Seisi ruangan yang semula diselimuti oleh ketegangan mendadak senyap. Perhatian semua orang kini mengarah pada Liora yang berdiri dan dirundung oleh kebimbangan.
“Saya tidak pernah menipu orang,” ucapnya. “Apalagi menggunakan obat terlarang, Pak. Itu semua tidak benar!” “Jika memang begitu, Anda bisa menjelaskannya nanti di kantor,” jawab seorang petugas yang berdiri paling depan. “Sekarang lebih baik Anda ikut dengan kami.” Entah cerita seperti apa yang dibuat dan dilaporkan oleh Adrian dan Irina hingga dapat mempermalukan Liora seperti ini. “Mari!” ucap pria berseragam itu sekali lagi. Kaki yang tadinya terpancang dengan lantai marmer tempat ia berpijak akhirnya terangkat. Langkahnya terasa berat kala ia mengikuti ke mana polisi menggiringnya keluar dari hall, sepasang netranya berkabut oleh air mata kala menyaksikan pandangan orang-orang yang menghakiminya. Dengus napas mereka, atau lirikan yang penuh kebencian mengantarnya pergi meninggalkan pintu berdaun dua tempat itu. Sudut matanya menyaksikan tatapan Kayden yang tampak membencinya. Bukankah Liora tak perlu lagi mempertanyakan apa alasannya? Jelas karena Liora telah merusak pesta penyambutannya. Sekeluarnya dari hall, puluhan wartawan yang berada di luar mengambil fotonya. Kilatan kamera saling sambung tanpa henti, menangkap momen dirinya yang tengah digiring masuk ke dalam mobil polisi. Puluhan pertanyaan dari mereka diabaikan oleh Liora, tak ada satu pun yang dijawabnya. “Liora!” panggil sebuah suara tak asing yang membuat Liora sedikit lega karena setidaknya ia tak akan sendirian malam ini. Freya, manajernya itu berlari kepadanya seraya bertanya dengan menggebu pada petugas polisi, “Kenapa Liora tiba-tiba ditangkap, Pak? Anda tidak salah melakukan ini?” “Kami tidak akan sembarangan menangkap orang, Bu,” jawab salah seorang dari mereka. “Jadi tolong bersikap kooperatif!” Freya mendorong napasnya dengan kasar saat berjalan mengikuti Liora, “Jangan khawatir, aku akan ikut denganmu, Liora.” Liora mengangguk samar, “Terima kasih, Frey,” ucapnya dengan suara yang gemetar. Ia menjumpai seorang pria yang berada cukup jauh di belakang kerumunan wartawan, berdiri di sana dengan senyum penuh kemenangan seakan ia telah mewujudkan apa yang pernah ia katakan pada Liora perihal ‘membalas dendam.’ Adrian, ekspresi mantan pacarnya itu lebih banyak mengatakan bahwa ini adalah awal kehancuran seorang Liora Serenity. ‘Jahat sekali kamu Adrian,’ batin Liora saat air matanya seperti tak bisa terbendung setibanya ia di dalam mobil polisi. Ketakutan menderanya, benaknya mulai memikirkan kemungkinan paling buruk, bagaimana jika setelah malam ini ia tak akan bisa menghirup kebebasan lagi? *** Setelah menjalani proses pemeriksaan berjam-jam yang menguras tenaga dan menunggu hasil tes urine serta tes darah keluar, Liora benar-benar berakhir mendekam di dalam penjara. Duduk di lantainya yang dingin dan memeluk tubuhnya sendiri yang menggigil. Freya hanya bisa menemaninya sebentar sebelum semalam Liora resmi ditetapkan sebagai tersangka pencemaran nama baik. Liora memikirkan bagaimana ibunya yang ada di rumah