Seminggu kemudian.
Nazwa terpaksa menyudahi kesendiriannya tatkala mendapat telepon dari ibu mertuanya yang mengabarkan bahwa Reza sudah siuman. Wanita berpakaian syar'i itu pun buru-buru kembali ke ruang ICU.
"Dari mana saja kamu, Nazwa?" tanya sang ibu mertua ketika dia masuk ruangan dan menutup pintu. Mama Rissa menatapnya sinis. Nazwa tahu sikap Mama Rissa berubah padanya sejak mengetahui dia belum bisa kasih keturunan sampai hari ini.
Mama Rissa yang dulu awalnya baik luar biasa lenyap entah kemana. Ditambah lagi ibu mertuanya itu tahu jika Reza kecelakaan karena kesalahannya. Sikap ibu mertuanya jadi makin ketus. Untung saja kini Reza bisa disembuhkan dan sudah siuman. Kalau tidak mungkin mertuanya membencinya seumur hidup.
"Aku habis dari mushola, Ma," jawab Nazwa sambil memegangi pipi, berharap wajahnya tak terlihat habis menangis. Ya, hampir seharian ini Nazwa menangis di mushola, mengadu kepada Allah atas sulitnya masalah yang dia hadapi. Dia menatap sang ibu dan bapak mertua yang juga ada di sana, bergantian.
Mama Rissa menghela napas. "Kamu ini gimana, sih? Suami sakit bukannya dijagain. Suamimu udah sadar tuh."
Nazwa menatap suaminya yang sudah sadar di atas tempat tidur, dia memaksakan senyum. "Maaf, Ma. Tadi aku habis sholat. Alhamdulillah, kalau Mas udah sadar."
"Sholat kok lama banget." Lagi-lagi Mama Rissa menghela napas. "Ya udah. Reza kan juga udah sadar. Dari tadi kami yang jagain dia. Sekarang giliran kamu jagain dia, ya. Mama sama Papa mau izin pulang sebentar," beritahu Rissa yang lantas menoleh ke suaminya.
"Oh, iya, Ma." Nazwa mengangguk.
"Papa pulang dulu, ya, Nazwa. Jaga dirimu dan suamimu baik-baik. Kalau ada apa-apa beritahu kami." Galih, sang bapak mertua ikut berpesan.
Kedua suami-istri itu lalu keluar ruangan. Nazwa masih memperhatikan pintu yang ditarik oleh mertuanya dari luar bahkan ketika pintu itu sudah tertutup.
Nazwa lantas mengalihkan pandangan. Matanya langsung bertumpu pada beberapa parsel buah yang disertai kartu ucapan 'semoga lekas sembuh' di atas nakas. Barang-barang itu pemberian teman-teman Reza sesama dokter yang datang menjenguknya tempo hari.
Tapi tidak ada kartu ucapan bertuliskan nama Nabila. Dan sampai hari ini batang hidung perempuan itu tidak muncul. Padahal Nazwa sangat ingin bertemu dengannya.
"Nazwa." Panggilan Reza yang masih terbaring di tempat tidur, menyadarkannya.
"Iya, Mas?" Nazwa duduk di kursi samping ranjang rumah sakit, tempat Mama Rissa duduk tadi.
Reza melirik Nazwa. Dia menyadari ada yang berbeda dari Nazwa. Kelopak mata istrinya terlihat bengkak, perempuan itu pasti banyak menangis. Dia pun lantas teringat dengan Nazwa yang menyaksikan perselingkuhannya dengan Nabila. Perasaan bersalah menyergapnya.
"Alhamdulillah, Mas. Kamu udah sadar," ucap Nazwa lagi sambil menilik tubuh suaminya dan memegang tangan suaminya.
Tangan Reza yang terpasang selang infus bergerak memegangi pipi istrinya. "Matamu bengkak, kamu pasti banyak nangis, ya?"
Mengingat apa yang menyebabkannya menangis membuat Nazwa kembali teringat dengan adegan kemesraan itu. Sungguh menyakitkan setiap kali diingat.
"Kamu nangisin aku?" tanya Reza lagi. "Jangan nangis ...."
Harusnya kata-kata itu terdengar menentramkan hati dan menyenangkan. Tapi kali ini, Nazwa tidak senang mendengarnya. Rasa benci kembali menyergapnya.
