Share

Bab 5

Menghadapi permintaan maaf yang mendadak dari Annie, Livy merasa kebingungan. Secara refleks, dia menatap ke arah Preston yang duduk di belakang meja, berharap bisa mendapatkan penjelasan dari ekspresinya.

Ketika Preston melihat tatapan Livy yang bingung dan penuh kepolosan itu, tenggorokannya terasa kering sejenak. Dia langsung teringat bagaimana sorot mata itu menatapnya dengan malu-malu semalam.

Setelah berusaha mengendalikan diri, Preston mengendurkan dasinya dan berkata, "Karena ini cuma salah paham, aku akan minta departemen HR untuk batalin pengajuan pemecatan."

"Annie, kamu sudah berada di jajaran manajemen. Sebagai pemimpin, aku berharap kamu nggak melakukan kesalahan kecil seperti ini lagi. Jadilah teladan bagi bawahanmu."

Meskipun Preston mengucapkan tiga kata "kesalahan kecil" dengan nada santai, Annie bisa merasakan teguran di balik ucapannya. Kekesalan yang mendalam terpancar dari matanya, tetapi dia tetap mengangguk sambil menjawab, "Akan saya ingat itu, Pak Preston."

Meski Livy belum sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi, dia mulai menyadari satu hal. Sepertinya dia tidak akan dipecat.

Kegembiraan mulai membanjiri dirinya. Sepanjang sore, Livy merasa seperti berada di ujung tanduk dan bahkan sudah bersiap untuk menghadapi skenario terburuk. Namun tak disangka, situasinya malah berbalik.

Livy terlalu senang hingga tidak menyadari tatapan penuh kebencian dan kecemburuan dari Annie saat meninggalkan ruangan.

Setelah pintu tertutup, hanya Livy dan Preston yang tersisa di kantor itu. Livy menghimpun keberanian untuk berjalan mendekati Preston dan bertanya dengan hati-hati, "Pak Preston, jadi aku benar-benar nggak akan dipecat?"

Mendengar panggilan Livy yang sopan, Preston samar-samar mengangkat alisnya. Dengan suara tenang dan dingin, dia berkata, "Buatkan aku secangkir kopi."

Livy terdiam sejenak.

Semua orang di departemen sekretaris tahu bahwa Preston sangat pemilih. Biasanya, dia hanya minum kopi yang dibuat oleh Bendy atau Annie. Hanya mereka berdua yang bisa memenuhi standar suhu dan kekentalan yang diinginkan Preston.

Jadi, ketika Preston tiba-tiba memintanya untuk membuatkan kopi, Livy merasa agak gugup. Dia khawatir kopi buatannya tidak sesuai dengan selera Preston dan akhirnya membuat Preston marah.

Namun karena Preston telah menyuruhnya, Livy tentu tidak bisa menolak. Setelah ragu sejenak, dia berbalik dan pergi keluar.

Saat berdiri di depan mesin kopi di pantri, pikiran Livy bercampur aduk. Diam-diam, dia merasa menyesal telah menikahi Preston dengan gegabah. Meskipun pekerjaannya dulu memang melelahkan, setidaknya Livy bisa bebas setelah jam kerja selesai. Namun sekarang, dengan adanya hubungan "kerja sama" ini, Livy merasa hari-harinya ke depan akan lebih terbatas.

Sepertinya dia tidak perlu sampai mengorbankan masa depannya hanya demi membuat Stanley marah. Namun sampai di titik ini, Livy juga tidak bisa mundur lagi. Setelah selesai menyeduh kopi, Livy membawa cangkir itu dan masuk kembali ke kantor Preston.

"Ini kopi Anda ...." Dia meletakkan kopi panas di atas meja Preston. Saat ujung jarinya baru saja terlepas dari cangkir panas tersebut, pergelangan tangan Livy tiba-tiba dicengkeram oleh sebuah tangan yang hangat.

Tenaga Preston sangat kuat. Hanya dengan sekali gerakan, dia telah menarik Livy ke dalam pelukannya. Posisi ini terasa tidak asing bagi Livy. Tubuhnya masih mengingat keintiman yang terjadi malam sebelumnya.

Hanya dengan duduk di pangkuan Preston, berbagai kenangan mulai membanjiri benak Livy. Semua itu adalah pengalaman dari malam sebelumnya.

"Lagi mikir apa sampai wajahmu semerah ini?" Suara Preston yang dingin, diiringi dengan napasnya yang hangat, membelai daun telinga Livy dan menimbulkan sensasi yang menjalar ke seluruh tubuhnya.

"Ng ... nggak kok," jawab Livy dengan tergagap dan hati yang semakin kacau.

Ada apa dengan dirinya ini?

Sebelumnya saat Livy menjalin hubungan dengan Stanley, mereka sering bertengkar soal masalah kedekatan. Stanley ingin membawa hubungan mereka ke tahap yang lebih intim. Namun pada saat itu, Livy benar-benar tidak memiliki keinginan seperti itu. Sampai-sampai, Stanley mulai curiga bahwa Livy mungkin tidak memiliki ketertarikan seksual.

