‘K-kenapa Kayden yang duduk di sana?’ batin Liora penuh rasa terkejut.
Sebab seharusnya yang ada di kursi Presdir itu adalah Kakeknya Adrian, yang meski tak bisa dipungkiri beliau adalah ayahnya Kayden, Tuan Owen.
Meski Kayden terlihat sangat mempesona dan cocok duduk di balik meja Presdir, tapi bukan pertemuan seperti ini yang Liora inginkan.
Sekarang ia tahu dari mana wangi tak asing yang baru saja dihidunya itu. Dari tubuh Kayden, wangi bergamot pria itu.
‘Bagaimana aku harus menghadapinya sekarang?’ gumamnya dalam hati, resah.
Liora sejenak berdiri membeku di dekat pintu masuk, benaknya meminta agar sebaiknya ia mundur saja dan pergi dari sini. Tetapi sebelum sempat ia merencanakan hal itu lebih jauh, suara Kayden terdengar membalas sapaannya.
“Selamat pagi, silakan duduk,” katanya. “Bukankah kamu ingin bertemu dan bicara denganku?”
Liora memandang Freya yang mengisyaratkan agar ia duduk berseberangan meja dengan Kayden. Langkah kakinya yang semula percaya diri kini mendadak kebas.
Apalagi saat ia baru duduk, ia mendengar Kayden berbicara pada Freya, meminta agar manajernya itu menunggunya di luar.
“Tolong tunggu kami di luar saja.”
“Baik, Tuan,” jawab Freya kemudian menundukkan kepalanya dengan sopan pada Kayden sebelum gadis itu pergi meninggalkan ruangan.
Mengabaikan isyarat mata Liora agar sebaiknya ia tetap berada di dalam. Menyisakan dirinya serta Kayden yang sepasang iris gelapnya membuatnya merasakan ruang geraknya menjadi terbatas.
Pria itu seolah mengurungnya dalam sekat-sekat tak kasat mata, membuat dadanya bergemuruh sehingga ia harus menunduk, merasakan ruangan yang terperangkap hening hingga bariton Kayden kembali singgah di indera pendengarnya.
“Kebetulan kamu ingin bicara denganku, ada beberapa hal yang memang ingin aku sampaikan,” kata pria itu, datar dan hampir terdengar enggan tetapi cukup untuk membuat Liora gugup. “Apa benar skandal yang terjadi sejak semalam itu perbuatanmu?”
Liora perlahan mengangkat wajahnya sehingga manik mereka bertemu. “S-saya hanya ingin semua orang tahu bahwa Adrian itu tidak sebaik yang terlihat di depan kamera,” jawab Liora, mengendalikan suaranya agar tidak gemetar.
“Tapi bukan seperti itu caranya seorang pekerja seni bersikap, Liora. Itu sangat tidak profesional,” tegurnya. “Jika memang kamu memiliki masalah dengan Adrian, kamu harusnya menyelesaikannya sendiri dengannya tanpa harus membuat sesuatu yang menimbulkan skandal besar seperti ini.”
Liora terdiam, ia kembali menunduk dan meremas jari-jarinya yang ada di atas paha.
Dalam hati ia sangat menyesal mengapa tadi memiliki niat untuk mengadu pada Presdir. Jika tahu pria yang akan dihadapinya adalah Kayden, Liora tak akan berpikiran bertatap muka dengan pria itu lagi.
“Apakah kamu berlari padaku semalam karena tahu aku adalah Presdir baru di Evermore?” tanya Kayden, membuat wajah tertunduk Liora kembali terangkat.
“Tidak,” jawabnya sebagai sangkalan. “Saya berlari pada Anda semalam karena saya dikejar-kejar oleh preman bayarannya Adrian, bukankah Anda juga melihat para pria itu?”
Kayden mendorong napasnya dengan enggan sebelum ia sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan.
“Aku tidak ingin mendengar ada skandal lagi besok,” katanya dengan tegas. “Agensi tidak ingin mengalami kerugian, jadi sebaiknya kamu meminta maaf pada Adrian atas skandal itu dan mengatakan pada semua orang bahwa kamu menyesal atas kegaduhan yang kamu buat.”
Tanpa hati! Sosoknya sangat jauh berbeda dengan Tuan Owen yang dikenal oleh Liora selalu mengayomi. Kayden adalah pria yang kejam dan terkesan tidak bisa dibantah.