Nazwa lalu melepas tangan suaminya dari wajahnya. "Kamu sendiri yang buat aku menangis, Mas."
Reza diam. Dia tahu dia yang salah.
Nazwa menggeleng. Air mata mulai bercucuran kembali. "Nggak pantas kamu ngomong begini. Aku b--" Nazwa ingin mengatakan 'aku benci kamu' tapi rasanya juga tak pantas berkata demikian di depan suami yang sedang sakit. Hingga kalimat itu tertahan. Dan wanita itu hanya bisa terisak lagi dengan bibir bergetar dan memegangi pipinya yang basah air mata. Dia tak bisa menyembunyikan kecemburuan dan rasa sakitnya seberapa kuat pun dia mencoba.
"Apa lagi yang mau kamu jelaskan? Akui aja kalau kamu memang berselingkuh. Aku udah telanjur tahu semuanya. Justru kalau kamu menyangkal, aku makin sakit, Mas."
"Maafin aku," lirih Reza. Ungkapan maaf Reza itu menyiratkan kalau dia mengakui dirinya berselingkuh.
"Jadi benar kan Mas kamu selama ini selingkuh dari aku?!"
"Tapi aku bisa jelaskan semuanya, Sayang." Reza berujar pelan.
"Tega sekali kamu, Mas! Apa kurangnya aku selama ini, Mas? Apa?!" Intonasi bicara Nazwa meninggi. Tak kuasa menahan gejolak emosi yang dia tahan sejak tadi. Lalu ekspresinya berubah kala teringat sesuatu. "Oh, apa karena aku belum bisa kasih kamu keturunan, makanya kamu selingkuh?!"
"Bukan itu, Sayang." Reza menggeleng.
"Lalu apa?!"
"Maafin aku," ucap Reza terlihat pasrah. "Tuhan sudah menghukumku. Kumohon kamu jangan menghukumku lagi."
Nazwa menggeleng lagi. "Apa pun alasannya yang kamu lakukan itu dosa besar, Mas! Kamu udah punya pasangan halal, tapi kamu masih mencari yang lain yang haram untuk kamu sentuh. Apa kamu nggak pikirkan itu?!"
"Iya, aku tahu," lirih Reza. "Aku khilaf, Nazwa ...."
"Khilaf? Kalau aku minta kamu jauhi perempuan itu sekarang, bisa? Jangan hubungi dia lagi. Hapus nomornya, bisa?!"
Reza malah diam. Dan itu cukup menjawab pertanyaan Nazwa bahwa suaminya tidak bisa meninggalkan perempuan itu.
"Kamu boleh marah semarah-marahnya. Tapi aku mohon Mama dan Papa jangan sampai tahu masalah ini, ya. Biarkan semua terlihat baik-baik saja." Reza malah membicarakan hal lain. Hal itu membuat perasaan Nazwa makin sakit.
Nazwa terdiam lama sebelum akhirnya menjawab. "Tenang aja kok, Mas. Aku nggak akan membeberkan masalah perselingkuhanmu dengan siapa pun."
Reza tersenyum. "Makasih, Nazwa."
"Aku lakukan ini semua karena aku nggak mau mengecewakan orang tua kita. Bapakku, Papa dan Mama. Jangan mentang-mentang selama ini aku selalu baik ke kamu dan diam aja, lalu kamu jadi seenaknya menyakiti perasaanku dengan berselingkuh, ya, Mas?!"
"Aku minta maaf, Nazwa." Lagi, hanya itu yang bisa Reza katakan.
"Maaf, maaf terus! Coba sekarang kamu jelasin apa salah aku sampai kamu tega berselingkuh sama mantanmu itu?!"
***
Ikuti trus kelanjutannya ya Gaes!!
