setelah sekian lama tak ada yang membela, apakah kali ini Liora akan mendapatkan dukungan dari sahabatnya, Leo Nathan? mari jumpa besok lagi, komen like vote 🔥🔥 terimakasih
Kayden seperti mengabaikan pandangan orang-orang yang menyaksikannya menyeret Liora meninggalkan set syuting The Flavor Lab. Pria itu menghardiknya dengan menyebut Liora tak tahu malu setibanya di luar. Tangan besarnya yang semula melingkari lengan Liora terlepas teriring kalimat yang dilontarkannya dengan penuh amarah itu. “Tidak tahu malu?” ulang Liora atas ucapan Kayden. “Tidak tahu malu bagaimana maksudnya? Apa yang saya lakukan memangnya?” desak Liora tak ingin berdiam diri dengan disebut ‘memalukan’. “Masih bertanya?” balas Kayden setelah pria itu mendorong napasnya. “Apakah yang kamu lakukan di dalam tadi tidak membuatmu sadar kamu baru saja melakukan hal yang memalukan?!” “Tuan Kay—“ “Aku menahan diri sejak tadi untuk tidak begitu saja menyeretmu saat acaranya masih berlangsung,” potong Kayden. “Harusnya kamu berterima kasih ketimbang bersikap seperti ini!” Alis Liora berkerut penuh rasa bingung. Ia menatap Kayden cukup lama, meraba-raba kesalahan apa yang ia laku
Kayden tidak bergerak untuk lebih dari tiga puluh detik. Hanya matanya yang bertambah gelap sebelum akhirnya bibirnya terbuka. “Coba saja,” kata Kayden dengan nada bicara yang sama tenangnya. Jawaban yang membuat sepasang alis Leo berkerut mendengarnya, meraba mencari maksud dari kata ‘coba saja’ yang diucapkan dengan kearoganan itu. Kayden lalu beranjak, tetapi saat tubuhnya baru saja berpaling dari Leo, ia kembali menatap pemuda itu. “Kalau pun kamu bisa mengambil Liora dariku, belum tentu dia mau.” Setelah itu, Kayden benar-benar pergi. Ia meninggalkan gedung lokasi syuting The Flavor Lab, melewati lobi dan melihat sedan miliknya yang terparkir tak jauh dari sana. Kedatangannya dapat dilihat oleh Liora yang sedetik kemudian lalu berpaling, membiarkan pria itu masuk ke dalam mobil dan duduk di sampingnya sebelum meminta Evan yang menyusulnya masuk dan kini ada di balik kemudi untuk segera pergi. Tak ada percakapan yang terjadi di dalam sana. Liora bahkan enggan untuk menoleh
‘Miliknya,’ ulang Liora dalam hati. ‘Dia menganggap aku seperti barang.’ Tidak ada yang istimewa dengan sebutan itu. Kayden menganggapnya tak lebih dari wanita mata duitan yang ‘menjual jasa’ sebagai ‘istri kontrak’. Lalu Kayden menggunakannya sebagai alat balas dendam. Liora tak bisa menahan air mata, buliran bening jatuh bermuara di pipinya sebelum ia menarik napasnya dan memilih untuk tak memperpanjang semua ini. Menahan diri untuk tak melawan ego Kayden. “Kamu tahu di mana posisimu sekarang?” tanya Kayden dengan iris gelapnya yang masih tak berpaling. Liora mengangguk, samar tapi tatapannya berusaha meyakinkan. “Maaf,” katanya lirih. Baru setelah itulah Kayden melepasnya. Pria itu menarik tangan besarnya dari dagu kecil LIora, membuat gadis itu seketika mundur, memastikan jarak mereka cukup jauh agar Kayden tak kembali menyentuhnya. Kayden akhirnya berpaling, membuang wajah dan mengayunkan kakinya meninggalkan Liora. Tidak untuk masuk ke dalam rumah, tetapi utuk keluar.
