“Apa yang kau lakukan?!” tanya si pemilik mobil, seorang pria yang duduk di kursi penumpang bagian belakang dan terkejut kala Liora masuk ke dalam sana tanpa permisi.
Untuk beberapa detik Liora melihatnya termangu—entah untuk apa karena itu tidak penting sekarang!
“Tuan—” sebut Liora seraya merapatkan kedua tangannya. “Tolong saya, Tuan, saya mohon ….” pintanya mengiba. “Tolong bawa saya pergi dari sini karena kalau tidak saya akan dibunuh.”
Ia menunduk, menggosokkan kedua tangannya di hadapan pria dalam balutan tuxedo-nya yang menatapnya dengan bingung.
Pupil Liora bergerak gugup, ia tak tahu kapan ia akan bisa mengulur waktu untuk membujuk pria ini sebelum preman-preman bayaran itu menemukannya.
“Bagaimana bisa aku mempercayaimu jika kau saja bau alkohol seperti ini?” tanya pria bersurai hitam rapi dan beraroma bergamot itu.
“Apapun akan aku lakukan kalau Tuan bersedia menolongku,” jawab Liora agar ia yakin. “Please ….”
Bibirnya tertekuk penuh keputusasaan saat ia melihat pria-pria bertato itu tampak dari tempat ia duduk.
Mereka semakin dekat, menampakkan diri satu demi satu termasuk si botak yang tadi dilempar oleh Liora dengan menggunakan gelas whisky.
“Tuan, saya mohon ....” pinta Liora sekali lagi karena pria itu seperti tak memberinya belas kasih.
Preman-preman itu mendekat, entah mereka tahu Liora ada di dalam sini atau tidak tapi jarak di antara mereka hanya menyisakan beberapa meter yang kritis.
Liora telah berpasrah bahwa ia akan ditendang keluar oleh si pria pemilik mobil yang tak ingin ikut campur dan terlibat dalam urusannya.
Tapi ia salah!
“Kita pergi dari sini, Van!” titahnya pada seorang pemuda yang tadi berdiri di luar mobil dengan wajah yang siaga menunggu perintah.
“Baik, Tuan.”
Dari mata Liora yang temaram, ia melihat mobil yang ditumpanginya ini meninggalkan sekitaran minimarket.
Sebuah kelegaan besar memenuhi hatinya, tapi ini masih belum sepenuhnya usai sebab masalah yang lain justru timbul setelahnya.
Sesuatu yang salah terjadi dengan tubuhnya. Rasa yang tidak nyaman dan membuatnya gelisah.
“Ke mana aku harus membawamu pergi?” tanya pria yang menolong Liora.
Liora masih tak menjawab, ia sibuk dengan tubuhnya yang terasa panas dan kepalanya yang pening.
“Aku akan membawamu ke hotel,” kata pria itu kemudian, sebab Liora tak kunjung menjawab.
Liora hanya mengangguk, kepalanya terlalu berat untuk dapat memahami kalimat-kalimat yang meluncur dari pria penolongnya itu.
Ia hampir tak memiliki kekuatan saat kakinya tiba di dalam sebuah kamar, kamar hotel yang terlihat mewah dan luas.
“Ahh—” Liora menjerit saat ia jatuh ke atas ranjang besarnya bersama dengan pria itu.
Matanya berair saat mendapati wajahnya yang rupawan yang mengingatkannya pada Adrian.
Air matanya luruh saat ia merenggut kerah kemeja yang dikenakan oleh pria itu seraya bertanya, “Kenapa dia mengkhianatiku seperti ini?!”
Sesak yang mendesak dadanya semakin hebat, Liora tergugu dalam tangis saat ia perlahan melepas kerah kemeja pria itu dan meringkuk penuh rasa sakit.
‘Apa kurang selama ini aku mencintaimu, Adrian?’ batinnya masih tak menerima segala perlakuan pria itu terhadapnya. ‘Apa kurangku sebenarnya? Aku habiskan uang-uangku untuk mendukungmu sampai seperti sekarang tapi sebagai balasannya kamu berselingkuh dengan Irina.’
Air mata itu membasahi ranjang tempat Liora berada, entah kapan berhentinya.
Tapi saat ia merasakan sentuhan di pipinya, Liora memandang pemilik tangan hangat itu.
