selamat datang di babak baru, bab-bab yang menguras hati dan mencairnya es batu nanti 🤭🤭
“Untuk apa saya harus pergi ke kamar Anda?” taya Liora begitu Kayden selesai bicara.” “Kamu tidak mau?” “Saya—“ “Tidak perlu datang kalau begitu,” sela Kayden sebelum Liora menjelaskan apapun. “Maka dengan begitu besok aku akan benar-benar mengakhiri semuanya. Akan aku berikan padamu surat cerainya. Tidak ada biaya pengobatan untuk ibumu, tidak ada rumah dan uang yang aku janjikan seperti di surat perjanjian.” Kalimat Kayden membuat Liora membeku. Tubuhnya kebas, tak dapat merasakan apapun selain ketakutan yang menjalarinya dari ujung kaki. Matanya yang menatap Kayden lambat laun berair, perih tak terperi hingga air mata itu akhirnya bermuara. “Aku sudah selesai bicara, pulanglah sekarang!” ucap Kayden seolah tak mempedulikan pipinya yang basah. Liora memalingkan wajahnya, ia beringsut pergi dari hadapan Kayden saat pria itu meminta Evan untuk mengantarnya. “Antar dia pulang, Evan!” Pemuda tangan kanan Kayden itu turut beranjak, ia hendak mengikuti Liora sebelum jeritan Liora
Perlahan, Kayden menarik dirinya menjauh dari Liora. Gadis itu terdiam untuk beberapa saat, mengikuti pandang ke mana Kayden beranjak. Pria itu dilihatnya mundur dan duduk di tepi ranjang, duduk menunggunya agar melakukan apa yang ia mau—menanggalkan gaun tidurnya dan melakukan tugasnya sebagai istri. Liora hanya bergeming, tenggorokannya serak, napasnya seperti dibersamai oleh jelaga. Bekas ibu jari Kayden yang mengusap bibirnya menjadi dingin, berbanding terbalik dengan wajahnya yang memanas. “Aku benci mengulangi, Liora.” Ya … Liora pun tahu hal itu. Kayden tidak suka mengulangi kalimat yang telah ia katakan. Kayden juga tidak perlu menjelaskan bahwa yang dimintanya ini bukanlah sebuah kesalahan. Liora memang istrinya, dan ia yakin itu ada di perjanjian yang mereka sepakati. Liora menunduk, ia melepas luarannya, menanggalkan kain berwarna merah muda mutiara itu ke lantai. Begitu juga dengan gaun tidur yang disebutkan oleh Kayden sebelumnya. Ia telan semua rasa malu it
“Ahh—“ Tangan kecil Liora meremas seprai yang ada di hadapannya saat Kayden bergerak mengantarkan sensasi berdebar yang memacu detak jantungnya lebih cepat. Batinnya bertanya ‘Apa saja yang sebenarnya aku dan Kayden lakukan di kamar hotel malam itu?’ Hal seperti ini juga? Dengan posisi seperti ini? “Kamu menikmatinya, ‘kan?” Liora tidak menjawabnya. Ia hanya berharap agar cepat usai, sembari merutuki diri sendiri yang tak bisa melawan. Bibir pria itu tak bisa dihitungnya berapa kali memberi kecupan dan gigitan yang nantinya akan menjadi jejak kemerahan. Menit berlalu, deru napas mereka kian beradu. Liora bisa mendapati wajah pria itu saat mereka kembali seperti semula. Matanya terasa perih, kedua tangannya yang ada di atas kepala dan dicengkeram oleh sebelah tangan kekar Kayden pun demikian. Senyum janggal pria itu dijumpainya beberapa detik sebelum ia membebaskan tangan Liora. Tapi sebagai gantinya, Kayden meraih pinggang kecilnya, menariknya lebih dekat, lalu meneng
Kayden pun meninggalkan teras tempat Liora duduk sebelumnya. Kaki panjangnya berayun menuju ke ruang makan di mana tak ada seorang pun di sana. Tidak ada Liora yang ia pikir masuk untuk menyantap kudapan paginya. Hanya Annie yang menyambutnya dengan menundukkan kepala. “Tuan ingin makan sesuatu yang lain?” tanya Annie saat Kayden menarik kursi dan duduk di sana. “Tidak, Bu Annie,” jawabnya. “Apa ….” Kayden terdiam, menggertakkan rahangnya sebelum melanjutkan kalimatnya yang terputus. “Apa Liora sudah makan?” Meski tak memandang wanita paruh baya itu, tapi Kayden bisa melihat gelengan samarnya. “Belum, Tuan. Beberapa saat terakhir ini Nona Liora saya rasa jarang makan selain hanya buah. Kalau pun Nona mau makan, itu dalam porsi yang sedikit saja.” Alis Kayden berkerut, garpu yang ia bawa untuk mengaduk salad di piringnya terasa lebih dingin ketimbang sebelumya. “Perhatikan dia!” ucap Kayden singkat sebelum menyuap makanan sehatnya. “Bujuk dia untuk makan juga setelah ini.”
