Kalau begini Nazwa sendiri bingung harus menjelaskan apa? Apa dia tetap memberitahu bapaknya bahwa Reza sudah berselingkuh? Lalu bagaimana reaksi bapak jika tahu yang sebenarnya? Apa bapak sanggup menerimanya? Rasanya Nazwa tak tega memberitahu bapak yang sebenarnya. Tapi berbohong rasanya juga tak mungkin. Sudah banyak dosa berbohong yang dia lakukan. Apalagi tadi bapak sepertinya mendengar kalimatnya dengan jelas.
"Aku bilang jangan mendekat, Mas! Aku jijik sama kamu! Kamu udah menyentuh perempuan yang bukan mahrammu. Apa aja yang udah kalian lakukan selama ini, hah?!"
Alasan masuk akal apa yang bisa dia berikan untuk kalimat semacam itu selain perselingkuhan?
Nazwa sekali lagi menatap Reza yang memberi isyarat melalui tatapan mata kalau Nazwa jangan sampai memberitahu yang sebenarnya.
"Jujur saja ceritakan masalah kalian yang sebenarnya," ucap Bapak lagi.
Nazwa sontak menatap bapaknya kembali. "Iya, Pak. Nazwa akan jujur."
'Baiklah, aku akan bongkar semuanya, Mas. Aku akan kasih tahu Bapak kalau kamu selingkuh' batin Nazwa geram.
"Pak, tapi Nazwa mohon ya tolong jangan kasih tahu Mama Rissa sama Papa Galih. Masalah ini cukup Bapak aja yang tahu ya, Pak? Dan Bapak harus tenang, ya. Jangan kaget, ya, Pak."
Si Bapak mengangguk meyakinkan. "Bapak janji."
Nazwa tersenyum, sedetik kemudian wajahnya kembali murung. "Mas Reza selingkuh, Pak."
Sementara Reza di tempatnya membeku. Tangannya terkepal geram. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Di kepalanya hanya dipenuhi tanya. Salah satunya apa yang akan bapak mertuanya lakukan setelah mengetahui masalah ini?
"Astagfirullahal'adzim ... Benar itu, Reza?" Pak Rahman tampak terkejut menatap Reza tak percaya.
Reza memberanikan diri menatap sang bapak mertua. Tapi dia tak langsung menjawab.
Melihat sang menantu hanya diam, Pak Rahman berpaling ke anaknya. "Nazwa, apa kamu sudah membuktikannya? Takutnya jadi fitnah, Nak."
"Nazwa nggak fitnah, Pak. Nazwa sendiri yang menyaksikannya, Mas Reza bohong ke Nazwa bilang ada urusan pekerjaan di rumah sakit. Tahu nya dia pergi ke hotel, ketemuan sama mantannya, Nabila, Pak. Nazwa lihat sendiri mereka bermesraan," jelas Nazwa panjang lebar sambil menangis.
"Astagfirullahal'adzim ...." Pak Rahman mengusap dadanya.
Reza memutar roda kursinya, mendekat ke Pak Rahman. Lantas meraih tangan krisut orang tua itu dan menciumi penuh hormat. "Ampuni saya, Pak. Bapak boleh hukum saya, asal setelah itu bapak memaafkan saya," suara Reza penuh penyesalan.
"Benar kamu selingkuh, Reza?" tanya Pak Rahman lagi.
"Saya menyesal, Pak."
"Kamu sungguh menyesal, Reza?"
Reza terdiam. Dia mengangkat kepalanya, menatap bapak. Lalu melepaskan tangan orang tua itu, pelan.
Apakah dia sungguh menyesal? Rasanya tidak juga. Karena sejatinya dia masih mencintai Nabila, mantan terindahnya. Namun, dia tak mungkin berterus terang ke Bapak. Dia hanya tidak ingin mertuanya tahu masalah rumah tangga mereka. Jika Nazwa berusaha membongkarnya, maka dia berusaha untuk menutupinya. Akhirnya, Reza hanya mengangguk dalam diam. Nazwa tahu Reza hanya berbohong. Dia makin sengit melihat sikap suaminya itu.