Setelah seminggu di opname di rumah sakit, Reza akhirnya diperbolehkan pulang oleh dokter. Kedua orang tuanya pun ikut serta mengantarnya ke rumah. Selama proses rawat jalan di rumah, pria itu menggunakan kursi roda. Kepalanya dibalut perban. Dan selama di depan orang tua mereka, Reza dan Nazwa berusaha terlihat baik-baik saja. "Kamu mau baring ke kasur, Mas?" Nazwa bertanya pada Reza kala mereka sudah di kamar. "Sini aku bantu." Nazwa membantu suaminya berdiri dari kursi roda dengan melingkarkan tangan sang suami di bahu sempitnya, lantas dia berjalan pelan-pelan ke arah tempat tidur. "Badanku berat, ya, Sayang." Pria itu tersenyum. Mencoba bergurau sejenak, menepikan masalah yang ada. Nazwa membalas dengan tersenyum kaku. Kalau dulu hati Nazwa selalu berbunga-bunga tiap kali mendengar panggilan istimewa itu. Tapi kali ini perasannya justru muak. Walau pun kemarin Reza sudah menjelaskan bahwa alasannya berselingkuh hanya khilaf dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Reza jug
Raut wajah Nazwa spontan berubah kecut. "Nabila." Reza membelalak, tapi enggan untuk mengangkat telepon itu. Nazwa langsung berdiri. Meletakkan mangkok ke atas nakas. Lantas bergegas keluar kamar. "Nazwa! Nazwa!" Tanpa memedulikan rasa sakit di kepalanya, Reza beringsut dari tempat tidur. Nekat mengejar Nazwa. Susah payah dia berdiri dan berjalan. Baru sampai ambang pintu, pusing di kepalanya menjadi hingga kepalanya terasa berdenyut-denyut, tubuhnya pun ambruk. Dia terduduk di lantai, bokongnya nyeri menghantam lantai ubin. Pasrah memanggil nama Nazwa. Baru saja tadi dia merasa senang karena sikap Nazwa kembali manis, kini rasa bahagia itu sirna secepat kedipan mata. "Nazwa!" *** Nazwa menangis sejadi-jadinya sambil duduk di sofa tamu. Luka ini belum sepenuhnya sembuh. Dia hanya berusaha mengabaikan sakitnya untuk merawat suaminya yang sakit. Belum sembuh luka itu, justru ditambah lagi. Nazwa berusaha untuk sabar dan coba menerima tapi juga tidak bisa. Sakit itu spontan menya
Kalau begini Nazwa sendiri bingung harus menjelaskan apa? Apa dia tetap memberitahu bapaknya bahwa Reza sudah berselingkuh? Lalu bagaimana reaksi bapak jika tahu yang sebenarnya? Apa bapak sanggup menerimanya? Rasanya Nazwa tak tega memberitahu bapak yang sebenarnya. Tapi berbohong rasanya juga tak mungkin. Sudah banyak dosa berbohong yang dia lakukan. Apalagi tadi bapak sepertinya mendengar kalimatnya dengan jelas. "Aku bilang jangan mendekat, Mas! Aku jijik sama kamu! Kamu udah menyentuh perempuan yang bukan mahrammu. Apa aja yang udah kalian lakukan selama ini, hah?!" Alasan masuk akal apa yang bisa dia berikan untuk kalimat semacam itu selain perselingkuhan? Nazwa sekali lagi menatap Reza yang memberi isyarat melalui tatapan mata kalau Nazwa jangan sampai memberitahu yang sebenarnya. "Jujur saja ceritakan masalah kalian yang sebenarnya," ucap Bapak lagi. Nazwa sontak menatap bapaknya kembali. "Iya, Pak. Nazwa akan jujur." 'Baiklah, aku akan bongkar semuanya, Mas. Aku akan ka