“Siapa yang mengkhianatimu?” tanya suara baritonnya, sehangat sentuhannya, memenuhi ruang kosong dalam hati Liora yang dipeluk nestapa.
Alih-alih menjawab pria itu, Liora lebih memilih untuk menajamkan pandangannya yang kadang jelas meski lebih sering buram.
“Apa kita pernah bertemu? Kenapa ... rasanya Anda tidak asing?”
Jari telunjuk Liora bergerak di sekitar wajahnya sebelum ia memberanikan diri untuk menyentuh garis dagunya yang tegas.
Pria itu meraih tangan Liora yang ada di rahangnya, membawanya menjauh seraya berujar, “Tidurlah.”
Lalu ia beranjak pergi dari atasnya.
Melihatnya menjauh membuat hati Liora dirundung ketidakrelaan sehingga ia mencengkeram pergelangan tangan pria itu, mencegahnya pergi.
“Anda akan pergi?” tanya Liora dengan lemah.
“Ya.”
“T-tidak bisakah Anda di sini saja?”
Liora melepas cengkeramannya, menggosok lehernya yang terasa panas, gerakannya yang sedikit kasar meninggalkan bekas kemerahan pada bagian depan tubuhnya.
Gaun off-shoulder berwarna burgundy yang ia kenakan menjadi berantakan dan itu membuat pria itu mengerutkan alisnya.
“Kau baik-baik saja?”
“Panas sekali,” jawab Liora. Ia menatap layu pada pria itu dan dengan gemetar berujar, “Jangan pergi, Tuan … peluk aku sebentar saja.”
Pria itu tak menjawab Liora, rahangnya mengetat saat sepasang irisnya memindai wajahnya yang memerah dan matanya yang berair.
“Tidak,” tolaknya, lalu mendesis menahan perih saat kuku-kuku lentik Liora menusuk kulit tangannya.
Tubuhnya yang bergerak gusar seakan menunjukkan betapa gadis itu tak bisa lagi menahan gejolak yang membuatnya tersiksa.
Liora kembali menatapnya dan memohon, “Tolong aku, Tuan. Ada yang aneh dengan tubuhku … rasanya panas sekali ….”
Hela napas pria itu terdengar berat, rahangnya yang tegas kembali mengetat saat ia sejenak memejamkan matanya seolah sedang mempertimbangkan sesuatu.
Saat matanya terbuka, Liora menjerit sebab tangan besar pria itu merengkuh pinggangnya sehingga ia bangun dari berbaringnya.
“Ahh!”
Wajah mereka berdua sudah sangat dekat, Liora menggigit bibirnya saat ibu jari pria itu menyentuh bibir bagian bawahnya, memberinya usapan lembut yang membuat debar jantungnya berantakan.
“Jangan digigit, nanti berdarah.”
Sentuhan seperti inilah yang ia inginkan, tubuhnya membaik kala ia merasakan telapak tangan besar pria dengan wangi bergamot itu ada di pinggangnya mencengkeram penuh rasa kepemilikan. Seolah Liora adalah miliknya malam hari ini.
Maniknya yang gelap membuat Liora merasakan debaran yang aneh, sebuah rasa takut tetapi juga ketertarikan yang hebat di saat yang bersamaan.
Liora hendak memejamkan matanya untuk dapat meresapi sentuhannya, tapi baru saja hal itu ia lakukan, pria itu merenggut dagunya sehingga ia tetap memandangnya.
“Lihat aku,” bisiknya. “Aku ingin kamu melihat baik-baik, sebab aku tidak ingin kamu melupakan malam ini, Liora Serenity ....”