sakit jiwa jika ia terus di sini? Bagaimana kedepannya ia mengurus pengobatan sang Ibu? Keresahan menghantuinya sepanjang malam selagi ia yakin orang-orang yang tak suka padanya dan yang semalam melemparkan pandangan penuh kebencian saat ia digelandang polisi itu tengah berpesta di luar sana. Pagi ini setelah berusaha menelan makanan penjara yang hampir terasa hambar, Liora dibawa keluar dari balik sel sebab petugas mengatakan ia mendapatkan kunjungan. Ia lalu tiba di dalam sebuah ruangan di mana di dalam sana ia bisa melihat seorang pria dalam setelan jasnya. Tengah duduk bersedekap dan tatapan matanya yang tajam menyambut Liora masuk. Kayden. Seseorang yang mengunjunginya itu adalah Kayden. Meski bibirnya mengatup rapat dan tak ada kata yang keluar hingga Liora duduk berseberangan meja, tapi kediaman itu cukup membuat Liora merasa ciut. Perbedaan mereka bagai bumi dan langit, Kayden yang rapi dan menawan dalam balutan pakaian serba hitamnya sangat kontras dengan dirinya yang menyedihkan dalam baju tahanan. Keheningan memerangkap mereka hingga beberapa menit berlalu. Akhirnya, Liora lah memberanikan diri untuk lebih dulu membuka percakapan. “A-apa yang Tuan Kayden lakukan di sini?” tanya Liora dengan gugup. “Bukankah harusnya kamu berterima kasih karena ada orang yang datang menjengukmu?” balasnya dengan datar. Kalimatnya penuh kepedulian tetapi justru menusuk Liora dengan dingin dan kejam. “Terima kas—” “Aku datang untuk melihat orang yang semalam mengacaukan pestaku,” potong Kayden sebelum Liora selesai bicara. Liora menunduk, meremas jari-jarinya yang kebas di atas paha. Menelan rasa malu sebab apa yang dikatakan oleh Kayden itu adalah kebenaran. Bahwa memang dirinya mengacaukan pestanya semalam. “Maaf, Tuan Kayden.” Pria itu menyeringai, “Apa yang kamu rencanakan setelah ini, Liora?” tanyanya seraya menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. “Freya sedang mencari pengacara untuk dapat membantu saya.” “Aku bisa membantu untuk membebaskanmu dari sini,” sahut Kayden. “Tapi ada syaratnya.” “Syarat?” “Ya, syarat. Saat aku membantumu, kamu juga harus melakukan sesuatu untukku sebagai gantinya.” Rahang kecil Liora mengetat, ia putuskan ia akan mendengar syarat apa yang diajukan oleh Kayden agar ia bisa bebas dari sini. “Apa syaratnya, Tuan Kayden?” “Menikah denganku.”SHIK SHAK SHOCK 🤯 🤣 jangan lupa tinggalkan komentar ulasan like vote, tidak lupa Thor ucapkan terima kasih sudah membaca ya akak semua 🤗
“Menikah dengan Tuan Kayden?” ulang Liora dengan sepasang matanya yang membola, memastikan pada pria itu bahwa ia tak salah dengar. Untuk beberapa saat seolah jantungnya berhenti berdetak. Syarat yang diajukan oleh Kayden sangat mengejutkannya. Kayden mengangguk, “Seperti yang kamu dengar.” Liora terdiam, jari-jari tangannya kian kebas saat benaknya dipenuhi oleh tanya, ‘Apa yang dia inginkan sebenarnya?’ gumamnya dalam hati, dirundung kebingungan. Kenapa aneh sekali? Ia pikir selama ini Kayden membencinya dilihat dari sikapnya yang ketus, atau bagaimana tajamnya tatapan mata pria itu yang menunjukkan betapa tak sukanya ia pada Liora—bahkan hingga hari ini. ‘Jadi kenapa Kayden tiba-tiba meminta agar aku menikah dengannya?’ Liora masih berkutat dengan segala pikirannya, maniknya mencuri pandang pada pria yang menurutnya sangat aneh itu. Ia berusaha menjinakkan prasangkanya yang menjadi liar, tetapi rasanya tidak bisa. Semua ini terasa tidak nyata, dan aneh .... Liora menghel