"Bapak tidak tahu ada masalah apa dalam pernikahan kalian sampai kamu berselingkuh. Tapi apa pun alasannya, selingkuh tidak bisa dibenarkan. Apa lagi kamu sudah menikah, Reza. Kamu bukan remaja lagi, kamu punya tanggung jawab besar terhadap istrimu. Jika memang ada masalah, bersikaplah terbuka pada istrimu, bicarakan baik-baik, jangan melampiaskannya dengan berselingkuh," nasihat bapak panjang lebar.
"Kalau kamu memang menyesal, minta maaf lah pada Nazwa dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi," beritahu bapak lagi.
"Iya, Pak. Saya sudah minta maaf. Tapi Nazwa nggak mau maafkan saya. Saya juga berusaha menjelaskan tapi Nazwa nggak mau diajak bicara baik-baik."
Pak Rahman menoleh ke Nazwa. "Kenapa tidak dimaafkan, Nak? Beri kesempatan pada suamimu asal dia bisa berjanji tidak mengulanginya."
"Dia nggak bisa berjanji, Pak. Dia nggak bisa meninggalkan selingkuhannya!" jawab Nazwa.
Pak Rahman kembali menatap Reza.
"Beri saya waktu, Pak. Cepat atau lambat saya akan menyelesaikan masalah ini. Saya nggak akan menemui Nabila lagi." Reza lalu beralih menatap Nazwa. "Aku janji, Nazwa."
"Lihat, Nazwa. Apa kamu masih tidak mau memaafkan suamimu?" tanya Pak Rahman pada anaknya. "Masalah dalam pernikahan itu baiknya diselesaikan, bukan malah menjadikannya masalah besar apalagi sampai berujung perceraian. Astaghfirullah, bapak tidak mau itu terjadi dalam pernikahan kalian."
"Nazwa, aku minta maaf. Kamu mau kan maafin aku?"
Menurut kalian mestinya Reza ini dimaafin atau nggak gaes?
"Apa maksud kamu ngomong begitu di depan Bapak, Mas?" Setelah berdiskusi dengan bapak, akhirnya disepakatilah Nazwa memaafkan suaminya dan Pak Rahman meminta mereka menyelesaikan masalah secara baik-baik. Dan Pak Rahman terus menasihati anaknya tentang hakikat pernikahan. Juga menasihati Reza bahwa sang menantu harus banyak-banyak memahami agama lagi. Banyak-banyak membaca Al-Qur'an dan bermuhasabah diri serta bertobat pada Allah atas dosa yang dia perbuat. Dan serentetan ceramah lainnya yang membuat Reza jengah mendengarnya. Tapi beruntunglah dia, bapak mertuanya itu baik dan bijaksana. Tidak memarahi dan menyudutkannya yang sudah berselingkuh. Kini suami-istri itu berdiskusi dalam kamar. Nazwa tidak bisa lagi leluasa marah pada suaminya karena takut di dengar bapak yang menginap di rumah mereka selama beberapa hari ke depan. "Yang mana?" Reza bertanya balik dengan santai. Nazwa yang sedang menatap cermin sambil melepas kerudungnya, berbalik menghadap suaminya yang baring di k
Nazwa mengingat malam di mana Reza pertama kali melamarnya. Pria itu datang bersama kedua orang tuanya, mengkhitbahnya langsung di depan bapaknya. Sebenarnya Nazwa dan Reza sudah mengenal sejak kecil. Karena kedua orang tua mereka berteman baik dan memang berencana menjodohkan anak mereka. Namun, sejak kecil keduanya hanya sebatas tahu nama. Mereka tidak pernah dekat bahkan sekadar untuk berteman. Menjelang dewasa pun demikian. Nazwa hanya tahu sifat-sifat Reza sepintas lalu berdasarkan cerita orang tuanya waktu mendiang ibunya belum meninggal. Yang Nazwa tahu, Reza bukan sosok yang agamis. Banyak wanita yang pernah menjadi pacarnya waktu remaja. Namun, terlepas dari itu semua, Reza juga merupakan sosok pria yang baik, lembut dan penuh perhatian. Pun sebaliknya, Reza mengenal sosok Nazwa yang sholeha dari cerita orang tuanya. Sebagai anak yang berbakti pada orang tua, Nazwa menerima perjodohan itu karena dia percaya pilihan orang tua tidak pernah salah. Satu hari sebelum pernikahan
