Share

Bab 4

Wajah Livy memerah seketika. Dia berusaha untuk meronta sambil melirik ke arah pintu dengan panik karena takut ada yang tiba-tiba masuk.

"Kenapa cari aku?"

Preston berusaha menenangkan diri dan bersikap lebih sopan. Namun, dia sendiri juga tidak mengerti mengapa bisa tergoda ketika melihat Livy. Seolah-olah kehilangan akal sehat, Preston yang seperti ini benar-benar berbeda dengan dirinya yang biasa.

Livy berdiri tegak dan merapikan pakaiannya. "Aku ... akan dipecat. Seharusnya, itu bukan perintah darimu, 'kan?" tanya Livy dengan hati-hati.

Bagaimanapun, mereka baru saja menikah pagi ini. Alasan mereka mendaftarkan pernikahan ini adalah karena Livy adalah karyawan perusahaan ini. Dengan demikian, Preston bisa lebih mudah mencari Livy dan memintanya untuk berakting kapan saja jika diperlukan.

Itulah alasannya, Livy yakin bahwa pemecatannya ini tidak ada kaitannya dengan Preston. Lagi pula, Preston tidak pernah menyebutkan bahwa dia harus tinggal di rumah sebagai ibu rumah tangga.

"Apa yang terjadi?" Preston mengerutkan alisnya. Tangannya memegang dagu Livy dengan lembut dan memintanya untuk menjelaskan lebih lanjut.

Livy mengatupkan bibir sekilas dan melaporkan semuanya dengan jujur. Namun, dia tetap menekankan dengan hati-hati, "Meskipun pikiranku agak kacau hari ini, tetap saja aku nggak mungkin melakukan kesalahan besar. Kalaupun aku salah, nggak perlu sampai dipecat juga, 'kan?"

"Apa Grup Sandiaga lagi dalam masalah?" tanya Livy sambil mengerjapkan matanya dengan usil.

Livy beranggapan bahwa pemecatannya ini mungkin karena permintaan Preston yang menganggap staf di departemen sekretaris terlalu banyak. Kebetulan, dia yang menjadi kambing hitam dari permintaan tersebut.

Plak!

Tiba-tiba, Livy merasa bokongnya kesakitan. Dia terkejut dan membelalakkan mata. Preston ... benar-benar memukul bokongnya?

"Livy, sebagai salah satu staf dari departemen sekretaris, apa kamu nggak tahu situasi perusahaan?" Preston tertawa ringan. "Kalau begini, sepertinya memecatmu memang bukan ide buruk."

Livy menggigit bibir bawahnya karena merasa sangat malu. Semua ini karena dia terlalu banyak bicara. Mana mungkin Grup Sandiaga akan mengalami kesulitan di bawah kendali Preston? Dia dijuluki sebagai "Setan Dunia Bisnis".

Sejak bergabung dengan Grup Sandiaga, perusahaan ini tidak pernah mengalami kerugian. Itulah alasannya Preston mendapat julukan seperti itu.

"Pak Preston, aku cuma bercanda." Livy bergumam dengan lirih, "Boleh jangan pecat aku nggak?"

Livy benar-benar tidak ingin kehilangan pekerjaannya di Grup Sandiaga. Saat melamar posisi "sekretaris junior" ini, Livy sudah melewati banyak tahapan seleksi yang sangat sulit. Awalnya, dia bahkan tak pernah berharap bisa diterima karena standar yang sangat tinggi.

Namun, setiap kalinya Livy selalu berhasil lolos dengan nilai nyaris. Karena itulah, Livy bertanya-tanya apakah semua keberuntungannya telah terpakai habis saat tahap wawancara?

Yang lebih penting lagi, gaji di Grup Sandiaga sangat tinggi. Dia benar-benar tidak rela jika harus kehilangan pekerjaan ini. Lagi pula, saat ini dia memang sangat butuh uang karena ....

"Kontribusi Annie sangat besar terhadap perusahaan. Dia pasti punya alasan tersendiri membuat keputusan seperti itu. Akan kupertimbangkan dulu," jawab Preston dengan ekspresi dingin dan nada serius, seolah-olah sengaja memberikan Livy peringatan.

Wajah Livy langsung memucat. Dia tidak menyangka bahwa Preston tidak merasa simpati padanya sedikit pun. Bagaimanapun, mereka ini adalah suami istri sekarang. Meski memang hanya sekadar pernikahan kontrak, tidak seharusnya Preston bersikap sekejam itu.

Tadi pagi mereka baru saja menerima akta nikah, tapi sekarang Livy malah menghadapi kemungkinan akan dipecat?

Apalagi, Preston sudah menidurinya dua kali ....

Namun, Livy tidak punya keberanian untuk membantahnya. Di bawah tekanan seperti ini, dia hanya bisa mengalah.

"Baik, Pak Preston," jawabnya dengan lesu, lalu berbalik dan berjalan ke pintu. Dia kembali ke ruang kerjanya dan duduk di meja kerja dengan perasaan murung.