Saat Liora dibawa kembali ke dalam sel-nya, gadis itu berkutat dengan pikirannya yang seperti benang kusut. Menunduk memandang tangannya yang terbelenggu di dalam borgol seperti ini membuatnya mau tak mau mengakui apa yang dikatakan Kayden adalah kebenaran, bahwa Liora tak memiliki pilihan mengingat ia memang ingin bebas. Selain itu, tak ada yang menjamin ibunya tetap dibiarkan untuk tetap berada di rumah sakit jiwa atau malah dikeluarkan dan ditelantarkan oleh Irina dan ibu tirinya yang jahat itu. Bukankah mereka juga bisa saja menyimpan dendam karena Liora telah melibatkan Irina dalam skandal perselingkuhan dengan Adrian kala itu dan melampiaskannya pada sang Ibu? Tetapi selain semua itu, ada hal lain yang mengganggu Liora. Jika ia menikah dengan Kayden, lantas bagaimana dengan Julia? Bukankah mereka telah bertunangan? ‘Apa sesuatu yang buruk terjadi pada mereka?’ batinnya menerka-nerka. ‘Atau memang Kayden memiliki tujuan lain yang tak ia ketahui?’ Dugaannya berubah menjadi li
Setelah menghabiskan malam yang tak terlalu dingin di dalam tahanan sebab Liora menggunakan selimut pemberian Freya sebagai alas tidur, pagi hari ini ia diminta untuk keluar dari sel. Keadaannya sedikit berbeda sebab tangannya tidak diborgol seperti sebelumnya. Di dalam ruang kunjung tahanan itu, ia menjumpai seorang pemuda yang dikenalnya sebagai Evan Lee, sekretaris Kayden. Pemuda itu tidak datang sendirian, melainkan bersama dengan seorang pengacara yang Liora tahu ia adalah pengacara terkenal, dan mahal—Pengacara Hans. Liora duduk berseberangan meja dengan mereka berdua setelah menundukkan kepalanya sebagai sapaan. “Tuan Kayden meminta saya untuk menangani kasus ini,” ucap Pengacara Hans pada Liora yang beberapa detik seperti menahan napas, menyadari Kayden benar-benar menepati apa yang ia katakan kemarin saat di telepon bahwa ia akan meminta Evan menjemputnya pagi ini. “Terima kasih,” jawab Liora dengan gugup. “Penahanan Anda ditangguhkan dengan jaminan dari Tuan Kayden seh
“Pergi ke sana? Untuk apa?” tanya Liora yang seketika membuat kedua bahu Kayden jatuh penuh rasa kesal. “Aku benci mengulangi kalimatku,” desis pria itu. “Tapi—” “Cepatlah!” potong Kayden tak peduli dengan apa hendak dikatakan oleh Liora. Liora menghela dalam napasnya saat batinnya memprotes, ‘Apa memang dia selalu bicara kasar seperti itu? Arogan sekali!’ Liora tak memiliki pilihan lain, sebelum tuan arogan itu kembali bicara dan membuatnya kembali sakit hati, ia segera mengambil cincin dari tangannya. Ia mengenakannya di jari manisnya dan pergi bersama dengan Kayden untuk menuju ke rumah orang tuanya. Sedan yang dikemudikan oleh Evan membelah sibuknya jalan raya pada jam kerja. Tidak ada yang berbicara selama itu hingga mereka memasuki sebuah halaman yang dilindungi oleh gerbangnya yang cukup tinggi. Kaki Liora terasa lemas, langkahnya gamang saat ia keluar dari mobil dan mengikuti ke mana Kayden membawanya. Masuk ke dalam rumah, menapaki setiap lantai marmernya, melewati r
