Mendengar penuturan pria itu membuat hati Liora tak karuan rasanya.
‘Dia tahu namaku?’ batin Liora penuh tanya.
Matanya bergoyang gugup, ia menatap pria gagah dalam balutan tuxedo itu, yang lengannya melingkari pinggangnya dengan erat.
Pria itu mengendus wajah Liora, menenggelamkan hidungnya ke telinganya, meninggalkan hangat napasnya yang membuat Liora bereaksi dan merespon.
“Kau ingin aku melakukan apa, Liora?” bisiknya kemudian menarik wajahnya dan menatap Liora.
Kedipan matanya yang lemah seolah lebih banyak meyakinkan Liora bahwa ia akan melakukan apapun untuknya malam ini.
“Peluk aku,” jawab Liora.
“Sepertinya tidak akan cukup hanya dengan sebuah pelukan.”
Liora bergeming, bibir gadis itu terbungkam rapat saat pria itu menunduk dan memberi kecupan di bibirnya.
Sekian detik sentuhan itu seperti telah menghancurkan jarak yang semula memisahkan mereka. Rasanya manis, seolah pria itu membawa serta hatinya dan memberi cinta pada Liora yang baru saja dikhianati.
Pria itu menciumnya sekali lagi, jika sebelumnya Liora mengatakan agar pria itu memeluknya saja dan tak menjawab kala ia menawarkan yang lebih, tapi sepertinya setelah merasakan betapa piawainya ia membuat Liora tenggelam dalam pagutan bibirnya telah mengajaknya berubah pikiran.
Entah pria itu bisa tahu atau tidak, tapi Liora telah tak bisa menahan dirinya lagi.
Ia menggigit bibir bawah pria itu, menarik-narik kerah kemejanya agar semakin dekat dengannya.
“Kau mau lebih dari ini, ‘kan?” tanya pria itu seraya menunduk di hadapannya, maniknya yang gelap menunggu jawaban hingga Liora mengangguk.
“Tapi biar aku perjelas—” katanya sebelum mereka benar-benar memulai sesuatu yang lain.
“Apa?”
“Kau tidak akan menyesalinya?”
Liora menggeleng, “Tidak, aku tidak akan menyesalinya.”
Pria itu mengangguk samar, tangannya yang besar menyisihkan rambut panjang Liora ke samping, menunjukkan bahunya yang cantik yang sebagian terbuka dari gaun off-shoulder yang tadi dikenakannya untuk pergi ke bar.
Pria itu mengecup lembut bahunya, menarik turun dress berwarna burgundy itu dan menanggalkannya ke lantai.
Sepasang matanya sesaat berhenti berkeliaran selain hanya mengagumi Liora. Tangan besarnya singgah di pinggang, menyelusup masuk dari balik pelindung dada Liora sehingga gadis itu mengerang.
“Hngh ….”
Liora menatapnya yang mensejajarkan pandangan, maniknya yang sekelam laut malam terlihat mempesona saat Liora merasakan kembali ciumannya.
Kali ini bukan hanya sekadar kecupan, tapi percikan api menyulut mengiringinya, manis dan sensual.
Liora menggapai kancing tuxedo pria itu, menguraikannya, melakukan hal yang sama pada dasi yang menjerat lehernya dan menarik lepas kemeja miliknya.
Liora mendapati tubuhnya yang atletis dan proporsional. Beberapa detik kemudian, dadanya yang bidang memerangkap Liora, menguncinya tak bisa bergerak, membuatnya berpasrah.
Wajahnya kembali memanas saat kulit mereka bersentuhan.
Tubuhnya perlahan terbakar, tetapi bukan dengan bara api.
Dalam ketidakberdayaan akibat sentuhan pria itu, Liora mulai kehilangan dirinya.
Desahannya terdengar saat pria itu menerobos kelembutan tubuhnya, air matanya mengalir saat pria bersurai hitam itu menyadari ini adalah pertama kali baginya dijamah oleh seorang pria.
“Ini pertama kalinya untukmu?” tanyanya.
Liora mengangguk, tak yakin gerakan kepalanya ini akan bisa dijumpai olehnya sebagai sebuah ‘iya’.
“Ahh—” Liora menggeliat, pinggangnya bergerak melawan rasa sakit yang ia terima pada inti tubuhnya yang seakan-akan terbagi menjadi dua.
“Aku akan berhenti kalau kau kesakitan,” bisik pria itu.
“Tidak, lanjutkan saja.”