Setelah semalam tak dianggap oleh Kayden, Liora menyerah untuk meminta bantuan dari pria itu. Hening yang disuguhkannya semalam seperti masih sangat membekas hingga pagi ini saat ia berjalan dengan lesu meninggalkan rumah. Berulang kali benaknya menggerutu, ‘Kalau tidak mau kenapa tidak mengatakannya saja dengan jelas?’ batinnya. ‘Kenapa diam dan membiarkan aku menunggunya seperti orang bodoh?’ Semalam itu sangat memalukan, ia bahkan masih ingat betapa panas wajahnya saat Kayden mengabaikannya. ‘Lupakan saja,’ batin Liora sekali lagi. ‘Tidak ada gunanya memikirkan Kayden iblis itu.’ Di depan gerbang rumah Kayden, ia menunggu taksi online yang telah dipesannya. Sebenarnya, sopir milik Kayden yang ada di rumah itu mengatakan agar ia mengantar ke mana Liora pergi, tapi ia menolak. Taksi itu akhirnya datang dan membawanya meninggalkan gerbang angkuh rumah Kayden. Lajunya cepat namun hati-hati mengikuti ke mana Liora memesannya, ke rumah sakit jiwa. Beberapa menit berlalu, Liora tiba
[Aktor Naik Daun Adrian Davis Berselingkuh dengan Adik Tiri Pacarnya, Foto-foto Panas Mereka Tersebar!][Puluhan Project Film dengan Aktor Adrian Davis Terancam Batal! Imbas Perselingkuhan?]Lewat ponselnya, Liora bisa membaca berita itu menyeruak memenuhi layar.Semakin malam, beritanya justru semakin ramai. Puluhan hingga ratusan judul membanjiri dunia maya.Di dalam sebuah bar, Liora duduk tanpa gairah. Sepasang matanya menatap penuh kebencian pada ponselnya yang ada di atas meja yang menunjukkan bahwa Adrian—pria dalam berita itu yang tak lain adalah mantan pacarnya—tengah menghubunginya.Saat Liora menerima panggilan tersebut, suara Adrian lantang menyentak dari seberang sana.“Katakan pada semua orang kalau aku tidak berselingkuh, Liora!”Seruannya membuat Liora dengan segera menjauhkan benda pipih itu dari samping telinga.“Kamu tuli? Kenapa tidak menjawab?!” hardik Adrian sekali lagi. “Kamu pikir akan aman setelah memperlakukan aku seperti ini? Tunggu saja, aku akan membalasmu
“Apa yang kau lakukan?!” tanya si pemilik mobil, seorang pria yang duduk di kursi penumpang bagian belakang dan terkejut kala Liora masuk ke dalam sana tanpa permisi.Untuk beberapa detik Liora melihatnya termangu—entah untuk apa karena itu tidak penting sekarang!“Tuan—” sebut Liora seraya merapatkan kedua tangannya. “Tolong saya, Tuan, saya mohon ….” pintanya mengiba. “Tolong bawa saya pergi dari sini karena kalau tidak saya akan dibunuh.”Ia menunduk, menggosokkan kedua tangannya di hadapan pria dalam balutan tuxedo-nya yang menatapnya dengan bingung.Pupil Liora bergerak gugup, ia tak tahu kapan ia akan bisa mengulur waktu untuk membujuk pria ini sebelum preman-preman bayaran itu menemukannya.“Bagaimana bisa aku mempercayaimu jika kau saja bau alkohol seperti ini?” tanya pria bersurai hitam rapi dan beraroma bergamot itu.“Apapun akan aku lakukan kalau Tuan bersedia menolongku,” jawab Liora agar ia yakin. “Please ….”Bibirnya tertekuk penuh keputusasaan saat ia melihat pria-pria