"Apa maksud kamu ngomong begitu di depan Bapak, Mas?" Setelah berdiskusi dengan bapak, akhirnya disepakatilah Nazwa memaafkan suaminya dan Pak Rahman meminta mereka menyelesaikan masalah secara baik-baik. Dan Pak Rahman terus menasihati anaknya tentang hakikat pernikahan. Juga menasihati Reza bahwa sang menantu harus banyak-banyak memahami agama lagi. Banyak-banyak membaca Al-Qur'an dan bermuhasabah diri serta bertobat pada Allah atas dosa yang dia perbuat. Dan serentetan ceramah lainnya yang membuat Reza jengah mendengarnya. Tapi beruntunglah dia, bapak mertuanya itu baik dan bijaksana. Tidak memarahi dan menyudutkannya yang sudah berselingkuh. Kini suami-istri itu berdiskusi dalam kamar. Nazwa tidak bisa lagi leluasa marah pada suaminya karena takut di dengar bapak yang menginap di rumah mereka selama beberapa hari ke depan. "Yang mana?" Reza bertanya balik dengan santai. Nazwa yang sedang menatap cermin sambil melepas kerudungnya, berbalik menghadap suaminya yang baring di k
Nazwa mengingat malam di mana Reza pertama kali melamarnya. Pria itu datang bersama kedua orang tuanya, mengkhitbahnya langsung di depan bapaknya. Sebenarnya Nazwa dan Reza sudah mengenal sejak kecil. Karena kedua orang tua mereka berteman baik dan memang berencana menjodohkan anak mereka. Namun, sejak kecil keduanya hanya sebatas tahu nama. Mereka tidak pernah dekat bahkan sekadar untuk berteman. Menjelang dewasa pun demikian. Nazwa hanya tahu sifat-sifat Reza sepintas lalu berdasarkan cerita orang tuanya waktu mendiang ibunya belum meninggal. Yang Nazwa tahu, Reza bukan sosok yang agamis. Banyak wanita yang pernah menjadi pacarnya waktu remaja. Namun, terlepas dari itu semua, Reza juga merupakan sosok pria yang baik, lembut dan penuh perhatian. Pun sebaliknya, Reza mengenal sosok Nazwa yang sholeha dari cerita orang tuanya. Sebagai anak yang berbakti pada orang tua, Nazwa menerima perjodohan itu karena dia percaya pilihan orang tua tidak pernah salah. Satu hari sebelum pernikahan
Keesokan paginya, kala sudah menyiapkan makan untuk bapak--yang dibantu oleh sang asisten rumah tangga--dan melayani suaminya seperti biasa, Nazwa berencana menemui Nabila. Ya, sejak kemarin dia memang ingin berjumpa perempuan itu. Dia harus cepat bertindak sebelum terlalu jauh. Dia akan melakukan apa saja untuk memperbaiki rumah tangganya. Dia harap apa yang dia lakukan ini yang terbaik demi rumah tangganya. "Mumpung sekarang Mas Reza lagi mandi. Aku harus cari nomornya Nabila di handphone-nya," ucap Nazwa sambil meraih ponsel sang suami yang terletak di atas nakas. Dan kebetulan ponsel Reza tidak diberi password seperti biasa. Nazwa tersenyum menatap ponsel yang ada di genggamannya itu. Pelan, dia mengklik daftar kontak sang suami. Lalu meng-scroll-nya. Seketika dia semringah kala menemukan kontak bernama Nabila. Dia pun menyalin nomor tersebut di ponselnya dengan cepat. Ketika dia hendak meletakkan kembali benda pipih itu di atas meja, dia tiba-tiba terpikirkan sesuatu, membuat
"Nggak usah. Langsung to the point aja. Kamu manggil saya ada apa?" Nabila tersenyum tenang. "Oh." Nazwa tertawa renyah. "Kamu pasti kaget, ya, aku tiba-tiba hubungin kamu dan ngajak ketemuan begini? Dan kamu mau datang takut dikira pengecut?" Nazwa menaikkan sebelah alisnya. Lagi, Nabila tersenyum tenang walau dia merasa janggal dengan perubahan sikap Nazwa yang selama ini dia kenal baik dan lembut. Nazwa di hadapannya sekarang tidak seperti Nazwa yang dia kenal pertama kali. Apa karena perempuan itu marah? "Nggak juga. Jadi apa yang mau kamu bicarakan?" "Aku minta kamu jauhi suamiku." Nabila tertegun mendengar kalimat tak terduga itu. "Kenapa? Nggak bisa?" Nabila memasang ekspresi tak mengerti lantas terkekeh pelan. "Excuse me. Jauhi gimana maksudnya? Kamu kan tahu aku sama Reza temenan--" "Kamu lupa apa yang udah pernah aku lihat tempo hari di hotel? Dan Mas Reza sudah mengakui semuanya. Jadi kamu terus terang aja. Kalian bukan hanya sekadar teman kan?" Nabila terdiam. Jadi