Mendengar penuturan pria itu membuat hati Liora tak karuan rasanya. ‘Dia tahu namaku?’ batin Liora penuh tanya. Matanya bergoyang gugup, ia menatap pria gagah dalam balutan tuxedo itu, yang lengannya melingkari pinggangnya dengan erat. Pria itu mengendus wajah Liora, menenggelamkan hidungnya ke telinganya, meninggalkan hangat napasnya yang membuat Liora bereaksi dan merespon.“Kau ingin aku melakukan apa, Liora?” bisiknya kemudian menarik wajahnya dan menatap Liora.Kedipan matanya yang lemah seolah lebih banyak meyakinkan Liora bahwa ia akan melakukan apapun untuknya malam ini.“Peluk aku,” jawab Liora. “Sepertinya tidak akan cukup hanya dengan sebuah pelukan.”Liora bergeming, bibir gadis itu terbungkam rapat saat pria itu menunduk dan memberi kecupan di bibirnya.Sekian detik sentuhan itu seperti telah menghancurkan jarak yang semula memisahkan mereka. Rasanya manis, seolah pria itu membawa serta hatinya dan memberi cinta pada Liora yang baru saja dikhianati.Pria itu menciumny
‘Astaga! Apa yang terjadi semalam?’ Liora memekik dalam hati.Jeritan tertahan di tenggorokannya saat ia menegakkan punggungnya dan menutup mulutnya dengan sebelah tangannya.Maniknya terasa panas saat ia mengamati Kayden yang masih terlelap di atas ranjang hotel.Tak ada yang melindungi tubuh Liora selain selimut yang saat ini tengah mereka kenakan. Saat Liora memberanikan diri untuk melihat bagian tubuh pria itu—yang tertutup oleh selimut—ia pun memiliki situasi yang tak jauh beda dengan Liora.Dress burgundy yang semalam dikenakannya saat pergi ke bar telah tercecer di lantai. Tertumpuk dengan kemeja, vest, jas dan celana panjang milik Kayden yang tergeletak di sana.Liora mencoba meraba apa yang terjadi semalam. Ia meremas rambutnya saat mendapati ingatan tentang dirinya yang mabuk dan melarikan dari beberapa preman yang mengejarnya setelah membuat kekacauan di bar.Ingatan tentang wajah kebingungan Kayden yang bertanya ‘Apa yang kau lakukan’ saat Liora tiba-tiba masuk ke dalam mo
‘K-kenapa Kayden yang duduk di sana?’ batin Liora penuh rasa terkejut.Sebab seharusnya yang ada di kursi Presdir itu adalah Kakeknya Adrian, yang meski tak bisa dipungkiri beliau adalah ayahnya Kayden, Tuan Owen.Meski Kayden terlihat sangat mempesona dan cocok duduk di balik meja Presdir, tapi bukan pertemuan seperti ini yang Liora inginkan.Sekarang ia tahu dari mana wangi tak asing yang baru saja dihidunya itu. Dari tubuh Kayden, wangi bergamot pria itu.‘Bagaimana aku harus menghadapinya sekarang?’ gumamnya dalam hati, resah.Liora sejenak berdiri membeku di dekat pintu masuk, benaknya meminta agar sebaiknya ia mundur saja dan pergi dari sini. Tetapi sebelum sempat ia merencanakan hal itu lebih jauh, suara Kayden terdengar membalas sapaannya.“Selamat pagi, silakan duduk,” katanya. “Bukankah kamu ingin bertemu dan bicara denganku?”Liora memandang Freya yang mengisyaratkan agar ia duduk berseberangan meja dengan Kayden. Langkah kakinya yang semula percaya diri kini mendadak kebas
Liora terdiam cukup lama. Meski ia tahu semua yang dikatakan oleh Kayden itu sepenuhnya adalah kebenaran, tapi rasanya semua itu seperti sebuah penghinaan baginya.Napas Liora seakan berhenti di tenggorokan, harapan-harapan yang tadi sempat bergema di dalam hatinya bahwa setidaknya akan ada sedikit ‘keadilan’ setelah semalam hampir ditangkap oleh preman bayaran Adrian itu seketika sirna.Lagipula apa yang ia harapkan sekarang? Adrian adalah keponakannya, bukankah sebagai paman tentu Kayden akan membelanya sekalipun tahu Adrian yang bersalah?“Semakin cepat kamu meminta maaf, itu akan semakin baik,” ucap Kayden saat sepasang mata Liora telah berair. “Karena jika tidak, agensi bisa memutus kerja sama denganmu kapanpun, Liora Serenity!”“Putus saja!” jawab Liora tepat setelah Kayden selesai bicara. “Tidak banyak kerja sama yang kita lakukan. Jadi memutus kerja sama dengan saya bukanlah sesuatu yang sulit. Saya tidak akan meminta maaf karena Adrian memang bersalah,” tukasnya bersikeras pa
