terima kasih sudah membaca ya 🤗 sampai jumpa besok lagi 🩷 TYSM jangan lupa tinggalkan komentar ulasan like vote buat KAYDEN-LIORA ❤️✨✨
Setelah menghabiskan malam yang tak terlalu dingin di dalam tahanan sebab Liora menggunakan selimut pemberian Freya sebagai alas tidur, pagi hari ini ia diminta untuk keluar dari sel. Keadaannya sedikit berbeda sebab tangannya tidak diborgol seperti sebelumnya. Di dalam ruang kunjung tahanan itu, ia menjumpai seorang pemuda yang dikenalnya sebagai Evan Lee, sekretaris Kayden. Pemuda itu tidak datang sendirian, melainkan bersama dengan seorang pengacara yang Liora tahu ia adalah pengacara terkenal, dan mahal—Pengacara Hans. Liora duduk berseberangan meja dengan mereka berdua setelah menundukkan kepalanya sebagai sapaan. “Tuan Kayden meminta saya untuk menangani kasus ini,” ucap Pengacara Hans pada Liora yang beberapa detik seperti menahan napas, menyadari Kayden benar-benar menepati apa yang ia katakan kemarin saat di telepon bahwa ia akan meminta Evan menjemputnya pagi ini. “Terima kasih,” jawab Liora dengan gugup. “Penahanan Anda ditangguhkan dengan jaminan dari Tuan Kayden seh
“Pergi ke sana? Untuk apa?” tanya Liora yang seketika membuat kedua bahu Kayden jatuh penuh rasa kesal. “Aku benci mengulangi kalimatku,” desis pria itu. “Tapi—” “Cepatlah!” potong Kayden tak peduli dengan apa hendak dikatakan oleh Liora. Liora menghela dalam napasnya saat batinnya memprotes, ‘Apa memang dia selalu bicara kasar seperti itu? Arogan sekali!’ Liora tak memiliki pilihan lain, sebelum tuan arogan itu kembali bicara dan membuatnya kembali sakit hati, ia segera mengambil cincin dari tangannya. Ia mengenakannya di jari manisnya dan pergi bersama dengan Kayden untuk menuju ke rumah orang tuanya. Sedan yang dikemudikan oleh Evan membelah sibuknya jalan raya pada jam kerja. Tidak ada yang berbicara selama itu hingga mereka memasuki sebuah halaman yang dilindungi oleh gerbangnya yang cukup tinggi. Kaki Liora terasa lemas, langkahnya gamang saat ia keluar dari mobil dan mengikuti ke mana Kayden membawanya. Masuk ke dalam rumah, menapaki setiap lantai marmernya, melewati r
“Kayden?!” seru Ibunya Kayden—Nyonya Rose—saat memanggil anak lelakinya itu. Beliau bangun dari duduknya dan menatap Kayden dengan pupilnya yang bergetar. “Omong kosong apa yang sedang kamu katakan ini, Kayden?!” tanya beliau masih sama menggebunya. “Ini bukan omong kosong, Ma,” jawab Kayden dengan tenang. “Aku memang sudah menikah dengan Liora. Jadi mulai hari ini aku dan Julia tidak memiliki hubungan lagi.” Tangan Liora yang ada di dalam genggaman Kayden terasa kebas, ia berdiri membeku kala menyadari situasi di dalam sana berubah menjadi tidak kondusif. Ibunya Julia terlihat menangis, meremas dadanya dan berusaha ditenangkan oleh sang suami tepat setelah Kayden mengatakan hubungannya dengan Julia telah berakhir. Liora bergeming, merasakan raganya yang seakan mengecil, terhimpit di antara sengketa keluarga yang tak ia ketahui duduk perkaranya—selain Kayden yang tiba-tiba membatalkan pernikahannya dengan Julia. Ia terkejut saat Julia menarik lengannya. Wajah gadis itu beruraian