Mendengar penuturan pria itu membuat hati Liora tak karuan rasanya. ‘Dia tahu namaku?’ batin Liora penuh tanya. Matanya bergoyang gugup, ia menatap pria gagah dalam balutan tuxedo itu, yang lengannya melingkari pinggangnya dengan erat. Pria itu mengendus wajah Liora, menenggelamkan hidungnya ke telinganya, meninggalkan hangat napasnya yang membuat Liora bereaksi dan merespon.“Kau ingin aku melakukan apa, Liora?” bisiknya kemudian menarik wajahnya dan menatap Liora.Kedipan matanya yang lemah seolah lebih banyak meyakinkan Liora bahwa ia akan melakukan apapun untuknya malam ini.“Peluk aku,” jawab Liora. “Sepertinya tidak akan cukup hanya dengan sebuah pelukan.”Liora bergeming, bibir gadis itu terbungkam rapat saat pria itu menunduk dan memberi kecupan di bibirnya.Sekian detik sentuhan itu seperti telah menghancurkan jarak yang semula memisahkan mereka. Rasanya manis, seolah pria itu membawa serta hatinya dan memberi cinta pada Liora yang baru saja dikhianati.Pria itu menciumny
‘Astaga! Apa yang terjadi semalam?’ Liora memekik dalam hati.Jeritan tertahan di tenggorokannya saat ia menegakkan punggungnya dan menutup mulutnya dengan sebelah tangannya.Maniknya terasa panas saat ia mengamati Kayden yang masih terlelap di atas ranjang hotel.Tak ada yang melindungi tubuh Liora selain selimut yang saat ini tengah mereka kenakan. Saat Liora memberanikan diri untuk melihat bagian tubuh pria itu—yang tertutup oleh selimut—ia pun memiliki situasi yang tak jauh beda dengan Liora.Dress burgundy yang semalam dikenakannya saat pergi ke bar telah tercecer di lantai. Tertumpuk dengan kemeja, vest, jas dan celana panjang milik Kayden yang tergeletak di sana.Liora mencoba meraba apa yang terjadi semalam. Ia meremas rambutnya saat mendapati ingatan tentang dirinya yang mabuk dan melarikan dari beberapa preman yang mengejarnya setelah membuat kekacauan di bar.Ingatan tentang wajah kebingungan Kayden yang bertanya ‘Apa yang kau lakukan’ saat Liora tiba-tiba masuk ke dalam mo
Setelah semalam tak dianggap oleh Kayden, Liora menyerah untuk meminta bantuan dari pria itu. Hening yang disuguhkannya semalam seperti masih sangat membekas hingga pagi ini saat ia berjalan dengan lesu meninggalkan rumah. Berulang kali benaknya menggerutu, ‘Kalau tidak mau kenapa tidak mengatakannya saja dengan jelas?’ batinnya. ‘Kenapa diam dan membiarkan aku menunggunya seperti orang bodoh?’ Semalam itu sangat memalukan, ia bahkan masih ingat betapa panas wajahnya saat Kayden mengabaikannya. ‘Lupakan saja,’ batin Liora sekali lagi. ‘Tidak ada gunanya memikirkan Kayden iblis itu.’ Di depan gerbang rumah Kayden, ia menunggu taksi online yang telah dipesannya. Sebenarnya, sopir milik Kayden yang ada di rumah itu mengatakan agar ia mengantar ke mana Liora pergi, tapi ia menolak. Taksi itu akhirnya datang dan membawanya meninggalkan gerbang angkuh rumah Kayden. Lajunya cepat namun hati-hati mengikuti ke mana Liora memesannya, ke rumah sakit jiwa. Beberapa menit berlalu, Liora tiba
‘Miliknya,’ ulang Liora dalam hati. ‘Dia menganggap aku seperti barang.’ Tidak ada yang istimewa dengan sebutan itu. Kayden menganggapnya tak lebih dari wanita mata duitan yang ‘menjual jasa’ sebagai ‘istri kontrak’. Lalu Kayden menggunakannya sebagai alat balas dendam. Liora tak bisa menahan air mata, buliran bening jatuh bermuara di pipinya sebelum ia menarik napasnya dan memilih untuk tak memperpanjang semua ini. Menahan diri untuk tak melawan ego Kayden. “Kamu tahu di mana posisimu sekarang?” tanya Kayden dengan iris gelapnya yang masih tak berpaling. Liora mengangguk, samar tapi tatapannya berusaha meyakinkan. “Maaf,” katanya lirih. Baru setelah itulah Kayden melepasnya. Pria itu menarik tangan besarnya dari dagu kecil LIora, membuat gadis itu seketika mundur, memastikan jarak mereka cukup jauh agar Kayden tak kembali menyentuhnya. Kayden akhirnya berpaling, membuang wajah dan mengayunkan kakinya meninggalkan Liora. Tidak untuk masuk ke dalam rumah, tetapi utuk keluar.