Sudah cukup terlambat jika sekarang mereka harus mundur atau mendadak berhenti.
“Baiklah.”
Bibir Liora terbuka tanpa kata, gelenyar asing yang datang menghampiri tubuhnya perlahan menyisihkan kesakitan yang sebelumnya ia terima.
Rasanya seperti dibunuh oleh nikmat saat ia menyadari bahwa mungkin inilah yang dirasakan oleh Adrian dan Irina.
Liora melingkarkan kedua tangannya pada leher pria itu, meraba punggungnya yang polos dan bergerak liar di atas tubuhnya. Membiarkannya mengambil alih malamnya yang masih cukup panjang untuk dapat berakhir begitu saja ….
***
Liora mengerjapkan sepasang matanya dengan pelan. Samar-samar cahaya matahari yang masuk dari celah kelambu membuat alam bawah sadarnya memberi reaksi bahwa pagi telah datang.
Ia meraba kepalanya yang terasa sakit, dirasanya tubuhnya ini remuk dan keram. Ia hendak bangun dan menoleh ke belakang punggungnya yang terasa dingin.
Saat melakukan itu, jantungnya seakan berhenti berdetak saat menjumpai seorang pria yang tengah terlelap, berada di sana, pada satu ranjang yang sama dengannya.
‘Kayden?’ sebut Liora dengan gugup. ‘B-bukankah dia Kayden?’
Pria itu adalah Kayden Baldwin, paman mantannya.
‘Astaga! Apa yang terjadi semalam?’ Liora memekik dalam hati.Jeritan tertahan di tenggorokannya saat ia menegakkan punggungnya dan menutup mulutnya dengan sebelah tangannya.Maniknya terasa panas saat ia mengamati Kayden yang masih terlelap di atas ranjang hotel.Tak ada yang melindungi tubuh Liora selain selimut yang saat ini tengah mereka kenakan. Saat Liora memberanikan diri untuk melihat bagian tubuh pria itu—yang tertutup oleh selimut—ia pun memiliki situasi yang tak jauh beda dengan Liora.Dress burgundy yang semalam dikenakannya saat pergi ke bar telah tercecer di lantai. Tertumpuk dengan kemeja, vest, jas dan celana panjang milik Kayden yang tergeletak di sana.Liora mencoba meraba apa yang terjadi semalam. Ia meremas rambutnya saat mendapati ingatan tentang dirinya yang mabuk dan melarikan dari beberapa preman yang mengejarnya setelah membuat kekacauan di bar.Ingatan tentang wajah kebingungan Kayden yang bertanya ‘Apa yang kau lakukan’ saat Liora tiba-tiba masuk ke dalam mo
‘K-kenapa Kayden yang duduk di sana?’ batin Liora penuh rasa terkejut.Sebab seharusnya yang ada di kursi Presdir itu adalah Kakeknya Adrian, yang meski tak bisa dipungkiri beliau adalah ayahnya Kayden, Tuan Owen.Meski Kayden terlihat sangat mempesona dan cocok duduk di balik meja Presdir, tapi bukan pertemuan seperti ini yang Liora inginkan.Sekarang ia tahu dari mana wangi tak asing yang baru saja dihidunya itu. Dari tubuh Kayden, wangi bergamot pria itu.‘Bagaimana aku harus menghadapinya sekarang?’ gumamnya dalam hati, resah.Liora sejenak berdiri membeku di dekat pintu masuk, benaknya meminta agar sebaiknya ia mundur saja dan pergi dari sini. Tetapi sebelum sempat ia merencanakan hal itu lebih jauh, suara Kayden terdengar membalas sapaannya.“Selamat pagi, silakan duduk,” katanya. “Bukankah kamu ingin bertemu dan bicara denganku?”Liora memandang Freya yang mengisyaratkan agar ia duduk berseberangan meja dengan Kayden. Langkah kakinya yang semula percaya diri kini mendadak kebas
Liora terdiam cukup lama. Meski ia tahu semua yang dikatakan oleh Kayden itu sepenuhnya adalah kebenaran, tapi rasanya semua itu seperti sebuah penghinaan baginya.Napas Liora seakan berhenti di tenggorokan, harapan-harapan yang tadi sempat bergema di dalam hatinya bahwa setidaknya akan ada sedikit ‘keadilan’ setelah semalam hampir ditangkap oleh preman bayaran Adrian itu seketika sirna.Lagipula apa yang ia harapkan sekarang? Adrian adalah keponakannya, bukankah sebagai paman tentu Kayden akan membelanya sekalipun tahu Adrian yang bersalah?“Semakin cepat kamu meminta maaf, itu akan semakin baik,” ucap Kayden saat sepasang mata Liora telah berair. “Karena jika tidak, agensi bisa memutus kerja sama denganmu kapanpun, Liora Serenity!”“Putus saja!” jawab Liora tepat setelah Kayden selesai bicara. “Tidak banyak kerja sama yang kita lakukan. Jadi memutus kerja sama dengan saya bukanlah sesuatu yang sulit. Saya tidak akan meminta maaf karena Adrian memang bersalah,” tukasnya bersikeras pa
