Selesai makan, Tristan mengantar Livy dan Preston masuk ke mobil. Livy melambaikan tangan untuk berpamitan. Mobil segera meninggalkan rumah lama Keluarga Sandiaga.Di dalam mobil, suasana sunyi senyap. Livy meringkuk di sudut sambil menoleh memandang ke luar jendela, berpura-pura menikmati pemandangan. Dia tidak melontarkan sepatah kata pun sejak tadi.Livy menarik napas dalam-dalam, memberanikan diri untuk memperjelas semuanya dengan Preston. Namun, dia tidak tahu harus mengatakan apa.Samar-samar, Livy ingat sepertinya ada sebuah aturan yang tertera di surat perjanjian. Aturan itu adalah Livy harus bekerja sama dengan Preston tanpa syarat apa pun di depan Tristan. Jadi, jika Tristan benar-benar menginginkan cucu, Livy tidak bisa menolak?"Pak, aku ...." Livy memanggil dengan hati-hati, tetapi akhirnya mengurungkan niatnya. Neneknya baru masuk sanatorium. Livy berharap neneknya mendapatkan perawatan terbaik. Dia tidak ingin menyinggung Preston.Preston adalah pria cerdas. Dia tentu bi
"Kapan kamu selesai mengarsip semua data di ruangan, kamu baru boleh kembali." Suara Annie terdengar datar, tetapi ekspresinya dipenuhi keirihatian.Ekspresi Livy agak berubah. "Bu, ada staf yang khusus merapikan dokumen. Itu di luar ruang lingkup pekerjaanku."Departemen sekretaris memiliki ruang data yang terpisah. Di dalamnya tersimpan semua data dan catatan kesekretariatan sejak Grup Sandiaga berdiri.Karena menyangkut rahasia perusahaan, sebagian besar adalah dokumen penting. Jika dirapikan, akan memakan waktu dan energi yang sangat besar. Jelas sekali, Annie sengaja menyulitkan Livy."Aku tahu kamu nggak suka padaku. Tapi, kamu nggak seharusnya memanfaatkan jabatanmu untuk menindasku." Livy menarik napas dalam-dalam agar tetap tenang."Omong kosong!" Annie menyela dengan dingin, "Kamu jadi sombong setelah punya penyokong ya? Dulu kamu nggak pernah mempertanyakanku seperti ini. Kalau kamu merasa aku menindasmu dan merasa nggak puas, laporkan saja kepada Pak Preston.""Bukannya kam
Napas Livy terengah-engah karena ciuman panas itu. Ketika Preston melepaskannya, wajahnya memerah seperti tomat. Siapa pun yang melihatnya pasti ingin memakannya.Preston menarik dasinya, lalu berkata dengan suara rendah, "Aku sempat minum-minum waktu pertemuan bisnis siang tadi."Livy tampak kebingungan karena belum tersadar dari keterkejutannya. Saat berikutnya, terdengar suara pintu dikunci. Livy menoleh, mendapati Preston mengunci pintu dari dalam.Keempat mata bertatapan. Suasana di ruangan menjadi ambigu. Preston menjulurkan tangan dan merangkul pinggang ramping Livy. Seketika, Livy digendong dan diturunkan di sofa kulit hitam.Livy tanpa sadar ingin bangkit, tetapi tubuh pria yang besar sontak menindihnya. Kemudian, sebuah kemasan kecil diletakkan di tangan Livy. Itu adalah kondom.Livy seketika memahami keinginan Preston. Dia berkata dengan terbata-bata, "Pak, kita ... lagi di ... perusahaan ...."Apa benar bisa melakukannya di sini? Bagaimanapun, di luar banyak orang yang berl
Tanpa diduga, Zoey sudah melihatnya."Kak Livy!" seru Zoey sambil berlari menghampiri dengan penuh semangat. Dia langsung merangkul lengan Livy sambil mengadu dengan manja, "Aku bilang sama mereka aku adikmu dan minta izin ke atas untuk mencarimu, tapi mereka nggak percaya. Mereka bilang bakal menyuruhmu turun saja."Resepsionis menjelaskan dengan tidak berdaya, "Livy, bukan kami sengaja ingin menyulitkan. Kamu juga tahu aturan perusahaan. Orang tak berkepentingan nggak boleh sembarangan masuk.""Ya, terima kasih." Livy berterima kasih kepada resepsionis itu. Kemudian, dia membawa Zoey ke samping dan menyingkirkan tangannya sebelum bertanya dengan dingin, "Ada urusan apa?"Zoey mencebik. Dia hendak mengejek Livy, tetapi tiba-tiba teringat pada pesan Kristin. Ekspresinya langsung berubah. Dia tersenyum menyipitkan mata sambil berkata, "Kak, aku bakal wawancara di Grup Sandiaga dalam waktu dekat ini. Aku tahu kamu kerja di sini, makanya mengunjungimu. Kamu jarang pulang. Hubungan kita ja