Ketika Livy mengetahui bahwa Stanley berselingkuh dengan Chloe, dia bahkan beralasan bahwa hal itu terjadi karena Livy tidak bisa memuaskannya. Stanley mengatakan bahwa itulah sebabnya dia mendekati Chloe. Seiring berjalannya waktu, mereka pun jatuh cinta dan akhirnya bersama.

Livy menundukkan kepalanya dengan lesu. Begitu Preston mendekatinya sedikit saja, bahkan tanpa sentuhan yang berlebihan sekalipun, Livy langsung mulai terangsang. Mana mungkin dia tidak memiliki ketertarikan seksual? Bahkan bisa dibilang, Livy benar-benar "haus" saat ini ....

Livy merasa sangat malu hingga ingin melarikan diri. Sepertinya, bukan dia yang tidak menginginkan hubungan badan, melainkan tidak tertarik secara fisik pada Stanley. Kebingungan yang dialaminya selama bertahun-tahun ini, kini terasa semakin jelas.

"Lagi mikir apa?" tanya Preston tiba-tiba.

Livy tersadar dari lamunannya dan buru-buru mengalihkan topik, "Kenapa Bu Annie minta maaf sama aku? Kamu kasih tahu dia soal pernikahan kita?"

"Nggak," jawab Preston.

Pandangannya tertuju pada wajah Livy yang memerah. Dengan sudut bibir yang sedikit terangkat, dia menjelaskan, "Kesalahan data itu terjadi karena Annie nggak sengaja mengubahnya. Bukan karena kesalahan catatanmu."

"Semua komputer di perusahaan ini mencatat setiap perubahan secara real-time. Setelah diperiksa, nggak ada kesalahan saat kamu memasukkan data. Dokumen final yang kamu kirim juga benar."

Livy tidak terlalu terkejut bahwa mereka diawasi setiap saat. Namun, dia tak menyangka bahwa Preston akan menyelidiki masalah ini secara pribadi. Jika memang Livy yang membuat kesalahan kali ini, apakah berarti Preston akan langsung memecatnya?

Memikirkan hal itu membuat Livy berkeringat dingin. Preston memang pria yang tegas dan adil. Meskipun Livy sekarang adalah "istrinya", bukan berarti bisa menggoyahkan keputusan Preston yang adil.

Untungnya, kali ini memang bukan karena kelalaiannya. Masalah ini membuat Livy kembali percaya diri. Bagaimanapun, Livy sudah bekerja selama tiga tahun di perusahaan ini. Sekacau apa pun pikirannya sekarang, Livy yakin tidak akan melakukan kesalahan seperti itu.

Melihat perubahan ekspresi pada wajah Livy, Preston kembali menjelaskan, " Annie mengakui bahwa dia membuat kesalahan data karena terlalu sibuk, lalu keliru mengira itu adalah kesalahanmu. Tapi, karena dia adalah bagian dari manajemen inti, aku akan beri dia satu kesempatan lagi."

Livy terdiam. Ternyata Annie bisa melakukan kesalahan sepele seperti itu? Kalaupun dia memang benar-benar melakukan kesalahan, Annie masih diberi kesempatan, sedangkan Livy tidak ada sama sekali?

Mengingat hal ini, hati Livy merasa tidak nyaman. Namun bagaimanapun, Annie adalah adik kelas Preston. Dia telah mengikuti Preston sangat lama dan juga merupakan tangan kanan bagi Preston. Bahkan kalau Annie benar-benar melakukan kesalahan besar sekalipun, Preston mungkin akan tetap memaafkannya.

Namun, berbeda lagi ceritanya jika Livy yang berada di posisi seperti itu.

Karena itulah, Livy tidak mengatakan apa pun lagi saat ini. Bagaimanapun, dia tidak berhak untuk meragukan apa pun. Di perusahaan ini, Livy hanyalah seorang bawahan kecil. Di antara dirinya yang mudah digantikan ini dan Annie yang merupakan "veteran", siapa yang akan dibela Preston?

Jawabannya sudah jelas.

Melihat ekspresi Livy yang murung, tatapan Preston menjadi muram. Dia memegang dagu Livy dan mengangkat kepalanya.

"Nggak senang?"

Livy langsung tersadar dan menggelengkan kepala. "Nggak, kok! Mana mungkin aku nggak senang. Lagi pula, aku nggak melakukan kesalahan dan nggak jadi dipecat. Tentu saja aku senang!"

'Ah, sudahlah, kenapa harus memikirkan semua ini?' batin Livy.

Pernikahannya dan Preston hanyalah sandiwara semata. Dia tidak mungkin mengharapkan Preston menjadi lebih toleran hanya karena mereka punya selembar akta pernikahan. Bahkan, mungkin Preston akan semakin menuntut dan menekannya.

Bos sialan!

Namun, selama masih bisa mempertahankan pekerjaannya, Livy sudah merasa cukup puas. Setidaknya, gaji dan tunjangan di Grup Sandiaga sangat memadai.

Sambil mencoba menghibur dirinya sendiri, Livy tiba-tiba melihat sekilas layar komputer di meja. Dia melihat dokumen yang telah disusunnya sebelumnya ....

Livy menelan ludah, lalu bertanya dengan hati-hati, "Pak Preston, semua yang kamu katakan tadi ... kamu memeriksa semuanya sendiri?"

Preston mengangkat alisnya. "Siapa lagi kalau bukan aku?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status