‘Artinya malam itu aku tidur dengan calon suami orang?’ batin Liora tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Ia baru tahu jika Kayden sudah bertunangan, ia pikir pria itu masih betah melajang dan menikmati hidupnya sebagai seorang pewaris kaya raya. Liora menghela dalam napasnya saat ia mengingat apa yang pernah ia katakan pada Kayden kala itu. ‘Semalam yang kita lakukan itu tidak berarti apapun bagi saya’ yang ia tuturkan pada pertemuan mereka rasanya telah menamparnya dengan kenyataan pahit. Karena kemungkinan besar, dirinyalah yang lebih tak ada artinya bagi seorang Kayden Baldwin. Liora hendak beranjak pergi dari sana dan mencari tempat yang lebih jauh agar tak perlu menyapa Kayden dan tunangannya itu. Namun, lamunan sesaat itu membuat Liora melewatkan saat-saat di mana Kayden dan sang tunangannya dalam balutan gaun merah muda itu mendekat. Tak bisa dipungkiri bahwa Kayden dan gadis itu sangat serasi. Dua orang itu tiba-tiba saja sudah berdiri di hadapannya dan membuat Lio
Seisi ruangan yang semula diselimuti oleh ketegangan mendadak senyap. Perhatian semua orang kini mengarah pada Liora yang berdiri dan dirundung oleh kebimbangan. “Saya tidak pernah menipu orang,” ucapnya. “Apalagi menggunakan obat terlarang, Pak. Itu semua tidak benar!” “Jika memang begitu, Anda bisa menjelaskannya nanti di kantor,” jawab seorang petugas yang berdiri paling depan. “Sekarang lebih baik Anda ikut dengan kami.” Entah cerita seperti apa yang dibuat dan dilaporkan oleh Adrian dan Irina hingga dapat mempermalukan Liora seperti ini. “Mari!” ucap pria berseragam itu sekali lagi. Kaki yang tadinya terpancang dengan lantai marmer tempat ia berpijak akhirnya terangkat. Langkahnya terasa berat kala ia mengikuti ke mana polisi menggiringnya keluar dari hall, sepasang netranya berkabut oleh air mata kala menyaksikan pandangan orang-orang yang menghakiminya. Dengus napas mereka, atau lirikan yang penuh kebencian mengantarnya pergi meninggalkan pintu berdaun dua tempat i
“Menikah dengan Tuan Kayden?” ulang Liora dengan sepasang matanya yang membola, memastikan pada pria itu bahwa ia tak salah dengar. Untuk beberapa saat seolah jantungnya berhenti berdetak. Syarat yang diajukan oleh Kayden sangat mengejutkannya. Kayden mengangguk, “Seperti yang kamu dengar.” Liora terdiam, jari-jari tangannya kian kebas saat benaknya dipenuhi oleh tanya, ‘Apa yang dia inginkan sebenarnya?’ gumamnya dalam hati, dirundung kebingungan. Kenapa aneh sekali? Ia pikir selama ini Kayden membencinya dilihat dari sikapnya yang ketus, atau bagaimana tajamnya tatapan mata pria itu yang menunjukkan betapa tak sukanya ia pada Liora—bahkan hingga hari ini. ‘Jadi kenapa Kayden tiba-tiba meminta agar aku menikah dengannya?’ Liora masih berkutat dengan segala pikirannya, maniknya mencuri pandang pada pria yang menurutnya sangat aneh itu. Ia berusaha menjinakkan prasangkanya yang menjadi liar, tetapi rasanya tidak bisa. Semua ini terasa tidak nyata, dan aneh .... Liora menghel
