Mendengar penuturan pria itu membuat hati Liora tak karuan rasanya.
‘Dia tahu namaku?’ batin Liora penuh tanya.
Matanya bergoyang gugup, ia menatap pria gagah dalam balutan tuxedo itu, yang lengannya melingkari pinggangnya dengan erat.
Pria itu mengendus wajah Liora, menenggelamkan hidungnya ke telinganya, meninggalkan hangat napasnya yang membuat Liora bereaksi dan merespon.
“Kau ingin aku melakukan apa, Liora?” bisiknya kemudian menarik wajahnya dan menatap Liora.
Kedipan matanya yang lemah seolah lebih banyak meyakinkan Liora bahwa ia akan melakukan apapun untuknya malam ini.
“Peluk aku,” jawab Liora.
“Sepertinya tidak akan cukup hanya dengan sebuah pelukan.”
Liora bergeming, bibir gadis itu terbungkam rapat saat pria itu menunduk dan memberi kecupan di bibirnya.
Sekian detik sentuhan itu seperti telah menghancurkan jarak yang semula memisahkan mereka. Rasanya manis, seolah pria itu membawa serta hatinya dan memberi cinta pada Liora yang baru saja dikhianati.
Pria itu menciumnya sekali lagi, jika sebelumnya Liora mengatakan agar pria itu memeluknya saja dan tak menjawab kala ia menawarkan yang lebih, tapi sepertinya setelah merasakan betapa piawainya ia membuat Liora tenggelam dalam pagutan bibirnya telah mengajaknya berubah pikiran.
Entah pria itu bisa tahu atau tidak, tapi Liora telah tak bisa menahan dirinya lagi.
Ia menggigit bibir bawah pria itu, menarik-narik kerah kemejanya agar semakin dekat dengannya.
“Kau mau lebih dari ini, ‘kan?” tanya pria itu seraya menunduk di hadapannya, maniknya yang gelap menunggu jawaban hingga Liora mengangguk.
“Tapi biar aku perjelas—” katanya sebelum mereka benar-benar memulai sesuatu yang lain.
“Apa?”
“Kau tidak akan menyesalinya?”
Liora menggeleng, “Tidak, aku tidak akan menyesalinya.”
Pria itu mengangguk samar, tangannya yang besar menyisihkan rambut panjang Liora ke samping, menunjukkan bahunya yang cantik yang sebagian terbuka dari gaun off-shoulder yang tadi dikenakannya untuk pergi ke bar.
Pria itu mengecup lembut bahunya, menarik turun dress berwarna burgundy itu dan menanggalkannya ke lantai.
Sepasang matanya sesaat berhenti berkeliaran selain hanya mengagumi Liora. Tangan besarnya singgah di pinggang, menyelusup masuk dari balik pelindung dada Liora sehingga gadis itu mengerang.
“Hngh ….”
Liora menatapnya yang mensejajarkan pandangan, maniknya yang sekelam laut malam terlihat mempesona saat Liora merasakan kembali ciumannya.
Kali ini bukan hanya sekadar kecupan, tapi percikan api menyulut mengiringinya, manis dan sensual.
Liora menggapai kancing tuxedo pria itu, menguraikannya, melakukan hal yang sama pada dasi yang menjerat lehernya dan menarik lepas kemeja miliknya.
Liora mendapati tubuhnya yang atletis dan proporsional. Beberapa detik kemudian, dadanya yang bidang memerangkap Liora, menguncinya tak bisa bergerak, membuatnya berpasrah.
Wajahnya kembali memanas saat kulit mereka bersentuhan.
Tubuhnya perlahan terbakar, tetapi bukan dengan bara api.
Dalam ketidakberdayaan akibat sentuhan pria itu, Liora mulai kehilangan dirinya.
Desahannya terdengar saat pria itu menerobos kelembutan tubuhnya, air matanya mengalir saat pria bersurai hitam itu menyadari ini adalah pertama kali baginya dijamah oleh seorang pria.