Bibir Liora terpasung bisu untuk beberapa saat. Maniknya yang terkunci pandang dengan Kayden semakin terasa perih. Ia mengusap pipinya yang basah oleh air mata, mencoba untuk menata kata agar bisa menjawab pria di hadapannya ini. “Saya hanya ingin pergi sebentar untuk—” “Sebaiknya kamu mendengarku! Kamu tidak akan pergi ke manapun!” Liora mengepalkan kedua tangannya. Kayden benar-benar otoriter! Liora mengetahuinya sekarang. Apapun yang keluar dari bibir pria itu harus ditaatinya tanpa banyak pertanyaan. Ia tidak menerima alasan, apalagi dibantah. “Jangan berkeliaran atau wajahmu itu dilihat oleh orang lain dan menimbulkan berita buruk lainnya, Liora!” tekan Kayden, rahangnya yang mengetat seolah menegaskan bahwa peringatannya ini tidak main-main. “Saya tidak peduli orang-orang mengatakan hal buruk tentang saya.” “Tapi aku peduli,” sahut Kayden. “Orang di luar sana tahu kamu adalah model dari agensiku. Kamu tidak tahu berapa banyak uang yang aku keluarkan untuk meredam skan
Kayden tak menanggapi ujaran sang Ibu dan memilih untuk mempersilakan mereka agar duduk di ruang keluarga. “Kita duduk di ruang keluarga saja,” katanya. “Minta perempuan itu untuk ikut karena Mama ingin bicara dengannya, Kayden!” tunjuk Nyonya Rose pada Liora yang masih berdiri dan membawa mangkuk mie-nya dengan erat. Kayden menoleh kepadanya, gerakan kepalanya yang miring beberapa derajat ke kiri itu mengisyaratkan agar sebaiknya Liora meletakkan mangkuk tersebut dan ikut dengannya sekarang juga. Meski tahu ini akan menjadi percakapan yang menguras hati, Liora tidak memiliki pilihan lain untuk menolak. Ia mengikuti Kayden menuju ke ruang keluarga, duduk di samping Kayden dengan punggung yang terasa kaku sebab mata kedua orang tua pria itu memperhatikan tangannya dan tangan Kayden yang memiliki cincin pernikahan. “Apakah benar kalian sudah menikah?” tanya Tuan Owen membuka percakapan setelah salah seorang pelayan membawa keluar empat cangkir teh yang diletakkannya di atas m
“Lepas!” kata Liora. “Bisakah Anda tidak bersikap seolah-olah memiliki hidup saya seperti ini?!” tanyanya seraya menarik tangannya dengan kasar dari Kayden. Pria itu bangun dari duduknya, berdiri hanya beberapa jengkal dari Liora berada. Tawa lirihnya singgah di indera pendengar sebelum membalas, “Kalau kamu lupa, bukan aku yang masuk atau mengganggu hidupmu, tapi sebaliknya,” katanya, terkesan datar tetapi telah mengoyak hati Liora dengan luka susulan setelah ucapan dari Nyonya Rose. Ah—atau jangan-jangan … sifat Kayden yang arogan dan kasar ini menurun dari Ibunya? Bukankah itu sangat kentara? Kayden sama sekali tidak memiliki sikap Tuan Owen yang baik dan bijak. Pria di hadapannya ini adalah iblis! “Kamulah yang lebih dulu masuk ke hidupku. Kamulah yang memintaku menidurimu!” Kalimat itu menyentak Liora dan membuatnya semakin muak, “Seandainya saya bisa mengulang waktu, saya tidak akan pernah meminta bantuan pada Anda!” balas Liora, entah setinggi apa nada bicaranya sekarang
‘Perjanjian, perjanjian … itu saja terus yang dia katakan,’ batin Liora tak bisa membendung rasa kesalnya. Liora tak ingin berdebat lebih panjang dengan Kayden. Mempertimbangkan Freya mungkin saja sudah menunggunya membuat ia mengiyakannya saja. “Baik saya akan pergi dengan Anda nanti malam,” katanya, ia sekali lagi melangkah mundur, menundukkan kepalanya di hadapan Kayden dan segera pergi dari sana. Ia menghirup udara luar yang segar dan kental akan kebebasan saat ia melangkah meninggalkan pintu gerbang di rumah Kayden yang angkuh sama seperti pemiliknya. Di gate depan perumahan yang dijaga oleh security itu, Liora melihat mobil Freya yang berhenti di tepi jalan. Liora mengetuk jendelanya saat tiba di sampingnya dan manajernya itu membukakan pintunya. “Kamu baik-baik saja, Ra?” tanya Freya setibanya Liora di dalam, duduk dan memasang seat belt. “Kenapa matamu bengkak begitu?” Pandangannya menelisik, alisnya berkerut saat ia menatap Liora tanpa berpaling. “Aku baik-baik saja,
