Share

Bab 6

Livy tertegun seketika. Hanya karena masalah sekecil ini, Preston turun tangan langsung untuk memeriksanya sendiri? Pria ini benar-benar tegas! Kalau sampai Preston tahu bahwa kejadian di resor itu bukan sebuah kecelakaan, melainkan Livy yang memang sengaja menggodanya ....

Livy bergidik ngeri, tidak berani membayangkan kemungkinan yang akan terjadi.

"Ini untukmu." Suara Preston yang berat tiba-tiba menarik Livy kembali ke kenyataan. Dia melihat sebuah kartu bank disodorkan di depannya. Livy berkedip beberapa kali dengan kaget.

"Di dalamnya ada 20 miliar, pakai saja sesukamu," ucap Preston.

Mata Livy melebar seketika.

Preston memang pernah menyebutkan akan memberikan uang saku dan bayaran untuk perannya dalam "drama" pernikahan mereka. Namun, hal itu dibicarakan ketika mereka sedang berada di ranjang. Saat itu, Livy dalam keadaan setengah sadar sehingga dia lupa menegosiasikan jumlahnya.

Dia awalnya berpikir Preston hanya akan memberikan jumlah yang sebanding dengan gajinya di Grup Sandiaga, tetapi ternyata jumlahnya jauh melebihi bayangannya.

Meski dia tahu 20 miliar hanyalah uang kecil bagi Preston. Bagi Livy, itu adalah jumlah yang mungkin tidak akan bisa didapatkannya meskipun bekerja keras selama dua atau tiga dekade. Namun, Livy segera menenangkan diri.

Nominal 20 miliar ini memang banyak, tapi Livy merasa dia tidak mungkin bisa menggunakannya sembarangan.

Dilihat dari sifat Preston, dia kemungkinan besar akan menggunakan uang ini untuk mempersulit Livy di masa depan jika hubungan mereka memburuk. Daripada membiarkan Preston memegang kelemahan yang bisa digunakan untuk melawannya, lebih baik dia hidup sederhana dengan gajinya sendiri. Kartu ini akan disimpan baik-baik dan sebisa mungkin tidak digunakan.

"Baik, Pak Preston," ujar Livy sambil menyimpan kartu itu dengan hati-hati sambil mengangguk. "Aku akan catat setiap pengeluarannya dengan teliti." Dia sama sekali tidak akan mengambil keuntungan dari uang Preston!

Preston diam-diam menatapnya dengan agak kesal. Namun saat melihat sorot mata Livy yang jernih, Preston menyadari bahwa reaksinya mungkin berlebihan. Livy mungkin memang memiliki kebiasaan seperti itu.

Preston menyembunyikan emosinya, tetapi tangannya terus menggerayangi pinggang Livy. "Aku sudah kasih tahu Ayah soal pernikahan kita. Minggu ini, kamu ikut aku ke rumah lama untuk ketemu Ayah."

Meskipun terlihat kurus, tubuh Livy terasa sangat empuk, terutama di pinggangnya yang ramping. Setiap kali Preston menyentuhnya, pikirannya selalu membayangkan hal-hal yang menggoda.

"Baik ...," jawab Livy dengan patuh. Bagaimanapun, dia memang sudah mempersiapkan mental untuk masalah ini.

Akta nikah juga sudah diambil, memang sudah seharusnya dia bertemu dengan keluarga Preston. Livy mulai penasaran dengan reaksi Stanley saat melihatnya nanti.

Di tengah lamunannya, Livy tiba-tiba merasakan sesuatu yang aneh pada tubuhnya. Dia menggigit bibirnya dan berusaha keras untuk menahan erangan yang hampir keluar dari bibirnya.

"Bi ... bisa nggak, jangan sentuh aku lagi ...."

Biasanya, Preston terlihat dingin dan tidak berperasaan seperti robot yang hanya fokus bekerja. Banyak orang di perusahaan yang diam-diam berspekulasi bahwa Preston mungkin bermasalah dengan orientasi seksualnya. Bahkan ada yang mengatakan dia mungkin punya hubungan khusus dengan Bendy.

Namun, sekarang Livy tahu bahwa Preston adalah pria yang sangat normal ... bahkan lebih dari yang pernah dia bayangkan.

Pipi Livy merona merah dan pandangannya juga terlihat sangat jernih. Wajahnya yang memelas membuat orang ingin terus menggodanya. Semburat merah di bibirnya malah memberinya daya tarik yang memesona.

Preston menarik kembali pandangannya. Saat berada di ambang kehilangan kendali, Preston menahan diri dan menarik kembali tangannya dengan paksa. "Kembali kerja sana," katanya dengan suara yang terdengar serak.

Preston bukanlah orang yang dikuasai oleh nafsu. Bahkan, dia adalah orang yang cenderung hidup sederhana. Preston beranggapan bahwa dia seharusnya menghabiskan tenaga dan waktu untuk hal-hal yang lebih berguna. Misalnya, dengan bekerja.

