"Paman, siapa ini?" Chloe segera memperhatikan Livy yang berdiri di samping Preston, terutama lengan yang berangkulan itu.Sementara itu, Stanley memelotot dan tampak pucat. Dia tidak menduga akan bertemu Livy di sini. Sebelumnya mereka bertemu di kafe. Livy bahkan meminta dua uang amplop darinya dan bilang dirinya sudah menikah. Jangan-jangan ....Stanley seketika bercucuran keringat dingin. Dia tanpa sadar mengucek matanya untuk memastikan dirinya tidak berhalusinasi.Preston menoleh melirik Livy, lalu berkata, "Perkenalkan, ini putri kakak pertamaku. Namanya Chloe. Ini calon suaminya, Stanley."Usai berbicara, Preston berjeda. Tatapannya menyapu ke arah Stanley yang tertegun menatap Livy. Dengan suara rendah, Preston meneruskan, "Ini istriku, Livy."Livy sudah menduga dirinya akan bertemu Stanley, makanya dia tetap terlihat tenang. Wajahnya menyunggingkan senyuman tipis. Dia menyapa dengan murah hati, "Halo."Setelah mendengarnya, Stanley merasa pandangannya menggelap dan sempoyonga
Usai berbicara, Chloe buru-buru menutup mulutnya dan berpura-pura kaget. "Maaf, Paman. Aku salah ngomong."Chloe tampak menunduk dan merasa bersalah, tetapi Livy bisa melihat senyuman pada wajahnya. Sebagai seorang wanita, Livy bisa menilai bahwa Chloe tidak mudah dihadapi, bahkan gayanya itu terlihat seperti jalang.Chloe sengaja menyebut wanita bernama Sylvia itu. Livy tidak tahu siapa Sylvia, tetapi pasti punya hubungan dengan Preston. Mungkin, itu mantan pacar Preston?Yang jelas, wanita itu tidak ada hubungannya dengan Livy. Livy juga tidak akan cemburu. Lagi pula, semua ini hanya sandiwara. Dia bukan istri Preston yang sesungguhnya.Namun, ketika bertemu pandang dengan wajah Stanley yang dipenuhi kekesalan, suasana hati Livy sontak memburuk. Berbagai momen manis antara dirinya dengan Stanley berkelebat di benaknya.Tidak ada yang kekal di dunia ini. Kini, mereka tidak lagi berdiri berdampingan, melainkan berdiri berhadapan. Dulu Livy sangat mencintai Stanley, tetapi sekarang dia
"Ya." Preston mengiakan.Livy mengangguk, lalu menggigit bibirnya. Dia tidak berani bertanya tentang wanita bernama Sylvia. Karena Preston tidak berniat memberitahunya, dia pun menunduk dan tidak berbicara lagi.Itu seharusnya adalah wanita yang dicintai Preston. Jika tidak, mana mungkin Chloe berbicara seperti itu."Tugasmu selesai malam ini. Kamu nggak perlu turun lagi. Istirahat saja di kamar." Usai melontarkan ini, Preston hendak meninggalkan kamar. Sebelum keluar, dia bertanya, "Kamu bisa sendirian, 'kan?"Livy segera mengangguk. "Bisa kok, nggak usah pedulikan aku."Preston mengejapkan matanya. Setelah hening sejenak, dia berpesan, "Ya sudah. Kalau ada urusan, telepon saja aku."Livy termangu sesaat. Hatinya seketika terasa hangat. Dia tanpa sadar tersenyum lebar dan berkata, "Baik."Preston menelan ludah. Tatapannya tertuju pada lesung pipi Livy. Untuk sesaat, muncul dorongan besar dalam hatinya. Kenapa memangnya jika dia tidak menghadiri pesta? Di rumah ini, dia sudah terbiasa
