Mobil yang dikendarai Reza memasuki halaman rumahnya yang luas. Dia baru saja pulang dari rumah sakit. Begitu dia memasuki rumah, Bi Juminten muncul, mendatanginya tergesa-gesa. "Ada apa, Bi?" tanya Reza heran. "Eng ini, Pak." Bi Juminten merogoh saku dasternya. "Tadi ada surat panggilan buat Pak Reza." Bi Juminten menyodorkan amplop di hadapan Reza. "Surat panggilan buat saya?" Reza mengernyit sambil menerima surat itu. "Iya. Dari Pengadilan Agama." Seketika jantung Reza berdebar lebih kencang. Bergegas dia membuka amplop tersebut seiring dengan rasa penasaran yang membesar. Bi Jum pamit mundur dari hadapannya, kembali ke dapur. Reza mulai membentang dan membaca surat itu pelan-pelan. Benar, surat itu adalah surat gugatan cerai dari pengadilan agama untuknya. Reza lalu meremas surat itu dengan perasaan kesal yang tak dapat didiskripsikan. Percakapannya dengan Nazwa tempo hari pun terngiang. " .... Aku mantap untuk bercerai dari kamu." "Kamu nggak akan bisa melakukannya, Nazw
Proses sidang perceraian itu berjalan lancar. Nazwa dan Reza datang menghadirinya. Kedua orang tua Reza dan adiknya, Risma, ikut hadir di sana. Keduanya tidak menginginkan perdamaian dan mediasi. Keduanya mendukung perceraian itu diputuskan secepatnya. Bahkan ketika sang hakim menanyakan kasus perselingkuhan yang Reza lakukan, Reza pun mengakuinya, sama sekali tidak membantah tuduhan tersebut meskipun Nazwa tidak ada membawa bukti apa pun mengenai perselingkuhan suaminya. Semua yang hakim tanyakan diiyakan saja oleh kedua belah pihak seolah sidang perceraian itu hanyalah sebuah formalitas. Hingga akhirnya sang hakim memutuskan mereka resmi bercerai dengan mengetuk palu tiga kali. Dan semuanya selesai begitu saja dengan mudah secepat kedipan mata, tanpa sanggahan, tanpa penolakan, tanpa pertengkaran. Nazwa keluar dari ruangan itu dengan kesedihan meliputi hati. Dia sungguh tak percaya, pernikahannya benar-benar berakhir. Padahal rasanya baru kemarin dia menikah dengan pria pilihan ora
Seminggu kemudian. "Jadi apa yang mau kamu bicarakan?" Reza datang ke rumah orang tuanya dan mengabarkan bahwa dia ingin membicarakan sesuatu yang penting pada orang tuanya. Kini mereka berkumpul di ruang tamu. Kini kedua orang tuanya menatapnya penuh rasa penasaran. "Aku tahu mungkin Papa dan Mama nggak akan setuju dengan keputusan ini. Mama terutama Papa mungkin marah besar, tapi ini keputusanku. Dan aku udah bulat dengan keputusanku. Jadi aku harap Mama dan Papa harus setuju dan merestuiku." "Langsung saja katakan," potong Galih. "Aku ... bakal ngelamar Nabila, Pa, Ma." Reza menatap kedua orang tuanya bergantian. "Nabila?" Mama Rissa tampak terkejut. "Selingkuhanmu itu?" Sementara Galih tampak tenang saja. "Iya, Ma ...." Rissa menoleh menatap suaminya. "Bagaimana, Pa? Papa setuju?" Rissa berbisik, tapi Reza bisa mendengar. Wajah mamanya juga terlihat tidak senang. "Kenapa kamu harus menikahi dia?" tanya Galih setelah lama dia terdiam. "Ya iyalah, Pa. Aku sekarang juga uda