Kayden tidak bergerak untuk lebih dari tiga puluh detik. Hanya matanya yang bertambah gelap sebelum akhirnya bibirnya terbuka. “Coba saja,” kata Kayden dengan nada bicara yang sama tenangnya. Jawaban yang membuat sepasang alis Leo berkerut mendengarnya, meraba mencari maksud dari kata ‘coba saja’ yang diucapkan dengan kearoganan itu. Kayden lalu beranjak, tetapi saat tubuhnya baru saja berpaling dari Leo, ia kembali menatap pemuda itu. “Kalau pun kamu bisa mengambil Liora dariku, belum tentu dia mau.” Setelah itu, Kayden benar-benar pergi. Ia meninggalkan gedung lokasi syuting The Flavor Lab, melewati lobi dan melihat sedan miliknya yang terparkir tak jauh dari sana. Kedatangannya dapat dilihat oleh Liora yang sedetik kemudian lalu berpaling, membiarkan pria itu masuk ke dalam mobil dan duduk di sampingnya sebelum meminta Evan yang menyusulnya masuk dan kini ada di balik kemudi untuk segera pergi. Tak ada percakapan yang terjadi di dalam sana. Liora bahkan enggan untuk menoleh
Kayden seperti mengabaikan pandangan orang-orang yang menyaksikannya menyeret Liora meninggalkan set syuting The Flavor Lab. Pria itu menghardiknya dengan menyebut Liora tak tahu malu setibanya di luar. Tangan besarnya yang semula melingkari lengan Liora terlepas teriring kalimat yang dilontarkannya dengan penuh amarah itu. “Tidak tahu malu?” ulang Liora atas ucapan Kayden. “Tidak tahu malu bagaimana maksudnya? Apa yang saya lakukan memangnya?” desak Liora tak ingin berdiam diri dengan disebut ‘memalukan’. “Masih bertanya?” balas Kayden setelah pria itu mendorong napasnya. “Apakah yang kamu lakukan di dalam tadi tidak membuatmu sadar kamu baru saja melakukan hal yang memalukan?!” “Tuan Kay—“ “Aku menahan diri sejak tadi untuk tidak begitu saja menyeretmu saat acaranya masih berlangsung,” potong Kayden. “Harusnya kamu berterima kasih ketimbang bersikap seperti ini!” Alis Liora berkerut penuh rasa bingung. Ia menatap Kayden cukup lama, meraba-raba kesalahan apa yang ia laku
“A-apa Anda melihat kami?” tanya Liora memastikan. Namun, Kayden tak menjawab. Hanya seulas seringai samar di salah satu sudut bibirnya yang terlihat dan itu membuat Liora tidak nyaman. “D-dia itu teman saya, Tuan Kayden. Dulu sebelum Anda menjadi presdir—“ “Tidak bisa,” potong Kayden yang membuat Liora urung menjelaskan apapun. “Apa yang tidak bisa?” “Datang ke acara Leo Nathan.” Kalimat itu menandakan dengan jelas bahwa Kayden sedang menolak mentah-mentah permohonannya. Liora memalingkan tatapannya dari Kayden. Kedua maniknya sedikit terangkat ke atas, bertanya dalam hati, ‘Bagaimana ini? Aku terlanjur menyanggupi Leo.’ “Kenapa saya tidak boleh datang?” tanya Liora, menatap Kayden kembali—setidaknya ia ingin tahu apa yang membuat Kayden melarangnya datang ke The Flavor Lab. “Hanya karena aku memperbolehkanmu melakukan pemotretan dengan majalah Hazed bukan berarti kamu bebas berkeliaran sesuka hatimu,” jawab Kayden. “Apalagi menjadi bintang tamu di acara orang lain.”