“Kayden?!” seru Ibunya Kayden—Nyonya Rose—saat memanggil anak lelakinya itu. Beliau bangun dari duduknya dan menatap Kayden dengan pupilnya yang bergetar. “Omong kosong apa yang sedang kamu katakan ini, Kayden?!” tanya beliau masih sama menggebunya. “Ini bukan omong kosong, Ma,” jawab Kayden dengan tenang. “Aku memang sudah menikah dengan Liora. Jadi mulai hari ini aku dan Julia tidak memiliki hubungan lagi.” Tangan Liora yang ada di dalam genggaman Kayden terasa kebas, ia berdiri membeku kala menyadari situasi di dalam sana berubah menjadi tidak kondusif. Ibunya Julia terlihat menangis, meremas dadanya dan berusaha ditenangkan oleh sang suami tepat setelah Kayden mengatakan hubungannya dengan Julia telah berakhir. Liora bergeming, merasakan raganya yang seakan mengecil, terhimpit di antara sengketa keluarga yang tak ia ketahui duduk perkaranya—selain Kayden yang tiba-tiba membatalkan pernikahannya dengan Julia. Ia terkejut saat Julia menarik lengannya. Wajah gadis itu beruraian
Bibir Liora terpasung bisu untuk beberapa saat. Maniknya yang terkunci pandang dengan Kayden semakin terasa perih. Ia mengusap pipinya yang basah oleh air mata, mencoba untuk menata kata agar bisa menjawab pria di hadapannya ini. “Saya hanya ingin pergi sebentar untuk—” “Sebaiknya kamu mendengarku! Kamu tidak akan pergi ke manapun!” Liora mengepalkan kedua tangannya. Kayden benar-benar otoriter! Liora mengetahuinya sekarang. Apapun yang keluar dari bibir pria itu harus ditaatinya tanpa banyak pertanyaan. Ia tidak menerima alasan, apalagi dibantah. “Jangan berkeliaran atau wajahmu itu dilihat oleh orang lain dan menimbulkan berita buruk lainnya, Liora!” tekan Kayden, rahangnya yang mengetat seolah menegaskan bahwa peringatannya ini tidak main-main. “Saya tidak peduli orang-orang mengatakan hal buruk tentang saya.” “Tapi aku peduli,” sahut Kayden. “Orang di luar sana tahu kamu adalah model dari agensiku. Kamu tidak tahu berapa banyak uang yang aku keluarkan untuk meredam skan
Kayden tak menanggapi ujaran sang Ibu dan memilih untuk mempersilakan mereka agar duduk di ruang keluarga. “Kita duduk di ruang keluarga saja,” katanya. “Minta perempuan itu untuk ikut karena Mama ingin bicara dengannya, Kayden!” tunjuk Nyonya Rose pada Liora yang masih berdiri dan membawa mangkuk mie-nya dengan erat. Kayden menoleh kepadanya, gerakan kepalanya yang miring beberapa derajat ke kiri itu mengisyaratkan agar sebaiknya Liora meletakkan mangkuk tersebut dan ikut dengannya sekarang juga. Meski tahu ini akan menjadi percakapan yang menguras hati, Liora tidak memiliki pilihan lain untuk menolak. Ia mengikuti Kayden menuju ke ruang keluarga, duduk di samping Kayden dengan punggung yang terasa kaku sebab mata kedua orang tua pria itu memperhatikan tangannya dan tangan Kayden yang memiliki cincin pernikahan. “Apakah benar kalian sudah menikah?” tanya Tuan Owen membuka percakapan setelah salah seorang pelayan membawa keluar empat cangkir teh yang diletakkannya di atas m