Lima bulan kemudian.Seminggu setelah perceraian mereka, seperti yang telah direncanakan, Nazwa memutuskan pulang ke kampung halaman bibinya di Cikidang. Beberapa hari setelah itu dia mendengar kabar bahwa Reza menikah dengan Nabila.Di Cikidang, Nazwa menyibukkan diri dengan mengajar mengaji bagi anak-anak sekitar desa itu di sebuah mushola. Di samping itu, Nazwa juga melanjutkan novelnya, novel yang dulu sempat tertunda. Novel yang terinspirasi dari pernikahannya dengan Reza."Shadaqallahul-'adzim' ...." Nazwa menyudahi bacaan Al-Qur'annya seraya menutup mushafnya. Dan diikuti oleh anak-anak didiknya. "Alhamdulillah sudah selesai." Nazwa lalu menatap anak-anak didiknya yang duduk bersila di hadapannya. "Ngajinya lanjut besok lagi ya anak-anak. Jangan lupa pe-er yang Ibu kasih tadi, hapalan surah Al-Kahfi-nya, ya. Besok boleh disetor.""Baik, Bu ....""Kalau begitu kalian boleh siap-siap pulang, ya."Anak-anak itu pun mulai memasukkan mushaf ke dalam tas masing-masing, bersalaman de
Semua pasang mata yang ada di sana menatap Nazwa, tidak terkecuali Hanif. "I-iya, Nazwa, maaf kalau ini mengejutkanmu, dan mungkin juga terlalu cepat buatmu setelah apa yang barusan kamu alami. Kalau kamu memang butuh waktu buat menjawab, aku siap menunggu." Nazwa malah terdiam. Begitu pun yang lainnya. Suasana ruangan itu seketika jadi hening. Hingga tiba-tiba Bi Ifah menjawab. "Gimana kalau kita beri Nazwa dan Hanif ruang? Biarkan mereka bicara dari hati ke hati. Iya kan, Nazwa?" *** Akhirnya Nazwa dan Hanif berbicara empat mata sambil berkeliling di sekitar lingkungan rumahnya. Sesekali melihat anak-anak mengejar layangan di tanah kosong yang dipenuhi ilalang. "Aku pikir kamu syok karena ini terlalu cepat bagimu," ucap Hanif yang berjalan di sisi Nazwa sejak tadi. Nazwa yang sejak tadi hanya menunduk, menggeleng pelan. "Bukan masalah waktu. Hanya saja ada banyak hal yang tiba-tiba mengganggu pikiranku," jawabnya. "Apa itu?" Nazwa mendongak menatap Hanif. "Aku nggak nyangka k
"Sebentar lagi aku akan tahu, apa yang sebenarnya Mas Reza sembunyikan dariku selama ini. Ya Allah semoga dugaan burukku nggak benar." Dengan rasa penasaran, Nazwa terus menatapi mobil suaminya yang dia iringi dengan taksi pesanannya. Jantungnya berdegup kencang sejak tadi. Di tengah kegelisahannya dia masih berusaha berpikir positif tentang kecurigaannya terhadap suaminya. "Apa pun itu semoga aku siap menerimanya Ya Allah." Nazwa meremas jemarinya. Pikiran buruk terus berkelabat di kepala. Namun, dia juga berusaha terus menepisnya. Sayang, sepertinya pikiran buruknya yang benar karena dia melihat mobil suaminya justru memasuki pelataran hotel mewah. "Kok Mas Reza ke hotel? Bukannya tadi izin ke rumah sakit. Ya Allah Mas Reza udah bohong sama aku." Pikiran buruk Nazwa menjadi. Nazwa meminta si supir berhenti agak jauh di seberang jalan hotel. Lalu dia turun seorang diri, dan membuntuti suaminya dengan berjalan kaki. Wanita berpakaian syar'i itu terus mengiringi langkah suaminya ya
Tubuh Reza yang berdarah-darah di atas brangkar di dorong oleh beberapa tenaga medis untuk di bawa ke ruang IGD. Nazwa mengiringi brangkar suaminya sambil menangis sampai ke depan ruang. Setelah bergelut dengan pikirannya, akhirnya Nazwa memutuskan membawa suaminya ke rumah sakit. Dengan tangan gemetar, dia menelepon Mama mertuanya, Rissa."Assalamu'alaikum, Ma. Halo, Ma ...." Kesedihan Nazwa malah menjadi, bibirnya ikut bergetar. Pikirannya kalut sekarang."Ada apa, Nazwa? Kenapa kamu menangis?" Suara sang ibu mertua terdengar heran."Mas Reza, Ma." Suara Nazwa melemah, berasa tak sanggup mengatakannya. Sedih dan takut bercampur satu."Reza kenapa?" Suara sang ibu mertua lalu berubah khawatir."Mas Reza kecelakaan. Dan sekarang masuk rumah sakit." Nazwa lalu terduduk di kursi yang ada di depan ruangan itu."Apa? Bagaimana bisa? Rumah sakit mana? Kamu sendlok di WA ya biar Mama ke sana sekarang."Sambungan telepon terputus. Nazwa mengirimi ibu mertuanya alamat rumah sakit tempat Reza d
