Di bawah tatapan dari rekan kerja lainnya, Annie berjalan mendekati meja kerja Livy dengan tangan bersedekap. Dia mengetuk tumpukan dokumen di meja Livy dengan jarinya, lalu berkata dengan nada merendahkan."Livy, maaf ya. Hari ini hari Jumat dan semua dokumen ini adalah dokumen yang sangat mendesak. Nggak bisa ditunda sampai hari kerja berikutnya .... Kamu harus lembur malam ini. Sebelum jam 12 malam, aku mau semua data sudah selesai dan terkirim. Bisa, 'kan?"Jari-jari Livy yang sedang mengetik di keyboard berhenti sejenak.Ivana yang tidak tahan melihat hal itu, mencoba untuk membela Livy dengan suara pelan, "Bu Annie, bahkan kalau dikerjakan tiga orang sekalipun, dokumen sebanyak ini mungkin nggak akan bisa selesai sebelum jam 12 malam, apalagi cuma dikerjakan Livy seorang ...."Annie tertawa dingin, "Kalau kamu khawatir, kamu bisa tinggal di sini untuk bantu dia."Setelah itu, Annie berbalik menghadap semua orang di ruangan dan bertanya dengan nada mengancam, "Ada lagi yang mau ik
Rumah lama Keluarga Sandiaga terletak di pinggiran kota dan dibangun di atas bukit. Luasnya mencakup keseluruhan bukit tersebut. Tempat ini memiliki sejarah yang lama dan bahkan telah dijadikan bangunan yang dilindungi oleh ibu kota.Begitu mereka keluar dari pusat kota, pemandangan di luar jendela mulai sepi dan hampir tidak ada orang yang terlihat. Suara hujan yang teredam dan keheningan di dalam mobil membuat Livy merasa tidak nyaman.Saat dia akhirnya memberanikan diri untuk berbicara, Preston terlebih dulu membuka mulut, "Kamu pernah cari tahu soal keluargaku?"Livy tertegun sejenak. Setelah merenung beberapa saat, dia mengangguk dengan jujur. Karena kasus perselingkuhan Stanley dengan Chloe, Livy sempat mempelajari banyak hal tentang silsilah keluarga Preston. Selain itu, di kantor sering ada gosip yang beredar di kalangan karyawan.Mengaku tidak tahu apa-apa tentang Keluarga Sandiaga akan terasa sangat munafik.Tatapan Preston semakin gelap, jari-jarinya secara tidak sadar menge
Suara lantang Tristan mengejutkan Livy dan membuatnya gemetaran. Preston menepuk punggung tangan Livy dengan tenang dan memberi isyarat agar dia tetap tenang.Setelah itu, Preston melihat ke arah pria tua yang penuh semangat itu dan berbicara dengan santai, "Kamu kelihatannya sehat-sehat saja. Nggak mungkin mati kesal hanya karena masalah kecil begini."Livy merasa agak terkejut dengan cara Preston berbicara kepada ayahnya. Namun, reaksi Tristan tidak seperti yang dia duga. Bukannya marah, Tristan malah tertawa terbahak-bahak."Anak nakal, cuma kamu yang berani bicara seperti itu padaku. Tapi karena kamu sudah bawakan menantu untukku, aku nggak akan mempermasalahkannya."Setelah itu, Tristan tersenyum lebar dan melambaikan tangannya kepada Livy, "Ayo, Nak, sini biar aku lihat."Hanya melihatnya sekilas saja, Tristan sudah merasa bahwa Livy sangat cocok di matanya.Masalah pernikahan Preston telah menjadi kekhawatiran terbesar Tristan selama bertahun-tahun. Dia telah mencoba segala cara
Di ruang kerja, Tristan yang sudah tua mengeluarkan sebuah kotak merah dari brankas.Tristan memuji, "Livy anak yang baik. Latar belakang keluarganya memang biasa saja, tapi dia rajin dan cekatan. Dia juga adalah sekretarismu, jadi bisa bantu dalam pekerjaan dan kehidupanmu. Dia akan menjadi istri yang baik. Kamu harus memperlakukannya dengan baik."Ekspresi Preston tetap datar. Wajah tampannya tak menunjukkan banyak emosi. Dia hanya membalas, "Yang penting Ayah senang."Tristan meliriknya dengan kesal, lalu bertanya, "Apa maksudmu dengan yang penting aku senang? Memangnya kamu menikah demiku?""Biar kuberi tahu, karena sudah menikah, urusan punya anak harus segera dipikirkan. Jangan sampai aku mati sebelum melihat cucu. Nantinya, aku nggak akan mati dengan tenang!" tambah Tristan.Berhubung terlalu bersemangat, Tristan sampai batuk-batuk. Selama beberapa tahun ini, kondisi kesehatan Tristan makin memburuk.Tahun ini, Tristan bahkan harus dirawat di rumah sakit selama beberapa bulan. H