“Ini pertama kalinya untukmu?” tanyanya.
Liora mengangguk, tak yakin gerakan kepalanya ini akan bisa dijumpai olehnya sebagai sebuah ‘iya’.
“Ahh—” Liora menggeliat, pinggangnya bergerak melawan rasa sakit yang ia terima pada inti tubuhnya yang seakan-akan terbagi menjadi dua.
“Aku akan berhenti kalau kau kesakitan,” bisik pria itu.
“Tidak, lanjutkan saja.”
Sudah cukup terlambat jika sekarang mereka harus mundur atau mendadak berhenti.
“Baiklah.”
Bibir Liora terbuka tanpa kata, gelenyar asing yang datang menghampiri tubuhnya perlahan menyisihkan kesakitan yang sebelumnya ia terima.
Rasanya seperti dibunuh oleh nikmat saat ia menyadari bahwa mungkin inilah yang dirasakan oleh Adrian dan Irina.
Liora melingkarkan kedua tangannya pada leher pria itu, meraba punggungnya yang polos dan bergerak liar di atas tubuhnya. Membiarkannya mengambil alih malamnya yang masih cukup panjang untuk dapat berakhir begitu saja ….
***
Liora mengerjapkan sepasang matanya dengan pelan. Samar-samar cahaya matahari yang masuk dari celah kelambu membuat alam bawah sadarnya memberi reaksi bahwa pagi telah datang.
Ia meraba kepalanya yang terasa sakit, dirasanya tubuhnya ini remuk dan keram. Ia hendak bangun dan menoleh ke belakang punggungnya yang terasa dingin.
Saat melakukan itu, jantungnya seakan berhenti berdetak saat menjumpai seorang pria yang tengah terlelap, berada di sana, pada satu ranjang yang sama dengannya.
‘Kayden?’ sebut Liora dengan gugup. ‘B-bukankah dia Kayden?’
Pria itu adalah Kayden Baldwin, paman mantannya.
‘Astaga! Apa yang terjadi semalam?’ Liora memekik dalam hati.Jeritan tertahan di tenggorokannya saat ia menegakkan punggungnya dan menutup mulutnya dengan sebelah tangannya.Maniknya terasa panas saat ia mengamati Kayden yang masih terlelap di atas ranjang hotel.Tak ada yang melindungi tubuh Liora selain selimut yang saat ini tengah mereka kenakan. Saat Liora memberanikan diri untuk melihat bagian tubuh pria itu—yang tertutup oleh selimut—ia pun memiliki situasi yang tak jauh beda dengan Liora.Dress burgundy yang semalam dikenakannya saat pergi ke bar telah tercecer di lantai. Tertumpuk dengan kemeja, vest, jas dan celana panjang milik Kayden yang tergeletak di sana.Liora mencoba meraba apa yang terjadi semalam. Ia meremas rambutnya saat mendapati ingatan tentang dirinya yang mabuk dan melarikan dari beberapa preman yang mengejarnya setelah membuat kekacauan di bar.Ingatan tentang wajah kebingungan Kayden yang bertanya ‘Apa yang kau lakukan’ saat Liora tiba-tiba masuk ke dalam mo
‘K-kenapa Kayden yang duduk di sana?’ batin Liora penuh rasa terkejut.Sebab seharusnya yang ada di kursi Presdir itu adalah Kakeknya Adrian, yang meski tak bisa dipungkiri beliau adalah ayahnya Kayden, Tuan Owen.Meski Kayden terlihat sangat mempesona dan cocok duduk di balik meja Presdir, tapi bukan pertemuan seperti ini yang Liora inginkan.Sekarang ia tahu dari mana wangi tak asing yang baru saja dihidunya itu. Dari tubuh Kayden, wangi bergamot pria itu.‘Bagaimana aku harus menghadapinya sekarang?’ gumamnya dalam hati, resah.Liora sejenak berdiri membeku di dekat pintu masuk, benaknya meminta agar sebaiknya ia mundur saja dan pergi dari sini. Tetapi sebelum sempat ia merencanakan hal itu lebih jauh, suara Kayden terdengar membalas sapaannya.“Selamat pagi, silakan duduk,” katanya. “Bukankah kamu ingin bertemu dan bicara denganku?”Liora memandang Freya yang mengisyaratkan agar ia duduk berseberangan meja dengan Kayden. Langkah kakinya yang semula percaya diri kini mendadak kebas
