Di ruang kerja, Tristan yang sudah tua mengeluarkan sebuah kotak merah dari brankas.Tristan memuji, "Livy anak yang baik. Latar belakang keluarganya memang biasa saja, tapi dia rajin dan cekatan. Dia juga adalah sekretarismu, jadi bisa bantu dalam pekerjaan dan kehidupanmu. Dia akan menjadi istri yang baik. Kamu harus memperlakukannya dengan baik."Ekspresi Preston tetap datar. Wajah tampannya tak menunjukkan banyak emosi. Dia hanya membalas, "Yang penting Ayah senang."Tristan meliriknya dengan kesal, lalu bertanya, "Apa maksudmu dengan yang penting aku senang? Memangnya kamu menikah demiku?""Biar kuberi tahu, karena sudah menikah, urusan punya anak harus segera dipikirkan. Jangan sampai aku mati sebelum melihat cucu. Nantinya, aku nggak akan mati dengan tenang!" tambah Tristan.Berhubung terlalu bersemangat, Tristan sampai batuk-batuk. Selama beberapa tahun ini, kondisi kesehatan Tristan makin memburuk.Tahun ini, Tristan bahkan harus dirawat di rumah sakit selama beberapa bulan. H
Wajah Livy sudah memerah, seolah-olah seluruh tubuhnya sedang terbakar. Matanya mulai berkaca-kaca. Bibirnya yang tipis dan lembut digigit hingga makin merah. Livy terlihat begitu polos dan menggoda, meskipun dia sendiri tidak menyadarinya."Aku ... aku yang akan memulai," gumam Livy yang akhirnya memberanikan diri. Kata-katanya keluar dengan sangat pelan.Livy begitu malu hingga rasanya ingin bersembunyi. Namun dengan dagu yang masih dicengkeram oleh pria itu, dia sama sekali tak bisa menghindar.Livy sebenarnya tidak tahu bagaimana "berterima kasih" kepada Preston. Hanya saja melihat tatapan pria itu yang penuh keinginan, dia tiba-tiba saja mengucapkan kalimat itu tanpa berpikir panjang.Sekarang, jelas Livy tidak punya jalan keluar lagi. Apalagi, selain menunjukkan rasa terima kasihnya dengan cara ini, dia sepertinya tidak punya pilihan lain. Bagaimanapun, Preston tidak kekurangan apa-apa."Oke." Suara rendah Preston yang serak terdengar lebih menggoda dalam suasana remang-remang.S
Livy merasa sangat canggung, seolah-olah ingin segera mencari tempat untuk bersembunyi. Dia tersenyum kikuk, tetapi sebenarnya kakinya sudah tidak bisa diam saking malunya.Saat Tristan tidak memperhatikan, Preston membisikkan, "Ayah khawatir aku bersandiwara, jadi tadi malam dia mungkin suruh orang untuk lebih memperhatikan."Livy merasa malu. Dia menutupi wajahnya dan hampir menangis. Seandainya dia tahu, tadi malam dia pasti tidak akan berisik. Dia sama sekali tidak menyangka akan ada situasi seperti ini.Yang paling mengejutkan, rumah besar ini sudah direnovasi begitu baik. Namun, kenapa kedap suaranya masih kurang bagus?"Tenang saja. Kedap suara di sini sangat baik. Nggak ada yang bisa dengar," tambah Preston. Pria itu mengetahui apa yang sedang dia pikirkan.Namun, Livy masih ragu-ragu. Jadi, bagaimana Tristan bisa tahu? Preston membisikkan dengan suara rendah di telinganya, "Lampu di kamar kita baru mati setelah semuanya selesai."Livy akhirnya bisa bernapas lega. Kalau hanya m