Sebuah pertanyaan sederhana yang membuat hati Liora luluh lantak. Ia tak bisa membendung air matanya dan memaksakan dirinya untuk tersenyum saat mengangguk dan menjawab, “Iya, Ma … aku bahagia.” Jemari ibunya menghapus air mata Liora sebelum ia meraih tangannya dan memandangi cincin yang ada di jari manisnya. “Ada cincin di jari manismu, apakah kamu sudah menikah?” “Iya,” akunya. “Aku sudah menikah.” “Apakah suamimu adalah pria yang baik?” “Iya dia adalah pria yang baik, Ma,” jawabnya dengan lisan yang tersenyum tetapi hatinya menepis kalimat itu dengan frontal. “Sudah … Mama jangan memikirkan aku,” kata Liora saat menggenggam tangan sang Ibu semakin erat. “Tolong janji baik-baik di sini dan semangat untuk sembuh, biar kita bisa hidup bersama nanti.” Untuk pertama kalinya setelah sangat lama, Liora melihat beliau tersenyum meski itu tak selaras dengan matanya yang penuh dengan luka. Liora menghabiskan waktunya di sana untuk mengajak Nyonya Marry berbincang. Pembicaraan yang ring
“A-apa Anda melihat kami?” tanya Liora memastikan. Namun, Kayden tak menjawab. Hanya seulas seringai samar di salah satu sudut bibirnya yang terlihat dan itu membuat Liora tidak nyaman. “D-dia itu teman saya, Tuan Kayden. Dulu sebelum Anda menjadi presdir—“ “Tidak bisa,” potong Kayden yang membuat Liora urung menjelaskan apapun. “Apa yang tidak bisa?” “Datang ke acara Leo Nathan.” Kalimat itu menandakan dengan jelas bahwa Kayden sedang menolak mentah-mentah permohonannya. Liora memalingkan tatapannya dari Kayden. Kedua maniknya sedikit terangkat ke atas, bertanya dalam hati, ‘Bagaimana ini? Aku terlanjur menyanggupi Leo.’ “Kenapa saya tidak boleh datang?” tanya Liora, menatap Kayden kembali—setidaknya ia ingin tahu apa yang membuat Kayden melarangnya datang ke The Flavor Lab. “Hanya karena aku memperbolehkanmu melakukan pemotretan dengan majalah Hazed bukan berarti kamu bebas berkeliaran sesuka hatimu,” jawab Kayden. “Apalagi menjadi bintang tamu di acara orang lain.”
Setelah meninggalkan kafe yang ia datangi, Liora kembali ke rumah Kayden. Tadinya Leo hendak mengantarnya tetapi Liora menolaknya dan lebih memilih untuk menggunakan taksi online. Di halaman rumah Kayden, Liora melihat pria itu ada di sana. Sedang menuruni undakan tangga di teras, tampak menawan dalam balutan kaos berkerah dan celana panjangnya yang bersih serta melihat kedatangan Liora dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan. Sadar dirinya melakukan sesuatu tanpa mendapatkan izin dari Kayden, Liora memilih untuk jujur ke mana ia pergi sebelum kembali ke rumah. “Tuan Kayden,” sebutnya dengan ragu-ragu saat pria itu mendekat. “Maaf saya tadi tidak langsung pulang karena mampir dulu ke—“ Belum sempat Liora menyelesaikan kalimatnya, Kayden berlalu pergi melewatinya begitu saja, mengabaikannya tanpa peduli akan apa yang akan dikatakan olehnya. Punggungnya menjauh, meninggalkan Liora yang meremas jari-jarinya, menelan kembali semua kalimat yang hampir saja keluar dari bibirnya.
