Share

Bab 8

Livy mengucapkan terima kasih kepada petugas resepsionis dan langsung menuju kamar tempat neneknya sambil membawa buah-buahan dan hadiah di tangannya.

Saat membuka pintu, Livy melihat neneknya yang tampak lesu di atas ranjang. Hidung Livy terasa kecut seketika dan air mata menggenang di pelupuk matanya.

"Nenek!" serunya sambil bergegas mendekat. Livy mencoba menahan emosinya sambil tersenyum manis dan berkata manja, "Aku kangen sekali sama Nenek."

"Livy! Anak bodoh, Nenek juga kangen kamu," kata Winda seraya memegang wajah Livy dengan penuh kasih. "Dinasmu capek nggak? Kamu jadi kurusan."

Livy tertawa dan menggelengkan kepala, "Sama sekali nggak capek."

"Nenek, aku kerja di Grup Sandiaga. Gajinya tinggi, tunjangan dan fasilitasnya juga bagus. Lihat, aku bawa oleh-oleh ini buat Nenek. Ini semua hasil dari perjalanan dinasku, produk lokal yang diberikan gratis di resor baru perusahaan."

Livy tidak berbohong. Memang benar bahwa semua barang itu adalah oleh-oleh dari resor yang dibagikan kepada semua karyawan.

Beberapa waktu lalu, Livy berada dalam kondisi mental yang buruk karena masalahnya dengan Stanley, sehingga berat badannya turun drastis. Dia bahkan takut datang ke sanatorium karena khawatir neneknya akan cemas melihat keadaannya yang buruk.

Namun, setelah kembali dari resor dan wajahnya terlihat lebih sehat, Livy akhirnya memberanikan diri untuk datang menemui neneknya sambil membawa oleh-oleh. Nenek adalah orang paling penting bagi Livy di dunia ini.

Ibunya meninggal ketika Livy masih sangat kecil. Ayahnya menikah lagi dan membawa serta seorang saudari tiri yang usianya hanya sedikit lebih muda darinya. Setelah itu, hidup Livy di rumah menjadi semakin sulit. Jika bukan karena neneknya yang selalu merawatnya, Livy mungkin tidak tahu bagaimana dia bisa bertahan.

Livy masih ingat dengan jelas, suatu hari neneknya yang lembut ini tiba-tiba datang dengan membawa pisau dapur. Matanya tampak memerah karena marah. Dia datang untuk membawa pergi Livy yang saat itu kelaparan dan kurus kering dari rumah ayahnya.

Tanpa neneknya, Livy mungkin tidak akan bertahan hingga hari ini.

Namun sayangnya, neneknya sekarang menderita penyakit parah dan kesehatannya semakin memburuk. Dia harus tinggal di sanatorium, di mana kesehatannya harus dipantau setiap hari dan membutuhkan perawatan serta pengawasan profesional selama 24 jam.

Livy sebenarnya ingin tinggal bersama neneknya setiap hari, tapi kenyataannya tidak memungkinkan. Terlebih lagi, biaya perawatan di sanatorium ibu kota sangatlah mahal.

Untungnya, di saat paling sulit, Livy diterima bekerja di Grup Sandiaga. Berkat gaji yang tinggi, dia bisa membiayai perawatan neneknya meskipun dengan bersusah payah. Itulah sebabnya Livy sangat tidak ingin kehilangan pekerjaannya di perusahaan itu.

"Kamu ini ...." Winda menghela napas. "Dari kecil selalu begitu, cuma bawa kabar baik tapi nggak pernah mengeluh. Kalau ada masalah, selalu kamu pendam sendiri …."

Winda terdiam sejenak sembari mengalihkan pandangannya ke pintu kamar. Melihat tidak ada tanda-tanda apa pun, raut wajahnya mulai menunjukkan kekhawatiran.

"Belakangan ini kamu nggak pernah ngungkit soal Stanley di telepon. Dia sibuk banget ya? Gimana kalian sekarang? Nggak lagi bertengkar, 'kan?"

Livy merasa sesak di dadanya. Salah satu alasan dia menunda-nunda untuk mengunjungi neneknya adalah karena takut neneknya akan menanyakan tentang Stanley.

Stanley dan Livy tumbuh besar bersama. Di depan semua orang, Stanley selalu terlihat sopan dan pandai berbicara, terutama di depan Winda. Dia sangat mahir mengambil hati Winda, sehingga Winda juga merasa sangat puas terhadapnya. Winda telah menganggap Stanley sebagai calon cucu menantunya.

Livy tidak tahu bagaimana harus memberi tahu neneknya bahwa Stanley tidak hanya berselingkuh, tapi juga akan segera menikahi wanita lain .... Dia tidak bisa mengatakan hal ini karena mengingat kondisi kesehatan neneknya yang lemah. Winda sama sekali tidak boleh mengalami syok atau stres berlebihan.

Winda yang sangat peka terhadap perubahan ekspresi Livy, langsung merasa cemas. "Kalian benar-benar bertengkar?"