“Saya tidak mau,” jawab Liora akhirnya. “Saya tidak bersalah dalam hal ini dan memang Adrian berselingkuh. Jadi kenapa saya yang harus meminta maaf?”
“Apa kamu masih belum mengerti situasinya?” tanya pria itu, rahangnya yang tegas mengetat sementara matanya mengarah lurus pada Liora, mengintimidasi.
“Sebaiknya kamu sadar!” ucapnya kembali. “Adrian jauh lebih berpengaruh di sini ketimbang dirimu. Agensi tidak akan menyesal kehilangan kamu, tapi kami akan rugi besar jika kehilangan Adrian!”
Liora terdiam cukup lama. Meski ia tahu semua yang dikatakan oleh Kayden itu sepenuhnya adalah kebenaran, tapi rasanya semua itu seperti sebuah penghinaan baginya.Napas Liora seakan berhenti di tenggorokan, harapan-harapan yang tadi sempat bergema di dalam hatinya bahwa setidaknya akan ada sedikit ‘keadilan’ setelah semalam hampir ditangkap oleh preman bayaran Adrian itu seketika sirna.Lagipula apa yang ia harapkan sekarang? Adrian adalah keponakannya, bukankah sebagai paman tentu Kayden akan membelanya sekalipun tahu Adrian yang bersalah?“Semakin cepat kamu meminta maaf, itu akan semakin baik,” ucap Kayden saat sepasang mata Liora telah berair. “Karena jika tidak, agensi bisa memutus kerja sama denganmu kapanpun, Liora Serenity!”“Putus saja!” jawab Liora tepat setelah Kayden selesai bicara. “Tidak banyak kerja sama yang kita lakukan. Jadi memutus kerja sama dengan saya bukanlah sesuatu yang sulit. Saya tidak akan meminta maaf karena Adrian memang bersalah,” tukasnya bersikeras pa
‘Artinya malam itu aku tidur dengan calon suami orang?’ batin Liora tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Ia baru tahu jika Kayden sudah bertunangan, ia pikir pria itu masih betah melajang dan menikmati hidupnya sebagai seorang pewaris kaya raya. Liora menghela dalam napasnya saat ia mengingat apa yang pernah ia katakan pada Kayden kala itu. ‘Semalam yang kita lakukan itu tidak berarti apapun bagi saya’ yang ia tuturkan pada pertemuan mereka rasanya telah menamparnya dengan kenyataan pahit. Karena kemungkinan besar, dirinyalah yang lebih tak ada artinya bagi seorang Kayden Baldwin. Liora hendak beranjak pergi dari sana dan mencari tempat yang lebih jauh agar tak perlu menyapa Kayden dan tunangannya itu. Namun, lamunan sesaat itu membuat Liora melewatkan saat-saat di mana Kayden dan sang tunangannya dalam balutan gaun merah muda itu mendekat. Tak bisa dipungkiri bahwa Kayden dan gadis itu sangat serasi. Dua orang itu tiba-tiba saja sudah berdiri di hadapannya dan membuat Lio
Seisi ruangan yang semula diselimuti oleh ketegangan mendadak senyap. Perhatian semua orang kini mengarah pada Liora yang berdiri dan dirundung oleh kebimbangan. “Saya tidak pernah menipu orang,” ucapnya. “Apalagi menggunakan obat terlarang, Pak. Itu semua tidak benar!” “Jika memang begitu, Anda bisa menjelaskannya nanti di kantor,” jawab seorang petugas yang berdiri paling depan. “Sekarang lebih baik Anda ikut dengan kami.” Entah cerita seperti apa yang dibuat dan dilaporkan oleh Adrian dan Irina hingga dapat mempermalukan Liora seperti ini. “Mari!” ucap pria berseragam itu sekali lagi. Kaki yang tadinya terpancang dengan lantai marmer tempat ia berpijak akhirnya terangkat. Langkahnya terasa berat kala ia mengikuti ke mana polisi menggiringnya keluar dari hall, sepasang netranya berkabut oleh air mata kala menyaksikan pandangan orang-orang yang menghakiminya. Dengus napas mereka, atau lirikan yang penuh kebencian mengantarnya pergi meninggalkan pintu berdaun dua tempat i