“Iya ini aku Leo. Lama tidak bertemu, Liora,” ucap pemuda itu saat Liora masih bergeming dan meremas coffee cup miliknya. “Bagaimana kabarmu?” Baru setelah tanya itu terdengar, Liora sadar. Ia membalas senyum pemuda itu. Seorang pria yang sangat ia kenal dengan baik, Leo Nathan Henley. Dulu, Leo adalah kakak kelas Liora semasa di Sekolah Menengah Atas hingga kuliah. Ia, Freya dan Leo dulu bersahabat sebelum karir pemuda itu yang paling melejit sebagai seorang celebrity chef. Di bawah naungan satu agensi yang sama, di Evermore. Sekitar dua tahun belakangan Leo berkegiatan di luar negeri sembari melanjutkan study-nya. “B-baik,” jawab Liora akhirnya, mengikuti pandang ke mana Leo beranjak, duduk di sampingnya dengan membawa satu cup berisikan kopi seperti dirinya. “Senang bisa melihatmu lagi, Liora.” “Sejak kapan kamu pulang?” “Kemarin,” jawabnya. “Padahal aku masih berpikir bagaimana caranya aku bisa menemuimu, Liora. Tapi rasanya takdir sangat baik dengan membuat kita
“Julia? Apa yang kamu lakukan di sini?” balas Kayden setelah pria itu menghentikan langkah kakinya begitu juga dengan Liora yang berdiri di sampingnya. Julia tak serta-merta menjawabnya, gadis itu lebih dulu memindai Liora sebelum pandangannya berhenti pada Kayden. “Apa kamu dan Liora baru menginap di hotel?” tanya Julia balik alih-alih menjawab mantan pacarnya itu. “Ada pekerjaan yang harus diselesaikan,” jawabnya singkat. “Dengan Liora juga?” Kayden mengangguk sebagai sebuah pembenaran. “Aku juga sedang ada pekerjaan,” ujar Julia— menanggapi tanya dari Kayden perihal apa yang dilakukannya di sini. “Ada meeting dengan salah satu partner bisnis Papa. Beliau yang meminta. Kamu tahu ‘kan … aku bertanggung jawab atas beberapa proyek besar milik DN Construction.” DN Construction yang dikatakan oleh Julia itu adalah bisnis milik keluarganya. Sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang konstruksi. Cantik, elegan dan seorang wanita karir. Setidaknya seperti itu yang dipiki
“Tuan Kayden yang memintanya?” ulang Liora memastikan. Kedua matanya melebar penuh ketidakpercayaan menatap Annie yang justru tak menjawab setelahnya. Apakah ia salah dengar? Ataukah Annie yang barangkali salah berucap? Wanita paruh baya itu hanya tersenyum sebelum mengatakan, “Sebaiknya Nona menghabiskan makanannya. Obat yang Nona Liora minta tadi pagi juga sudah saya siapkan,” tuturnya seraya sekilas menunjuk ke atas nampan. “Dokter yang meresepkannya secara langsung.” “Apa Bu Annie mengatakan pada Tuan Kayden apa yang terjadi dengan punggungku?” balas Liora penuh selidik. Melihat senyum Annie yang tampak ganjil membuat Liora berpikir bahwa dugaannya itu benar. Mana mungkin Annie menyembunyikan apa yang dilihatnya? Bukankah sebagai orang yang bertanggung jawab atas keberlangsungan di rumah ini Annie tentu akan melaporkan segala sesuatu yang terjadi kepada si pemilik rumah? Lagi pula ... siapa yang bisa diam dan terbungkam dihadapkan pada mata mengintimidasi Kayden? Liora meng
“Bukan apa-apa,” jawab Liora sesegera mungkin. Ia memandang Annie, mengisyaratkan dengan matanya agar wanita paruh baya itu tak mengatakan apa yang ia lihat di punggungnya pada Kayden. Tatapan Kayden menelisik kala Liora mencuri pandang pada manik gelapnya. Alis lebat Kayden yang berkerut menandakan bahwa pria itu tahu Liora tengah berbohong. Diam yang ia suguhkan dan wajahnya yang tanpa ekspresi tetapi tegas itu membuat Liora seperti akan tersudut dan memilih untuk membuka mulut perihal apa yang ia bicarakan dengan Annie. Dan sebelum semakin terintimidasi, Liora memutuskan untuk pergi dari sana. Ia lekas berjalan, langkahnya gegas meninggalkan Kayden setelah ia menundukkan kepalanya. Tak ingin terlibat percakapan yang lebih jauh. Liora kembali ke dalam kamar. Menuju meja tempat di mana ia meletakkan botol minumannya di sana dan menarik lacinya. Berharap menemukan obat apapun—setidaknya agar demamnya ini mereda. Melihat obat untuk luka ada di dalam sana juga, ia memutus