Untuk sesaat, lobi menjadi sunyi senyap. Livy merasa dirinya sangat sial. Kenapa Preston malah keluar di saat seperti ini? Bukannya pria ini di ruangannya tadi?Livy bisa merasakan Preston menatapnya. Dia menahan kegusarannya, lalu menarik Zoey sambil berkata, "Kita bicara di luar."Jika Preston tahu ada keributan yang terjadi karena masalah pribadinya, sekalipun mereka berdua punya hubungan yang agak istimewa, Preston belum tentu akan membelanya dan mungkin akan memecatnya.Livy tidak berani membayangkan konsekuensinya. Saat ini, dia menyesal karena tidak bertanya dulu pada resepsionis. Daripada menghadapi situasi seperti ini, dia lebih baik bercinta dengan Preston di ruang kantor."Pak Preston?" Zoey menatap Preston dengan mata berbinar-binar. Dia berseru takjub, "Dia Presdir Grup Sandiaga!"Zoey ingin bergabung dengan Grup Sandiaga cuma karena reputasi besarnya di ibu kota. Dia sama sekali tidak mencari tahu tentang informasi lainnya. Bahkan, Zoey mengira Presdir Grup Sandiaga adala
Livy mengernyit. "Kamu mau buat onar sampai kapan? Semua tergantung wawancaramu sendiri. Aku nggak bisa bantu apa-apa."Livy tidak ingin buang-buang waktu dengan Zoey lagi. Dilihat dari ekspresi Preston tadi, pria ini juga tidak terlihat marah. Mungkin menurut Preston, Livy hanya sekadar mengobrol dengan adiknya.Livy berbalik dan pergi. Zoey masih ingin mengganggunya, tetapi ada banyak orang yang melihatnya. Pada akhirnya, dia hanya bisa menggertakkan giginya dengan geram dan pergi. Dia akan menunggu wawancaranya dulu.....Ketika Livy kembali ke departemen sekretaris, Ivana segera menghampiri. "Livy, kenapa Pak Preston memanggilmu tadi?"Livy termangu sesaat. Dia sudah menyiapkan jawaban untuk pertanyaan ini. "Oh, aku ditegur karena adikku. Adikku mau wawancara sore nanti, tapi datang mencariku dulu. Pak Preston kira aku mau membantunya, jadi memberiku peringatan."Ivana menarik napas dalam-dalam. "Rupanya kamu ditegur ...."Livy menyunggingkan bibirnya dan berucap, "Bukan masalah be
Bagi Livy, ini adalah kabar mengejutkan. Bagaimana mungkin Zoey bisa diterima dengan prestasi yang begitu buruk? Kecuali ....Setelah memikirkan ini, Livy berlari keluar dari ruang data. Dia tidak bisa mendengar suara Annie lagi.....Di ruang presdir, Livy mengetuk pintu. Sesudah mendapat respons, dia memberanikan diri untuk masuk.Preston sedang bekerja. Ketika melihat Livy, tatapannya terlihat datar, seolah-olah tahu Livy akan mencarinya. Dia berkata, "Aku telepon orang dulu."Livy duduk di sofa untuk menunggu. Ketika melihat waktu terus berlalu, Livy hanya bisa menghela napas dengan pasrah. Sepertinya dia tidak bisa mengunjungi neneknya malam ini. Sekarang sudah malam. Livy tidak ingin mengganggu neneknya istirahat.Setelah menunggu beberapa saat lagi, Preston akhirnya selesai bertelepon. Livy segera berdiri dan memanggil, "Pak ...."Sebelum Livy sempat berbicara, Preston telah melambaikan tangan untuk memanggilnya. Livy pun menghampiri. Saat berikutnya, Preston menariknya ke peluk
Preston sudah tidak sabar untuk pulang. Jantung Livy berdetak kencang. Dia bisa membaca isi pikiran Preston dari tatapannya. Jika tidak segera pergi, Preston mungkin akan melahapnya di sini.Livy buru-buru mengangguk. "Oke, aku akan cepat." Usai berbicara, Livy langsung kembali ke ruang data untuk merapikan barang-barangnya.Seketika, Livy tersadar kembali. Dia jelas-jelas ingin menanyakan tujuan Preston memasukkan Zoey, tetapi malah tidak mendapat kesimpulan apa pun dan Preston yang mengambil keuntungan darinya.Namun, dari ucapan Preston, sepertinya Zoey bisa bergabung dengan Grup Sandiaga berkat dirinya? Hanya saja, Preston adalah orang yang profesional. Livy saja hampir dipecat. Bagaimana bisa Zoey diterima? Jangan-jangan Preston menyukai wanita seperti Zoey?Ah, sudahlah! Livy tidak ingin memikirkannya lagi. Lagi pula, departemen propaganda sangat jauh darinya. Asalkan Livy tidak mengusik Zoey, Zoey juga tidak punya kesempatan untuk mengusiknya.....Zoey sangat gembira setelah ta