Rekan kerjanya, Ivana, langsung menghampiri Livy untuk menunjukkan rasa prihatinnya. Mereka berdua adalah teman baik di kantor. Ivana bertanya dengan suara pelan, "Livy, kenapa wajahmu pucat sekali? Kamu dimarahin sama Bu Annie?"

Livy mengangguk, lalu menjawab dengan bingung, "Aku mau dipecat ...."

"Hah?!" teriak Ivana.

Semua orang di sekitar mereka langsung menoleh. Ivana buru-buru menutup mulutnya dan melambaikan tangan pada yang lain. "Nggak apa-apa kok, nggak apa-apa."

Kemudian, dia menarik lengan Livy ke pantri untuk menanyakan lebih lanjut.

"Masa cuma gara-gara masalah sepele begini dia mau pecat kamu? Kamu sudah lama kerja di sini, setidaknya harus dikasih kesempatan sekali lagi, 'kan?" Ivana merenung sejenak, lalu bertanya, "Livy, kamu pernah ngelakuin sesuatu yang menyinggung Bu Annie nggak?"

"Nggak, kok." Livy menggelengkan kepalanya. Tidak peduli seberapa kerasnya pun dia berusaha untuk mengingatnya, Livy tetap tidak merasa dirinya pernah menyinggung Annie.

Yang terpenting lagi sekarang adalah sikap Preston yang membuat Livy kehabisan akal. Bagaimanapun, mereka terikat hubungan pernikahan kontrak, kenapa Preston bisa tega melihatnya dipecat begitu saja?

Pria itu benar-benar tak berperasaan! Kalau tahu begini, Livy pasti tidak akan setuju untuk menikahinya!

"Aku ngerti sekarang!" seru Ivana tiba-tiba. "Karena hubunganmu sama Pak Preston!"

Livy terdiam sejenak, lalu bertanya dengan terbata-bata, "Ke ... kenapa kamu bisa tahu?"

Masalah pernikahannya dengan Preston hanya diketahui mereka berdua dan Bendy. Lalu, kenapa Ivana bisa mengetahui hal ini?

"Cih, siapa yang nggak tahu? Meski aku nggak ikut ke resor, semua orang tahu kamu terpaksa duduk di sebelah Pak Preston dalam perjalanan pulang. Kami semua kasihan sama kamu."

Ivana mengerucutkan bibirnya dan mencoba untuk menganalisis situasi. "Pasti Bu Annie cemburu karena kamu duduk bersebelahan sama Pak Preston, makanya dia kesal sama kamu dan cari-cari alasan untuk memecatmu."

Di perusahaan, hampir semua orang tahu bahwa Annie punya perasaan pada Preston. Jadi, analisis Ivana cukup masuk akal. Dia bahkan merendahkan suaranya dan bertanya dengan ekspresi hendak menggosip, "Kamu nggak goda Pak Preston, 'kan?"

"Te ... tentu saja nggak," jawab Livy dengan gugup, tapi tetap berusaha terlihat tenang.

Bagaimanapun, Preston sudah berpesan agar hubungan mereka tetap dirahasiakan. Jadi Livy berusaha sebaik mungkin untuk menyangkal keterlibatannya dengan Preston.

"Aku tahu kamu nggak akan begitu. Mungkin ini cuma karena Bu Annie cemburu, makanya tiba-tiba memutuskan untuk memecatmu, apalagi setelah kamu pulang dari resor," timpal Ivana yang semakin yakin dengan spekulasinya.

Livy menggelengkan kepala dengan bingung dan pasrah. "Sudahlah, aku selesaikan tugas hari ini saja. Masih ada dokumen yang belum sempat aku rapikan. Kalau mereka benar-benar pecat aku, setidaknya aku bakal dapat kompensasi dan punya waktu untuk cari pekerjaan lain."

....

Menjelang jam pulang kerja, Livy menerima panggilan telepon internal. Peneleponnya adalah Bendy yang meminta Livy untuk datang ke kantor Preston. Dengan perasaan bingung, Livy segera menyelesaikan pekerjaannya dan naik lift ke lantai atas.

Ketika sampai di depan pintu kantor Preston, Livy mendapati pintunya sedikit terbuka. Dengan perlahan, dia mendorong pintu dan melihat Annie berdiri di depan meja kerja Preston dengan ekspresi penuh penyesalan.

"Maaf, Pak Preston. Ini kelalaianku. Aku mengira ini kesalahan Livy, jadi aku memutuskan untuk memecatnya."

Mendengar suara di belakangnya, Annie langsung menoleh. Saat melihat Livy, sorot matanya langsung memancarkan kemarahan sejenak. Namun, dia buru-buru menarik kembali tatapan itu dan membungkuk ke arah Livy.

"Maaf, Bu Livy. Aku minta maaf atas kesalahanku."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status