ini bab ke 3 ya, terima kasih sudah membaca, jangan lupa like vote share juga biar semua bisa membaca 🤗❤️🔥
Setelah meninggalkan kafe yang ia datangi, Liora kembali ke rumah Kayden. Tadinya Leo hendak mengantarnya tetapi Liora menolaknya dan lebih memilih untuk menggunakan taksi online. Di halaman rumah Kayden, Liora melihat pria itu ada di sana. Sedang menuruni undakan tangga di teras, tampak menawan dalam balutan kaos berkerah dan celana panjangnya yang bersih serta melihat kedatangan Liora dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan. Sadar dirinya melakukan sesuatu tanpa mendapatkan izin dari Kayden, Liora memilih untuk jujur ke mana ia pergi sebelum kembali ke rumah. “Tuan Kayden,” sebutnya dengan ragu-ragu saat pria itu mendekat. “Maaf saya tadi tidak langsung pulang karena mampir dulu ke—“ Belum sempat Liora menyelesaikan kalimatnya, Kayden berlalu pergi melewatinya begitu saja, mengabaikannya tanpa peduli akan apa yang akan dikatakan olehnya. Punggungnya menjauh, meninggalkan Liora yang meremas jari-jarinya, menelan kembali semua kalimat yang hampir saja keluar dari bibirnya.
“A-apa Anda melihat kami?” tanya Liora memastikan. Namun, Kayden tak menjawab. Hanya seulas seringai samar di salah satu sudut bibirnya yang terlihat dan itu membuat Liora tidak nyaman. “D-dia itu teman saya, Tuan Kayden. Dulu sebelum Anda menjadi presdir—“ “Tidak bisa,” potong Kayden yang membuat Liora urung menjelaskan apapun. “Apa yang tidak bisa?” “Datang ke acara Leo Nathan.” Kalimat itu menandakan dengan jelas bahwa Kayden sedang menolak mentah-mentah permohonannya. Liora memalingkan tatapannya dari Kayden. Kedua maniknya sedikit terangkat ke atas, bertanya dalam hati, ‘Bagaimana ini? Aku terlanjur menyanggupi Leo.’ “Kenapa saya tidak boleh datang?” tanya Liora, menatap Kayden kembali—setidaknya ia ingin tahu apa yang membuat Kayden melarangnya datang ke The Flavor Lab. “Hanya karena aku memperbolehkanmu melakukan pemotretan dengan majalah Hazed bukan berarti kamu bebas berkeliaran sesuka hatimu,” jawab Kayden. “Apalagi menjadi bintang tamu di acara orang lain.”
Kayden seperti mengabaikan pandangan orang-orang yang menyaksikannya menyeret Liora meninggalkan set syuting The Flavor Lab. Pria itu menghardiknya dengan menyebut Liora tak tahu malu setibanya di luar. Tangan besarnya yang semula melingkari lengan Liora terlepas teriring kalimat yang dilontarkannya dengan penuh amarah itu. “Tidak tahu malu?” ulang Liora atas ucapan Kayden. “Tidak tahu malu bagaimana maksudnya? Apa yang saya lakukan memangnya?” desak Liora tak ingin berdiam diri dengan disebut ‘memalukan’. “Masih bertanya?” balas Kayden setelah pria itu mendorong napasnya. “Apakah yang kamu lakukan di dalam tadi tidak membuatmu sadar kamu baru saja melakukan hal yang memalukan?!” “Tuan Kay—“ “Aku menahan diri sejak tadi untuk tidak begitu saja menyeretmu saat acaranya masih berlangsung,” potong Kayden. “Harusnya kamu berterima kasih ketimbang bersikap seperti ini!” Alis Liora berkerut penuh rasa bingung. Ia menatap Kayden cukup lama, meraba-raba kesalahan apa yang ia laku