Keesokan paginya, kala sudah menyiapkan makan untuk bapak--yang dibantu oleh sang asisten rumah tangga--dan melayani suaminya seperti biasa, Nazwa berencana menemui Nabila. Ya, sejak kemarin dia memang ingin berjumpa perempuan itu. Dia harus cepat bertindak sebelum terlalu jauh. Dia akan melakukan apa saja untuk memperbaiki rumah tangganya. Dia harap apa yang dia lakukan ini yang terbaik demi rumah tangganya. "Mumpung sekarang Mas Reza lagi mandi. Aku harus cari nomornya Nabila di handphone-nya," ucap Nazwa sambil meraih ponsel sang suami yang terletak di atas nakas. Dan kebetulan ponsel Reza tidak diberi password seperti biasa. Nazwa tersenyum menatap ponsel yang ada di genggamannya itu. Pelan, dia mengklik daftar kontak sang suami. Lalu meng-scroll-nya. Seketika dia semringah kala menemukan kontak bernama Nabila. Dia pun menyalin nomor tersebut di ponselnya dengan cepat. Ketika dia hendak meletakkan kembali benda pipih itu di atas meja, dia tiba-tiba terpikirkan sesuatu, membuat
"Nggak usah. Langsung to the point aja. Kamu manggil saya ada apa?" Nabila tersenyum tenang. "Oh." Nazwa tertawa renyah. "Kamu pasti kaget, ya, aku tiba-tiba hubungin kamu dan ngajak ketemuan begini? Dan kamu mau datang takut dikira pengecut?" Nazwa menaikkan sebelah alisnya. Lagi, Nabila tersenyum tenang walau dia merasa janggal dengan perubahan sikap Nazwa yang selama ini dia kenal baik dan lembut. Nazwa di hadapannya sekarang tidak seperti Nazwa yang dia kenal pertama kali. Apa karena perempuan itu marah? "Nggak juga. Jadi apa yang mau kamu bicarakan?" "Aku minta kamu jauhi suamiku." Nabila tertegun mendengar kalimat tak terduga itu. "Kenapa? Nggak bisa?" Nabila memasang ekspresi tak mengerti lantas terkekeh pelan. "Excuse me. Jauhi gimana maksudnya? Kamu kan tahu aku sama Reza temenan--" "Kamu lupa apa yang udah pernah aku lihat tempo hari di hotel? Dan Mas Reza sudah mengakui semuanya. Jadi kamu terus terang aja. Kalian bukan hanya sekadar teman kan?" Nabila terdiam. Jadi
Reza keluar dari kamar dengan kursi rodanya ketika dia melihat Nazwa berlari-lari kecil sambil menangis. Wanita itu duduk di kursi ruang tengah. Reza tahu, istrinya itu pasti baru pulang dari menemui Nabila. Reza pun memutar kursi rodanya, mendekat ke sang istri. "Kamu kenapa, Nazwa?" Dia pura-pura tidak tahu. Nazwa yang sedang menangis, menatap suaminya terkejut. Cepat dia menghapus air matanya. "Kamu nemuin Nabila kan?" Reza akhirnya memutuskan to the point saja karena dia tahu Nazwa takkan mau berterus terang. Nazwa lebih terkejut lagi mendengarnya. "Dari mana kamu tahu, Mas?" "Aku tahu. Nabila yang cerita semuanya. Tadi kamu bilang ke aku kamu cuma mau ke pasar. Ternyata kamu malah nemuin Nabila. Kamu udah pintar bohong sekarang, Nazwa." Reza menggeleng tak habis pikir. "Kamu juga sering bohongin aku. Kamu minta aku untuk nggak terus terang sama orang tuamu itu juga kebohongan kan?" Reza tak memedulikan pertanyaan Nazwa dan malah bertanya hal lain. "Kenapa? Kenapa kamu nemu