Livy tidak tahu apa saja yang didengar oleh Preston. Punggungnya terasa dingin. Jika Preston tahu tujuan Livy mendekatinya, entah bagaimana pria ini akan menghukumnya.Livy merasa hukuman paling ringan adalah kontraknya dibatalkan, lalu dirinya akan didepak dari Grup Sandiaga. Ini sudah hukuman teringan .... Itu sebabnya, Livy sangat takut sekarang.Livy menjilat bibirnya yang kering dengan gugup. Setelah ragu-ragu sejenak, dia tersenyum manis dan memanggil dengan manja, "Sayang!"Usai berbicara, Livy langsung menghampiri Preston dan merangkul lengannya. Dia menjelaskan, "Aku baru selesai makan. Perutku agak begah. Aku mau mencarimu tadi, tapi malah tersesat.""Kebetulan aku ketemu Pak Stanley. Aku mau minta tolong dia membawaku ke aula utama." Livy tidak yakin apakah Preston mencurigainya atau tidak. Meskipun begitu, dia tetap bersikap setenang mungkin.Kemudian, Livy melirik Stanley. Ketika melihat wajah masamnya, Livy tahu Stanley juga takut hubungan mereka ketahuan.Jika Preston me
Malam ini sangat hening. Livy sampai merasa tidak terbiasa. Dia berguling-guling di ranjang sebelum akhirnya tertidur.Rumah lama Keluarga Sandiaga jauh dari perusahaan. Hari Senin, Preston bangun pagi-pagi sekali. Livy tidak berani bermalas-malasan. Dia lekas bersiap-siap dan mengikuti Preston.Setelah duduk di meja makan, Livy melihat Preston yang duduk di seberangnya. Preston memakai setelan dan rambutnya sangat rapi. Sosoknya gagah dan sempurna.Kemudian, Livy menunduk untuk melihat penampilannya. Kemejanya tidak rapi, hanya setengah bagian yang dimasukkan ke rok. Livy menyentuh kuncir kudanya yang diikat sembarangan. Seketika, dia merasa agak malu.Livy pun menghela napas dalam hati. Kesenjangannya dengan Preston sangat besar. Livy pun merasa ragu, apa dia harus kembali ke lantai atas untuk merapikan diri?Saat ini, Tristan yang berjalan dengan tongkat menghampiri. Dia bertanya dengan wajah penuh kasih sayang, "Livy, kamu sudah baikan? Kalau belum, suruh Preston bawa kamu ke rumah
Selesai makan, Tristan mengantar Livy dan Preston masuk ke mobil. Livy melambaikan tangan untuk berpamitan. Mobil segera meninggalkan rumah lama Keluarga Sandiaga.Di dalam mobil, suasana sunyi senyap. Livy meringkuk di sudut sambil menoleh memandang ke luar jendela, berpura-pura menikmati pemandangan. Dia tidak melontarkan sepatah kata pun sejak tadi.Livy menarik napas dalam-dalam, memberanikan diri untuk memperjelas semuanya dengan Preston. Namun, dia tidak tahu harus mengatakan apa.Samar-samar, Livy ingat sepertinya ada sebuah aturan yang tertera di surat perjanjian. Aturan itu adalah Livy harus bekerja sama dengan Preston tanpa syarat apa pun di depan Tristan. Jadi, jika Tristan benar-benar menginginkan cucu, Livy tidak bisa menolak?"Pak, aku ...." Livy memanggil dengan hati-hati, tetapi akhirnya mengurungkan niatnya. Neneknya baru masuk sanatorium. Livy berharap neneknya mendapatkan perawatan terbaik. Dia tidak ingin menyinggung Preston.Preston adalah pria cerdas. Dia tentu bi
"Kapan kamu selesai mengarsip semua data di ruangan, kamu baru boleh kembali." Suara Annie terdengar datar, tetapi ekspresinya dipenuhi keirihatian.Ekspresi Livy agak berubah. "Bu, ada staf yang khusus merapikan dokumen. Itu di luar ruang lingkup pekerjaanku."Departemen sekretaris memiliki ruang data yang terpisah. Di dalamnya tersimpan semua data dan catatan kesekretariatan sejak Grup Sandiaga berdiri.Karena menyangkut rahasia perusahaan, sebagian besar adalah dokumen penting. Jika dirapikan, akan memakan waktu dan energi yang sangat besar. Jelas sekali, Annie sengaja menyulitkan Livy."Aku tahu kamu nggak suka padaku. Tapi, kamu nggak seharusnya memanfaatkan jabatanmu untuk menindasku." Livy menarik napas dalam-dalam agar tetap tenang."Omong kosong!" Annie menyela dengan dingin, "Kamu jadi sombong setelah punya penyokong ya? Dulu kamu nggak pernah mempertanyakanku seperti ini. Kalau kamu merasa aku menindasmu dan merasa nggak puas, laporkan saja kepada Pak Preston.""Bukannya kam