Saat Liora dibawa kembali ke dalam sel-nya, gadis itu berkutat dengan pikirannya yang seperti benang kusut. Menunduk memandang tangannya yang terbelenggu di dalam borgol seperti ini membuatnya mau tak mau mengakui apa yang dikatakan Kayden adalah kebenaran, bahwa Liora tak memiliki pilihan mengingat ia memang ingin bebas. Selain itu, tak ada yang menjamin ibunya tetap dibiarkan untuk tetap berada di rumah sakit jiwa atau malah dikeluarkan dan ditelantarkan oleh Irina dan ibu tirinya yang jahat itu. Bukankah mereka juga bisa saja menyimpan dendam karena Liora telah melibatkan Irina dalam skandal perselingkuhan dengan Adrian kala itu dan melampiaskannya pada sang Ibu? Tetapi selain semua itu, ada hal lain yang mengganggu Liora. Jika ia menikah dengan Kayden, lantas bagaimana dengan Julia? Bukankah mereka telah bertunangan? ‘Apa sesuatu yang buruk terjadi pada mereka?’ batinnya menerka-nerka. ‘Atau memang Kayden memiliki tujuan lain yang tak ia ketahui?’ Dugaannya berubah menjadi li
Setelah menghabiskan malam yang tak terlalu dingin di dalam tahanan sebab Liora menggunakan selimut pemberian Freya sebagai alas tidur, pagi hari ini ia diminta untuk keluar dari sel. Keadaannya sedikit berbeda sebab tangannya tidak diborgol seperti sebelumnya. Di dalam ruang kunjung tahanan itu, ia menjumpai seorang pemuda yang dikenalnya sebagai Evan Lee, sekretaris Kayden. Pemuda itu tidak datang sendirian, melainkan bersama dengan seorang pengacara yang Liora tahu ia adalah pengacara terkenal, dan mahal—Pengacara Hans. Liora duduk berseberangan meja dengan mereka berdua setelah menundukkan kepalanya sebagai sapaan. “Tuan Kayden meminta saya untuk menangani kasus ini,” ucap Pengacara Hans pada Liora yang beberapa detik seperti menahan napas, menyadari Kayden benar-benar menepati apa yang ia katakan kemarin saat di telepon bahwa ia akan meminta Evan menjemputnya pagi ini. “Terima kasih,” jawab Liora dengan gugup. “Penahanan Anda ditangguhkan dengan jaminan dari Tuan Kayden seh
“Untuk apa saya harus pergi ke kamar Anda?” taya Liora begitu Kayden selesai bicara.”“Kamu tidak mau?”“Saya—““Tidak perlu datang kalau begitu,” sela Kayden sebelum Liora menjelaskan apapun. “Maka dengan begitu besok aku akan benar-benar mengakhiri semuanya. Akan aku berikan padamu surat cerainya. Tidak ada biaya pengobatan untuk ibumu, tidak ada rumah dan uang yang aku janjikan seperti di surat perjanjian.”Kalimat Kayden membuat Liora membeku. Tubuhnya kebas, tak dapat merasakan apapun selain ketakutan yang menjalarinya dari ujung kaki.Matanya yang menatap Kayden lambat laun berair, perih tak terperi hingga air mata itu akhirnya bermuara.“Aku sudah selesai bicara, pulanglah sekarang!” ucap Kayden seolah tak mempedulikan pipinya yang basah.Liora memalingkan wajahnya, ia beringsut pergi dari hadapan Kayden saat pria itu meminta Evan untuk mengantarnya.“Antar dia pulang, Evan!”Pemuda tangan kanan Kayden itu turut beranjak, ia hendak mengikuti Liora sebelum jeritan Liora yang put
Setelah mendorong agar Evan Lee yang tubuhnya keras seperti batu itu untuk menyisih, Leo akhirnya berhasil menerobos pintu ruang presdir.Suara pintu yang terbuka dengan kasar pasti telah mengejutkan dua orang yang ada di dalam sana, yang membuat Leo miris memandang apa yang terjadi di hadapannya.Baik—itu memang urusan mereka berdua, urusan Liora dan Kayden karena memang mereka adalah suami dan istri.Tapi melihat gadis itu beruraian air mata dan berbaring tidak nyaman di atas meja dengan tatapan yang seolah meminta pertolongan membuat Leo merapatkan jari-jarinya.Dari keadaan benda-benda yang berserakan di lantai, dengan air mata Liora yang jatuh dan betapa mendominasinya Kayden, Leo menyimpulkan bahwa apa yang mereka lakukan itu tidak didasari oleh hati.Manik gelap Kayden yang menoleh saat Leo menyerukan namanya di ujung tanya telah menjelaskan bahwa pria itu dirundung amarah—meski tak dipungkiri dirinya pun juga seperti itu.“Liora,” sebut Leo seraya selangkah maju.Sementara Lio