[Aktor Naik Daun Adrian Davis Berselingkuh dengan Adik Tiri Pacarnya, Foto-foto Panas Mereka Tersebar!][Puluhan Project Film dengan Aktor Adrian Davis Terancam Batal! Imbas Perselingkuhan?]Lewat ponselnya, Liora bisa membaca berita itu menyeruak memenuhi layar.Semakin malam, beritanya justru semakin ramai. Puluhan hingga ratusan judul membanjiri dunia maya.Di dalam sebuah bar, Liora duduk tanpa gairah. Sepasang matanya menatap penuh kebencian pada ponselnya yang ada di atas meja yang menunjukkan bahwa Adrian—pria dalam berita itu yang tak lain adalah mantan pacarnya—tengah menghubunginya.Saat Liora menerima panggilan tersebut, suara Adrian lantang menyentak dari seberang sana.“Katakan pada semua orang kalau aku tidak berselingkuh, Liora!”Seruannya membuat Liora dengan segera menjauhkan benda pipih itu dari samping telinga.“Kamu tuli? Kenapa tidak menjawab?!” hardik Adrian sekali lagi. “Kamu pikir akan aman setelah memperlakukan aku seperti ini? Tunggu saja, aku akan membalasmu
Liora terdiam cukup lama. Meski ia tahu semua yang dikatakan oleh Kayden itu sepenuhnya adalah kebenaran, tapi rasanya semua itu seperti sebuah penghinaan baginya.Napas Liora seakan berhenti di tenggorokan, harapan-harapan yang tadi sempat bergema di dalam hatinya bahwa setidaknya akan ada sedikit ‘keadilan’ setelah semalam hampir ditangkap oleh preman bayaran Adrian itu seketika sirna.Lagipula apa yang ia harapkan sekarang? Adrian adalah keponakannya, bukankah sebagai paman tentu Kayden akan membelanya sekalipun tahu Adrian yang bersalah?“Semakin cepat kamu meminta maaf, itu akan semakin baik,” ucap Kayden saat sepasang mata Liora telah berair. “Karena jika tidak, agensi bisa memutus kerja sama denganmu kapanpun, Liora Serenity!”“Putus saja!” jawab Liora tepat setelah Kayden selesai bicara. “Tidak banyak kerja sama yang kita lakukan. Jadi memutus kerja sama dengan saya bukanlah sesuatu yang sulit. Saya tidak akan meminta maaf karena Adrian memang bersalah,” tukasnya bersikeras pa
‘K-kenapa Kayden yang duduk di sana?’ batin Liora penuh rasa terkejut.Sebab seharusnya yang ada di kursi Presdir itu adalah Kakeknya Adrian, yang meski tak bisa dipungkiri beliau adalah ayahnya Kayden, Tuan Owen.Meski Kayden terlihat sangat mempesona dan cocok duduk di balik meja Presdir, tapi bukan pertemuan seperti ini yang Liora inginkan.Sekarang ia tahu dari mana wangi tak asing yang baru saja dihidunya itu. Dari tubuh Kayden, wangi bergamot pria itu.‘Bagaimana aku harus menghadapinya sekarang?’ gumamnya dalam hati, resah.Liora sejenak berdiri membeku di dekat pintu masuk, benaknya meminta agar sebaiknya ia mundur saja dan pergi dari sini. Tetapi sebelum sempat ia merencanakan hal itu lebih jauh, suara Kayden terdengar membalas sapaannya.“Selamat pagi, silakan duduk,” katanya. “Bukankah kamu ingin bertemu dan bicara denganku?”Liora memandang Freya yang mengisyaratkan agar ia duduk berseberangan meja dengan Kayden. Langkah kakinya yang semula percaya diri kini mendadak kebas