Akhirnya Pak Rahman di bawa ke rumah sakit menggunakan ambulans. Selama di ambulans, Nazwa terus menangis. Dia begitu mengkhawatirkan keadaan bapaknya. Bahkan ketika bapaknya tiba di rumah sakit pun dia masih menangis. Dia setia duduk di sisi ranjang, sesekali menciumi tangan krisut bapaknya yang sejak tadi belum sadarkan diri. Barusan dokter mengatakan bahwa Pak Rahman terkena serangan jantung. Awalnya, Nazwa syok mendengarnya. Pasalnya selama ini dia tidak pernah tahu jika bapaknya menderita sakit jantung. Dokter juga mengatakan bahwa sakit jantungnya Pak Rahman kambuh sebab stres dan syok yang berlebihan. Nazwa tahu, bapaknya begini pasti karena melihat dirinya dan suaminya bertengkar. Bapaknya sudah semakin tua, sudah banyak menderita berbagai macam penyakit. Dia takut bapaknya meninggalkan dirinya seperti ibunya. Pasalnya banyak kasus di luar sana orang tua meninggal karena serangan jantung mendadak. Tapi untunglah, dokter sudah memeriksanya dan mengatakan kalau Pak Rahman ba
"Ka-kamu? Ngapain kamu ke sini?" "Kamu kok nanya nya gitu, Reza? Ini aku lho yang datang?" respons perempuan itu tidak terima. Lantas perempuan itu memperhatikan sekujur tubuh Reza yang duduk di atas kursi roda dan menggenggam tangan pria itu yang bertengger di atas lengan kursi. "Ya ampun Reza, kondisi kamu sekarang begini? Pakai kursi roda? Untunglah kamu masih bisa sembuh, nggak kenapa-kenapa. Aku kangen banget sama kamu. Aku udah lama nggak liat kamu." Tanpa diduga, Reza malah menarik tangannya dari genggaman perempuan itu. Wajahnya terlihat panik. "Ngapain kamu ke sini ngapain? Untung aja rumah aku nggak ada orang." Perempuan itu yang tak lain adalah Nabila tertawa. "Kamu takut, ya. Kamu bilang rumahmu nggak ada orang? Emangnya istrimu ke mana? Lagian kalau pun ada istrimu, aku malah senang ketemu dia." "Nazwa lagi di rumah sakit, bapaknya terkena serangan jantung mendadak." Nabila tampak terkejut. "Oh ada bapak mertuamu juga?" "Iya, kamu ngapain ke sini?" "Aku jengukin kam
Jam baru menunjukkan pukul sembilan malam. Tapi ruang rawat inap Pak Rahman terasa begitu sunyi senyap. Menyisakan deru AC--yang dinginnya memenuhi ruangan VIP itu--dan suara detak jam di dinding. Di ruang itu hanya ada mereka berdua--Nazwa dan Pak Rahman. Sembari menemani bapaknya yang sedang tidur, Nazwa hanya merenung sejak tadi, duduk di kursi sofa yang ada di ruangan itu, menangis memikirkan masalah yang menderanya. Perselingkuhan suaminya, pertemuannya dengan Nabila tadi pagi, dan bapaknya yang kini menderita penyakit jantung. Masalah bertubi-tubi mendera hidupnya membuat kepalanya pening. Percakapannya dengan Nabila tadi pagi tiba-tiba kembali terngiang. "Kalau udah nyangkut perasaan itu apa pun jadi rumit, Nazwa. Karena cinta nggak ada logika." "Sekarang aku cuma minta kamu jauhi suamiku. Aku minta dengan cara baik-baik. Aku mohon jauhi suamiku. Biarkan kami bahagia." "Kalau saya nggak mau, kamu mau apa? Tanya juga suamimu, mau nggak jauhi saya?" "Tamu itu nggak akan mas