“Menikah dengan Tuan Kayden?” ulang Liora dengan sepasang matanya yang membola, memastikan pada pria itu bahwa ia tak salah dengar. Untuk beberapa saat seolah jantungnya berhenti berdetak. Syarat yang diajukan oleh Kayden sangat mengejutkannya. Kayden mengangguk, “Seperti yang kamu dengar.” Liora terdiam, jari-jari tangannya kian kebas saat benaknya dipenuhi oleh tanya, ‘Apa yang dia inginkan sebenarnya?’ gumamnya dalam hati, dirundung kebingungan. Kenapa aneh sekali? Ia pikir selama ini Kayden membencinya dilihat dari sikapnya yang ketus, atau bagaimana tajamnya tatapan mata pria itu yang menunjukkan betapa tak sukanya ia pada Liora—bahkan hingga hari ini. ‘Jadi kenapa Kayden tiba-tiba meminta agar aku menikah dengannya?’ Liora masih berkutat dengan segala pikirannya, maniknya mencuri pandang pada pria yang menurutnya sangat aneh itu. Ia berusaha menjinakkan prasangkanya yang menjadi liar, tetapi rasanya tidak bisa. Semua ini terasa tidak nyata, dan aneh .... Liora menghel
Saat Liora dibawa kembali ke dalam sel-nya, gadis itu berkutat dengan pikirannya yang seperti benang kusut. Menunduk memandang tangannya yang terbelenggu di dalam borgol seperti ini membuatnya mau tak mau mengakui apa yang dikatakan Kayden adalah kebenaran, bahwa Liora tak memiliki pilihan mengingat ia memang ingin bebas. Selain itu, tak ada yang menjamin ibunya tetap dibiarkan untuk tetap berada di rumah sakit jiwa atau malah dikeluarkan dan ditelantarkan oleh Irina dan ibu tirinya yang jahat itu. Bukankah mereka juga bisa saja menyimpan dendam karena Liora telah melibatkan Irina dalam skandal perselingkuhan dengan Adrian kala itu dan melampiaskannya pada sang Ibu? Tetapi selain semua itu, ada hal lain yang mengganggu Liora. Jika ia menikah dengan Kayden, lantas bagaimana dengan Julia? Bukankah mereka telah bertunangan? ‘Apa sesuatu yang buruk terjadi pada mereka?’ batinnya menerka-nerka. ‘Atau memang Kayden memiliki tujuan lain yang tak ia ketahui?’ Dugaannya berubah menjadi li
Setelah menghabiskan malam yang tak terlalu dingin di dalam tahanan sebab Liora menggunakan selimut pemberian Freya sebagai alas tidur, pagi hari ini ia diminta untuk keluar dari sel. Keadaannya sedikit berbeda sebab tangannya tidak diborgol seperti sebelumnya. Di dalam ruang kunjung tahanan itu, ia menjumpai seorang pemuda yang dikenalnya sebagai Evan Lee, sekretaris Kayden. Pemuda itu tidak datang sendirian, melainkan bersama dengan seorang pengacara yang Liora tahu ia adalah pengacara terkenal, dan mahal—Pengacara Hans. Liora duduk berseberangan meja dengan mereka berdua setelah menundukkan kepalanya sebagai sapaan. “Tuan Kayden meminta saya untuk menangani kasus ini,” ucap Pengacara Hans pada Liora yang beberapa detik seperti menahan napas, menyadari Kayden benar-benar menepati apa yang ia katakan kemarin saat di telepon bahwa ia akan meminta Evan menjemputnya pagi ini. “Terima kasih,” jawab Liora dengan gugup. “Penahanan Anda ditangguhkan dengan jaminan dari Tuan Kayden seh