Jelaga seketika memenuhi dada Julia. Ia bergeming, membeku mendengar Kayden mengatakan agar ia berhenti mengatakan hal buruk tentang Liora. Menatap manik Kayden yang gelap seperti laut pada tengah malam, Julia sepertinya telah kehilangan pria itu seutuhnya. Tak ada lagi Kayden Baldwin yang sama yang dulu dijumpainya menjadi seorang pria yang paling penyayang. “A-aku baru menyadari ini, Kayden,” ucap Julia dengan suara yang bergetar. Maniknya menghangat menelan rasa sesak. “Kamu ingin mengatakan kalau kamu membela Liora? Apa kenangan kita sudah benar-benar habis dari hatimu?” Tapi Kayden tiada menjawab. Pria itu hanya terus menatapnya dengan ekspresi yang tak berubah. Datar, dan tanpa emosi. “Untuk apa sebenarnya kamu melakukan ini?” tanya Julia kembali. “Maksudku—pernikahanmu dengan Liora itu. Untuk apa kamu melakukannya? Agar aku cemburu? Baik, aku sudah cemburu,” akunya. “Lalu apa lagi yang kamu butuhkan? Tidak bisakah kamu mengakhiri semua sandiwaramu dengan Liora? Aku lah yang
‘Bagaimana sekarang?’ batin Liora dilanda kebingungan. Tak mungkin Kayden mau bertanggung jawab karena Liora tahu pria itu sangat membencinya. Apalagi … pernikahan yang mereka lakukan ini hanyalah sebatas pernikahan kontrak. Mengingat perlakuan Kayden kepadanya, Liora pikir mungkin memilih untuk menyembunyikan kehamilan ini dari Kayden adalah keputusan yang benar. Ia hanya … masih belum memiliki keberanian untuk mengatakannya. Takut Kayden akan menuduhnya lebih jauh melakukan hal buruk. Semisal menuduh Liora tidur dengan Leo, menuduhnya berpura-pura hamil demi keuntungan, atau tuduhan buruk yang lainnya. ‘Sebaiknya aku rahasiakan,’ putusnya bulat. Akan ia pikirkan caranya nanti, bagaimana ia mengatakannya pada Kayden, dan mempersiapkan bukti seandainya pria itu tak mempercayainya. “Hukk—!” Liora berlari menuju ke closet, perutnya yang mual kembali bergejolak, ia muntah. Isi perutnya seperti akan terkuras habis, tubuhnya kebas saat ia berjalan meninggalkan closet dan m
Liora tak ingin menanggapinya. Meski terdengar menyakitkan, apa yang dikatakan oleh Julia itu benar. Memang ia tak tahu diri dan merusak semuanya. Rencana pernikahan Kayden dengan Julia, dan menjadi orang ketiga di antara mereka. ‘Tapi aku sungguh tidak tahu kalau saat itu Kayden masih belum putus dengan Julia,’ batin Liora, menghibur dirinya sendiri dari kalimat menyakitkan itu. Ia menghela dalam napasnya kemudian menunjukkan senyumnya yang pahit saat bertanya, “Ada perlu apa Nona Julia ke sini?” “Kenapa memangnya kalau Julia ke sini?” sahut suara wanita lain yang datang dari belakang Julia. Nyonya Rose, ibunya Kayden itu datang dengan kedua tangan yang bersedekap dan tawa yang terdengar muak. “Kenapa memangnya kalau Julia kesini?” ulang beliau sekali lagi. “Kamu tidak suka? Kamu melarang Julia?” Liora tidak tahu mengapa semua orang mendadak datang seperti ini. Padahal rumah ini baru saja berisikan kedamaian. Tapi apa itu damai? Tidak ada … damai adalah sebuah peristiwa semu d