Reza keluar dari kamar dengan kursi rodanya ketika dia melihat Nazwa berlari-lari kecil sambil menangis. Wanita itu duduk di kursi ruang tengah. Reza tahu, istrinya itu pasti baru pulang dari menemui Nabila. Reza pun memutar kursi rodanya, mendekat ke sang istri. "Kamu kenapa, Nazwa?" Dia pura-pura tidak tahu. Nazwa yang sedang menangis, menatap suaminya terkejut. Cepat dia menghapus air matanya. "Kamu nemuin Nabila kan?" Reza akhirnya memutuskan to the point saja karena dia tahu Nazwa takkan mau berterus terang. Nazwa lebih terkejut lagi mendengarnya. "Dari mana kamu tahu, Mas?" "Aku tahu. Nabila yang cerita semuanya. Tadi kamu bilang ke aku kamu cuma mau ke pasar. Ternyata kamu malah nemuin Nabila. Kamu udah pintar bohong sekarang, Nazwa." Reza menggeleng tak habis pikir. "Kamu juga sering bohongin aku. Kamu minta aku untuk nggak terus terang sama orang tuamu itu juga kebohongan kan?" Reza tak memedulikan pertanyaan Nazwa dan malah bertanya hal lain. "Kenapa? Kenapa kamu nemu
Semua pasang mata yang ada di sana menatap Nazwa, tidak terkecuali Hanif. "I-iya, Nazwa, maaf kalau ini mengejutkanmu, dan mungkin juga terlalu cepat buatmu setelah apa yang barusan kamu alami. Kalau kamu memang butuh waktu buat menjawab, aku siap menunggu." Nazwa malah terdiam. Begitu pun yang lainnya. Suasana ruangan itu seketika jadi hening. Hingga tiba-tiba Bi Ifah menjawab. "Gimana kalau kita beri Nazwa dan Hanif ruang? Biarkan mereka bicara dari hati ke hati. Iya kan, Nazwa?" *** Akhirnya Nazwa dan Hanif berbicara empat mata sambil berkeliling di sekitar lingkungan rumahnya. Sesekali melihat anak-anak mengejar layangan di tanah kosong yang dipenuhi ilalang. "Aku pikir kamu syok karena ini terlalu cepat bagimu," ucap Hanif yang berjalan di sisi Nazwa sejak tadi. Nazwa yang sejak tadi hanya menunduk, menggeleng pelan. "Bukan masalah waktu. Hanya saja ada banyak hal yang tiba-tiba mengganggu pikiranku," jawabnya. "Apa itu?" Nazwa mendongak menatap Hanif. "Aku nggak nyangka k
Lima bulan kemudian.Seminggu setelah perceraian mereka, seperti yang telah direncanakan, Nazwa memutuskan pulang ke kampung halaman bibinya di Cikidang. Beberapa hari setelah itu dia mendengar kabar bahwa Reza menikah dengan Nabila.Di Cikidang, Nazwa menyibukkan diri dengan mengajar mengaji bagi anak-anak sekitar desa itu di sebuah mushola. Di samping itu, Nazwa juga melanjutkan novelnya, novel yang dulu sempat tertunda. Novel yang terinspirasi dari pernikahannya dengan Reza."Shadaqallahul-'adzim' ...." Nazwa menyudahi bacaan Al-Qur'annya seraya menutup mushafnya. Dan diikuti oleh anak-anak didiknya. "Alhamdulillah sudah selesai." Nazwa lalu menatap anak-anak didiknya yang duduk bersila di hadapannya. "Ngajinya lanjut besok lagi ya anak-anak. Jangan lupa pe-er yang Ibu kasih tadi, hapalan surah Al-Kahfi-nya, ya. Besok boleh disetor.""Baik, Bu ....""Kalau begitu kalian boleh siap-siap pulang, ya."Anak-anak itu pun mulai memasukkan mushaf ke dalam tas masing-masing, bersalaman de