"Livy, dalam hidup berumah tangga, dua orang harus saling memaafkan dan mengalah. Aku sudah kenal Stanley sejak dia masih kecil. Dia anak yang baik dan bisa dipercaya. Selama dia ada di sampingmu, Nenek bisa tenang."

Winda begitu terbawa emosi hingga monitor medis di samping tempat tidurnya mulai mengeluarkan suara alarm yang nyaring. Kemudian, Winda mulai terbatuk-batuk dengan parah.

Takut kondisi neneknya memburuk, Livy buru-buru menenangkannya, "Nenek, jangan khawatir. Kami nggak bertengkar, kok."

"Hanya saja, Stanley lagi sibuk akhir-akhir ini. Perusahaan keluarganya lagi dalam masalah, jadi dia nggak bisa datang denganku kali ini. Aku sendiri juga baru selesai lembur dan langsung datang ke sini. Kami berdua ... baik-baik saja, sama seperti dulu."

Livy mencoba untuk menjelaskan.

"Benaran?" Winda menggenggam erat tangan Livy untuk memastikan, "Livy, jangan bohongi Nenek."

Di usianya yang lanjut ini, tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan Winda, kecuali cucu kesayangannya ini. Winda hanya ingin ada seseorang yang bisa menemani Livy ketika dirinya sudah tiada.

"Benaran kok, Nek." Livy mengangguk tegas.

"Kalau gitu … gimana kondisi Grup Taslim?" tanya Winda dengan perhatian.

"Nggak apa-apa, cuma masalah kecil. Aku yakin Stanley bisa mengatasinya." Livy tersenyum kaku. Dia terpaksa berbohong lagi kepada neneknya.

Mendengar penjelasan itu, Winda akhirnya merasa lega dan angka-angka di layar monitor medis kembali stabil perlahan-lahan.

"Baguslah kalau begitu." Winda menarik tangan Livy dan berpesan, "Lain kali harus bawa Stanley. Ada sesuatu yang mau Nenek bicarakan dan pesan sama kalian."

Livy mengangguk dengan perasaan getir. "Oke." Dia tidak berani membantah perintah neneknya karena takut akan terjadi kondisi seperti tadi lagi.

Livy baru meninggalkan sanatorium ketika waktu kunjungan berakhir. Langit sudah sepenuhnya gelap dan angin malam mulai terasa dingin.

Livy merapatkan jaketnya sambil memegang ponsel dengan ragu-ragu. Dia sedang mempertimbangkan apakah dia harus menelepon Stanley dan memintanya untuk berakting. Dengan begitu, Livy bisa menenangkan neneknya.

Jika Livy datang sendirian lagi selanjutnya, dia pasti tidak akan bisa meyakinkan neneknya. Apalagi, tadi perawat baru saja memberitahunya bahwa kondisi neneknya semakin memburu dan tidak boleh mengalami stres sedikit pun. Ditambah lagi, ucapan neneknya yang seperti sedang memberi pesan terakhir membuat Livy merasa takut kehilangan sosok yang paling dia cintai.

Air mata yang ditahannya sedari tadi, akhirnya mengalir deras. Livy tidak berani membayangkan bagaimana jadinya jika hidupnya tanpa Nenek.

Livy mengeluarkan ponselnya dan menatap nomor Stanley dan bersiap-siap untuk meneleponnya. Namun, saat itu juga ponselnya bergetar.

Melihat nama yang muncul di layar, Livy merasa detak jantungnya semakin cepat. Setelah menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, dia akhirnya menekan tombol menerima panggilan.

"Di mana kamu? Kenapa belum pulang?" Suara Preston yang dingin terdengar melalui telepon, membuat hidung Livy kembali terasa kecut.

Dulu, hanya neneknya yang selalu menanyakan keberadaannya dan kapan dia akan pulang. Meskipun Livy tahu Preston bukan bertanya karena perhatian, Livy tetap merasa terharu sejenak karena merasa ada yang memedulikan keberadaannya. Setidaknya, dia tidak merasa kesepian untuk saat ini.

....

Di Harmony Residence.

Preston melihat tumpukan dokumen yang baru saja diterimanya dengan tatapan yang berkilat suram. Foto di halaman pertama menunjukkan sosok Livy yang lebih muda. Wajahnya masih terlihat polos, tetapi senyumnya tetap cerah seperti sekarang.

Saat matanya mengikuti deretan kalimat di dalam dokumen itu, alis Preston berkerut. Livy kehilangan ibunya di usia muda, dikeluarkan dari Keluarga Pratama oleh ibu tirinya, dan tumbuh besar hanya bersama neneknya.

Preston sulit membayangkan bagaimana Livy masih bisa tersenyum setulus itu setelah dibesarkan dalam lingkungan yang begitu sulit. Suara yang lembut dari ujung telepon menyadarkannya kembali dari lamunannya. "Pak Preston, aku sudah di jalan. Sebentar lagi sampai ...."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status