Kayden baru saja keluar dari mobil sedan miliknya yang dikemudikan oleh Evan. Ia melonggarkan dasinya sementara Evan berjalan menyusul di belakangnya, menapaki setiap jengkal halaman luasnya yang bersih. “Tuan Kayden, jangan lupa file yang harus saya baca,” ucap Evan dari belakangnya. “Akan aku ambilkan,” jawab Kayden saat ia lebih dulu menaiki undakan tangga pada teras. “Baik.” “Tapi aku ingin menemui Liora dulu,” katanya. “Dia harus tahu kalau majalah yang ada dirinya itu memiliki penjualan yang bagus sejak hari pertama.” Evan mengangguk tak keberatan, meski matanya yang mengedip beberapa kali itu menandakan bahwa ia bingung dengan Kayden. ‘Mengatakan pada Liora’ ia bilang? Hm ... sepertinya itu sangat tidak cocok dikatakan oleh seorang Kayden Baldwin. Mereka terus melangkah, memasuki pintu rumah, Annie dan beberapa pelayan yang lain sudah menyambut kedatangannya. “Selamat sore, Tuan Kayden.” “Sore,” balasnya. “Liora di kamarnya?” “Iya, Tuan,” jawab Annie. “Baga
Sekarang Liora tahu mengapa set pemotretan itu terlihat aneh baginya.Karena saat Liora masuk tadi, sebuah ranjang besar dengan taburan bunga mawar merah disiapkan.Beberapa model pria dan wanita sudah bersiap di sana dan beberapa dari mereka juga menggunakan kain untuk menutupi tubuh mereka.Semua itu beralasan, ranjang itu adalah properti yang akan digunakan, seolah mereka adalah pasangan suami-istri.Selain lingerie, saat Liora mengedarkan pandangannya pada gantungan baju yang ada di sebelah kanannya, beberapa pakaian dalam dan bikini sudah disiapkan.‘Apa Freya juga tidak tahu soal ini?’ tanya Liora dalam hati, mendorong napasnya yang tiba-tiba terasa sesak.Tidak mungkin ‘kan temannya itu sengaja membawanya ke sini agar terjebak?Liora masih mencoba memikirkan hal yang baik pada Freya sebelum ia tak menemukan gadis itu di sudut manapun di dalam studio.Saat ia keluar dari ruang ganti, Freya lenyap, tak berjejak. Hanya ada fotografer dan orang-orang yang bekerja serta para model y
“Apa yang Anda lakukan di sini?” tanya Liora seiring langkah mundurnya, memastikan handuk yang dipakainya itu masih melekat erat di tubuhnya. ‘Sial!’ batin Liora saat ia menyadari bahwa handuk yang dikenakannya sore hari ini bukanlah handuk kimono, melainkan handuk lilit biasa yang melindunginya dari bawah leher hingga sebatas paha. Dan seolah tak terganggu dengan teriakan atau keterkejutan Liora, Kayden masih duduk dengan kaki ditumpuk menyilang di sana. Maniknya yang segelap kemejanya memindai Liora dari bawah hingga ke atas sebelum berhenti pada netranya yang bergoyang gugup. Entah apa arti pandangannya itu. Kayden seperti sedang menikmati apa yang dilihatnya dan malah sengaja membiarkan Liora berdiri kikuk. “Kenapa?” tanya Kayden dengan nada yang datar, tak mempedulikan piasnya wajah Liora menjumpai kemunculannya yang mendadak. “Melihat hantu?” “A-anda membuat saya terkejut,” jawab Liora, kembali mengambil langkah mundur saat Kayden berdiri. “Datang tidak mengetuk pintu, baga
Dari dalam ruang rawatnya, Liora melihat dua pria yang bertemu di luar itu seperti akan mengulangi baku hantam yang mereka lakukan seperti di ruang Presdir. Dan sebelum ada yang terluka—terutama Leo—Liora yang semula hanya berdiri tegang menatap dari jendela kemudian beringsut lari ke sana. Ia membuka pintunya, membuat Leo menoleh lebih dulu sementara Kayden hanya memandangnya melalui sudut mata. Liora memang tak mendengar apa yang sebelumnya mereka perdebatkan, tapi sepertinya itu sesuatu yang sama seperti yang terjadi di dalam ruang Presdir sebab saat Liora membuka pintunya tadi, beberapa kata bernada peringatan dari Kayden masih bisa ia tangkap. “Berhenti mencemaskan istri orang!”