Seminggu kemudian. "Jadi apa yang mau kamu bicarakan?" Reza datang ke rumah orang tuanya dan mengabarkan bahwa dia ingin membicarakan sesuatu yang penting pada orang tuanya. Kini mereka berkumpul di ruang tamu. Kini kedua orang tuanya menatapnya penuh rasa penasaran. "Aku tahu mungkin Papa dan Mama nggak akan setuju dengan keputusan ini. Mama terutama Papa mungkin marah besar, tapi ini keputusanku. Dan aku udah bulat dengan keputusanku. Jadi aku harap Mama dan Papa harus setuju dan merestuiku." "Langsung saja katakan," potong Galih. "Aku ... bakal ngelamar Nabila, Pa, Ma." Reza menatap kedua orang tuanya bergantian. "Nabila?" Mama Rissa tampak terkejut. "Selingkuhanmu itu?" Sementara Galih tampak tenang saja. "Iya, Ma ...." Rissa menoleh menatap suaminya. "Bagaimana, Pa? Papa setuju?" Rissa berbisik, tapi Reza bisa mendengar. Wajah mamanya juga terlihat tidak senang. "Kenapa kamu harus menikahi dia?" tanya Galih setelah lama dia terdiam. "Ya iyalah, Pa. Aku sekarang juga uda
Proses sidang perceraian itu berjalan lancar. Nazwa dan Reza datang menghadirinya. Kedua orang tua Reza dan adiknya, Risma, ikut hadir di sana. Keduanya tidak menginginkan perdamaian dan mediasi. Keduanya mendukung perceraian itu diputuskan secepatnya. Bahkan ketika sang hakim menanyakan kasus perselingkuhan yang Reza lakukan, Reza pun mengakuinya, sama sekali tidak membantah tuduhan tersebut meskipun Nazwa tidak ada membawa bukti apa pun mengenai perselingkuhan suaminya. Semua yang hakim tanyakan diiyakan saja oleh kedua belah pihak seolah sidang perceraian itu hanyalah sebuah formalitas. Hingga akhirnya sang hakim memutuskan mereka resmi bercerai dengan mengetuk palu tiga kali. Dan semuanya selesai begitu saja dengan mudah secepat kedipan mata, tanpa sanggahan, tanpa penolakan, tanpa pertengkaran. Nazwa keluar dari ruangan itu dengan kesedihan meliputi hati. Dia sungguh tak percaya, pernikahannya benar-benar berakhir. Padahal rasanya baru kemarin dia menikah dengan pria pilihan ora
Mobil yang dikendarai Reza memasuki halaman rumahnya yang luas. Dia baru saja pulang dari rumah sakit. Begitu dia memasuki rumah, Bi Juminten muncul, mendatanginya tergesa-gesa. "Ada apa, Bi?" tanya Reza heran. "Eng ini, Pak." Bi Juminten merogoh saku dasternya. "Tadi ada surat panggilan buat Pak Reza." Bi Juminten menyodorkan amplop di hadapan Reza. "Surat panggilan buat saya?" Reza mengernyit sambil menerima surat itu. "Iya. Dari Pengadilan Agama." Seketika jantung Reza berdebar lebih kencang. Bergegas dia membuka amplop tersebut seiring dengan rasa penasaran yang membesar. Bi Jum pamit mundur dari hadapannya, kembali ke dapur. Reza mulai membentang dan membaca surat itu pelan-pelan. Benar, surat itu adalah surat gugatan cerai dari pengadilan agama untuknya. Reza lalu meremas surat itu dengan perasaan kesal yang tak dapat didiskripsikan. Percakapannya dengan Nazwa tempo hari pun terngiang. " .... Aku mantap untuk bercerai dari kamu." "Kamu nggak akan bisa melakukannya, Nazw
"Eh, gosip Dokter Nabila selingkuh sama Dokter Reza itu bener nggak sih?" "Ya benar lah. Itu bukan gosip lagi, tapi fakta. Bahkan katanya Dokter Reza terancam bercerai dari istrinya." "Dokter Reza cerai karena Dokter Nabila?" "Ya iyalah." "Kita tahu sih mereka dari dulu emang deket, kirain teman ternyata mereka ada udang di balik batu." "Dokter Nabila kan mantannya Dokter Reza dulu." "Ehem." Kedua koas manggang yang sedang menjaga IGD itu seketika terdiam mendengar suara dehaman yang amat familier itu. Mereka menoleh menemukan gadis yang baru saja mereka bicarakan. Gadis itu menatap mereka tak suka. Mungkin dia sudah mendengar bisik-bisik itu. "Eh, ada Bu Dokter Nabila," lirih salah satunya cengengesan. Sedangkan yang satunya lagi pura-pura sibuk merapikan lembar kertas di tangannya. "Selamat pagi, Bu. Pagi-pagi udah cantik aj--" "Ngomongin apa kalian barusan?" tanya Nabila menatap kedua cewek itu tajam. "Eng enggak, Bu ...." "Ingat, ya, kalian itu anak magang di sini! Saya