Namun, sekarang dia merasa seperti terhipnotis. Setiap kali Livy muncul di hadapannya, dia langsung berubah dan perasaan kehilangan kendali ini membuatnya merasa tidak nyaman.

"Baik," jawab Livy yang buru-buru bangkit dari pangkuan Preston, kemudian mundur beberapa langkah untuk menjaga jarak di antara mereka. Saat dia berbalik untuk pergi, Preston tiba-tiba memanggilnya, "Tunggu."

"Apa masih ada masalah lain, Pak Preston?" tanya Livy dengan suara pelan.

Di lingkungan kerja, Livy merasa dirinya masih tetap seorang sekretaris kecil, sedangkan Preston adalah seorang presdir yang berkedudukan tinggi. Oleh karena itu, Livy tetap bersikap seperti seorang bawahan dan berbicara dengan sopan terhadap Preston.

Meskipun hubungan mereka saat ini memang sudah melampaui batas tersebut.

"Waktu berkunjung ke rumah lama nanti, jangan datang dengan tangan kosong. Ingat pilihkan hadiah untuk Ayah. Harganya nggak perlu terlalu mahal, kamu urus sendiri saja."

"Selain itu, ingat harus bersikap yang manis saat bertemu Ayah nanti. Jangan lupa dengan tugasmu," timpal Preston.

Benar juga ....

Livy sontak tersadar. Dia hanyalah sebuah alat bagi Preston untuk menghadapi keluarganya. Meski hubungan mereka telah melampaui batas, Livy tetap bukan orang Istimewa bagi Preston.

Seandainya Livy tidak muncul di kamar resor Preston malam itu, mungkin akan ada orang lain yang "bekerja sama" dengannya. Memangnya apa yang spesial dari dirinya? Mengingat hal itu, hati Livy terasa tidak nyaman.

Namun detik berikutnya, Livy mulai menenangkan perasaannya. Bagaimanapun, dia juga memiliki niat pribadi dalam menikahi Preston. Jika bukan karena Stanley, dia tidak mungkin menerima permintaan Preston semudah itu, terlepas dari apa yang terjadi di antara mereka.

Bagi Livy, pernikahan adalah hal yang sakral dan tidak mungkin bisa dianggap bercanda. Livy meredakan emosinya, lalu mengangguk dan berkata, "Pak Preston tenang saja, aku akan mengatur semuanya dengan baik. Kalau boleh tahu, apa hobi Pak Sandiaga biasanya?"

Preston menjawab, "Aku akan suruh Bendy mengirimkan daftar kesukaan Ayah untukmu."

"Baiklah. Lalu ... apakah ada instruksi lainnya lagi?" tanya Livy untuk memastikan dia tidak melewatkan detail apa pun.

Preston menatapnya sambil mengernyit. Gaya bicara Livy ini benar-benar seperti seorang sekretaris yang menerima perintah.

"Nggak ada lagi," jawab Preston. Tanpa sadar, nada bicaranya terdengar sedikit kesal.

Livy menggigit bibir dengan gugup karena mengira Preston merasa dirinya terlalu cerewet. Dia buru-buru berkata, "Kalau begitu, aku kembali bekerja dulu."

Saat hendak berbalik untuk pergi, Livy tiba-tiba teringat sesuatu dan berkata, "Oh ya, malam ini aku harus lembur dan ada sedikit urusan pribadi, jadi mungkin aku akan pulang lebih malam."

Karena mereka sudah menikah, Livy merasa tidak nyaman menumpang di mobil Preston. Karena itu, dia lebih suka berangkat dan pulang sendiri. Tentu saja, malam ini dia bukan hanya mau lembur. Ada tempat lain yang harus dikunjunginya dan dia tidak ingin memberitahukan hal itu pada Preston untuk sementara.

"Hmm," gumam Preston menyetujuinya. Menyadari bahwa nadanya terlalu dingin, dia menambahkan, "Selain saat harus menemaniku, kamu bebas melakukan apa pun. Nggak usah terlalu banyak melapor padaku."

Preston berkata demikian karena dia merasa tidak perlu selalu bersama Livy. Setiap kali Livy berada di dekatnya, dia merasa sulit berkonsentrasi pada pekerjaan. Lagi pula, pernikahan mereka adalah hubungan kontrak, jadi sebaiknya dia menjaga jarak yang wajar.

"Baik, terima kasih, Pak Preston." Mendengar hal itu, Livy merasa sedikit lebih lega dan kemudian meninggalkan kantor Preston.

Saat sampai di dekat lift, Livy bertemu lagi dengan Annie.

"Bu Annie," sapanya dengan sopan sambil sedikit menunduk.

Namun, wajah Annie terlihat sangat marah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status