“Pergi ke sana? Untuk apa?” tanya Liora yang seketika membuat kedua bahu Kayden jatuh penuh rasa kesal. “Aku benci mengulangi kalimatku,” desis pria itu. “Tapi—” “Cepatlah!” potong Kayden tak peduli dengan apa hendak dikatakan oleh Liora. Liora menghela dalam napasnya saat batinnya memprotes, ‘Apa memang dia selalu bicara kasar seperti itu? Arogan sekali!’ Liora tak memiliki pilihan lain, sebelum tuan arogan itu kembali bicara dan membuatnya kembali sakit hati, ia segera mengambil cincin dari tangannya. Ia mengenakannya di jari manisnya dan pergi bersama dengan Kayden untuk menuju ke rumah orang tuanya. Sedan yang dikemudikan oleh Evan membelah sibuknya jalan raya pada jam kerja. Tidak ada yang berbicara selama itu hingga mereka memasuki sebuah halaman yang dilindungi oleh gerbangnya yang cukup tinggi. Kaki Liora terasa lemas, langkahnya gamang saat ia keluar dari mobil dan mengikuti ke mana Kayden membawanya. Masuk ke dalam rumah, menapaki setiap lantai marmernya, melewati r
“Kayden?!” seru Ibunya Kayden—Nyonya Rose—saat memanggil anak lelakinya itu. Beliau bangun dari duduknya dan menatap Kayden dengan pupilnya yang bergetar. “Omong kosong apa yang sedang kamu katakan ini, Kayden?!” tanya beliau masih sama menggebunya. “Ini bukan omong kosong, Ma,” jawab Kayden dengan tenang. “Aku memang sudah menikah dengan Liora. Jadi mulai hari ini aku dan Julia tidak memiliki hubungan lagi.” Tangan Liora yang ada di dalam genggaman Kayden terasa kebas, ia berdiri membeku kala menyadari situasi di dalam sana berubah menjadi tidak kondusif. Ibunya Julia terlihat menangis, meremas dadanya dan berusaha ditenangkan oleh sang suami tepat setelah Kayden mengatakan hubungannya dengan Julia telah berakhir. Liora bergeming, merasakan raganya yang seakan mengecil, terhimpit di antara sengketa keluarga yang tak ia ketahui duduk perkaranya—selain Kayden yang tiba-tiba membatalkan pernikahannya dengan Julia. Ia terkejut saat Julia menarik lengannya. Wajah gadis itu beruraian
“A-apa Anda melihat kami?” tanya Liora memastikan. Namun, Kayden tak menjawab. Hanya seulas seringai samar di salah satu sudut bibirnya yang terlihat dan itu membuat Liora tidak nyaman. “D-dia itu teman saya, Tuan Kayden. Dulu sebelum Anda menjadi presdir—“ “Tidak bisa,” potong Kayden yang membuat Liora urung menjelaskan apapun. “Apa yang tidak bisa?” “Datang ke acara Leo Nathan.” Kalimat itu menandakan dengan jelas bahwa Kayden sedang menolak mentah-mentah permohonannya. Liora memalingkan tatapannya dari Kayden. Kedua maniknya sedikit terangkat ke atas, bertanya dalam hati, ‘Bagaimana ini? Aku terlanjur menyanggupi Leo.’ “Kenapa saya tidak boleh datang?” tanya Liora, menatap Kayden kembali—setidaknya ia ingin tahu apa yang membuat Kayden melarangnya datang ke The Flavor Lab. “Hanya karena aku memperbolehkanmu melakukan pemotretan dengan majalah Hazed bukan berarti kamu bebas berkeliaran sesuka hatimu,” jawab Kayden. “Apalagi menjadi bintang tamu di acara orang lain.”
Setelah meninggalkan kafe yang ia datangi, Liora kembali ke rumah Kayden. Tadinya Leo hendak mengantarnya tetapi Liora menolaknya dan lebih memilih untuk menggunakan taksi online. Di halaman rumah Kayden, Liora melihat pria itu ada di sana. Sedang menuruni undakan tangga di teras, tampak menawan dalam balutan kaos berkerah dan celana panjangnya yang bersih serta melihat kedatangan Liora dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan. Sadar dirinya melakukan sesuatu tanpa mendapatkan izin dari Kayden, Liora memilih untuk jujur ke mana ia pergi sebelum kembali ke rumah. “Tuan Kayden,” sebutnya dengan ragu-ragu saat pria itu mendekat. “Maaf saya tadi tidak langsung pulang karena mampir dulu ke—“ Belum sempat Liora menyelesaikan kalimatnya, Kayden berlalu pergi melewatinya begitu saja, mengabaikannya tanpa peduli akan apa yang akan dikatakan olehnya. Punggungnya menjauh, meninggalkan Liora yang meremas jari-jarinya, menelan kembali semua kalimat yang hampir saja keluar dari bibirnya.