Seminggu kemudian. Nazwa terpaksa menyudahi kesendiriannya tatkala mendapat telepon dari ibu mertuanya yang mengabarkan bahwa Reza sudah siuman. Wanita berpakaian syar'i itu pun buru-buru kembali ke ruang ICU. "Dari mana saja kamu, Nazwa?" tanya sang ibu mertua ketika dia masuk ruangan dan menutup pintu. Mama Rissa menatapnya sinis. Nazwa tahu sikap Mama Rissa berubah padanya sejak mengetahui dia belum bisa kasih keturunan sampai hari ini. Mama Rissa yang dulu awalnya baik luar biasa lenyap entah kemana. Ditambah lagi ibu mertuanya itu tahu jika Reza kecelakaan karena kesalahannya. Sikap ibu mertuanya jadi makin ketus. Untung saja kini Reza bisa disembuhkan dan sudah siuman. Kalau tidak mungkin mertuanya membencinya seumur hidup. "Aku habis dari mushola, Ma," jawab Nazwa sambil memegangi pipi, berharap wajahnya tak terlihat habis menangis. Ya, hampir seharian ini Nazwa menangis di mushola, mengadu kepada Allah atas sulitnya masalah yang dia hadapi. Dia menatap sang ibu dan bapak m
Semua pasang mata yang ada di sana menatap Nazwa, tidak terkecuali Hanif. "I-iya, Nazwa, maaf kalau ini mengejutkanmu, dan mungkin juga terlalu cepat buatmu setelah apa yang barusan kamu alami. Kalau kamu memang butuh waktu buat menjawab, aku siap menunggu." Nazwa malah terdiam. Begitu pun yang lainnya. Suasana ruangan itu seketika jadi hening. Hingga tiba-tiba Bi Ifah menjawab. "Gimana kalau kita beri Nazwa dan Hanif ruang? Biarkan mereka bicara dari hati ke hati. Iya kan, Nazwa?" *** Akhirnya Nazwa dan Hanif berbicara empat mata sambil berkeliling di sekitar lingkungan rumahnya. Sesekali melihat anak-anak mengejar layangan di tanah kosong yang dipenuhi ilalang. "Aku pikir kamu syok karena ini terlalu cepat bagimu," ucap Hanif yang berjalan di sisi Nazwa sejak tadi. Nazwa yang sejak tadi hanya menunduk, menggeleng pelan. "Bukan masalah waktu. Hanya saja ada banyak hal yang tiba-tiba mengganggu pikiranku," jawabnya. "Apa itu?" Nazwa mendongak menatap Hanif. "Aku nggak nyangka k
Lima bulan kemudian.Seminggu setelah perceraian mereka, seperti yang telah direncanakan, Nazwa memutuskan pulang ke kampung halaman bibinya di Cikidang. Beberapa hari setelah itu dia mendengar kabar bahwa Reza menikah dengan Nabila.Di Cikidang, Nazwa menyibukkan diri dengan mengajar mengaji bagi anak-anak sekitar desa itu di sebuah mushola. Di samping itu, Nazwa juga melanjutkan novelnya, novel yang dulu sempat tertunda. Novel yang terinspirasi dari pernikahannya dengan Reza."Shadaqallahul-'adzim' ...." Nazwa menyudahi bacaan Al-Qur'annya seraya menutup mushafnya. Dan diikuti oleh anak-anak didiknya. "Alhamdulillah sudah selesai." Nazwa lalu menatap anak-anak didiknya yang duduk bersila di hadapannya. "Ngajinya lanjut besok lagi ya anak-anak. Jangan lupa pe-er yang Ibu kasih tadi, hapalan surah Al-Kahfi-nya, ya. Besok boleh disetor.""Baik, Bu ....""Kalau begitu kalian boleh siap-siap pulang, ya."Anak-anak itu pun mulai memasukkan mushaf ke dalam tas masing-masing, bersalaman de