"Kalau Nazwa nggak mau, Papa nggak akan anggap kamu anak!" Kalimat itu terus bertalu-talu di kepala Reza. Reza berharap papanya tidak serius dengan ucapannya. Tapi waktu itu Reza bisa melihat wajah papanya serius saat mengatakan hal itu. Reza takut bagaimana seandainya papanya benar-benar serius membuangnya dari keluarga? Sial! "Ini semua gara-gara Nazwa. Seandainya dia nggak ngomong di depan Mama semuanya nggak akan jadi begini." Reza menggebrak meja di hadapannya. "Nggak ada cara lain. Aku harus bisa bujuk Nazwa buat berbaikan denganku dan membatalkan rencana perceraiannya." Sejak saat itu hampir setiap hari Reza berulang ke rumah orang tuanya, menemui Nazwa dan membujuk istrinya untuk pulang. Namun, percakapan mereka selalu berakhir dengan penolakan Nazwa atau pertengkaran. "Buat apa kamu ngelakuin semua ini, Mas?" tanya Nazwa. "Buat apa lagi kamu memperjuangkan aku setelah apa yang udah kamu lakuin. Kamu tuh sadar nggak? Kamu itu udah nggak waras, ya?! Sakit kamu?!" "Aku mi
"Dulu waktu Mama sedang hamil kamu dan hendak melahirkan, kami pergi ke rumah sakit terdekat, tapi tiba-tiba mobil kami mengalami kecelakaan. Papa berusaha keluar dari mobil dan menggendong Mama yang tengah kesakitan. Waktu itu tengah malam dan sepi. Sama sekali tidak ada orang lewat yang bisa dimintai tolong. Tapi Papa terus berteriak minta tolong. Sampai akhirnya ada orang yang menemui kami. Dialah Pak Rahman. Papa bercerita panjang lebar dengannya bahwa Papa ingin mengantar Mama ke rumah sakit, tapi kami mengalami kecelakaan. Dia yang katanya hendak pulang ke rumah majikan untuk mengantarkan mobil nggak keberatan membawa kami ke rumah sakit sebentar. Singkat cerita kami pergi ke rumah sakit menggunakan mobil majikannya. Satu detik setelah kami pergi, mobil kami di belakang meledak. Waktu itu terjadi Papa terkejut sekaligus bersyukur. Sedikit saja kalau kami nggak pergi dari tempat itu kami bisa-bisa ikut terbakar. Di dalam mobil Mama terus berteriak kesakitan. Air ketubannya bahkan
"Maaf, Mas, aku nggak bisa tinggal sama kamu lagi. Aku mohon kamu hargai keputusanku buat tinggal di rumah Mama. Jadi jangan tahan-tahan aku ...." Kalimat terakhir yang Nazwa ucapkan terngiang-ngiang di telinga Reza seakan membekas dan bertalu-talu. Sakit dan benci hatinya tiap kali mengingatnya. Harga dirinya seakan jatuh di hadapan keluarganya sendiri. Apalagi mengingat wajah Mama dan Risma terakhir kali menatapnya penuh kekecewaan. Dia tak menyangka kesalahan yang dia lakukan kini berdampak parah. Tidak hanya menyakiti perasaan Nazwa, perempuan itu bahkan minta cerai. Bahkan ikut mengecewakan perasaan keluarganya. Lagi pula kenapa Nazwa tega membongkar perselingkuhannya yang sudah tertutup rapat selama ini? Pernikahannya dengan Nazwa benar-benar di ujung tanduk. Apakah pernikahan ini masih bisa dipertahankan? Apakah masih ada harapan? Dering ponsel tiba-tiba berbunyi yang seketika membuyarkan lamunan Reza yang tengah duduk merenung di ruang keluarga. Tatapan Reza lalu mengarah ke