“Iya ini aku Leo. Lama tidak bertemu, Liora,” ucap pemuda itu saat Liora masih bergeming dan meremas coffee cup miliknya. “Bagaimana kabarmu?” Baru setelah tanya itu terdengar, Liora sadar. Ia membalas senyum pemuda itu. Seorang pria yang sangat ia kenal dengan baik, Leo Nathan Henley. Dulu, Leo adalah kakak kelas Liora semasa di Sekolah Menengah Atas hingga kuliah. Ia, Freya dan Leo dulu bersahabat sebelum karir pemuda itu yang paling melejit sebagai seorang celebrity chef. Di bawah naungan satu agensi yang sama, di Evermore. Sekitar dua tahun belakangan Leo berkegiatan di luar negeri sembari melanjutkan study-nya. “B-baik,” jawab Liora akhirnya, mengikuti pandang ke mana Leo beranjak, duduk di sampingnya dengan membawa satu cup berisikan kopi seperti dirinya. “Senang bisa melihatmu lagi, Liora.” “Sejak kapan kamu pulang?” “Kemarin,” jawabnya. “Padahal aku masih berpikir bagaimana caranya aku bisa menemuimu, Liora. Tapi rasanya takdir sangat baik dengan membuat kita
“Julia? Apa yang kamu lakukan di sini?” balas Kayden setelah pria itu menghentikan langkah kakinya begitu juga dengan Liora yang berdiri di sampingnya. Julia tak serta-merta menjawabnya, gadis itu lebih dulu memindai Liora sebelum pandangannya berhenti pada Kayden. “Apa kamu dan Liora baru menginap di hotel?” tanya Julia balik alih-alih menjawab mantan pacarnya itu. “Ada pekerjaan yang harus diselesaikan,” jawabnya singkat. “Dengan Liora juga?” Kayden mengangguk sebagai sebuah pembenaran. “Aku juga sedang ada pekerjaan,” ujar Julia— menanggapi tanya dari Kayden perihal apa yang dilakukannya di sini. “Ada meeting dengan salah satu partner bisnis Papa. Beliau yang meminta. Kamu tahu ‘kan … aku bertanggung jawab atas beberapa proyek besar milik DN Construction.” DN Construction yang dikatakan oleh Julia itu adalah bisnis milik keluarganya. Sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang konstruksi. Cantik, elegan dan seorang wanita karir. Setidaknya seperti itu yang dipiki
“Tuan Kayden yang memintanya?” ulang Liora memastikan. Kedua matanya melebar penuh ketidakpercayaan menatap Annie yang justru tak menjawab setelahnya. Apakah ia salah dengar? Ataukah Annie yang barangkali salah berucap? Wanita paruh baya itu hanya tersenyum sebelum mengatakan, “Sebaiknya Nona menghabiskan makanannya. Obat yang Nona Liora minta tadi pagi juga sudah saya siapkan,” tuturnya seraya sekilas menunjuk ke atas nampan. “Dokter yang meresepkannya secara langsung.” “Apa Bu Annie mengatakan pada Tuan Kayden apa yang terjadi dengan punggungku?” balas Liora penuh selidik. Melihat senyum Annie yang tampak ganjil membuat Liora berpikir bahwa dugaannya itu benar. Mana mungkin Annie menyembunyikan apa yang dilihatnya? Bukankah sebagai orang yang bertanggung jawab atas keberlangsungan di rumah ini Annie tentu akan melaporkan segala sesuatu yang terjadi kepada si pemilik rumah? Lagi pula ... siapa yang bisa diam dan terbungkam dihadapkan pada mata mengintimidasi Kayden? Liora meng
“Bukan apa-apa,” jawab Liora sesegera mungkin. Ia memandang Annie, mengisyaratkan dengan matanya agar wanita paruh baya itu tak mengatakan apa yang ia lihat di punggungnya pada Kayden. Tatapan Kayden menelisik kala Liora mencuri pandang pada manik gelapnya. Alis lebat Kayden yang berkerut menandakan bahwa pria itu tahu Liora tengah berbohong. Diam yang ia suguhkan dan wajahnya yang tanpa ekspresi tetapi tegas itu membuat Liora seperti akan tersudut dan memilih untuk membuka mulut perihal apa yang ia bicarakan dengan Annie. Dan sebelum semakin terintimidasi, Liora memutuskan untuk pergi dari sana. Ia lekas berjalan, langkahnya gegas meninggalkan Kayden setelah ia menundukkan kepalanya. Tak ingin terlibat percakapan yang lebih jauh. Liora kembali ke dalam kamar. Menuju meja tempat di mana ia meletakkan botol minumannya di sana dan menarik lacinya. Berharap menemukan obat apapun—setidaknya agar demamnya ini mereda. Melihat obat untuk luka ada di dalam sana juga, ia memutus