Suara Tristan yang bahagia terdengar dari kejauhan. Itu membangunkan lamunan Livy. Segera, dia mengangkat gaunnya dan berjalan menghampiri."Ayah, siapa ini?" tanya seorang wanita paruh baya yang anggun. Tatapannya penuh kecurigaan saat memandangi Livy dari atas ke bawah. Jelas, dia menunjukkan ketidaksukaannya.Livy pernah melihatnya di lobi perusahaan Grup Sandiaga. Saat itu, wanita ini datang bersama beberapa orang. Dia berteriak-teriak ingin bertemu Preston, tetapi dihalangi oleh para pengawal. Livy kebetulan lewat dan sempat melihat sebentar dari jauh."Sepertinya aku pernah melihatmu," ucap Melanie sambil mengernyit."Melanie, kamu kenal Livy?" tanya Tristan. Akan tetapi, Melanie langsung menyela, "Aku nggak kenal, tapi aku yakin Bahran pasti mengenalnya.""Bahran, coba lihat. Apa nona ini artis baru dari dunia hiburan? Kamu pernah melihatnya?" tanya Melanie dengan nada sinis. Livy sontak terkejut. Ada apa ini?Bahran memicingkan matanya. Dia menatap Livy dengan pandangan meremeh
Livy panik sesaat, tetapi segera menenangkan diri. "Kak, jangan bercanda."Livy tidak akan melupakan ajaran Preston. Dia harus mendalami perannya. Sekarang dia adalah istri Preston, jadi tidak boleh memperlihatkan kejanggalan apa pun.Bahran adalah putra ketiga Keluarga Sandiaga sekaligus kakak Preston. Jadi, sudah seharusnya Livy memanggilnya "kakak".Namun, sebenarnya selisih usia Bahran dan Preston sangat jauh. Menurut Livy, Bahran bahkan bisa menjadi ayahnya. Itu sebabnya, dia merasa panggilannya agak canggung.Senyuman Bahran sontak membeku. Namun, dia segera berekspresi normal dan berujar, "Aku punya beberapa perusahaan hiburan. Banyak artisku yang sukses. Aku nggak pernah salah menilai orang. Kamu nggak bakal punya masa depan kalau ikut Preston. Kerja denganku saja. Aku beri kamu peran tokoh utama."Bahran tersenyum sambil mendekati Livy. Livy mencium bau rokok dan bau alkohol yang menyengat sehingga tak kuasa mundur. Saat berikutnya, bahunya tiba-tiba dirangkul sebuah tangan be
"Paman, siapa ini?" Chloe segera memperhatikan Livy yang berdiri di samping Preston, terutama lengan yang berangkulan itu.Sementara itu, Stanley memelotot dan tampak pucat. Dia tidak menduga akan bertemu Livy di sini. Sebelumnya mereka bertemu di kafe. Livy bahkan meminta dua uang amplop darinya dan bilang dirinya sudah menikah. Jangan-jangan ....Stanley seketika bercucuran keringat dingin. Dia tanpa sadar mengucek matanya untuk memastikan dirinya tidak berhalusinasi.Preston menoleh melirik Livy, lalu berkata, "Perkenalkan, ini putri kakak pertamaku. Namanya Chloe. Ini calon suaminya, Stanley."Usai berbicara, Preston berjeda. Tatapannya menyapu ke arah Stanley yang tertegun menatap Livy. Dengan suara rendah, Preston meneruskan, "Ini istriku, Livy."Livy sudah menduga dirinya akan bertemu Stanley, makanya dia tetap terlihat tenang. Wajahnya menyunggingkan senyuman tipis. Dia menyapa dengan murah hati, "Halo."Setelah mendengarnya, Stanley merasa pandangannya menggelap dan sempoyonga
Usai berbicara, Chloe buru-buru menutup mulutnya dan berpura-pura kaget. "Maaf, Paman. Aku salah ngomong."Chloe tampak menunduk dan merasa bersalah, tetapi Livy bisa melihat senyuman pada wajahnya. Sebagai seorang wanita, Livy bisa menilai bahwa Chloe tidak mudah dihadapi, bahkan gayanya itu terlihat seperti jalang.Chloe sengaja menyebut wanita bernama Sylvia itu. Livy tidak tahu siapa Sylvia, tetapi pasti punya hubungan dengan Preston. Mungkin, itu mantan pacar Preston?Yang jelas, wanita itu tidak ada hubungannya dengan Livy. Livy juga tidak akan cemburu. Lagi pula, semua ini hanya sandiwara. Dia bukan istri Preston yang sesungguhnya.Namun, ketika bertemu pandang dengan wajah Stanley yang dipenuhi kekesalan, suasana hati Livy sontak memburuk. Berbagai momen manis antara dirinya dengan Stanley berkelebat di benaknya.Tidak ada yang kekal di dunia ini. Kini, mereka tidak lagi berdiri berdampingan, melainkan berdiri berhadapan. Dulu Livy sangat mencintai Stanley, tetapi sekarang dia
