Wajah Livy sudah memerah, seolah-olah seluruh tubuhnya sedang terbakar. Matanya mulai berkaca-kaca. Bibirnya yang tipis dan lembut digigit hingga makin merah. Livy terlihat begitu polos dan menggoda, meskipun dia sendiri tidak menyadarinya."Aku ... aku yang akan memulai," gumam Livy yang akhirnya memberanikan diri. Kata-katanya keluar dengan sangat pelan.Livy begitu malu hingga rasanya ingin bersembunyi. Namun dengan dagu yang masih dicengkeram oleh pria itu, dia sama sekali tak bisa menghindar.Livy sebenarnya tidak tahu bagaimana "berterima kasih" kepada Preston. Hanya saja melihat tatapan pria itu yang penuh keinginan, dia tiba-tiba saja mengucapkan kalimat itu tanpa berpikir panjang.Sekarang, jelas Livy tidak punya jalan keluar lagi. Apalagi, selain menunjukkan rasa terima kasihnya dengan cara ini, dia sepertinya tidak punya pilihan lain. Bagaimanapun, Preston tidak kekurangan apa-apa."Oke." Suara rendah Preston yang serak terdengar lebih menggoda dalam suasana remang-remang.S
Livy merasa sangat canggung, seolah-olah ingin segera mencari tempat untuk bersembunyi. Dia tersenyum kikuk, tetapi sebenarnya kakinya sudah tidak bisa diam saking malunya.Saat Tristan tidak memperhatikan, Preston membisikkan, "Ayah khawatir aku bersandiwara, jadi tadi malam dia mungkin suruh orang untuk lebih memperhatikan."Livy merasa malu. Dia menutupi wajahnya dan hampir menangis. Seandainya dia tahu, tadi malam dia pasti tidak akan berisik. Dia sama sekali tidak menyangka akan ada situasi seperti ini.Yang paling mengejutkan, rumah besar ini sudah direnovasi begitu baik. Namun, kenapa kedap suaranya masih kurang bagus?"Tenang saja. Kedap suara di sini sangat baik. Nggak ada yang bisa dengar," tambah Preston. Pria itu mengetahui apa yang sedang dia pikirkan.Namun, Livy masih ragu-ragu. Jadi, bagaimana Tristan bisa tahu? Preston membisikkan dengan suara rendah di telinganya, "Lampu di kamar kita baru mati setelah semuanya selesai."Livy akhirnya bisa bernapas lega. Kalau hanya m
Suara Tristan yang bahagia terdengar dari kejauhan. Itu membangunkan lamunan Livy. Segera, dia mengangkat gaunnya dan berjalan menghampiri."Ayah, siapa ini?" tanya seorang wanita paruh baya yang anggun. Tatapannya penuh kecurigaan saat memandangi Livy dari atas ke bawah. Jelas, dia menunjukkan ketidaksukaannya.Livy pernah melihatnya di lobi perusahaan Grup Sandiaga. Saat itu, wanita ini datang bersama beberapa orang. Dia berteriak-teriak ingin bertemu Preston, tetapi dihalangi oleh para pengawal. Livy kebetulan lewat dan sempat melihat sebentar dari jauh."Sepertinya aku pernah melihatmu," ucap Melanie sambil mengernyit."Melanie, kamu kenal Livy?" tanya Tristan. Akan tetapi, Melanie langsung menyela, "Aku nggak kenal, tapi aku yakin Bahran pasti mengenalnya.""Bahran, coba lihat. Apa nona ini artis baru dari dunia hiburan? Kamu pernah melihatnya?" tanya Melanie dengan nada sinis. Livy sontak terkejut. Ada apa ini?Bahran memicingkan matanya. Dia menatap Livy dengan pandangan meremeh