“Tidak,” jawab Liora dengan segera, mencegah ada perdebatan lain di dalam ruangan yang perlahan menemukan kedamaian itu. “A-ada sesuatu yang tidak baik yang terjadi di studio tadi,” imbuh Liora. “Ada kecelakaan kecil yang membuat saya terluka. Tapi ini tidak parah, Tuan.” Apa jawaban itu benar? Liora meraba-raba dalam hati, melirik Kayden yang tampak tidak peduli dengan perkataannya. Liora anggap itu sebagai sebuah hal yang disetujui oleh Kayden karena pria itu tak bereaksi. Tuan Owen mengangguk mengerti, memutuskan tak memperpanjangnya sementara Liora lalu menutup mulutnya, tak akan bicara lagi. Sudut matanya memandang Kayden, yang tak seperti anggota keluarganya yang lain yang menyantap hidangan mereka, pria itu hanya memilih wine saja. “Kita sudah memiliki hidup kita masing-masing,” ucap Tuan Owen di sela bunyi garpu dan piring. “Jadi Papa harap tidak ada yang mencampuri urusan pribadi yang lainnya. Mari hidup damai di jalan masing-masing.” Tuan Owen kemudian menatap anak bun
‘Perempuan bekasnya?’ ulang Liora dalam hati usai sebutan Adrian terhadapnya. ‘Aku bahkan tidak pernah melakukan apapun dengannya,’ batinnya sekali lagi. Sebuah hal yang bagus karena selama berpacaran ia dan Adrian tidak melakukan sesuatu di luar batas. Seandainya mereka melakukan sesuatu seperti yang Adrian perbuat dengan Irina, bukankah bisa saja saat putus pemuda itu tak hanya menyebutnya sebagai ‘perempuan bekas’? Yang keluar dari bibirnya yang penuh dusta itu bisa saja ‘pelacur’ karena rela ditiduri berkali-kali. Setidaknya Liora selamat dari hal itu. Tenggorokannya terasa serak menyadari ketegangan yang hebat di dalam ruangan itu. Jemarinya yang saling menggenggam terasa kebas meredam amarah. Ia memberanikan diri untuk melirik Kayden yang tak serta-merta memberi tanggapan atas kalimat Adrian. Kayden juga tampak tidak tersulut dengan provokasi keponakannya itu. Pria itu menghadapinya dengan tenang, wajahnya tak banyak menunjukkan perubahan sebelum maniknya yang gel
Bunyi lampu yang pecah kala berbenturan dengan lantai bergema di setiap sisi ruangan, waktu seolah berhenti untuk beberapa detik hingga orang-orang menyadari Liora dan Kayden jatuh tersungkur sehingga mereka berseru dalam kepanikan dan memperkeruh keadaan. “Liora!” “Tuan Kayden!” Kerusuhan terjadi karena lampu-lampu itu saling mengenai satu sama lain, yang jika tadi Liora tak segera menarik Kayden, maka dua lampu LED besar itu bisa jatuh menimpanya—yang meski sekarang benda itu menimpa dirinya. “Akh—” Liora merintih saat merasakan punggungnya yang terkena lampu itu seakan remuk. Tangannya tergores, begitu juga dengan pipinya yang terasa perih. Pecahan dari lampu itu pasti telah mengenai wajahnya. Evan menyingkirkan lampu dari punggung Liora, membantu tuan dan nonanya itu bangun dan meminta keduanya untuk menyisih. “Maaf, Nona,” ucap Evan penuh rasa bersalah saat Liora meraba punggungnya. “Anda baik-baik saja?” Evan memindai tangan Liora yang terluka dan goresan-goresan kecil di