"Ya." Preston mengiakan.Livy mengangguk, lalu menggigit bibirnya. Dia tidak berani bertanya tentang wanita bernama Sylvia. Karena Preston tidak berniat memberitahunya, dia pun menunduk dan tidak berbicara lagi.Itu seharusnya adalah wanita yang dicintai Preston. Jika tidak, mana mungkin Chloe berbicara seperti itu."Tugasmu selesai malam ini. Kamu nggak perlu turun lagi. Istirahat saja di kamar." Usai melontarkan ini, Preston hendak meninggalkan kamar. Sebelum keluar, dia bertanya, "Kamu bisa sendirian, 'kan?"Livy segera mengangguk. "Bisa kok, nggak usah pedulikan aku."Preston mengejapkan matanya. Setelah hening sejenak, dia berpesan, "Ya sudah. Kalau ada urusan, telepon saja aku."Livy termangu sesaat. Hatinya seketika terasa hangat. Dia tanpa sadar tersenyum lebar dan berkata, "Baik."Preston menelan ludah. Tatapannya tertuju pada lesung pipi Livy. Untuk sesaat, muncul dorongan besar dalam hatinya. Kenapa memangnya jika dia tidak menghadiri pesta? Di rumah ini, dia sudah terbiasa
Tadi dia ... sudahlah.Preston berdeham pelan, lalu sedikit mengubah topik pembicaraan. "Soal barbeku itu, akhir pekan ini kamu bawa aku ke sana.""Hah?" Livy tampak terkejut dan buru-buru mengingatkan, "Tempat itu cukup terpencil dan semua mejanya di luar ruangan. Aku takut kamu bakal kurang nyaman makan di sana.""Kamu bisa makan, kenapa aku nggak bisa?" balas Preston dengan santai."Baiklah."Lagi pula, Preston yang minta sendiri. Jangan sampai nanti setelah diajak, dia malah menunjukkan ekspresi tidak senang. Itu pasti akan membuat Livy kesal.Sambil menuangkan segelas air lagi untuk dirinya sendiri, Livy menyadari tatapan yang dilayangkan Preston kepadanya. Dengan sigap, dia juga menuangkan segelas air untuk pria itu.Preston menerima air putih yang diberikan Livy, lalu tiba-tiba berkata, "Aku dengar kamu berhasil mengamankan kerja sama ini hanya dalam 5 hari.""Mm ... sebenarnya masih banyak yang belum aku pahami, jadi butuh waktu cukup lama. Tapi, ya sudahlah, setidaknya ini lan
Ryan berbicara dengan pelan, tetapi kata-katanya mengandung makna menyindir jika didengar dengan lebih saksama. Namun, kata-kata itu juga terdengar sedang mengeluh. Ryan sedang mengeluh padanya?Namun, begitu pemikiran itu muncul, Livy langsung menepis pemikiran itu dan berpikir itu pasti hanya sekadar mengeluh biasa saja. Ryan bisa mengajak seseorang dengan mudah, tetapi dia malah menolak undangannya tiga kali. Oleh karena itu, wajar saja jika Ryan mengeluh."Maaf, aku benar-benar agak sibuk," jelas Livy dengan suara pelan."Nggak masalah, aku sudah memaafkanmu," kata Ryan sambil tersenyum dan tatapannya terlihat santai, seolah-olah bisa menarik perhatian siapa pun yang melihatnya."Selesai!"Setelah mengambil beberapa foto lagi, Hesti segera mengembalikan ponselnya pada Ryan dan berkata dengan semangat, "Tuan Ryan, kamu dan Livy benar-benar terlihat sangat serasi, aku sampai nggak tahan untuk mengambil beberapa foto lagi.""Nggak masalah, terima kasih," kata Ryan sambil kembali menge