Livy panik sesaat, tetapi segera menenangkan diri. "Kak, jangan bercanda."Livy tidak akan melupakan ajaran Preston. Dia harus mendalami perannya. Sekarang dia adalah istri Preston, jadi tidak boleh memperlihatkan kejanggalan apa pun.Bahran adalah putra ketiga Keluarga Sandiaga sekaligus kakak Preston. Jadi, sudah seharusnya Livy memanggilnya "kakak".Namun, sebenarnya selisih usia Bahran dan Preston sangat jauh. Menurut Livy, Bahran bahkan bisa menjadi ayahnya. Itu sebabnya, dia merasa panggilannya agak canggung.Senyuman Bahran sontak membeku. Namun, dia segera berekspresi normal dan berujar, "Aku punya beberapa perusahaan hiburan. Banyak artisku yang sukses. Aku nggak pernah salah menilai orang. Kamu nggak bakal punya masa depan kalau ikut Preston. Kerja denganku saja. Aku beri kamu peran tokoh utama."Bahran tersenyum sambil mendekati Livy. Livy mencium bau rokok dan bau alkohol yang menyengat sehingga tak kuasa mundur. Saat berikutnya, bahunya tiba-tiba dirangkul sebuah tangan be
"Paman, siapa ini?" Chloe segera memperhatikan Livy yang berdiri di samping Preston, terutama lengan yang berangkulan itu.Sementara itu, Stanley memelotot dan tampak pucat. Dia tidak menduga akan bertemu Livy di sini. Sebelumnya mereka bertemu di kafe. Livy bahkan meminta dua uang amplop darinya dan bilang dirinya sudah menikah. Jangan-jangan ....Stanley seketika bercucuran keringat dingin. Dia tanpa sadar mengucek matanya untuk memastikan dirinya tidak berhalusinasi.Preston menoleh melirik Livy, lalu berkata, "Perkenalkan, ini putri kakak pertamaku. Namanya Chloe. Ini calon suaminya, Stanley."Usai berbicara, Preston berjeda. Tatapannya menyapu ke arah Stanley yang tertegun menatap Livy. Dengan suara rendah, Preston meneruskan, "Ini istriku, Livy."Livy sudah menduga dirinya akan bertemu Stanley, makanya dia tetap terlihat tenang. Wajahnya menyunggingkan senyuman tipis. Dia menyapa dengan murah hati, "Halo."Setelah mendengarnya, Stanley merasa pandangannya menggelap dan sempoyonga
Usai berbicara, Chloe buru-buru menutup mulutnya dan berpura-pura kaget. "Maaf, Paman. Aku salah ngomong."Chloe tampak menunduk dan merasa bersalah, tetapi Livy bisa melihat senyuman pada wajahnya. Sebagai seorang wanita, Livy bisa menilai bahwa Chloe tidak mudah dihadapi, bahkan gayanya itu terlihat seperti jalang.Chloe sengaja menyebut wanita bernama Sylvia itu. Livy tidak tahu siapa Sylvia, tetapi pasti punya hubungan dengan Preston. Mungkin, itu mantan pacar Preston?Yang jelas, wanita itu tidak ada hubungannya dengan Livy. Livy juga tidak akan cemburu. Lagi pula, semua ini hanya sandiwara. Dia bukan istri Preston yang sesungguhnya.Namun, ketika bertemu pandang dengan wajah Stanley yang dipenuhi kekesalan, suasana hati Livy sontak memburuk. Berbagai momen manis antara dirinya dengan Stanley berkelebat di benaknya.Tidak ada yang kekal di dunia ini. Kini, mereka tidak lagi berdiri berdampingan, melainkan berdiri berhadapan. Dulu Livy sangat mencintai Stanley, tetapi sekarang dia
"Ya." Preston mengiakan.Livy mengangguk, lalu menggigit bibirnya. Dia tidak berani bertanya tentang wanita bernama Sylvia. Karena Preston tidak berniat memberitahunya, dia pun menunduk dan tidak berbicara lagi.Itu seharusnya adalah wanita yang dicintai Preston. Jika tidak, mana mungkin Chloe berbicara seperti itu."Tugasmu selesai malam ini. Kamu nggak perlu turun lagi. Istirahat saja di kamar." Usai melontarkan ini, Preston hendak meninggalkan kamar. Sebelum keluar, dia bertanya, "Kamu bisa sendirian, 'kan?"Livy segera mengangguk. "Bisa kok, nggak usah pedulikan aku."Preston mengejapkan matanya. Setelah hening sejenak, dia berpesan, "Ya sudah. Kalau ada urusan, telepon saja aku."Livy termangu sesaat. Hatinya seketika terasa hangat. Dia tanpa sadar tersenyum lebar dan berkata, "Baik."Preston menelan ludah. Tatapannya tertuju pada lesung pipi Livy. Untuk sesaat, muncul dorongan besar dalam hatinya. Kenapa memangnya jika dia tidak menghadiri pesta? Di rumah ini, dia sudah terbiasa
