Hari-hari terus berlalu. Rutinitas kembali seperti semula. Reza fokus dengan pekerjaannya di rumah sakit. Sedangkan Nazwa pun mulai kembali mengisi kajian. Karena kondisi rumah tangga mereka saat ini dirasa cukup baik, Nazwa merasa inilah waktu yang tepat untuknya kembali melanjutkan aktivitas. Kondisi Pak Rahman pun sudah boleh ditinggal, ditemani Bi Jum--sang asisten rumah tangga di rumah. Dalam pengajian kali ini Nazwa membawa materi tentang ilmu pernikahan. Tentang bagaimana upaya kita dalam menjalani rumah tangga agar tak mudah dihasut setan hingga tercerai-berai. Karena setiap pernikahan pasti ada ujiannya masing-masing. Lalu materi ceramah itu ditutup dengan pembacaan ayat Al-Qur'an bersama. Surah yang dibawakan adalah surah Al-Kahfi. Selesai pembacaan ayat Al-Qur'an, para ibu bersalam-salaman sebelum pulang. "Denger-denger, katanya, suaminya Bu Nazwa itu selingkuh, ya." Sebelum benar-benar pulang, para ibu pengajian masih sempat bergosip ria sambil berdiri di teras masjid.Y
"Aku tuh nggak bisa lepasin kamu, Bil. Serius. Nggak tahu kenapa?" Nabila hanya tersenyum simpul mendengarnya. Sama seperti hari-hari sebelumnya, Nabila selalu pulang bersama Reza setiap habis kerja. Awalnya Reza menolak ketika Nabila minta diantar pulang, tapi Nabila selalu berhasil membujuk pria itu. Nabila ingat bagaimana percakapannya tadi. "Aku cuman minta pulang bareng lho, Za. Nggak yang aneh-aneh. Nurutin kemauan aku untuk hal yang sepele gitu kok ribet banget, sih?" "Kamu ngertiin aku, dong, Bil." "Aku selalu dituntut buat ngertiin kamu, tapi kamu nggak pernah mau ngertiin aku." "Kamu jangan kekanakkan gini, lah, Bil." "Kekanakkan? Udahlah, Za, aku capek. Kalau kamu begini terus mending kita udahan aja." "Nggak bisa seenaknya gitu, dong, Bil." "Ya, terus kamu maunya apa? Selama ini kamu udah nggak peduli sama aku, kurang perhatian sama aku. Mending kita putus aja." "Bil." Reza langsung menahan pergelangan tangan Nabila ketika gadis itu hendak pergi. "Apa?" "Oke, a
"Assalamu'alaikum. Hai, Sayang." Reza memasuki ruang tengah dan mendapati sang istri sedang menghadap laptop. Melihat itu, Reza tahu istrinya itu pasti sedang menulis. Nazwa spontan menoleh. "Wa'alaikumussalam, Mas." Dia pun tersenyum dan berdiri menyambut suaminya. Ketika jarak mereka telah sangat dekat, Reza memeluk pinggang ramping Nazwa dan mencium keningnya. "Tumben pulangnya agak telat dari biasanya," tegur Nazwa kemudian. "Iya, tadi di jalan ada macet sedikit, makanya agak telat," jawab Reza yang lantas melepas dasinya. "Oh, kirain ada masalah pekerjaan. Sini aku bantu." Nazwa membantu melepas ikatan dasi di kerah kemeja suaminya membuat mereka berdiri berhadap-hadapan. "Kamu lagi apa?" tanya Reza melirik laptop yang terletak di atas meja lalu menatap wajah istrinya. "Lagi nulis." Nazwa tersenyum. "Nulis ... cerita yang kemarin ...." Reza menatap Nazwa penuh selidik. Nazwa membalas tatapan suaminya. "Bukan. Cuma nulis quotes, kok." Reza hanya mengangguk-angguk, tapi di
"I-itu ... Ba-Bapak." Bi Jum malah tergugup. "Sakit jantungnya Bapak kumat." "Apa?!" Nazwa melotot. Spontan saja dia dan suami bergegas menuju kamar Pak Rahman. Begitu Nazwa membuka pintu, dilihatnya bapaknya yang tengah mengenakan pakaian koko sambil memegang Al- Qur'an terduduk di lantai. Orang tua itu terlihat kesakitan. Tangan sebelahnya mencengkram dada kirinya. "Bapak!" Nazwa menghampiri sang Bapak dengan linangan air mata. "Dada Bapak sakit," lirih orang tua itu seiring dengan dadanya yang terasa nyeri luar biasa seolah dadanya ditimpa batu besar. Nazwa mendongak menatap Reza yang berdiri. "Mas, tolongin Bapak. Bawa ke rumah sakit!" "Iya, Nazwa." *** Pak Rahman dibawa ke rumah sakit Medika Permata Hijau tempat di mana Reza bekerja. Pak Rahman langsung di bawa ke IGD terlebih dulu untuk di periksa. Selagi Pak Rahman di periksa, Nazwa dan Reza menunggu di depan ruang tersebut. Sejak tadi Reza menenangkan istrinya yang menangis. Nazwa jadi makin kepikiran dengan ucapan bapa