Air matanya luruh, hatinya terasa sakit. Semua bagian di tubuhnya seperti sedang menerima luka menganga yang ditaburi oleh asam klorida. ‘Apa aku terlihat seperti itu di matanya?’ batin Liora saat menengadahkan wajahnya pada Kayden. Apa pria itu benar tak memiliki hati nurani sedikit saja untuk berpikir bahwa kepergiannya ke rumah sakit tanpanya itu juga karena Kayden menolaknya semalam?! “Hentikan!” jerit Liora saat tiba-tiba ia kehilangan keseimbangan tubuhnya. Benaknya yang berkecamuk itu membuatnya melewatkan apa yang telah dilakukan oleh Kayden hingga punggungnya bersinggungan di atas meja seperti ini—Kayden membuatnya berbaring tidak nyaman di sini. Sedang pria itu menunduk di atasnya, tatapannya sama gelapnya seperti saat ia menuduh Liora merayu Leo. “Tunjukkan padaku seperti apa kamu merayu Leo, Liora!” Liora memberontak melepaskan diri dari Kayden saat pria itu seperti kehilangan kendali. Sesuatu merasukinya, membuatnya berkali-kali lipat lebih jahat saat ia menyelusup
“T-Tuan Kayden?” sebut Liora dengan terbata. Merasakan nyawa yang seakan lepas dari raga sementara Leo yang berdiri di sampingnya bergerak tidak nyaman sembari mengulangi apa yang baru saja dikatakannya. “Tuan?” tanyanya berbalut kebingungan. Liora belum sepat memproses apa yang sekiranya bisa ia katakan sebelum Kayden menyalah pahami keberadaannya di sini bersama dengan Leo. Kayden tak menjawab sapaannya. Pria itu melangkah mendekat ke arahnya. Dengan bibir yang terbungkam, tangan besar miliknya itu meraih lengan Liora dan membawanya pergi dari samping Leo. Tanpa ada kata yang terucap, tapi iris gelapnya itu mengatakan, ‘Ayo pergi dari sini!’ dengan teramat lantang. “Liora!” panggil Leo saat Liora telah pontang-panting mengikuti langkah gegas kaki panjang Kayden. Ia tak sempat menoleh ke belakang, tidak tahu apakah Leo mengikutinya atau akan terpancang di koridor rumah sakit tempat ia berpijak. “Tuan Kayden?” panggil Liora sekali lagi, berharap pria itu mengatakan sepatah ata
Setelah semalam tak dianggap oleh Kayden, Liora menyerah untuk meminta bantuan dari pria itu. Hening yang disuguhkannya semalam seperti masih sangat membekas hingga pagi ini saat ia berjalan dengan lesu meninggalkan rumah. Berulang kali benaknya menggerutu, ‘Kalau tidak mau kenapa tidak mengatakannya saja dengan jelas?’ batinnya. ‘Kenapa diam dan membiarkan aku menunggunya seperti orang bodoh?’ Semalam itu sangat memalukan, ia bahkan masih ingat betapa panas wajahnya saat Kayden mengabaikannya. ‘Lupakan saja,’ batin Liora sekali lagi. ‘Tidak ada gunanya memikirkan Kayden iblis itu.’ Di depan gerbang rumah Kayden, ia menunggu taksi online yang telah dipesannya. Sebenarnya, sopir milik Kayden yang ada di rumah itu mengatakan agar ia mengantar ke mana Liora pergi, tapi ia menolak. Taksi itu akhirnya datang dan membawanya meninggalkan gerbang angkuh rumah Kayden. Lajunya cepat namun hati-hati mengikuti ke mana Liora memesannya, ke rumah sakit jiwa. Beberapa menit berlalu, Liora tiba
‘Miliknya,’ ulang Liora dalam hati. ‘Dia menganggap aku seperti barang.’ Tidak ada yang istimewa dengan sebutan itu. Kayden menganggapnya tak lebih dari wanita mata duitan yang ‘menjual jasa’ sebagai ‘istri kontrak’. Lalu Kayden menggunakannya sebagai alat balas dendam. Liora tak bisa menahan air mata, buliran bening jatuh bermuara di pipinya sebelum ia menarik napasnya dan memilih untuk tak memperpanjang semua ini. Menahan diri untuk tak melawan ego Kayden. “Kamu tahu di mana posisimu sekarang?” tanya Kayden dengan iris gelapnya yang masih tak berpaling. Liora mengangguk, samar tapi tatapannya berusaha meyakinkan. “Maaf,” katanya lirih. Baru setelah itulah Kayden melepasnya. Pria itu menarik tangan besarnya dari dagu kecil LIora, membuat gadis itu seketika mundur, memastikan jarak mereka cukup jauh agar Kayden tak kembali menyentuhnya. Kayden akhirnya berpaling, membuang wajah dan mengayunkan kakinya meninggalkan Liora. Tidak untuk masuk ke dalam rumah, tetapi utuk keluar.