Kayden tidak bergerak untuk lebih dari tiga puluh detik. Hanya matanya yang bertambah gelap sebelum akhirnya bibirnya terbuka. “Coba saja,” kata Kayden dengan nada bicara yang sama tenangnya. Jawaban yang membuat sepasang alis Leo berkerut mendengarnya, meraba mencari maksud dari kata ‘coba saja’ yang diucapkan dengan kearoganan itu. Kayden lalu beranjak, tetapi saat tubuhnya baru saja berpaling dari Leo, ia kembali menatap pemuda itu. “Kalau pun kamu bisa mengambil Liora dariku, belum tentu dia mau.” Setelah itu, Kayden benar-benar pergi. Ia meninggalkan gedung lokasi syuting The Flavor Lab, melewati lobi dan melihat sedan miliknya yang terparkir tak jauh dari sana. Kedatangannya dapat dilihat oleh Liora yang sedetik kemudian lalu berpaling, membiarkan pria itu masuk ke dalam mobil dan duduk di sampingnya sebelum meminta Evan yang menyusulnya masuk dan kini ada di balik kemudi untuk segera pergi. Tak ada percakapan yang terjadi di dalam sana. Liora bahkan enggan untuk menoleh
‘Miliknya,’ ulang Liora dalam hati. ‘Dia menganggap aku seperti barang.’ Tidak ada yang istimewa dengan sebutan itu. Kayden menganggapnya tak lebih dari wanita mata duitan yang ‘menjual jasa’ sebagai ‘istri kontrak’. Lalu Kayden menggunakannya sebagai alat balas dendam. Liora tak bisa menahan air mata, buliran bening jatuh bermuara di pipinya sebelum ia menarik napasnya dan memilih untuk tak memperpanjang semua ini. Menahan diri untuk tak melawan ego Kayden. “Kamu tahu di mana posisimu sekarang?” tanya Kayden dengan iris gelapnya yang masih tak berpaling. Liora mengangguk, samar tapi tatapannya berusaha meyakinkan. “Maaf,” katanya lirih. Baru setelah itulah Kayden melepasnya. Pria itu menarik tangan besarnya dari dagu kecil LIora, membuat gadis itu seketika mundur, memastikan jarak mereka cukup jauh agar Kayden tak kembali menyentuhnya. Kayden akhirnya berpaling, membuang wajah dan mengayunkan kakinya meninggalkan Liora. Tidak untuk masuk ke dalam rumah, tetapi utuk keluar.
Setelah semalam tak dianggap oleh Kayden, Liora menyerah untuk meminta bantuan dari pria itu. Hening yang disuguhkannya semalam seperti masih sangat membekas hingga pagi ini saat ia berjalan dengan lesu meninggalkan rumah. Berulang kali benaknya menggerutu, ‘Kalau tidak mau kenapa tidak mengatakannya saja dengan jelas?’ batinnya. ‘Kenapa diam dan membiarkan aku menunggunya seperti orang bodoh?’ Semalam itu sangat memalukan, ia bahkan masih ingat betapa panas wajahnya saat Kayden mengabaikannya. ‘Lupakan saja,’ batin Liora sekali lagi. ‘Tidak ada gunanya memikirkan Kayden iblis itu.’ Di depan gerbang rumah Kayden, ia menunggu taksi online yang telah dipesannya. Sebenarnya, sopir milik Kayden yang ada di rumah itu mengatakan agar ia mengantar ke mana Liora pergi, tapi ia menolak. Taksi itu akhirnya datang dan membawanya meninggalkan gerbang angkuh rumah Kayden. Lajunya cepat namun hati-hati mengikuti ke mana Liora memesannya, ke rumah sakit jiwa. Beberapa menit berlalu, Liora tiba
“T-Tuan Kayden?” sebut Liora dengan terbata. Merasakan nyawa yang seakan lepas dari raga sementara Leo yang berdiri di sampingnya bergerak tidak nyaman sembari mengulangi apa yang baru saja dikatakannya. “Tuan?” tanyanya berbalut kebingungan. Liora belum sepat memproses apa yang sekiranya bisa ia katakan sebelum Kayden menyalah pahami keberadaannya di sini bersama dengan Leo. Kayden tak menjawab sapaannya. Pria itu melangkah mendekat ke arahnya. Dengan bibir yang terbungkam, tangan besar miliknya itu meraih lengan Liora dan membawanya pergi dari samping Leo. Tanpa ada kata yang terucap, tapi iris gelapnya itu mengatakan, ‘Ayo pergi dari sini!’ dengan teramat lantang. “Liora!” panggil Leo saat Liora telah pontang-panting mengikuti langkah gegas kaki panjang Kayden. Ia tak sempat menoleh ke belakang, tidak tahu apakah Leo mengikutinya atau akan terpancang di koridor rumah sakit tempat ia berpijak. “Tuan Kayden?” panggil Liora sekali lagi, berharap pria itu mengatakan sepatah ata