"Kamu kok di sini?" Reza malah balik bertanya setelah dia berhasil menetralkan wajahnya. "Bukannya tunggu di sana. Takutnya ada dokter atau suster yang mau ngomong gimana?" Reza mengalihkan perhatian istrinya. "Aku tadi cek hp bentar, ini juga baru mau ke toilet," alibinya. Nazwa masih menatap suaminya curiga sebelum akhirnya menurut. "Ya udah kalau gitu. Aku balik dulu." Sepeninggal Nazwa, Reza menghela napas lega sambil mengurut keningnya. "Rumit ... rumit." *** Berdasarkan laporan dokter yang menanganinya, Pak Rahman harus diopname di rumah sakit karena keadaan jantungnya yang belum stabil. Hingga beliau butuh penanganan lebih. Dan itu membuat Nazwa juga harus menginap di rumah sakit, menemani bapaknya seperti sebelum-sebelumnya. Karena itu Reza berinisiatif menawarkan diri pulang ke rumah untuk mengambil pakaian Nazwa. Namun, sesampainya di rumah, Reza terkejut dengan keberadaan Nabila yang tiba-tiba. Gadis itu berdiri di terasnya, tersenyum menyambutnya. "Hai, Za." Reza me
Nazwa duduk termenung di depan ruang rawat inap bapaknya. Menunggu kedatangan suaminya sejak tadi. Dia tak mau menunggu di dalam. Bapaknya pun sedang tidur. Dia tak ada kawan bicara. Berkali-kali juga dia melirik jarum jam di tangan yang menunjukkan pukul setengah tujuh. "Nazwa, ya?" Tiba-tiba saja ada orang yang menegurnya. Spontan Nazwa mendongak menatap sosok yang menegurnya itu. Dia pun membelalak melihat sosok yang amat familier itu. "Hanif?" Sosok yang dipanggil Hanif tersenyum. "Siapa sakit?" tanyanya kemudian. Dia pun tak menyangka bertemu Nazwa lagi di sini. "Bapakku, Nif." Nazwa lantas berdiri. "Kamu ke sini ngapain?" "Aku jenguk Bibiku yang juga dirawat inap di sini." "Oh." Nazwa mengangguk. "Boleh aku jenguk bapakmu?" Hanif menawarkan diri. "Silakan. Mau jenguk sekarang?" Sejak suaminya pernah bertemu Hanif dulu dan menyaksikan suaminya tidak cemburu, Nazwa sudah tidak takut-takut lagi berhubungan dengan Hanif. "Bentar. Aku bayar administrasi dulu," jawab Hanif
"Halo, Assalamu'alaikum, Mas." Nazwa akhirnya menelepon Reza untuk menuntaskan rasa penasarannya. "Mas, kok kamu nitipin barang lewat kurir? Kamu nggak jadi ke sini?" tanyanya to the point. Sementara Hanif hanya mendengarkan. "Maaf, Sayang. Aku nggak bisa lagi ngantarin itu ke rumah sakit. Soalnya tadi pas dijalan, mobilku kempes. Dan ada banyak masalah lain lah. Jadi aku nggak bisa nemenin kamu ke rumah sakit, ya, Sayang. Aku malam ini di rumah aja. Maaf, ya. Nggak pa-pa kan?" Suara Reza terdengar dari speaker handphone. Kalau biasanya Nazwa selalu kasihan tiap mendengar Reza mendapat masalah dan dia tidak pernah keberatan akan hal itu, tapi kali ini entah kenapa dia justru merasa ada yang janggal. "Sayang, kok, diam?" Reza bertanya membuyarkan lamunan Nazwa. "Iya, Mas," sahut Nazwa akhirnya. "Iya, kenapa?" "Nggak pa-pa, Mas." "Sekali lagi aku minta maaf, ya." Sebenarnya masih ada banyak hal yang ingin Nazwa tanyakan, seperti ada masalah apa? Apakah suaminya sibuk? Tapi dia m
Taksi online Nazwa berhenti tepat di depan rumahnya. Dia meminta si supir menunggu sebelum akhirnya dia turun dari sana. Nazwa memasuki halaman rumah pelan-pelan. Dari kejauhan rumah itu tampak benderang namun terasa sepi. Dia berjalan mengendap-ngendap menuju teras. Sesampainya di teras, Nazwa tidak langsung mengetuk pintu. Dia mengotak-atik ponselnya, menghubungi Bi Jum lewat ponsel untuk membukakannya pintu. Dan meminta Bi Jum agar tidak memberitahu kedatangannya pada suaminya. Setelah mengirim pesan tersebut, Nazwa memasukkan ponsel kembali dalam tas. Tak lama terdengar pintu di buka. Nazwa berbalik badan. Dia lega melihat kemunculan Bi Jum. "Bi, suamiku ada?" bisiknya. Bi Jum mengangguk. "Ada di kamar, silakan masuk, Bu," bisik Bi Jum. Nazwa pun masuk ke dalam setelah Bi Jum menutup pintu. Nazwa langsung berjalan menuju kamarnya, sesekali dia melirik ruangan-ruangan yang dilewatinya. Barangkali ada orang yang bersembunyi. Ketika telah sampai di depan pintu kamar, Nazwa mencob