Wajah Livy sudah memerah, seolah-olah seluruh tubuhnya sedang terbakar. Matanya mulai berkaca-kaca. Bibirnya yang tipis dan lembut digigit hingga makin merah. Livy terlihat begitu polos dan menggoda, meskipun dia sendiri tidak menyadarinya."Aku ... aku yang akan memulai," gumam Livy yang akhirnya memberanikan diri. Kata-katanya keluar dengan sangat pelan.Livy begitu malu hingga rasanya ingin bersembunyi. Namun dengan dagu yang masih dicengkeram oleh pria itu, dia sama sekali tak bisa menghindar.Livy sebenarnya tidak tahu bagaimana "berterima kasih" kepada Preston. Hanya saja melihat tatapan pria itu yang penuh keinginan, dia tiba-tiba saja mengucapkan kalimat itu tanpa berpikir panjang.Sekarang, jelas Livy tidak punya jalan keluar lagi. Apalagi, selain menunjukkan rasa terima kasihnya dengan cara ini, dia sepertinya tidak punya pilihan lain. Bagaimanapun, Preston tidak kekurangan apa-apa."Oke." Suara rendah Preston yang serak terdengar lebih menggoda dalam suasana remang-remang.S
Livy merasa sangat canggung, seolah-olah ingin segera mencari tempat untuk bersembunyi. Dia tersenyum kikuk, tetapi sebenarnya kakinya sudah tidak bisa diam saking malunya.Saat Tristan tidak memperhatikan, Preston membisikkan, "Ayah khawatir aku bersandiwara, jadi tadi malam dia mungkin suruh orang untuk lebih memperhatikan."Livy merasa malu. Dia menutupi wajahnya dan hampir menangis. Seandainya dia tahu, tadi malam dia pasti tidak akan berisik. Dia sama sekali tidak menyangka akan ada situasi seperti ini.Yang paling mengejutkan, rumah besar ini sudah direnovasi begitu baik. Namun, kenapa kedap suaranya masih kurang bagus?"Tenang saja. Kedap suara di sini sangat baik. Nggak ada yang bisa dengar," tambah Preston. Pria itu mengetahui apa yang sedang dia pikirkan.Namun, Livy masih ragu-ragu. Jadi, bagaimana Tristan bisa tahu? Preston membisikkan dengan suara rendah di telinganya, "Lampu di kamar kita baru mati setelah semuanya selesai."Livy akhirnya bisa bernapas lega. Kalau hanya m
Suara Tristan yang bahagia terdengar dari kejauhan. Itu membangunkan lamunan Livy. Segera, dia mengangkat gaunnya dan berjalan menghampiri."Ayah, siapa ini?" tanya seorang wanita paruh baya yang anggun. Tatapannya penuh kecurigaan saat memandangi Livy dari atas ke bawah. Jelas, dia menunjukkan ketidaksukaannya.Livy pernah melihatnya di lobi perusahaan Grup Sandiaga. Saat itu, wanita ini datang bersama beberapa orang. Dia berteriak-teriak ingin bertemu Preston, tetapi dihalangi oleh para pengawal. Livy kebetulan lewat dan sempat melihat sebentar dari jauh."Sepertinya aku pernah melihatmu," ucap Melanie sambil mengernyit."Melanie, kamu kenal Livy?" tanya Tristan. Akan tetapi, Melanie langsung menyela, "Aku nggak kenal, tapi aku yakin Bahran pasti mengenalnya.""Bahran, coba lihat. Apa nona ini artis baru dari dunia hiburan? Kamu pernah melihatnya?" tanya Melanie dengan nada sinis. Livy sontak terkejut. Ada apa ini?Bahran memicingkan matanya. Dia menatap Livy dengan pandangan meremeh
Livy panik sesaat, tetapi segera menenangkan diri. "Kak, jangan bercanda."Livy tidak akan melupakan ajaran Preston. Dia harus mendalami perannya. Sekarang dia adalah istri Preston, jadi tidak boleh memperlihatkan kejanggalan apa pun.Bahran adalah putra ketiga Keluarga Sandiaga sekaligus kakak Preston. Jadi, sudah seharusnya Livy memanggilnya "kakak".Namun, sebenarnya selisih usia Bahran dan Preston sangat jauh. Menurut Livy, Bahran bahkan bisa menjadi ayahnya. Itu sebabnya, dia merasa panggilannya agak canggung.Senyuman Bahran sontak membeku. Namun, dia segera berekspresi normal dan berujar, "Aku punya beberapa perusahaan hiburan. Banyak artisku yang sukses. Aku nggak pernah salah menilai orang. Kamu nggak bakal punya masa depan kalau ikut Preston. Kerja denganku saja. Aku beri kamu peran tokoh utama."Bahran tersenyum sambil mendekati Livy. Livy mencium bau rokok dan bau alkohol yang menyengat sehingga tak kuasa mundur. Saat berikutnya, bahunya tiba-tiba dirangkul sebuah tangan be