Seminggu kemudian. "Jadi apa yang mau kamu bicarakan?" Reza datang ke rumah orang tuanya dan mengabarkan bahwa dia ingin membicarakan sesuatu yang penting pada orang tuanya. Kini mereka berkumpul di ruang tamu. Kini kedua orang tuanya menatapnya penuh rasa penasaran. "Aku tahu mungkin Papa dan Mama nggak akan setuju dengan keputusan ini. Mama terutama Papa mungkin marah besar, tapi ini keputusanku. Dan aku udah bulat dengan keputusanku. Jadi aku harap Mama dan Papa harus setuju dan merestuiku." "Langsung saja katakan," potong Galih. "Aku ... bakal ngelamar Nabila, Pa, Ma." Reza menatap kedua orang tuanya bergantian. "Nabila?" Mama Rissa tampak terkejut. "Selingkuhanmu itu?" Sementara Galih tampak tenang saja. "Iya, Ma ...." Rissa menoleh menatap suaminya. "Bagaimana, Pa? Papa setuju?" Rissa berbisik, tapi Reza bisa mendengar. Wajah mamanya juga terlihat tidak senang. "Kenapa kamu harus menikahi dia?" tanya Galih setelah lama dia terdiam. "Ya iyalah, Pa. Aku sekarang juga uda
Proses sidang perceraian itu berjalan lancar. Nazwa dan Reza datang menghadirinya. Kedua orang tua Reza dan adiknya, Risma, ikut hadir di sana. Keduanya tidak menginginkan perdamaian dan mediasi. Keduanya mendukung perceraian itu diputuskan secepatnya. Bahkan ketika sang hakim menanyakan kasus perselingkuhan yang Reza lakukan, Reza pun mengakuinya, sama sekali tidak membantah tuduhan tersebut meskipun Nazwa tidak ada membawa bukti apa pun mengenai perselingkuhan suaminya. Semua yang hakim tanyakan diiyakan saja oleh kedua belah pihak seolah sidang perceraian itu hanyalah sebuah formalitas. Hingga akhirnya sang hakim memutuskan mereka resmi bercerai dengan mengetuk palu tiga kali. Dan semuanya selesai begitu saja dengan mudah secepat kedipan mata, tanpa sanggahan, tanpa penolakan, tanpa pertengkaran. Nazwa keluar dari ruangan itu dengan kesedihan meliputi hati. Dia sungguh tak percaya, pernikahannya benar-benar berakhir. Padahal rasanya baru kemarin dia menikah dengan pria pilihan ora
Mobil yang dikendarai Reza memasuki halaman rumahnya yang luas. Dia baru saja pulang dari rumah sakit. Begitu dia memasuki rumah, Bi Juminten muncul, mendatanginya tergesa-gesa. "Ada apa, Bi?" tanya Reza heran. "Eng ini, Pak." Bi Juminten merogoh saku dasternya. "Tadi ada surat panggilan buat Pak Reza." Bi Juminten menyodorkan amplop di hadapan Reza. "Surat panggilan buat saya?" Reza mengernyit sambil menerima surat itu. "Iya. Dari Pengadilan Agama." Seketika jantung Reza berdebar lebih kencang. Bergegas dia membuka amplop tersebut seiring dengan rasa penasaran yang membesar. Bi Jum pamit mundur dari hadapannya, kembali ke dapur. Reza mulai membentang dan membaca surat itu pelan-pelan. Benar, surat itu adalah surat gugatan cerai dari pengadilan agama untuknya. Reza lalu meremas surat itu dengan perasaan kesal yang tak dapat didiskripsikan. Percakapannya dengan Nazwa tempo hari pun terngiang. " .... Aku mantap untuk bercerai dari kamu." "Kamu nggak akan bisa melakukannya, Nazw
"Eh, gosip Dokter Nabila selingkuh sama Dokter Reza itu bener nggak sih?" "Ya benar lah. Itu bukan gosip lagi, tapi fakta. Bahkan katanya Dokter Reza terancam bercerai dari istrinya." "Dokter Reza cerai karena Dokter Nabila?" "Ya iyalah." "Kita tahu sih mereka dari dulu emang deket, kirain teman ternyata mereka ada udang di balik batu." "Dokter Nabila kan mantannya Dokter Reza dulu." "Ehem." Kedua koas manggang yang sedang menjaga IGD itu seketika terdiam mendengar suara dehaman yang amat familier itu. Mereka menoleh menemukan gadis yang baru saja mereka bicarakan. Gadis itu menatap mereka tak suka. Mungkin dia sudah mendengar bisik-bisik itu. "Eh, ada Bu Dokter Nabila," lirih salah satunya cengengesan. Sedangkan yang satunya lagi pura-pura sibuk merapikan lembar kertas di tangannya. "Selamat pagi, Bu. Pagi-pagi udah cantik aj--" "Ngomongin apa kalian barusan?" tanya Nabila menatap kedua cewek itu tajam. "Eng enggak, Bu ...." "Ingat, ya, kalian itu anak magang di sini! Saya