Kayden tidak bergerak untuk lebih dari tiga puluh detik. Hanya matanya yang bertambah gelap sebelum akhirnya bibirnya terbuka. “Coba saja,” kata Kayden dengan nada bicara yang sama tenangnya. Jawaban yang membuat sepasang alis Leo berkerut mendengarnya, meraba mencari maksud dari kata ‘coba saja’ yang diucapkan dengan kearoganan itu. Kayden lalu beranjak, tetapi saat tubuhnya baru saja berpaling dari Leo, ia kembali menatap pemuda itu. “Kalau pun kamu bisa mengambil Liora dariku, belum tentu dia mau.” Setelah itu, Kayden benar-benar pergi. Ia meninggalkan gedung lokasi syuting The Flavor Lab, melewati lobi dan melihat sedan miliknya yang terparkir tak jauh dari sana. Kedatangannya dapat dilihat oleh Liora yang sedetik kemudian lalu berpaling, membiarkan pria itu masuk ke dalam mobil dan duduk di sampingnya sebelum meminta Evan yang menyusulnya masuk dan kini ada di balik kemudi untuk segera pergi. Tak ada percakapan yang terjadi di dalam sana. Liora bahkan enggan untuk menoleh
Kayden seperti mengabaikan pandangan orang-orang yang menyaksikannya menyeret Liora meninggalkan set syuting The Flavor Lab. Pria itu menghardiknya dengan menyebut Liora tak tahu malu setibanya di luar. Tangan besarnya yang semula melingkari lengan Liora terlepas teriring kalimat yang dilontarkannya dengan penuh amarah itu. “Tidak tahu malu?” ulang Liora atas ucapan Kayden. “Tidak tahu malu bagaimana maksudnya? Apa yang saya lakukan memangnya?” desak Liora tak ingin berdiam diri dengan disebut ‘memalukan’. “Masih bertanya?” balas Kayden setelah pria itu mendorong napasnya. “Apakah yang kamu lakukan di dalam tadi tidak membuatmu sadar kamu baru saja melakukan hal yang memalukan?!” “Tuan Kay—“ “Aku menahan diri sejak tadi untuk tidak begitu saja menyeretmu saat acaranya masih berlangsung,” potong Kayden. “Harusnya kamu berterima kasih ketimbang bersikap seperti ini!” Alis Liora berkerut penuh rasa bingung. Ia menatap Kayden cukup lama, meraba-raba kesalahan apa yang ia laku
“A-apa Anda melihat kami?” tanya Liora memastikan. Namun, Kayden tak menjawab. Hanya seulas seringai samar di salah satu sudut bibirnya yang terlihat dan itu membuat Liora tidak nyaman. “D-dia itu teman saya, Tuan Kayden. Dulu sebelum Anda menjadi presdir—“ “Tidak bisa,” potong Kayden yang membuat Liora urung menjelaskan apapun. “Apa yang tidak bisa?” “Datang ke acara Leo Nathan.” Kalimat itu menandakan dengan jelas bahwa Kayden sedang menolak mentah-mentah permohonannya. Liora memalingkan tatapannya dari Kayden. Kedua maniknya sedikit terangkat ke atas, bertanya dalam hati, ‘Bagaimana ini? Aku terlanjur menyanggupi Leo.’ “Kenapa saya tidak boleh datang?” tanya Liora, menatap Kayden kembali—setidaknya ia ingin tahu apa yang membuat Kayden melarangnya datang ke The Flavor Lab. “Hanya karena aku memperbolehkanmu melakukan pemotretan dengan majalah Hazed bukan berarti kamu bebas berkeliaran sesuka hatimu,” jawab Kayden. “Apalagi menjadi bintang tamu di acara orang lain.”