku lagi nggak sehat. Dia pernah menjalani operasi besar dan sekarang tinggal di sanatorium."

"Biasanya aku selalu mengunjunginya kalau ada waktu. Karena belum sempat ke sana setelah pulang dari dinas, jadi sore ini aku menyempatkan diri untuk menemuinya."

Usai bicara, Livy menundukkan kepala untuk menyembunyikan kesedihan yang samar di matanya. Livy sebenarnya jarang membicarakan tentang neneknya kepada orang lain. Dia tidak ingin membuka kembali luka-lukanya sendiri.

Namun, mengingat bahwa dia dan Preston sudah menikah secara hukum dan harus terus berpura-pura dalam hubungan ini, Livy memutuskan untuk tidak menyembunyikan fakta ini dari Preston.

Meski demikian, memikirkan kemungkinan bahwa Preston akan menatapnya dengan penuh belas kasihan seperti orang lain, membuat dada Livy terasa sesak. Secara refleks, dia mencengkeram gelasnya dengan erat.

Saat Livy sedang hanyut dalam pikirannya sendiri, terlihat sebuah bayangan yang menjulang di hadapannya. Jarinya yang pucat tiba-tiba digenggam oleh sebuah tangan yang besar. Pinggangnya dirangkul erat dan dia ditarik ke dalam dekapan hangat Preston.

"Di sanatorium mana?" tanya Preston dengan suara lembut.

"Sanatorium Dharmawangsa," jawab Livy.

Preston mengerutkan alisnya. "Jauh juga. Kamu ke sana naik apa?"

Livy menjawab dengan jujur bahwa dia naik kereta bawah tanah dan bus saat pergi. Lalu karena terburu-buru saat pulang, dia pun memanggil taksi.

"Kalau repot ke mana-mana, lain kali minta Bendy untuk antarin saja." Suara Preston yang rendah bergema di telinga Livy. Napas hangatnya membuat bulu kuduk Livy merinding seketika. Pikirannya tiba-tiba menjadi kosong. Dia bahkan tidak sadar entah sejak kapan gelas di tangannya telah diambil oleh Preston.

Barulah saat dia dibawa ke sofa, ingatan memalukan dari malam sebelumnya muncul kembali dan membuat Livy tersadar seketika.

"Pak Preston, tunggu!" serunya panik. Pria ini mau melakukannya lagi? Tiga malam berturut-turut ... apa dia tidak lelah?

Jarak mereka terasa begitu dekat. Bahan pakaian yang tipis membuat tubuh Livy menempel erat pada Preston, hingga dia bisa merasakan setiap otot di perut Preston. Detak jantungnya juga berpacu semakin kencang.

Melihat wajah Livy yang memerah dan tampak panik, tebersit kilatan usil pada tatapan Preston. Dia sengaja bertanya, "Mau tunggu apa?"

Livy membuka mulutnya sejenak. Namun, dia tidak bisa menjawab pertanyaan itu dalam waktu yang cukup lama. Meskipun mereka sudah menikah secara hukum dan melaksanakan "kewajiban suami istri" adalah bagian dari perjanjian mereka. Hanya saja ... dengan frekuensi seintens ini, Livy merasa agak ketakutan.

"Nggak mau di sofa?" Preston sengaja menyalahartikan keheningan Livy. "Kalau begitu di tempat tidur saja." Preston memang sudah tergoda sejak tadi siang. Sekarang ini, dia tidak berniat melepaskan Livy begitu saja.

"Bukan itu maksudku!" bantah Livy langsung tanpa berpikir panjang.

Setelah menjawab demikian, Livy baru menyadari betapa ambigunya jawaban yang diberikannya. Sebelum dia sempat menjelaskan, bibirnya sudah dicium oleh Preston secara paksa. Napas mereka saling bersatu dan suara desahan mereka terdengar jelas di udara.

Livy merasa udara di sekitarnya semakin tipis dan penglihatannya seakan-akan semakin kabur.

....

Keesokan paginya, Livy terbangun karena sinar matahari yang terik.

Hari ini cuaca sangat cerah. Cahaya matahari menembus jendela yang menjulang hingga ke langit-langit dan jatuh tepat di atas ranjang yang berantakan.

Livy masih sangat mengantuk. Dia berusaha memalingkan kepalanya untuk menghindari cahaya yang mengganggu itu agar bisa melanjutkan tidurnya. Namun, tidak peduli seberapa kerasnya dia berusaha, Livy tetap tidak bisa menghindarinya.

Dengan kesal, dia menggerutu pelan dan mencoba menarik selimut untuk menutupi wajahnya. Namun, gerakannya tiba-tiba terhenti.

Tangan Livy merasakan sesuatu yang hangat di bawah telapak tangannya dan membuatnya sadar bahwa ada sesuatu yang berbeda. Dia baru menyadari bahwa ranjang ini bukanlah kasur keras di apartemen sewaannya.

Saat kesadarannya mulai pulih, ingatan-ingatan dari malam sebelumnya seolah-olah terlintas kembali dalam benaknya bagaikan sebuah film. Namun, film ini lebih mirip seperti jenis film romantis yang tidak senonoh!

Livy melirik ke sampingnya dengan hati-hati. Mata pria itu masih terpejam. Garis wajahnya yang tegas dan fitur wajahnya yang sempurna membuatnya tampak seperti mahakarya dari Tuhan.

Selama tiga tahun bekerja di perusahaan, Livy tidak pernah berniat lain terhadap Preston. Saat itu, seluruh perhatiannya hanya tertuju pada Stanley.

Bahkan ketika rekan-rekannya berkumpul untuk menggosipkan tentang Preston, Livy tidak pernah tertarik untuk mendengarkannya. Baginya, Preston adalah sosok yang tampak sangat jauh darinya. Meskipun bekerja di perusahaan yang sama dan sering bertemu, Livy tidak pernah membayangkan akan ada sesuatu di antara mereka.

Namun sekarang, siapa yang mengira hubungan mereka akan berkembang sampai sejauh ini?

Selain itu, jika tidak salah ingat, sepertinya tadi malam Livy bahkan ... memohon padanya ....

Wajah Livy mendadak memerah.

Tepat pada saat itu, pria di sampingnya tiba-tiba membuka matanya dan pandangan mereka bertemu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status