Hesti mencengkeram tangan Livy dengan begitu bersemangat sampai meninggalkan bekas.Livy yang merasa lucu menepuk tangan Hesti dan berkata, "Aku juga nggak begitu yakin. Tapi, dia sepertinya hanya ingin keluar untuk bersantai, kita pura-pura nggak mengenalnya saja.""Benar! Sebagai penggemar yang baik, kita nggak boleh mengganggu idola," kata Hesti yang berusaha menahan kegembiraannya. Namun, saat memesan makanan, dia tetap terus menatap Ryan dan tidak berkedip sedikit pun. Setelah selesai memesan makanan, dia memilih meja yang sangat dekat dan terus menatap Ryan."Livy, bolehkah ... aku foto sekali saja? Aku benar-benar sangat senang, aku janji hanya satu foto saja," kata Hesti, lalu diam-diam mengeluarkan ponselnya.Namun, begitu kamera diarahkan pada Ryan, dua pengawal sudah mendekat dari kejauhan. Pada saat yang bersamaan, kilatan kamera ponsel pun menyala dan terlihat begitu jelas di tengah kegelapan malam. Restoran bakaran yang memang sepi tiba-tiba dikepung oleh dua pengawal yan
Livy terlihat bingung, tidak mengerti apa maksud perkataan Sherly. Dia ingin mengusir Sherly? Sejak kapan dia melakukan hal ini?Livy mengernyitkan alis dan menjawab, "Bu Sherly, aku nggak mengerti apa yang kamu katakan."Sherly langsung berkata, "Livy, soal malam itu, sebenarnya aku juga terpaksa. Itu semua karena Gavin tertarik padamu. Dia bilang ada seorang wanita cantik dari Grup Sandiaga di pesta itu, jadi dia menyuruhku pergi ke pesta itu untuk memberimu obat.""Aku benar-benar nggak punya pilihan, aku juga nggak bisa menyinggungnya. Aku minta maaf, aku mohon padamu. Aku rela kehilangan posisiku, aku akan menyerahkan posisiku padamu ...."Cara bicara Sherly makin kacau dan bahkan terus memohon dengan nada yang sangat putus asa, membuat Livy langsung tidak tahu bagaimana harus merespons. Meskipun pada akhirnya dia baik-baik saja, dia tetap merasa perbuatan Sherly padanya sungguh keterlaluan. Dia sulit untuk memaafkan Sherly tanpa perasaan dendam sedikit pun.Selain itu, Livy juga
Melihat Hesti masih terus sibuk bergosip, Livy tidak tahu harus bagaimana menjawab. Dia juga tidak mungkin mengaku wanita yang dirumorkan sakit-sakitan adalah dia sendiri. "Aku nggak terlalu memperhatikan."Hesti menganggukkan kepala dengan kecewa. "Baiklah. Aduh. Aku sebenarnya sangat penasaran wanita seperti apa yang bisa menaklukkan Pak Preston, dia pasti sangat luar biasa."Livy berpikir sebenarnya tidak juga, dia hanya seorang wanita biasa saja.Setelah mengobrol dengan Hesti sebentar lagi, Livy kembali ke mejanya. Namun, entah mengapa, sikap rekan-rekan kerjanya sepertinya jauh lebih ramah dibandingkan sebelumnya. Dia juga tidak mendapatkan tugas-tugas aneh dan disuruh membeli kopi lagi, bahkan Darren juga memberikannya beberapa dokumen secara khusus."Livy, ini daftar mitra bisnis yang sering bekerja sama dengan Grup Sandiaga, aku berencana membawamu bertemu dengan mereka nanti. Tapi, mereka ini hanya mitra kecil. Kalau mitra yang besar, kamu juga tahu mereka sudah ditangani mas
Suka? Suka siapa? Suka Preston? Pikiran Livy langsung menjadi kacau.Namun, saat melihat tatapan Preston yang sulit ditebak maksudnya, Livy langsung menggelengkan kepala sambil menggigit bibirnya dan segera memalingkan kepalanya. "Sayang, aku nggak mengerti apa yang kamu katakan. Siapa pun pasti akan menyukai wajahmu yang begitu tampan ini, suka melihat wajahmu."Bagaimanapun juga, tidak banyak wanita yang sanggup menolak wajah tampan seperti ini."Yang aku maksud bukan hanya wajahku saja," kata Preston sambil mencengkeram bahu Livy untuk memaksa Livy terus menatapnya. Jika tidak menyukainya, Livy tidak mungkin akan bereaksi seperti ini."Livy, apa kamu punya perasaan lain padaku?" tanya Preston lagi dengan penuh tekanan.Livy membuka mulutnya, tetapi dia merasa sangat gelisah sampai tidak tahu harus bagaimana menjawab. Dia memang menyukai Preston, tetapi Preston sudah menegaskan sejak awal bahwa hubungan mereka hanya saling menguntungkan saja. Jika Preston tahu perasaannya yang sebena