Setelah meninggalkan kafe yang ia datangi, Liora kembali ke rumah Kayden. Tadinya Leo hendak mengantarnya tetapi Liora menolaknya dan lebih memilih untuk menggunakan taksi online. Di halaman rumah Kayden, Liora melihat pria itu ada di sana. Sedang menuruni undakan tangga di teras, tampak menawan dalam balutan kaos berkerah dan celana panjangnya yang bersih serta melihat kedatangan Liora dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan. Sadar dirinya melakukan sesuatu tanpa mendapatkan izin dari Kayden, Liora memilih untuk jujur ke mana ia pergi sebelum kembali ke rumah. “Tuan Kayden,” sebutnya dengan ragu-ragu saat pria itu mendekat. “Maaf saya tadi tidak langsung pulang karena mampir dulu ke—“ Belum sempat Liora menyelesaikan kalimatnya, Kayden berlalu pergi melewatinya begitu saja, mengabaikannya tanpa peduli akan apa yang akan dikatakan olehnya. Punggungnya menjauh, meninggalkan Liora yang meremas jari-jarinya, menelan kembali semua kalimat yang hampir saja keluar dari bibirnya.
“Iya ini aku Leo. Lama tidak bertemu, Liora,” ucap pemuda itu saat Liora masih bergeming dan meremas coffee cup miliknya. “Bagaimana kabarmu?” Baru setelah tanya itu terdengar, Liora sadar. Ia membalas senyum pemuda itu. Seorang pria yang sangat ia kenal dengan baik, Leo Nathan Henley. Dulu, Leo adalah kakak kelas Liora semasa di Sekolah Menengah Atas hingga kuliah. Ia, Freya dan Leo dulu bersahabat sebelum karir pemuda itu yang paling melejit sebagai seorang celebrity chef. Di bawah naungan satu agensi yang sama, di Evermore. Sekitar dua tahun belakangan Leo berkegiatan di luar negeri sembari melanjutkan study-nya. “B-baik,” jawab Liora akhirnya, mengikuti pandang ke mana Leo beranjak, duduk di sampingnya dengan membawa satu cup berisikan kopi seperti dirinya. “Senang bisa melihatmu lagi, Liora.” “Sejak kapan kamu pulang?” “Kemarin,” jawabnya. “Padahal aku masih berpikir bagaimana caranya aku bisa menemuimu, Liora. Tapi rasanya takdir sangat baik dengan membuat kita
“Julia? Apa yang kamu lakukan di sini?” balas Kayden setelah pria itu menghentikan langkah kakinya begitu juga dengan Liora yang berdiri di sampingnya. Julia tak serta-merta menjawabnya, gadis itu lebih dulu memindai Liora sebelum pandangannya berhenti pada Kayden. “Apa kamu dan Liora baru menginap di hotel?” tanya Julia balik alih-alih menjawab mantan pacarnya itu. “Ada pekerjaan yang harus diselesaikan,” jawabnya singkat. “Dengan Liora juga?” Kayden mengangguk sebagai sebuah pembenaran. “Aku juga sedang ada pekerjaan,” ujar Julia— menanggapi tanya dari Kayden perihal apa yang dilakukannya di sini. “Ada meeting dengan salah satu partner bisnis Papa. Beliau yang meminta. Kamu tahu ‘kan … aku bertanggung jawab atas beberapa proyek besar milik DN Construction.” DN Construction yang dikatakan oleh Julia itu adalah bisnis milik keluarganya. Sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang konstruksi. Cantik, elegan dan seorang wanita karir. Setidaknya seperti itu yang dipiki
“Tuan Kayden yang memintanya?” ulang Liora memastikan. Kedua matanya melebar penuh ketidakpercayaan menatap Annie yang justru tak menjawab setelahnya. Apakah ia salah dengar? Ataukah Annie yang barangkali salah berucap? Wanita paruh baya itu hanya tersenyum sebelum mengatakan, “Sebaiknya Nona menghabiskan makanannya. Obat yang Nona Liora minta tadi pagi juga sudah saya siapkan,” tuturnya seraya sekilas menunjuk ke atas nampan. “Dokter yang meresepkannya secara langsung.” “Apa Bu Annie mengatakan pada Tuan Kayden apa yang terjadi dengan punggungku?” balas Liora penuh selidik. Melihat senyum Annie yang tampak ganjil membuat Liora berpikir bahwa dugaannya itu benar. Mana mungkin Annie menyembunyikan apa yang dilihatnya? Bukankah sebagai orang yang bertanggung jawab atas keberlangsungan di rumah ini Annie tentu akan melaporkan segala sesuatu yang terjadi kepada si pemilik rumah? Lagi pula ... siapa yang bisa diam dan terbungkam dihadapkan pada mata mengintimidasi Kayden? Liora meng