Livy tidak tahu apa saja yang didengar oleh Preston. Punggungnya terasa dingin. Jika Preston tahu tujuan Livy mendekatinya, entah bagaimana pria ini akan menghukumnya.Livy merasa hukuman paling ringan adalah kontraknya dibatalkan, lalu dirinya akan didepak dari Grup Sandiaga. Ini sudah hukuman teringan .... Itu sebabnya, Livy sangat takut sekarang.Livy menjilat bibirnya yang kering dengan gugup. Setelah ragu-ragu sejenak, dia tersenyum manis dan memanggil dengan manja, "Sayang!"Usai berbicara, Livy langsung menghampiri Preston dan merangkul lengannya. Dia menjelaskan, "Aku baru selesai makan. Perutku agak begah. Aku mau mencarimu tadi, tapi malah tersesat.""Kebetulan aku ketemu Pak Stanley. Aku mau minta tolong dia membawaku ke aula utama." Livy tidak yakin apakah Preston mencurigainya atau tidak. Meskipun begitu, dia tetap bersikap setenang mungkin.Kemudian, Livy melirik Stanley. Ketika melihat wajah masamnya, Livy tahu Stanley juga takut hubungan mereka ketahuan.Jika Preston me
"Nggak ... nggak kok ...." Suara Livy terdengar sedikit lebih tinggi. Dia tidak mampu menyembunyikan kegugupannya. Dia panik dan hanya bisa mengelak. Meski ketakutan dalam hati, dia tetap memaksa diri untuk menyangkal semuanya.Sementara itu, Preston hanya mengiakan dengan nada datar. Kini, suasana menjadi hening. Ada rasa canggung yang sulit dijelaskan.Jantung Livy berdegup sangat kencang. Apakah Preston sudah mengetahui semuanya? Apakah dia menunggu dirinya untuk mengaku?Namun kalau Livy mengakui semuanya sekarang, semuanya akan berakhir. Dia tidak bisa membayangkan kehidupan setelah ditinggalkan Preston.Keluarga Taslim pasti akan merasa sangat senang, sementara neneknya tidak bisa beristirahat dengan tenang di alam sana.Bukan karena Livy terobsesi menjadi Nyonya Sandiaga. Hanya saja tanpa perlindungan dari Preston, dia akan seperti orang lemah yang tidak punya kekuatan untuk melawan di dunia ini.Lebih dari itu, Livy juga tidak ingin meninggalkannya. Setelah merasakan perhatian
Terbawa perasaan bersalah, Livy pun membela Chloe, "Wajar saja kalau anak muda pesta di malam hari. Nggak berarti dia nggak berguna. Dia hanya masih muda."Chloe memang lebih muda dari Livy. Wanita itu baru lulus kuliah tahun ini. Mungkin karena masih naif, dia bisa diperdaya Stanley."Bukan itu maksudku," ucap Preston sambil menjalankan mobil.Livy hendak menanyakan maksud ucapan pria itu. Namun, dia lalu menelan kata-katanya kembali. Sepertinya dia bisa menebaknya sendiri.Preston menyindir Chloe tidak berguna bukan karena melihatnya pesta pora, tetapi karena wanita itu menikah dengan Stanley.Mungkin karena merasa dirinya sekarang juga "panjat sosial", Livy tidak ingin melanjutkan topik ini.Meskipun Preston mengucapkan itu untuk menjatuhkan Stanley, Livy tetap merasa tidak nyaman. Bagaimanapun, pernikahan Stanley itu asli, sementara pernikahannya hanyalah pernikahan pura-pura.....Di pintu masuk Dibiza, Nancy memandang ke arah jalan. Setelah Porsche Cayenne itu menghilang dari pan