Tanpa mempertimbangkan sudah berapa banyak nyawa yang telah dihabisi Gavin dan hanya bagi Livy sendiri saja, Gavin adalah pria yang hampir saja merenggut nyawanya."Aku nggak begitu mengerti urusan seperti ini. Sayang, kamu saja yang menanganinya," kata Livy yang tidak mungkin memaafkan Gavin begitu saja di depan Fabian. Menurutnya, pilihan terbaik adalah menyerahkan masalah ini pada Preston."Pak Preston, aku mohon padamu. Anakku memang bersalah. Tenang saja, aku akan membuangnya ke luar negeri dan nggak akan kembali mengganggumu selama sepuluh tahun ke depan. Bisakah kamu memaafkan Keluarga Soedjono dan mengampuni nyawanya?" kata Fabian yang terus memohon pada Preston dengan air mata mengalir di wajahnya, menunjukkan dirinya adalah ayah yang baik.Namun, Preston hanya menatap Fabian dengan dingin dan berkata dengan cuek, "Pak Fabian, manusia nggak boleh serakah. Antara Keluarga Soedjono atau Gavin, kamu harus memilih salah satu."Fabian langsung tertegun sejenak, lalu menoleh ke arah
Setelah diam-diam melirik Preston, Livy meneguk habis dua gelas air dingin dan mengganti filmnya dengan tegas.Preston langsung menatap Livy dan berkata, "Kenapa? Filmnya masih belum berakhir."Livy berkata dengan canggung, "Aku tiba-tiba nggak ingin menontonnya lagi. Sayang, bagaimana kalau kita jalan-jalan di luar?"Saat ini, cuaca di luar sangat dingin. Livy tidak percaya sisa obat yang terakhir ini akan membuatnya terangsang lagi setelah terkena angin dingin.Namun, begitu mendengar perkataan itu, Preston langsung menatap Livy dengan ambigu. "Sepertinya semalam kamu masih belum lelah, jadi sekarang masih punya tenaga untuk jalan-jalan."Livy berpikir bagaimana mungkin dan secara refleks menggigil. Meskipun Preston tidak lelah setelah berhubungan selama dua hari berturut-turut, kakinya sudah gemetar. Namun, justru karena begitu, dia baru merasa tubuhnya tidak kuat dan ingin jalan-jalan di luar. "Aku hanya merasa terlalu pengap di rumah. Sayang, bagaimana kalau aku pergi jalan-jalan
"Mengadu apa?" Livy tertegun. Dia hanya merasa bahwa Preston pasti salah paham lagi."Aku nggak tahu apa yang kamu salah pahami kali ini, tapi aku sama sekali nggak mengatakan apa pun pada Ayah. Kalau kamu nggak percaya, ada rekaman di ruang tamu. Kamu bisa memeriksanya!"Meskipun Livy sudah terbiasa dengan kenyataan bahwa Preston sering salah paham padanya, saat mengatakan ini, dia tetap ingin menangis.Matanya memerah, tetapi dia tetap menatap Preston dengan keras kepala. Bibir merahnya sedikit bergetar, lalu air mata mulai jatuh.Melihat itu, Preston merasa gusar. Dengan kesal, dia menghapus air mata di sudut mata Livy dan menggerutu, "Kenapa kamu cengeng sekali? Kamu ini terbuat dari air atau apa?""Bukan begitu." Livy menggeleng dengan cepat, tetapi wajahnya masih ditahan oleh tangan Preston. Jari-jari kasar pria itu menyapu sudut matanya."Kamu yang selalu salah paham padaku." Suaranya terisak karena menangis. Dia terdengar seperti kelinci kecil yang sedang ditindas, membuat siap