“Lepas!” kata Liora. “Bisakah Anda tidak bersikap seolah-olah memiliki hidup saya seperti ini?!” tanyanya seraya menarik tangannya dengan kasar dari Kayden. Pria itu bangun dari duduknya, berdiri hanya beberapa jengkal dari Liora berada. Tawa lirihnya singgah di indera pendengar sebelum membalas, “Kalau kamu lupa, bukan aku yang masuk atau mengganggu hidupmu, tapi sebaliknya,” katanya, terkesan datar tetapi telah mengoyak hati Liora dengan luka susulan setelah ucapan dari Nyonya Rose. Ah—atau jangan-jangan … sifat Kayden yang arogan dan kasar ini menurun dari Ibunya? Bukankah itu sangat kentara? Kayden sama sekali tidak memiliki sikap Tuan Owen yang baik dan bijak. Pria di hadapannya ini adalah iblis! “Kamulah yang lebih dulu masuk ke hidupku. Kamulah yang memintaku menidurimu!” Kalimat itu menyentak Liora dan membuatnya semakin muak, “Seandainya saya bisa mengulang waktu, saya tidak akan pernah meminta bantuan pada Anda!” balas Liora, entah setinggi apa nada bicaranya sekarang
“A-apa Anda melihat kami?” tanya Liora memastikan. Namun, Kayden tak menjawab. Hanya seulas seringai samar di salah satu sudut bibirnya yang terlihat dan itu membuat Liora tidak nyaman. “D-dia itu teman saya, Tuan Kayden. Dulu sebelum Anda menjadi presdir—“ “Tidak bisa,” potong Kayden yang membuat Liora urung menjelaskan apapun. “Apa yang tidak bisa?” “Datang ke acara Leo Nathan.” Kalimat itu menandakan dengan jelas bahwa Kayden sedang menolak mentah-mentah permohonannya. Liora memalingkan tatapannya dari Kayden. Kedua maniknya sedikit terangkat ke atas, bertanya dalam hati, ‘Bagaimana ini? Aku terlanjur menyanggupi Leo.’ “Kenapa saya tidak boleh datang?” tanya Liora, menatap Kayden kembali—setidaknya ia ingin tahu apa yang membuat Kayden melarangnya datang ke The Flavor Lab. “Hanya karena aku memperbolehkanmu melakukan pemotretan dengan majalah Hazed bukan berarti kamu bebas berkeliaran sesuka hatimu,” jawab Kayden. “Apalagi menjadi bintang tamu di acara orang lain.”
Setelah meninggalkan kafe yang ia datangi, Liora kembali ke rumah Kayden. Tadinya Leo hendak mengantarnya tetapi Liora menolaknya dan lebih memilih untuk menggunakan taksi online. Di halaman rumah Kayden, Liora melihat pria itu ada di sana. Sedang menuruni undakan tangga di teras, tampak menawan dalam balutan kaos berkerah dan celana panjangnya yang bersih serta melihat kedatangan Liora dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan. Sadar dirinya melakukan sesuatu tanpa mendapatkan izin dari Kayden, Liora memilih untuk jujur ke mana ia pergi sebelum kembali ke rumah. “Tuan Kayden,” sebutnya dengan ragu-ragu saat pria itu mendekat. “Maaf saya tadi tidak langsung pulang karena mampir dulu ke—“ Belum sempat Liora menyelesaikan kalimatnya, Kayden berlalu pergi melewatinya begitu saja, mengabaikannya tanpa peduli akan apa yang akan dikatakan olehnya. Punggungnya menjauh, meninggalkan Liora yang meremas jari-jarinya, menelan kembali semua kalimat yang hampir saja keluar dari bibirnya.