—Kurang lebih seperti itu. “Jangan bertengkar,” pinta Liora, menatap dua pria itu bergantian. Yang lebih berapi-api itu adalah Leo, seolah ada bara di matanya saat menatap Kayden dan menyudutkannya hingga nyaris membentur dinding. “Tolong jangan bertengkar,” ulang Liora sekali lagi. Leo mendengus sa
Jika kemarin Kayden seharian ada di rumah sakit, hari ini pria itu tidak tampak batang hidungnya sejak pagi. Saat Liora membuka mata, Kayden sudah tak terlihat. Tidak ada pesan yang ia tinggalkan selain sebuah paper bag berisikan toast dari brand terkenal yang ada di atas meja. Sewaktu perawat masuk dan memeriksanya, mereka mengatakan bahwa, ‘Seseorang yang diminta Tuan Kayden mengirimkan itu, Nona Liora. Kalau tidak salah namanya Pak Evan.’ Setelah mandi dan berganti pakaian—kali ini ia bisa melakukannya sendiri karena di tangannya tak lagi ada selang infus—Liora mengintip isi paper bag tersebut. Toast, sepertinya menu spesial. Yang saat ia melahapnya, rasanya sangat enak. Setelah beberapa hari tidak berselera makan, dengan toast yang dihabiskannya hingga tak bersisa pagi ini sepertinya ia telah menemukan gairahnya kembali. Ruangan menjadi tenang sejak tak ada Kayden di dalamnya—meski sebelumnya pun seperti itu karena mereka hanya berbincang sesekali. Mendekati sore hari,
‘Apa jawaban Kayden?’ Liora bertanya-tanya dalam hati karena ia tidak mendengar suara pria itu. Pandangannya temaram, telinganya berdengung saat kepalanya bertambah pening. Saat kesadaran seperti hampir hilang, Liora merasakan tubuhnya terangkat teriring suara Kayden yang mengatakan, “Berbaringlah ….” Kayden lah yang mengangkatnya. Tangan besar pria itu merengkuh pinggang Liora dan membuatnya berbaring di atas ranjang rawat. Liora melihat pria itu menekan tombol panggil perawat. Alis lebatnya sedikit berkerut, meski wajahnya tidak menunjukkan banyak perubahan, tapi entah kenapa Liora seperti menjumpai samar kekhawatiran dari sorot matanya. Di belakang Kayden, sosok Julia berdiri terpancang. Tangan gadis itu yang semula menggenggam tangan kiri Kayden pun tidak lagi demikian. Ia di sana, memandang Liora dengan matanya yang berair sebelum kembali memandang Kayden. “Kayden—“ “Aku tidak ada waktu, Julia!” potong Kayden tanpa menoleh ke arahnya. Tangan besar Kayden menarik selimut u
“Kayden!” jerit Nyonya Rose lantang. Liora yang berdiri di dekat Kayden terkejut dibuatnya. Bahunya menjengit, jantungnya seakan lepas. Gema suara Nyonya Rose seperti akan menghabisi apapun yang ada di hadapannya. Entah itu anak lelakinya yang kaku ini, atau bahkan … Liora. Liora satu jarak mundur, menahan napas memandangi muka merah Nyonya Rose. “Kenapa kamu jadi kurang ajar?!” tanya Nyonya Rose, matanya yang ada di bawah alis lebat itu memelotot. Sedang Kayden yang mendengar semua itu seperti sudah terbiasa. Ia masih terus menunjukkan wajah tenangnya saat mendorong napasnya dan mengembalikan tanya itu. “Bukankah dari dulu aku kurang ajar seperti ini?” “Tidak! Liora yang mempengaruhimu untuk menjadi seperti ini!” bantahnya. “Lihat, dia telah memberikan efek yang buruk untukmu! Memang wanita pembawa sial!” “MAMA!” Ketenangan bak bunga teratai yang sedari tadi dimiliki oleh Kayden mendadak lenyap. Sepertinya ia sudah jenuh dengan berbagai kalimatnya yang tak jelas mengarah ke ma