Napas Livy terengah-engah karena ciuman panas itu. Ketika Preston melepaskannya, wajahnya memerah seperti tomat. Siapa pun yang melihatnya pasti ingin memakannya.Preston menarik dasinya, lalu berkata dengan suara rendah, "Aku sempat minum-minum waktu pertemuan bisnis siang tadi."Livy tampak kebingungan karena belum tersadar dari keterkejutannya. Saat berikutnya, terdengar suara pintu dikunci. Livy menoleh, mendapati Preston mengunci pintu dari dalam.Keempat mata bertatapan. Suasana di ruangan menjadi ambigu. Preston menjulurkan tangan dan merangkul pinggang ramping Livy. Seketika, Livy digendong dan diturunkan di sofa kulit hitam.Livy tanpa sadar ingin bangkit, tetapi tubuh pria yang besar sontak menindihnya. Kemudian, sebuah kemasan kecil diletakkan di tangan Livy. Itu adalah kondom.Livy seketika memahami keinginan Preston. Dia berkata dengan terbata-bata, "Pak, kita ... lagi di ... perusahaan ...."Apa benar bisa melakukannya di sini? Bagaimanapun, di luar banyak orang yang berl
"Tenang saja, serahkan sisanya padaku," ucap Linda."Terima kasih. Aku traktir kamu makan lain hari," kata Livy sambil buru-buru berjalan pergi.Sayangnya, saat ini kebetulan adalah jam sibuk. Taksi yang dipesan Livy baru akan sampai 1 jam 45 menit lagi. Hal ini membuatnya merasa sangat lesu.Tiba-tiba, Livy menerima pesan di WhatsApp. Pengirimnya adalah Preston.[ Sudah naik taksi? Bagi pelat nomornya. ]Livy terpaksa mengirimkan tangkapan layar dari halaman pemesanan taksi.Preston mengirimkan pesan lagi.[ Aku jemput kamu. ]Livy merasa ragu untuk memberitahukan alamatnya sekarang. Namun, dia lantas sadar bahwa hasil tangkapan layar tadi sudah menunjukkan titik lokasinya. Artinya, Preston tahu bahwa dia berada di Dibiza.Entah apa yang dipikirkan Preston saat tahu dirinya berada di sini. Untungnya, Linda memang bekerja di sini. Jadi, dia masih bisa menjadikan itu sebagai alasan.Livy duduk di sofa lobi, menunggu Preston datang menjemputnya. Tak lama kemudian, dia melihat sekelompok
Stanley terpancing. Dia lantas mengikuti wanita itu naik ke kamar di lantai atas. Alhasil, begitu masuk kamar, wanita itu langsung melepas pakaiannya."Tunggu! Kamu ngapain? Bukannya ini hanya pura-pura?" tanya Stanley kaget.Wanita itu tersenyum manis, membuatnya terlihat kian mirip dengan Livy. Dia berkata, "Kak, kamu sudah menolongku. Sebagai gantinya, aku akan menemanimu malam ini. Nggak perlu bayar.""Nggak perlu," tolak Stanley. Meski begitu, dia merasa sangat tergoda.Wanita itu sudah menanggalkan semua pakaiannya. Melihatnya berjalan mendekat, Stanley buru-buru balik badan. Dia tidak berani menatap wanita itu, takut dirinya akan hilang kendali.Wanita itu memeluk Stanley dari belakang, menempelkan tubuh mereka erat-erat dan menggodanya. Stanley tidak tahan godaan. Akhirnya, dia berbalik dan merengkuh wanita itu.Livy yang menyaksikan semua ini dari kamera CCTV mengernyit dan merasa jijik."Sudah kubilang, 'kan? Dia pasti akan terpancing kalau digoda wanita yang mirip denganmu,"