“Iya ini aku Leo. Lama tidak bertemu, Liora,” ucap pemuda itu saat Liora masih bergeming dan meremas coffee cup miliknya. “Bagaimana kabarmu?” Baru setelah tanya itu terdengar, Liora sadar. Ia membalas senyum pemuda itu. Seorang pria yang sangat ia kenal dengan baik, Leo Nathan Henley. Dulu, Leo adalah kakak kelas Liora semasa di Sekolah Menengah Atas hingga kuliah. Ia, Freya dan Leo dulu bersahabat sebelum karir pemuda itu yang paling melejit sebagai seorang celebrity chef. Di bawah naungan satu agensi yang sama, di Evermore. Sekitar dua tahun belakangan Leo berkegiatan di luar negeri sembari melanjutkan study-nya. “B-baik,” jawab Liora akhirnya, mengikuti pandang ke mana Leo beranjak, duduk di sampingnya dengan membawa satu cup berisikan kopi seperti dirinya. “Senang bisa melihatmu lagi, Liora.” “Sejak kapan kamu pulang?” “Kemarin,” jawabnya. “Padahal aku masih berpikir bagaimana caranya aku bisa menemuimu, Liora. Tapi rasanya takdir sangat baik dengan membuat kita
“Julia? Apa yang kamu lakukan di sini?” balas Kayden setelah pria itu menghentikan langkah kakinya begitu juga dengan Liora yang berdiri di sampingnya. Julia tak serta-merta menjawabnya, gadis itu lebih dulu memindai Liora sebelum pandangannya berhenti pada Kayden. “Apa kamu dan Liora baru menginap di hotel?” tanya Julia balik alih-alih menjawab mantan pacarnya itu. “Ada pekerjaan yang harus diselesaikan,” jawabnya singkat. “Dengan Liora juga?” Kayden mengangguk sebagai sebuah pembenaran. “Aku juga sedang ada pekerjaan,” ujar Julia— menanggapi tanya dari Kayden perihal apa yang dilakukannya di sini. “Ada meeting dengan salah satu partner bisnis Papa. Beliau yang meminta. Kamu tahu ‘kan … aku bertanggung jawab atas beberapa proyek besar milik DN Construction.” DN Construction yang dikatakan oleh Julia itu adalah bisnis milik keluarganya. Sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang konstruksi. Cantik, elegan dan seorang wanita karir. Setidaknya seperti itu yang dipiki
“Tuan Kayden yang memintanya?” ulang Liora memastikan. Kedua matanya melebar penuh ketidakpercayaan menatap Annie yang justru tak menjawab setelahnya. Apakah ia salah dengar? Ataukah Annie yang barangkali salah berucap? Wanita paruh baya itu hanya tersenyum sebelum mengatakan, “Sebaiknya Nona menghabiskan makanannya. Obat yang Nona Liora minta tadi pagi juga sudah saya siapkan,” tuturnya seraya sekilas menunjuk ke atas nampan. “Dokter yang meresepkannya secara langsung.” “Apa Bu Annie mengatakan pada Tuan Kayden apa yang terjadi dengan punggungku?” balas Liora penuh selidik. Melihat senyum Annie yang tampak ganjil membuat Liora berpikir bahwa dugaannya itu benar. Mana mungkin Annie menyembunyikan apa yang dilihatnya? Bukankah sebagai orang yang bertanggung jawab atas keberlangsungan di rumah ini Annie tentu akan melaporkan segala sesuatu yang terjadi kepada si pemilik rumah? Lagi pula ... siapa yang bisa diam dan terbungkam dihadapkan pada mata mengintimidasi Kayden? Liora meng
“Bukan apa-apa,” jawab Liora sesegera mungkin. Ia memandang Annie, mengisyaratkan dengan matanya agar wanita paruh baya itu tak mengatakan apa yang ia lihat di punggungnya pada Kayden. Tatapan Kayden menelisik kala Liora mencuri pandang pada manik gelapnya. Alis lebat Kayden yang berkerut menandakan bahwa pria itu tahu Liora tengah berbohong. Diam yang ia suguhkan dan wajahnya yang tanpa ekspresi tetapi tegas itu membuat Liora seperti akan tersudut dan memilih untuk membuka mulut perihal apa yang ia bicarakan dengan Annie. Dan sebelum semakin terintimidasi, Liora memutuskan untuk pergi dari sana. Ia lekas berjalan, langkahnya gegas meninggalkan Kayden setelah ia menundukkan kepalanya. Tak ingin terlibat percakapan yang lebih jauh. Liora kembali ke dalam kamar. Menuju meja tempat di mana ia meletakkan botol minumannya di sana dan menarik lacinya. Berharap menemukan obat apapun—setidaknya agar demamnya ini mereda. Melihat obat untuk luka ada di dalam sana juga, ia memutus