Air matanya luruh, hatinya terasa sakit. Semua bagian di tubuhnya seperti sedang menerima luka menganga yang ditaburi oleh asam klorida. ‘Apa aku terlihat seperti itu di matanya?’ batin Liora saat menengadahkan wajahnya pada Kayden. Apa pria itu benar tak memiliki hati nurani sedikit saja untuk berpikir bahwa kepergiannya ke rumah sakit tanpanya itu juga karena Kayden menolaknya semalam?! “Hentikan!” jerit Liora saat tiba-tiba ia kehilangan keseimbangan tubuhnya. Benaknya yang berkecamuk itu membuatnya melewatkan apa yang telah dilakukan oleh Kayden hingga punggungnya bersinggungan di atas meja seperti ini—Kayden membuatnya berbaring tidak nyaman di sini. Sedang pria itu menunduk di atasnya, tatapannya sama gelapnya seperti saat ia menuduh Liora merayu Leo. “Tunjukkan padaku seperti apa kamu merayu Leo, Liora!” Liora memberontak melepaskan diri dari Kayden saat pria itu seperti kehilangan kendali. Sesuatu merasukinya, membuatnya berkali-kali lipat lebih jahat saat ia menyelusup
“Ahh—“Tangan kecil Liora meremas seprai yang ada di hadapannya saat Kayden bergerak mengantarkan sensasi berdebar yang memacu detak jantungnya lebih cepat.Batinnya bertanya ‘Apa saja yang sebenarnya aku dan Kayden lakukan di kamar hotel malam itu?’Hal seperti ini juga? Dengan posisi seperti ini?“Kamu menikmatinya, ‘kan?”Liora tidak menjawabnya. Ia hanya berharap agar cepat usai, sembari merutuki diri sendiri yang tak bisa melawan. Bibir pria itu tak bisa dihitungnya berapa kali memberi kecupan dan gigitan yang nantinya akan menjadi jejak kemerahan.Menit berlalu, deru napas mereka kian beradu. Liora bisa mendapati wajah pria itu saat mereka kembali seperti semula.Matanya terasa perih, kedua tangannya yang ada di atas kepala dan dicengkeram oleh sebelah tangan kekar Kayden pun demikian.Senyum janggal pria itu dijumpainya beberapa detik sebelum ia membebaskan tangan Liora.Tapi sebagai gantinya, Kayden meraih pinggang kecilnya, menariknya lebih dekat, lalu menenggelamkan wajah ru
Perlahan, Kayden menarik dirinya menjauh dari Liora. Gadis itu terdiam untuk beberapa saat, mengikuti pandang ke mana Kayden beranjak.Pria itu dilihatnya mundur dan duduk di tepi ranjang, duduk menunggunya agar melakukan apa yang ia mau—menanggalkan gaun tidurnya dan melakukan tugasnya sebagai istri.Liora hanya bergeming, tenggorokannya serak, napasnya seperti dibersamai oleh jelaga. Bekas ibu jari Kayden yang mengusap bibirnya menjadi dingin, berbanding terbalik dengan wajahnya yang memanas.“Aku benci mengulangi, Liora.”Ya … Liora pun tahu hal itu. Kayden tidak suka mengulangi kalimat yang telah ia katakan. Kayden juga tidak perlu menjelaskan bahwa yang dimintanya ini bukanlah sebuah kesalahan. Liora memang istrinya, dan ia yakin itu ada di perjanjian yang mereka sepakati.Liora menunduk, ia melepas luarannya, menanggalkan kain berwarna merah muda mutiara itu ke lantai. Begitu juga dengan gaun tidur yang disebutkan oleh Kayden sebelumnya.Ia telan semua rasa malu itu, satu hal s