Tubuh Livy tiba-tiba dihinggapi hawa dingin. Dia menatap Preston dengan ekspresi tidak percaya. Apa pria ini sudah mengetahui segalanya?Livy tidak tahu harus bagaimana menanggapi Preston. Dia hanya diam dan menanti sikap pria itu. Kemudian, dia mendengar Preston berkata lagi, "Lihat ke belakang."Livy menoleh dengan kaku dan melihat Chloe berdiri di depan pintu masuk. Rambutnya acak-acakan dan penampilannya terlihat berantakan. Nancy sedang menghiburnya di sampingnya.Livy tidak berani bersuara karena tidak mengerti maksud perkataan Preston.Pria itu berucap, "Sepertinya dia lagi ada masalah, coba kamu temui dia.""Hah?" Livy tertegun sejenak. Dia tiba-tiba merasa sudah berpikir kejauhan. Sepertinya Preston tidak bermaksud apa-apa, dia hanya kebetulan melihat Chloe."Aku ke sana sebentar,"ucap Livy. Dia berbalik dan segera berjalan menuju pintu masuk kelab.Nancy-lah yang pertama menyadari kehadirannya. Dia berseru, "Bibi!"Nancy adalah pengiring pengantin di pernikahan Chloe. Saat Li
"Tenang saja, serahkan sisanya padaku," ucap Linda."Terima kasih. Aku traktir kamu makan lain hari," kata Livy sambil buru-buru berjalan pergi.Sayangnya, saat ini kebetulan adalah jam sibuk. Taksi yang dipesan Livy baru akan sampai 1 jam 45 menit lagi. Hal ini membuatnya merasa sangat lesu.Tiba-tiba, Livy menerima pesan di WhatsApp. Pengirimnya adalah Preston.[ Sudah naik taksi? Bagi pelat nomornya. ]Livy terpaksa mengirimkan tangkapan layar dari halaman pemesanan taksi.Preston mengirimkan pesan lagi.[ Aku jemput kamu. ]Livy merasa ragu untuk memberitahukan alamatnya sekarang. Namun, dia lantas sadar bahwa hasil tangkapan layar tadi sudah menunjukkan titik lokasinya. Artinya, Preston tahu bahwa dia berada di Dibiza.Entah apa yang dipikirkan Preston saat tahu dirinya berada di sini. Untungnya, Linda memang bekerja di sini. Jadi, dia masih bisa menjadikan itu sebagai alasan.Livy duduk di sofa lobi, menunggu Preston datang menjemputnya. Tak lama kemudian, dia melihat sekelompok
Stanley terpancing. Dia lantas mengikuti wanita itu naik ke kamar di lantai atas. Alhasil, begitu masuk kamar, wanita itu langsung melepas pakaiannya."Tunggu! Kamu ngapain? Bukannya ini hanya pura-pura?" tanya Stanley kaget.Wanita itu tersenyum manis, membuatnya terlihat kian mirip dengan Livy. Dia berkata, "Kak, kamu sudah menolongku. Sebagai gantinya, aku akan menemanimu malam ini. Nggak perlu bayar.""Nggak perlu," tolak Stanley. Meski begitu, dia merasa sangat tergoda.Wanita itu sudah menanggalkan semua pakaiannya. Melihatnya berjalan mendekat, Stanley buru-buru balik badan. Dia tidak berani menatap wanita itu, takut dirinya akan hilang kendali.Wanita itu memeluk Stanley dari belakang, menempelkan tubuh mereka erat-erat dan menggodanya. Stanley tidak tahan godaan. Akhirnya, dia berbalik dan merengkuh wanita itu.Livy yang menyaksikan semua ini dari kamera CCTV mengernyit dan merasa jijik."Sudah kubilang, 'kan? Dia pasti akan terpancing kalau digoda wanita yang mirip denganmu,"
Stanley mengajak teman-temannya untuk makan bersama di Olive Tower. Ketika mereka semua berada di ruang VIP, Nicky keluar untuk menelepon.Usai mendapat informasi ini, Livy segera mengganti pakaian dan meninggalkan apartemen. Dia tidak memberi tahu Preston tentang kepergiannya.Livy hanya berpamitan pada Tina. Dia berkata hendak menemui temannya dan tidak ingin menginterupsi pekerjaan Preston. Dia juga meminta Tina menyampaikan bahwa dirinya akan segera kembali jika Preston mencarinya.Di dalam taksi, Nicky memberi tahu Livy bahwa mereka akan pindah ke Dibiza. Livy lantas meminta sopir untuk mengubah rute. Dibiza adalah nama sebuah kelab terkenal.Livy berpesan pada Nicky untuk merahasiakan kedatangannya. Dia beralasan ingin memberi mereka kejutan.Sebelum mereka sampai, Livy sudah terlebih dahulu tiba di Dibiza. Dia juga sudah menghubungi Charlene sebelumnya.Charlene mengenal Linda, manajer Dibiza. Hubungan akrab keduanya memuluskan rencana Livy.Livy menemui Linda dan memilih bebera