Setelah memikirkan semua itu, dadanya terasa sangat sesak. Julia membeku untuk lebih dari enam puluh detik dengan tidak melakukan apapun. Langkahnya seperti terantuk batu, ia telah pupus harapan agar bisa bersama dengan Kayden kembali. ‘Bagaimana sekarang?’ batinnya dilanda keresahan yang tak berpenghujung. Seorang Juliana Dean benar-benar tak bisa memiliki Kayden? ‘Lalu sekarang aku bagaimana?’ Haruskah ia melepas Kayden dan mencari cara lainnya? ‘Atau mengambil hatinya bagaimanapun caranya?’ Langit-langit lobi Evermore dan lampu chandelier-nya seakan jatuh menimpa kepalanya. Berat dan remuk, hatinya luluh lantak. Percakapan dengan diri sendiri itu berakhir saat ia mengayunkan kakinya pergi dari sana sembari memikirkan cara untuk mencegah hubungan Kayden dan Liora bergulir lebih jauh. Satu-satunya hal yang ia pikirkan adalah Nyonya Rose. Julia tahu betul bahwa ibunya Kayden itu sama sekali tak suka dengan Liora. Ia bisa memanfaatkan wanita itu, setidaknya itu yang bisa ia p
‘Mana mungkin? Mustahil!’ bantah Liora dalam hatinya habis-habisan! “B-bukankah semua manusia harus saling menyayangi?” tanggap Liora sekenanya. “Sebaiknya Papa tidak mengandaikan hal seperti itu!” sahut Kayden. Dengus napasnya terdengar berat sebelum ia satu jarak menjauh, kali ini membiarkan Liora berjalan melewatinya untuk bisa duduk di ranjang. “Selain meminta agar Liora menjaga kesehatan, Papa sendiri juga harus melakukan itu. Awas saja kalau tiba-tiba stroke!” Liora yang menyimak percakapan itu menggeleng mendengarnya, ‘Benar-benar hubungan yang buruk antara ayah dan anak,’ pikirnya. Tapi sepertinya Tuan Owen sudah terbiasa dengan sikap atau mulut kejam Kayden sehingga beliau hanya tersenyum. “Semoga nanti saat anakmu lahir tidak kejam seperti Kayden, Liora. Tapi lembut sepertimu,” ujar beliau, melemparkan seulas senyum, sekali lagi. “Tuan silakan duduk.” Liora mempersilakannya. “Tidak perlu, Papa hanya mampir untuk memastikan bahwa kamu baik-baik saja,” tolak Tuan Owen
‘Bukan soal aku suka atau tidak suka karena hamil anaknya,’ batin Liora. Yang ia pertanyakan adalah bagaimana mereka ke depannya. Sebab kehamilan ini adalah sesuatu yang terjadi di luar apa yang mereka sepakati di perjanjian. Ia menunduk, menghindari tetapan Kayden. Menata kata untuk memberi jawaban. Haruskah ia katakan ia tidak keberatan? ‘Apa jika aku katakan itu nanti Kayden akan mengatakan padanya juga apa rencana kita ke depannya?’ Ia menghela dalam napasnya. Ini seperti bergantung pada pengharapan yang tak ada kepastiannya. Maniknya yang semula tertunduk lalu kembali menatap Kayden. “Saya—“ Salah satu alis lebat Kayden terangkat. Tapi sebelum Liora sempat bicara lebih jauh, pintu ruang rawat terbuka. Saat Liora menoleh ke pintu berdaun dua itu, seorang perawat berseragam serba putih datang menghampiri keduanya. “Nona Liora mari ke ruang USG,” pintanya. “Tuan Kayden jika berkenan silakan ikut.” Tadinya Liora berpikir Kayden hanya akan bergeming dengan duduk di s