Liora terdiam cukup lama. Meski ia tahu semua yang dikatakan oleh Kayden itu sepenuhnya adalah kebenaran, tapi rasanya semua itu seperti sebuah penghinaan baginya.Napas Liora seakan berhenti di tenggorokan, harapan-harapan yang tadi sempat bergema di dalam hatinya bahwa setidaknya akan ada sedikit ‘keadilan’ setelah semalam hampir ditangkap oleh preman bayaran Adrian itu seketika sirna.Lagipula apa yang ia harapkan sekarang? Adrian adalah keponakannya, bukankah sebagai paman tentu Kayden akan membelanya sekalipun tahu Adrian yang bersalah?“Semakin cepat kamu meminta maaf, itu akan semakin baik,” ucap Kayden saat sepasang mata Liora telah berair. “Karena jika tidak, agensi bisa memutus kerja sama denganmu kapanpun, Liora Serenity!”“Putus saja!” jawab Liora tepat setelah Kayden selesai bicara. “Tidak banyak kerja sama yang kita lakukan. Jadi memutus kerja sama dengan saya bukanlah sesuatu yang sulit. Saya tidak akan meminta maaf karena Adrian memang bersalah,” tukasnya bersikeras pa
[Aktor Naik Daun Adrian Davis Berselingkuh dengan Adik Tiri Pacarnya, Foto-foto Panas Mereka Tersebar!][Puluhan Project Film dengan Aktor Adrian Davis Terancam Batal! Imbas Perselingkuhan?]Lewat ponselnya, Liora bisa membaca berita itu menyeruak memenuhi layar.Semakin malam, beritanya justru semakin ramai. Puluhan hingga ratusan judul membanjiri dunia maya.Di dalam sebuah bar, Liora duduk tanpa gairah. Sepasang matanya menatap penuh kebencian pada ponselnya yang ada di atas meja yang menunjukkan bahwa Adrian—pria dalam berita itu yang tak lain adalah mantan pacarnya—tengah menghubunginya.Saat Liora menerima panggilan tersebut, suara Adrian lantang menyentak dari seberang sana.“Katakan pada semua orang kalau aku tidak berselingkuh, Liora!”Seruannya membuat Liora dengan segera menjauhkan benda pipih itu dari samping telinga.“Kamu tuli? Kenapa tidak menjawab?!” hardik Adrian sekali lagi. “Kamu pikir akan aman setelah memperlakukan aku seperti ini? Tunggu saja, aku akan membalasmu
“Apa yang kau lakukan?!” tanya si pemilik mobil, seorang pria yang duduk di kursi penumpang bagian belakang dan terkejut kala Liora masuk ke dalam sana tanpa permisi.Untuk beberapa detik Liora melihatnya termangu—entah untuk apa karena itu tidak penting sekarang!“Tuan—” sebut Liora seraya merapatkan kedua tangannya. “Tolong saya, Tuan, saya mohon ….” pintanya mengiba. “Tolong bawa saya pergi dari sini karena kalau tidak saya akan dibunuh.”Ia menunduk, menggosokkan kedua tangannya di hadapan pria dalam balutan tuxedo-nya yang menatapnya dengan bingung.Pupil Liora bergerak gugup, ia tak tahu kapan ia akan bisa mengulur waktu untuk membujuk pria ini sebelum preman-preman bayaran itu menemukannya.“Bagaimana bisa aku mempercayaimu jika kau saja bau alkohol seperti ini?” tanya pria bersurai hitam rapi dan beraroma bergamot itu.“Apapun akan aku lakukan kalau Tuan bersedia menolongku,” jawab Liora agar ia yakin. “Please ….”Bibirnya tertekuk penuh keputusasaan saat ia melihat pria-pria