“Untuk apa saya harus pergi ke kamar Anda?” taya Liora begitu Kayden selesai bicara.”“Kamu tidak mau?”“Saya—““Tidak perlu datang kalau begitu,” sela Kayden sebelum Liora menjelaskan apapun. “Maka dengan begitu besok aku akan benar-benar mengakhiri semuanya. Akan aku berikan padamu surat cerainya. Tidak ada biaya pengobatan untuk ibumu, tidak ada rumah dan uang yang aku janjikan seperti di surat perjanjian.”Kalimat Kayden membuat Liora membeku. Tubuhnya kebas, tak dapat merasakan apapun selain ketakutan yang menjalarinya dari ujung kaki.Matanya yang menatap Kayden lambat laun berair, perih tak terperi hingga air mata itu akhirnya bermuara.“Aku sudah selesai bicara, pulanglah sekarang!” ucap Kayden seolah tak mempedulikan pipinya yang basah.Liora memalingkan wajahnya, ia beringsut pergi dari hadapan Kayden saat pria itu meminta Evan untuk mengantarnya.“Antar dia pulang, Evan!”Pemuda tangan kanan Kayden itu turut beranjak, ia hendak mengikuti Liora sebelum jeritan Liora yang put
Setelah mendorong agar Evan Lee yang tubuhnya keras seperti batu itu untuk menyisih, Leo akhirnya berhasil menerobos pintu ruang presdir.Suara pintu yang terbuka dengan kasar pasti telah mengejutkan dua orang yang ada di dalam sana, yang membuat Leo miris memandang apa yang terjadi di hadapannya.Baik—itu memang urusan mereka berdua, urusan Liora dan Kayden karena memang mereka adalah suami dan istri.Tapi melihat gadis itu beruraian air mata dan berbaring tidak nyaman di atas meja dengan tatapan yang seolah meminta pertolongan membuat Leo merapatkan jari-jarinya.Dari keadaan benda-benda yang berserakan di lantai, dengan air mata Liora yang jatuh dan betapa mendominasinya Kayden, Leo menyimpulkan bahwa apa yang mereka lakukan itu tidak didasari oleh hati.Manik gelap Kayden yang menoleh saat Leo menyerukan namanya di ujung tanya telah menjelaskan bahwa pria itu dirundung amarah—meski tak dipungkiri dirinya pun juga seperti itu.“Liora,” sebut Leo seraya selangkah maju.Sementara Lio
Air matanya luruh, hatinya terasa sakit. Semua bagian di tubuhnya seperti sedang menerima luka menganga yang ditaburi oleh asam klorida. ‘Apa aku terlihat seperti itu di matanya?’ batin Liora saat menengadahkan wajahnya pada Kayden. Apa pria itu benar tak memiliki hati nurani sedikit saja untuk berpikir bahwa kepergiannya ke rumah sakit tanpanya itu juga karena Kayden menolaknya semalam?! “Hentikan!” jerit Liora saat tiba-tiba ia kehilangan keseimbangan tubuhnya. Benaknya yang berkecamuk itu membuatnya melewatkan apa yang telah dilakukan oleh Kayden hingga punggungnya bersinggungan di atas meja seperti ini—Kayden membuatnya berbaring tidak nyaman di sini. Sedang pria itu menunduk di atasnya, tatapannya sama gelapnya seperti saat ia menuduh Liora merayu Leo. “Tunjukkan padaku seperti apa kamu merayu Leo, Liora!” Liora memberontak melepaskan diri dari Kayden saat pria itu seperti kehilangan kendali. Sesuatu merasukinya, membuatnya berkali-kali lipat lebih jahat saat ia menyelusup
“T-Tuan Kayden?” sebut Liora dengan terbata. Merasakan nyawa yang seakan lepas dari raga sementara Leo yang berdiri di sampingnya bergerak tidak nyaman sembari mengulangi apa yang baru saja dikatakannya. “Tuan?” tanyanya berbalut kebingungan. Liora belum sepat memproses apa yang sekiranya bisa ia katakan sebelum Kayden menyalah pahami keberadaannya di sini bersama dengan Leo. Kayden tak menjawab sapaannya. Pria itu melangkah mendekat ke arahnya. Dengan bibir yang terbungkam, tangan besar miliknya itu meraih lengan Liora dan membawanya pergi dari samping Leo. Tanpa ada kata yang terucap, tapi iris gelapnya itu mengatakan, ‘Ayo pergi dari sini!’ dengan teramat lantang. “Liora!” panggil Leo saat Liora telah pontang-panting mengikuti langkah gegas kaki panjang Kayden. Ia tak sempat menoleh ke belakang, tidak tahu apakah Leo mengikutinya atau akan terpancang di koridor rumah sakit tempat ia berpijak. “Tuan Kayden?” panggil Liora sekali lagi, berharap pria itu mengatakan sepatah ata