Stanley mengajak teman-temannya untuk makan bersama di Olive Tower. Ketika mereka semua berada di ruang VIP, Nicky keluar untuk menelepon.Usai mendapat informasi ini, Livy segera mengganti pakaian dan meninggalkan apartemen. Dia tidak memberi tahu Preston tentang kepergiannya.Livy hanya berpamitan pada Tina. Dia berkata hendak menemui temannya dan tidak ingin menginterupsi pekerjaan Preston. Dia juga meminta Tina menyampaikan bahwa dirinya akan segera kembali jika Preston mencarinya.Di dalam taksi, Nicky memberi tahu Livy bahwa mereka akan pindah ke Dibiza. Livy lantas meminta sopir untuk mengubah rute. Dibiza adalah nama sebuah kelab terkenal.Livy berpesan pada Nicky untuk merahasiakan kedatangannya. Dia beralasan ingin memberi mereka kejutan.Sebelum mereka sampai, Livy sudah terlebih dahulu tiba di Dibiza. Dia juga sudah menghubungi Charlene sebelumnya.Charlene mengenal Linda, manajer Dibiza. Hubungan akrab keduanya memuluskan rencana Livy.Livy menemui Linda dan memilih bebera
Ketika manusia sedang lemah, mereka selalu mencari sandaran. Kebetulan, Preston ada di sisi Livy untuk membantunya. Mungkin, ini hanya efek psikologis. Livy tidak berani berpikir terlalu jauh, apalagi mencintai Preston. Ini karena dia tahu betul bahwa dia bukan istri sah yang sesungguhnya.Kalau bukan karena ada Tina di sini, Livy tidak mungkin memanggil Preston dengan semesra itu. Biasanya, Livy memanggilnya dengan sebutan Pak Preston karena Preston memang atasannya."Sudah baikan?" tanya Preston setelah melepas sepatunya. Kemudian, dia menghampiri Livy.Livy mengangguk. "Sudah. Rencananya aku mau kerja besok.""Nggak usah repot-repot. Yang penting sembuh dulu." Supaya Livy tidak cemas, Preston pun menggodanya, "Lagian, perusahaan tetap beroperasi seperti biasanya tanpa kamu."Livy tahu Preston sedang bercanda dan bukan ingin mengejeknya. Hatinya terasa hangat. Dia bergumam, "Ya sudah. Aku istirahat sehari lagi. Lusa baru kerja."Livy tidak ingin menunda terlalu banyak pekerjaan. Sela
"Hanya saja, Rivano juga menjenguk temannya yang sakit. Mungkin dia memang cuma ingin menjenguk nenek Livy. Tapi, ini bukan berarti kematian nenek Livy nggak ada kaitan dengannya. Mungkin kebetulan, mungkin juga bukan ...." David menganalisis dengan saksama.Preston mengernyit sambil menatap ke kejauhan. Entah apa yang dia pikirkan. Dia berujar dengan pelan, "Rahasiakan dulu hal ini."....Selama beberapa hari ini, Livy terus tidur. Dia terus bermimpi saat neneknya masih hidup. Setiap kali membuka mata, dia merasa kematian neneknya hanyalah mimpi.Namun, setiap kali Preston menyuapinya makan, Livy akan tersadar dari mimpinya. Neneknya benar-benar sudah tiada.Setelah memastikan semua ini nyata, pikiran Livy menjadi lebih jernih. Dia menyibakkan selimutnya dan berjalan tanpa alas kaki, lalu membuka pintu kamar.Rumah yang luas ini tampak kosong melompong. Matahari telah bersinar terik. Hari ini bukan akhir pekan. Jadi, Preston pasti sudah pergi ke perusahaan.Tina yang menjinjing keranj
Tiga hari kemudian, Livy menyaksikan dengan mata kepala sendiri saat neneknya dikremasi. Ketika menerima guci abu, Livy hanya bisa menunduk dengan bengong. Semua ini terasa seperti mimpi. Namun, fakta menyadarkannya bahwa neneknya memang telah tiada.Preston mengatur semuanya dengan sangat baik, termasuk makam untuk neneknya. Livy dibawa ke pemakaman untuk mengubur neneknya.Pemakaman diadakan dengan sangat sederhana. Tidak ada orang lain, hanya ada Preston dan Livy. Charlene sedang syuting di luar negeri. Sehingga Livy tidak mengabarinya soal masalah ini. Dia tidak ingin Charlene khawatir dan berdampak pada pekerjaannya. Rivano sempat datang untuk berbelasungkawa, tetapi Livy mengusirnya.Saat ini, Livy berlutut di depan makam neneknya. Langit mendung dan mulai gerimis, persis dengan suasana hatinya. Makin deras air mata Livy, makin deras pula hujan yang turun.Preston memayungi Livy sambil menunggunya dengan tenang. Tiba-tiba, ponsel Preston yang berdering memecahkan keheningan.Satu