Liora terdiam cukup lama. Meski ia tahu semua yang dikatakan oleh Kayden itu sepenuhnya adalah kebenaran, tapi rasanya semua itu seperti sebuah penghinaan baginya.Napas Liora seakan berhenti di tenggorokan, harapan-harapan yang tadi sempat bergema di dalam hatinya bahwa setidaknya akan ada sedikit ‘keadilan’ setelah semalam hampir ditangkap oleh preman bayaran Adrian itu seketika sirna.Lagipula apa yang ia harapkan sekarang? Adrian adalah keponakannya, bukankah sebagai paman tentu Kayden akan membelanya sekalipun tahu Adrian yang bersalah?“Semakin cepat kamu meminta maaf, itu akan semakin baik,” ucap Kayden saat sepasang mata Liora telah berair. “Karena jika tidak, agensi bisa memutus kerja sama denganmu kapanpun, Liora Serenity!”“Putus saja!” jawab Liora tepat setelah Kayden selesai bicara. “Tidak banyak kerja sama yang kita lakukan. Jadi memutus kerja sama dengan saya bukanlah sesuatu yang sulit. Saya tidak akan meminta maaf karena Adrian memang bersalah,” tukasnya bersikeras pa
‘K-kenapa Kayden yang duduk di sana?’ batin Liora penuh rasa terkejut.Sebab seharusnya yang ada di kursi Presdir itu adalah Kakeknya Adrian, yang meski tak bisa dipungkiri beliau adalah ayahnya Kayden, Tuan Owen.Meski Kayden terlihat sangat mempesona dan cocok duduk di balik meja Presdir, tapi bukan pertemuan seperti ini yang Liora inginkan.Sekarang ia tahu dari mana wangi tak asing yang baru saja dihidunya itu. Dari tubuh Kayden, wangi bergamot pria itu.‘Bagaimana aku harus menghadapinya sekarang?’ gumamnya dalam hati, resah.Liora sejenak berdiri membeku di dekat pintu masuk, benaknya meminta agar sebaiknya ia mundur saja dan pergi dari sini. Tetapi sebelum sempat ia merencanakan hal itu lebih jauh, suara Kayden terdengar membalas sapaannya.“Selamat pagi, silakan duduk,” katanya. “Bukankah kamu ingin bertemu dan bicara denganku?”Liora memandang Freya yang mengisyaratkan agar ia duduk berseberangan meja dengan Kayden. Langkah kakinya yang semula percaya diri kini mendadak kebas
‘Astaga! Apa yang terjadi semalam?’ Liora memekik dalam hati.Jeritan tertahan di tenggorokannya saat ia menegakkan punggungnya dan menutup mulutnya dengan sebelah tangannya.Maniknya terasa panas saat ia mengamati Kayden yang masih terlelap di atas ranjang hotel.Tak ada yang melindungi tubuh Liora selain selimut yang saat ini tengah mereka kenakan. Saat Liora memberanikan diri untuk melihat bagian tubuh pria itu—yang tertutup oleh selimut—ia pun memiliki situasi yang tak jauh beda dengan Liora.Dress burgundy yang semalam dikenakannya saat pergi ke bar telah tercecer di lantai. Tertumpuk dengan kemeja, vest, jas dan celana panjang milik Kayden yang tergeletak di sana.Liora mencoba meraba apa yang terjadi semalam. Ia meremas rambutnya saat mendapati ingatan tentang dirinya yang mabuk dan melarikan dari beberapa preman yang mengejarnya setelah membuat kekacauan di bar.Ingatan tentang wajah kebingungan Kayden yang bertanya ‘Apa yang kau lakukan’ saat Liora tiba-tiba masuk ke dalam mo