“Tidak,” jawab Liora dengan segera, mencegah ada perdebatan lain di dalam ruangan yang perlahan menemukan kedamaian itu. “A-ada sesuatu yang tidak baik yang terjadi di studio tadi,” imbuh Liora. “Ada kecelakaan kecil yang membuat saya terluka. Tapi ini tidak parah, Tuan.” Apa jawaban itu benar? Liora meraba-raba dalam hati, melirik Kayden yang tampak tidak peduli dengan perkataannya. Liora anggap itu sebagai sebuah hal yang disetujui oleh Kayden karena pria itu tak bereaksi. Tuan Owen mengangguk mengerti, memutuskan tak memperpanjangnya sementara Liora lalu menutup mulutnya, tak akan bicara lagi. Sudut matanya memandang Kayden, yang tak seperti anggota keluarganya yang lain yang menyantap hidangan mereka, pria itu hanya memilih wine saja. “Kita sudah memiliki hidup kita masing-masing,” ucap Tuan Owen di sela bunyi garpu dan piring. “Jadi Papa harap tidak ada yang mencampuri urusan pribadi yang lainnya. Mari hidup damai di jalan masing-masing.” Tuan Owen kemudian menatap anak bun
‘Perempuan bekasnya?’ ulang Liora dalam hati usai sebutan Adrian terhadapnya. ‘Aku bahkan tidak pernah melakukan apapun dengannya,’ batinnya sekali lagi. Sebuah hal yang bagus karena selama berpacaran ia dan Adrian tidak melakukan sesuatu di luar batas. Seandainya mereka melakukan sesuatu seperti yang Adrian perbuat dengan Irina, bukankah bisa saja saat putus pemuda itu tak hanya menyebutnya sebagai ‘perempuan bekas’? Yang keluar dari bibirnya yang penuh dusta itu bisa saja ‘pelacur’ karena rela ditiduri berkali-kali. Setidaknya Liora selamat dari hal itu. Tenggorokannya terasa serak menyadari ketegangan yang hebat di dalam ruangan itu. Jemarinya yang saling menggenggam terasa kebas meredam amarah. Ia memberanikan diri untuk melirik Kayden yang tak serta-merta memberi tanggapan atas kalimat Adrian. Kayden juga tampak tidak tersulut dengan provokasi keponakannya itu. Pria itu menghadapinya dengan tenang, wajahnya tak banyak menunjukkan perubahan sebelum maniknya yang gel
Bunyi lampu yang pecah kala berbenturan dengan lantai bergema di setiap sisi ruangan, waktu seolah berhenti untuk beberapa detik hingga orang-orang menyadari Liora dan Kayden jatuh tersungkur sehingga mereka berseru dalam kepanikan dan memperkeruh keadaan. “Liora!” “Tuan Kayden!” Kerusuhan terjadi karena lampu-lampu itu saling mengenai satu sama lain, yang jika tadi Liora tak segera menarik Kayden, maka dua lampu LED besar itu bisa jatuh menimpanya—yang meski sekarang benda itu menimpa dirinya. “Akh—” Liora merintih saat merasakan punggungnya yang terkena lampu itu seakan remuk. Tangannya tergores, begitu juga dengan pipinya yang terasa perih. Pecahan dari lampu itu pasti telah mengenai wajahnya. Evan menyingkirkan lampu dari punggung Liora, membantu tuan dan nonanya itu bangun dan meminta keduanya untuk menyisih. “Maaf, Nona,” ucap Evan penuh rasa bersalah saat Liora meraba punggungnya. “Anda baik-baik saja?” Evan memindai tangan Liora yang terluka dan goresan-goresan kecil di