Ternyata itu adalah "ayah terbaiknya".Livy tidak berniat meladeninya, tetapi Rivano maju dan berkata lagi, "Biaya pengobatan di sini seharusnya sangat mahal, 'kan? Aku punya sedikit uang. Aku diam-diam menyimpannya dari Kristin dan Zoey untukmu. Aku bantu kamu bayar biaya operasinya."Sesudah mendengarnya, ekspresi Livy baru berubah. Dia menoleh menatap sosok belakang Rivano yang hendak pergi. Nada bicaranya terdengar tegas saat menyergah, "Kami nggak butuh uangmu! Pergi!""Livy, kenapa kamu sekejam ini sama ayahmu? Kamu putri kandungku. Mana mungkin kuabaikan?" timpal Rivano yang bersikap seolah-olah dirinya adalah ayah yang sangat baik.Namun, tidak peduli bagaimana Rivano berusaha, Livy tidak akan pernah melupakan kekejamannya setelah Helen meninggal, serta kebanggaan pada ekspresi Kristin dan Zoey saat dibawa pulang.Saat ini, Livy tidak ingin meladeni Rivano. Dia sedang mencemaskan keselamatan neneknya.Tiba-tiba, pintu ruang operasi dibuka. Dokter berjalan keluar sambil menatap
Jawaban ini membuat ekspresi Nicky membeku. Dia sulit untuk memercayainya. Kemudian, dia teringat pada ucapan bibi Stanley dan bertanya untuk memastikan, "Kamu ikut acara siang juga?"Livy agak terkejut karena mengira tidak ada yang melihatnya. Kini, dia tidak punya alasan untuk menyembunyikan apa pun lagi. Dia mengangguk. "Ya, tapi aku langsung pergi istirahat setelah siap makan. Aku nggak enak badan.""Kamu sakit?" Hal pertama yang dicemaskan Nicky adalah kesehatan Livy. Namun, setelah tersadar kembali, tatapannya menjadi sedih.Ternyata benar, Livy dan Preston bersama. Nicky awalnya mengira keduanya hanya pacaran. Siapa sangka, ternyata keduanya sudah menikah."Sudah jauh lebih baik," timpal Livy yang menyadari kejanggalan dari sikap Nicky. Dia tidak tahu apa yang janggal, tetapi bisa merasakannya. Apa mungkin Nicky terkejut dengan kabar pernikahannya?"Aku nggak bermaksud merahasiakannya darimu. Tapi, kami memang menutupi pernikahan ini dari semua orang. Semua karyawan di perusahaa
Livy mengangguk. "Aku bisa ambil sendiri. Nggak usah merepotkan Preston."Livy menoleh dan berujar, "Preston, panggil saja aku kalau ada masalah. Aku pergi cari makan dulu."Mereka sudah melihat Bahran tidak ada di sini. Itu artinya, mereka tidak bisa membuat perhitungan dengan Bahran sekarang.Livy memang lapar sampai kepalanya terasa agak sakit. Dia harus mengisi perutnya dulu. Sebelum Preston mengiakan, Livy sudah pergi makan supaya dia tidak pingsan karena gula darah rendah.Livy makan sepotong kue dan minum segelas jus jeruk dengan lahap. Seketika, dia merasa berenergi kembali. Ketika dia hendak pergi, tiba-tiba ada yang memanggil, "Livy."Livy lantas berbalik dan agak terkejut. "Nicky?" Untungnya, Livy telah membuat persiapan mental."Lama nggak ketemu." Nicky mendekat. "Kami beberapa kali mengajakmu ketemu, tapi kamu nggak bisa.""Ya, aku sibuk kerja, ditambah lagi harus jaga nenekku. Sekarang aku jarang keluar. Charlene saja datang ke rumahku kalau mau ngobrol," jelas Livy sege