Ketika manusia sedang lemah, mereka selalu mencari sandaran. Kebetulan, Preston ada di sisi Livy untuk membantunya. Mungkin, ini hanya efek psikologis. Livy tidak berani berpikir terlalu jauh, apalagi mencintai Preston. Ini karena dia tahu betul bahwa dia bukan istri sah yang sesungguhnya.Kalau bukan karena ada Tina di sini, Livy tidak mungkin memanggil Preston dengan semesra itu. Biasanya, Livy memanggilnya dengan sebutan Pak Preston karena Preston memang atasannya."Sudah baikan?" tanya Preston setelah melepas sepatunya. Kemudian, dia menghampiri Livy.Livy mengangguk. "Sudah. Rencananya aku mau kerja besok.""Nggak usah repot-repot. Yang penting sembuh dulu." Supaya Livy tidak cemas, Preston pun menggodanya, "Lagian, perusahaan tetap beroperasi seperti biasanya tanpa kamu."Livy tahu Preston sedang bercanda dan bukan ingin mengejeknya. Hatinya terasa hangat. Dia bergumam, "Ya sudah. Aku istirahat sehari lagi. Lusa baru kerja."Livy tidak ingin menunda terlalu banyak pekerjaan. Sela
"Hanya saja, Rivano juga menjenguk temannya yang sakit. Mungkin dia memang cuma ingin menjenguk nenek Livy. Tapi, ini bukan berarti kematian nenek Livy nggak ada kaitan dengannya. Mungkin kebetulan, mungkin juga bukan ...." David menganalisis dengan saksama.Preston mengernyit sambil menatap ke kejauhan. Entah apa yang dia pikirkan. Dia berujar dengan pelan, "Rahasiakan dulu hal ini."....Selama beberapa hari ini, Livy terus tidur. Dia terus bermimpi saat neneknya masih hidup. Setiap kali membuka mata, dia merasa kematian neneknya hanyalah mimpi.Namun, setiap kali Preston menyuapinya makan, Livy akan tersadar dari mimpinya. Neneknya benar-benar sudah tiada.Setelah memastikan semua ini nyata, pikiran Livy menjadi lebih jernih. Dia menyibakkan selimutnya dan berjalan tanpa alas kaki, lalu membuka pintu kamar.Rumah yang luas ini tampak kosong melompong. Matahari telah bersinar terik. Hari ini bukan akhir pekan. Jadi, Preston pasti sudah pergi ke perusahaan.Tina yang menjinjing keranj
Tiga hari kemudian, Livy menyaksikan dengan mata kepala sendiri saat neneknya dikremasi. Ketika menerima guci abu, Livy hanya bisa menunduk dengan bengong. Semua ini terasa seperti mimpi. Namun, fakta menyadarkannya bahwa neneknya memang telah tiada.Preston mengatur semuanya dengan sangat baik, termasuk makam untuk neneknya. Livy dibawa ke pemakaman untuk mengubur neneknya.Pemakaman diadakan dengan sangat sederhana. Tidak ada orang lain, hanya ada Preston dan Livy. Charlene sedang syuting di luar negeri. Sehingga Livy tidak mengabarinya soal masalah ini. Dia tidak ingin Charlene khawatir dan berdampak pada pekerjaannya. Rivano sempat datang untuk berbelasungkawa, tetapi Livy mengusirnya.Saat ini, Livy berlutut di depan makam neneknya. Langit mendung dan mulai gerimis, persis dengan suasana hatinya. Makin deras air mata Livy, makin deras pula hujan yang turun.Preston memayungi Livy sambil menunggunya dengan tenang. Tiba-tiba, ponsel Preston yang berdering memecahkan keheningan.Satu