"Kalau Nazwa nggak mau, Papa nggak akan anggap kamu anak!" Kalimat itu terus bertalu-talu di kepala Reza. Reza berharap papanya tidak serius dengan ucapannya. Tapi waktu itu Reza bisa melihat wajah papanya serius saat mengatakan hal itu. Reza takut bagaimana seandainya papanya benar-benar serius membuangnya dari keluarga? Sial! "Ini semua gara-gara Nazwa. Seandainya dia nggak ngomong di depan Mama semuanya nggak akan jadi begini." Reza menggebrak meja di hadapannya. "Nggak ada cara lain. Aku harus bisa bujuk Nazwa buat berbaikan denganku dan membatalkan rencana perceraiannya." Sejak saat itu hampir setiap hari Reza berulang ke rumah orang tuanya, menemui Nazwa dan membujuk istrinya untuk pulang. Namun, percakapan mereka selalu berakhir dengan penolakan Nazwa atau pertengkaran. "Buat apa kamu ngelakuin semua ini, Mas?" tanya Nazwa. "Buat apa lagi kamu memperjuangkan aku setelah apa yang udah kamu lakuin. Kamu tuh sadar nggak? Kamu itu udah nggak waras, ya?! Sakit kamu?!" "Aku mi
"Dulu waktu Mama sedang hamil kamu dan hendak melahirkan, kami pergi ke rumah sakit terdekat, tapi tiba-tiba mobil kami mengalami kecelakaan. Papa berusaha keluar dari mobil dan menggendong Mama yang tengah kesakitan. Waktu itu tengah malam dan sepi. Sama sekali tidak ada orang lewat yang bisa dimintai tolong. Tapi Papa terus berteriak minta tolong. Sampai akhirnya ada orang yang menemui kami. Dialah Pak Rahman. Papa bercerita panjang lebar dengannya bahwa Papa ingin mengantar Mama ke rumah sakit, tapi kami mengalami kecelakaan. Dia yang katanya hendak pulang ke rumah majikan untuk mengantarkan mobil nggak keberatan membawa kami ke rumah sakit sebentar. Singkat cerita kami pergi ke rumah sakit menggunakan mobil majikannya. Satu detik setelah kami pergi, mobil kami di belakang meledak. Waktu itu terjadi Papa terkejut sekaligus bersyukur. Sedikit saja kalau kami nggak pergi dari tempat itu kami bisa-bisa ikut terbakar. Di dalam mobil Mama terus berteriak kesakitan. Air ketubannya bahkan
"Maaf, Mas, aku nggak bisa tinggal sama kamu lagi. Aku mohon kamu hargai keputusanku buat tinggal di rumah Mama. Jadi jangan tahan-tahan aku ...." Kalimat terakhir yang Nazwa ucapkan terngiang-ngiang di telinga Reza seakan membekas dan bertalu-talu. Sakit dan benci hatinya tiap kali mengingatnya. Harga dirinya seakan jatuh di hadapan keluarganya sendiri. Apalagi mengingat wajah Mama dan Risma terakhir kali menatapnya penuh kekecewaan. Dia tak menyangka kesalahan yang dia lakukan kini berdampak parah. Tidak hanya menyakiti perasaan Nazwa, perempuan itu bahkan minta cerai. Bahkan ikut mengecewakan perasaan keluarganya. Lagi pula kenapa Nazwa tega membongkar perselingkuhannya yang sudah tertutup rapat selama ini? Pernikahannya dengan Nazwa benar-benar di ujung tanduk. Apakah pernikahan ini masih bisa dipertahankan? Apakah masih ada harapan? Dering ponsel tiba-tiba berbunyi yang seketika membuyarkan lamunan Reza yang tengah duduk merenung di ruang keluarga. Tatapan Reza lalu mengarah ke