Setelah semalam tak dianggap oleh Kayden, Liora menyerah untuk meminta bantuan dari pria itu. Hening yang disuguhkannya semalam seperti masih sangat membekas hingga pagi ini saat ia berjalan dengan lesu meninggalkan rumah. Berulang kali benaknya menggerutu, ‘Kalau tidak mau kenapa tidak mengatakannya saja dengan jelas?’ batinnya. ‘Kenapa diam dan membiarkan aku menunggunya seperti orang bodoh?’ Semalam itu sangat memalukan, ia bahkan masih ingat betapa panas wajahnya saat Kayden mengabaikannya. ‘Lupakan saja,’ batin Liora sekali lagi. ‘Tidak ada gunanya memikirkan Kayden iblis itu.’ Di depan gerbang rumah Kayden, ia menunggu taksi online yang telah dipesannya. Sebenarnya, sopir milik Kayden yang ada di rumah itu mengatakan agar ia mengantar ke mana Liora pergi, tapi ia menolak. Taksi itu akhirnya datang dan membawanya meninggalkan gerbang angkuh rumah Kayden. Lajunya cepat namun hati-hati mengikuti ke mana Liora memesannya, ke rumah sakit jiwa. Beberapa menit berlalu, Liora tiba
‘Miliknya,’ ulang Liora dalam hati. ‘Dia menganggap aku seperti barang.’ Tidak ada yang istimewa dengan sebutan itu. Kayden menganggapnya tak lebih dari wanita mata duitan yang ‘menjual jasa’ sebagai ‘istri kontrak’. Lalu Kayden menggunakannya sebagai alat balas dendam. Liora tak bisa menahan air mata, buliran bening jatuh bermuara di pipinya sebelum ia menarik napasnya dan memilih untuk tak memperpanjang semua ini. Menahan diri untuk tak melawan ego Kayden. “Kamu tahu di mana posisimu sekarang?” tanya Kayden dengan iris gelapnya yang masih tak berpaling. Liora mengangguk, samar tapi tatapannya berusaha meyakinkan. “Maaf,” katanya lirih. Baru setelah itulah Kayden melepasnya. Pria itu menarik tangan besarnya dari dagu kecil LIora, membuat gadis itu seketika mundur, memastikan jarak mereka cukup jauh agar Kayden tak kembali menyentuhnya. Kayden akhirnya berpaling, membuang wajah dan mengayunkan kakinya meninggalkan Liora. Tidak untuk masuk ke dalam rumah, tetapi utuk keluar.
Kayden tidak bergerak untuk lebih dari tiga puluh detik. Hanya matanya yang bertambah gelap sebelum akhirnya bibirnya terbuka. “Coba saja,” kata Kayden dengan nada bicara yang sama tenangnya. Jawaban yang membuat sepasang alis Leo berkerut mendengarnya, meraba mencari maksud dari kata ‘coba saja’ yang diucapkan dengan kearoganan itu. Kayden lalu beranjak, tetapi saat tubuhnya baru saja berpaling dari Leo, ia kembali menatap pemuda itu. “Kalau pun kamu bisa mengambil Liora dariku, belum tentu dia mau.” Setelah itu, Kayden benar-benar pergi. Ia meninggalkan gedung lokasi syuting The Flavor Lab, melewati lobi dan melihat sedan miliknya yang terparkir tak jauh dari sana. Kedatangannya dapat dilihat oleh Liora yang sedetik kemudian lalu berpaling, membiarkan pria itu masuk ke dalam mobil dan duduk di sampingnya sebelum meminta Evan yang menyusulnya masuk dan kini ada di balik kemudi untuk segera pergi. Tak ada percakapan yang terjadi di dalam sana. Liora bahkan enggan untuk menoleh