Mendengar penuturan pria itu membuat hati Liora tak karuan rasanya. ‘Dia tahu namaku?’ batin Liora penuh tanya. Matanya bergoyang gugup, ia menatap pria gagah dalam balutan tuxedo itu, yang lengannya melingkari pinggangnya dengan erat. Pria itu mengendus wajah Liora, menenggelamkan hidungnya ke telinganya, meninggalkan hangat napasnya yang membuat Liora bereaksi dan merespon.“Kau ingin aku melakukan apa, Liora?” bisiknya kemudian menarik wajahnya dan menatap Liora.Kedipan matanya yang lemah seolah lebih banyak meyakinkan Liora bahwa ia akan melakukan apapun untuknya malam ini.“Peluk aku,” jawab Liora. “Sepertinya tidak akan cukup hanya dengan sebuah pelukan.”Liora bergeming, bibir gadis itu terbungkam rapat saat pria itu menunduk dan memberi kecupan di bibirnya.Sekian detik sentuhan itu seperti telah menghancurkan jarak yang semula memisahkan mereka. Rasanya manis, seolah pria itu membawa serta hatinya dan memberi cinta pada Liora yang baru saja dikhianati.Pria itu menciumny
“Apa yang kau lakukan?!” tanya si pemilik mobil, seorang pria yang duduk di kursi penumpang bagian belakang dan terkejut kala Liora masuk ke dalam sana tanpa permisi.Untuk beberapa detik Liora melihatnya termangu—entah untuk apa karena itu tidak penting sekarang!“Tuan—” sebut Liora seraya merapatkan kedua tangannya. “Tolong saya, Tuan, saya mohon ….” pintanya mengiba. “Tolong bawa saya pergi dari sini karena kalau tidak saya akan dibunuh.”Ia menunduk, menggosokkan kedua tangannya di hadapan pria dalam balutan tuxedo-nya yang menatapnya dengan bingung.Pupil Liora bergerak gugup, ia tak tahu kapan ia akan bisa mengulur waktu untuk membujuk pria ini sebelum preman-preman bayaran itu menemukannya.“Bagaimana bisa aku mempercayaimu jika kau saja bau alkohol seperti ini?” tanya pria bersurai hitam rapi dan beraroma bergamot itu.“Apapun akan aku lakukan kalau Tuan bersedia menolongku,” jawab Liora agar ia yakin. “Please ….”Bibirnya tertekuk penuh keputusasaan saat ia melihat pria-pria
[Aktor Naik Daun Adrian Davis Berselingkuh dengan Adik Tiri Pacarnya, Foto-foto Panas Mereka Tersebar!][Puluhan Project Film dengan Aktor Adrian Davis Terancam Batal! Imbas Perselingkuhan?]Lewat ponselnya, Liora bisa membaca berita itu menyeruak memenuhi layar.Semakin malam, beritanya justru semakin ramai. Puluhan hingga ratusan judul membanjiri dunia maya.Di dalam sebuah bar, Liora duduk tanpa gairah. Sepasang matanya menatap penuh kebencian pada ponselnya yang ada di atas meja yang menunjukkan bahwa Adrian—pria dalam berita itu yang tak lain adalah mantan pacarnya—tengah menghubunginya.Saat Liora menerima panggilan tersebut, suara Adrian lantang menyentak dari seberang sana.“Katakan pada semua orang kalau aku tidak berselingkuh, Liora!”Seruannya membuat Liora dengan segera menjauhkan benda pipih itu dari samping telinga.“Kamu tuli? Kenapa tidak menjawab?!” hardik Adrian sekali lagi. “Kamu pikir akan aman setelah memperlakukan aku seperti ini? Tunggu saja, aku akan membalasmu