“Tidak,” jawab Liora dengan segera, mencegah ada perdebatan lain di dalam ruangan yang perlahan menemukan kedamaian itu. “A-ada sesuatu yang tidak baik yang terjadi di studio tadi,” imbuh Liora. “Ada kecelakaan kecil yang membuat saya terluka. Tapi ini tidak parah, Tuan.” Apa jawaban itu benar? Liora meraba-raba dalam hati, melirik Kayden yang tampak tidak peduli dengan perkataannya. Liora anggap itu sebagai sebuah hal yang disetujui oleh Kayden karena pria itu tak bereaksi. Tuan Owen mengangguk mengerti, memutuskan tak memperpanjangnya sementara Liora lalu menutup mulutnya, tak akan bicara lagi. Sudut matanya memandang Kayden, yang tak seperti anggota keluarganya yang lain yang menyantap hidangan mereka, pria itu hanya memilih wine saja. “Kita sudah memiliki hidup kita masing-masing,” ucap Tuan Owen di sela bunyi garpu dan piring. “Jadi Papa harap tidak ada yang mencampuri urusan pribadi yang lainnya. Mari hidup damai di jalan masing-masing.” Tuan Owen kemudian menatap anak bun
‘Perempuan bekasnya?’ ulang Liora dalam hati usai sebutan Adrian terhadapnya. ‘Aku bahkan tidak pernah melakukan apapun dengannya,’ batinnya sekali lagi. Sebuah hal yang bagus karena selama berpacaran ia dan Adrian tidak melakukan sesuatu di luar batas. Seandainya mereka melakukan sesuatu seperti yang Adrian perbuat dengan Irina, bukankah bisa saja saat putus pemuda itu tak hanya menyebutnya sebagai ‘perempuan bekas’? Yang keluar dari bibirnya yang penuh dusta itu bisa saja ‘pelacur’ karena rela ditiduri berkali-kali. Setidaknya Liora selamat dari hal itu. Tenggorokannya terasa serak menyadari ketegangan yang hebat di dalam ruangan itu. Jemarinya yang saling menggenggam terasa kebas meredam amarah. Ia memberanikan diri untuk melirik Kayden yang tak serta-merta memberi tanggapan atas kalimat Adrian. Kayden juga tampak tidak tersulut dengan provokasi keponakannya itu. Pria itu menghadapinya dengan tenang, wajahnya tak banyak menunjukkan perubahan sebelum maniknya yang gel
Bunyi lampu yang pecah kala berbenturan dengan lantai bergema di setiap sisi ruangan, waktu seolah berhenti untuk beberapa detik hingga orang-orang menyadari Liora dan Kayden jatuh tersungkur sehingga mereka berseru dalam kepanikan dan memperkeruh keadaan. “Liora!” “Tuan Kayden!” Kerusuhan terjadi karena lampu-lampu itu saling mengenai satu sama lain, yang jika tadi Liora tak segera menarik Kayden, maka dua lampu LED besar itu bisa jatuh menimpanya—yang meski sekarang benda itu menimpa dirinya. “Akh—” Liora merintih saat merasakan punggungnya yang terkena lampu itu seakan remuk. Tangannya tergores, begitu juga dengan pipinya yang terasa perih. Pecahan dari lampu itu pasti telah mengenai wajahnya. Evan menyingkirkan lampu dari punggung Liora, membantu tuan dan nonanya itu bangun dan meminta keduanya untuk menyisih. “Maaf, Nona,” ucap Evan penuh rasa bersalah saat Liora meraba punggungnya. “Anda baik-baik saja?” Evan memindai tangan Liora yang terluka dan goresan-goresan kecil di