‘Astaga! Apa yang terjadi semalam?’ Liora memekik dalam hati.Jeritan tertahan di tenggorokannya saat ia menegakkan punggungnya dan menutup mulutnya dengan sebelah tangannya.Maniknya terasa panas saat ia mengamati Kayden yang masih terlelap di atas ranjang hotel.Tak ada yang melindungi tubuh Liora selain selimut yang saat ini tengah mereka kenakan. Saat Liora memberanikan diri untuk melihat bagian tubuh pria itu—yang tertutup oleh selimut—ia pun memiliki situasi yang tak jauh beda dengan Liora.Dress burgundy yang semalam dikenakannya saat pergi ke bar telah tercecer di lantai. Tertumpuk dengan kemeja, vest, jas dan celana panjang milik Kayden yang tergeletak di sana.Liora mencoba meraba apa yang terjadi semalam. Ia meremas rambutnya saat mendapati ingatan tentang dirinya yang mabuk dan melarikan dari beberapa preman yang mengejarnya setelah membuat kekacauan di bar.Ingatan tentang wajah kebingungan Kayden yang bertanya ‘Apa yang kau lakukan’ saat Liora tiba-tiba masuk ke dalam mo
Mendengar penuturan pria itu membuat hati Liora tak karuan rasanya. ‘Dia tahu namaku?’ batin Liora penuh tanya. Matanya bergoyang gugup, ia menatap pria gagah dalam balutan tuxedo itu, yang lengannya melingkari pinggangnya dengan erat. Pria itu mengendus wajah Liora, menenggelamkan hidungnya ke telinganya, meninggalkan hangat napasnya yang membuat Liora bereaksi dan merespon.“Kau ingin aku melakukan apa, Liora?” bisiknya kemudian menarik wajahnya dan menatap Liora.Kedipan matanya yang lemah seolah lebih banyak meyakinkan Liora bahwa ia akan melakukan apapun untuknya malam ini.“Peluk aku,” jawab Liora. “Sepertinya tidak akan cukup hanya dengan sebuah pelukan.”Liora bergeming, bibir gadis itu terbungkam rapat saat pria itu menunduk dan memberi kecupan di bibirnya.Sekian detik sentuhan itu seperti telah menghancurkan jarak yang semula memisahkan mereka. Rasanya manis, seolah pria itu membawa serta hatinya dan memberi cinta pada Liora yang baru saja dikhianati.Pria itu menciumny
“Apa yang kau lakukan?!” tanya si pemilik mobil, seorang pria yang duduk di kursi penumpang bagian belakang dan terkejut kala Liora masuk ke dalam sana tanpa permisi.Untuk beberapa detik Liora melihatnya termangu—entah untuk apa karena itu tidak penting sekarang!“Tuan—” sebut Liora seraya merapatkan kedua tangannya. “Tolong saya, Tuan, saya mohon ….” pintanya mengiba. “Tolong bawa saya pergi dari sini karena kalau tidak saya akan dibunuh.”Ia menunduk, menggosokkan kedua tangannya di hadapan pria dalam balutan tuxedo-nya yang menatapnya dengan bingung.Pupil Liora bergerak gugup, ia tak tahu kapan ia akan bisa mengulur waktu untuk membujuk pria ini sebelum preman-preman bayaran itu menemukannya.“Bagaimana bisa aku mempercayaimu jika kau saja bau alkohol seperti ini?” tanya pria bersurai hitam rapi dan beraroma bergamot itu.“Apapun akan aku lakukan kalau Tuan bersedia menolongku,” jawab Liora agar ia yakin. “Please ….”Bibirnya tertekuk penuh keputusasaan saat ia melihat pria-pria
[Aktor Naik Daun Adrian Davis Berselingkuh dengan Adik Tiri Pacarnya, Foto-foto Panas Mereka Tersebar!][Puluhan Project Film dengan Aktor Adrian Davis Terancam Batal! Imbas Perselingkuhan?]Lewat ponselnya, Liora bisa membaca berita itu menyeruak memenuhi layar.Semakin malam, beritanya justru semakin ramai. Puluhan hingga ratusan judul membanjiri dunia maya.Di dalam sebuah bar, Liora duduk tanpa gairah. Sepasang matanya menatap penuh kebencian pada ponselnya yang ada di atas meja yang menunjukkan bahwa Adrian—pria dalam berita itu yang tak lain adalah mantan pacarnya—tengah menghubunginya.Saat Liora menerima panggilan tersebut, suara Adrian lantang menyentak dari seberang sana.“Katakan pada semua orang kalau aku tidak berselingkuh, Liora!”Seruannya membuat Liora dengan segera menjauhkan benda pipih itu dari samping telinga.“Kamu tuli? Kenapa tidak menjawab?!” hardik Adrian sekali lagi. “Kamu pikir akan aman setelah memperlakukan aku seperti ini? Tunggu saja, aku akan membalasmu