Semua pasang mata yang ada di sana menatap Nazwa, tidak terkecuali Hanif. "I-iya, Nazwa, maaf kalau ini mengejutkanmu, dan mungkin juga terlalu cepat buatmu setelah apa yang barusan kamu alami. Kalau kamu memang butuh waktu buat menjawab, aku siap menunggu." Nazwa malah terdiam. Begitu pun yang lainnya. Suasana ruangan itu seketika jadi hening. Hingga tiba-tiba Bi Ifah menjawab. "Gimana kalau kita beri Nazwa dan Hanif ruang? Biarkan mereka bicara dari hati ke hati. Iya kan, Nazwa?" *** Akhirnya Nazwa dan Hanif berbicara empat mata sambil berkeliling di sekitar lingkungan rumahnya. Sesekali melihat anak-anak mengejar layangan di tanah kosong yang dipenuhi ilalang. "Aku pikir kamu syok karena ini terlalu cepat bagimu," ucap Hanif yang berjalan di sisi Nazwa sejak tadi. Nazwa yang sejak tadi hanya menunduk, menggeleng pelan. "Bukan masalah waktu. Hanya saja ada banyak hal yang tiba-tiba mengganggu pikiranku," jawabnya. "Apa itu?" Nazwa mendongak menatap Hanif. "Aku nggak nyangka k
Lima bulan kemudian.Seminggu setelah perceraian mereka, seperti yang telah direncanakan, Nazwa memutuskan pulang ke kampung halaman bibinya di Cikidang. Beberapa hari setelah itu dia mendengar kabar bahwa Reza menikah dengan Nabila.Di Cikidang, Nazwa menyibukkan diri dengan mengajar mengaji bagi anak-anak sekitar desa itu di sebuah mushola. Di samping itu, Nazwa juga melanjutkan novelnya, novel yang dulu sempat tertunda. Novel yang terinspirasi dari pernikahannya dengan Reza."Shadaqallahul-'adzim' ...." Nazwa menyudahi bacaan Al-Qur'annya seraya menutup mushafnya. Dan diikuti oleh anak-anak didiknya. "Alhamdulillah sudah selesai." Nazwa lalu menatap anak-anak didiknya yang duduk bersila di hadapannya. "Ngajinya lanjut besok lagi ya anak-anak. Jangan lupa pe-er yang Ibu kasih tadi, hapalan surah Al-Kahfi-nya, ya. Besok boleh disetor.""Baik, Bu ....""Kalau begitu kalian boleh siap-siap pulang, ya."Anak-anak itu pun mulai memasukkan mushaf ke dalam tas masing-masing, bersalaman de
Seminggu kemudian. "Jadi apa yang mau kamu bicarakan?" Reza datang ke rumah orang tuanya dan mengabarkan bahwa dia ingin membicarakan sesuatu yang penting pada orang tuanya. Kini mereka berkumpul di ruang tamu. Kini kedua orang tuanya menatapnya penuh rasa penasaran. "Aku tahu mungkin Papa dan Mama nggak akan setuju dengan keputusan ini. Mama terutama Papa mungkin marah besar, tapi ini keputusanku. Dan aku udah bulat dengan keputusanku. Jadi aku harap Mama dan Papa harus setuju dan merestuiku." "Langsung saja katakan," potong Galih. "Aku ... bakal ngelamar Nabila, Pa, Ma." Reza menatap kedua orang tuanya bergantian. "Nabila?" Mama Rissa tampak terkejut. "Selingkuhanmu itu?" Sementara Galih tampak tenang saja. "Iya, Ma ...." Rissa menoleh menatap suaminya. "Bagaimana, Pa? Papa setuju?" Rissa berbisik, tapi Reza bisa mendengar. Wajah mamanya juga terlihat tidak senang. "Kenapa kamu harus menikahi dia?" tanya Galih setelah lama dia terdiam. "Ya iyalah, Pa. Aku sekarang juga uda
Proses sidang perceraian itu berjalan lancar. Nazwa dan Reza datang menghadirinya. Kedua orang tua Reza dan adiknya, Risma, ikut hadir di sana. Keduanya tidak menginginkan perdamaian dan mediasi. Keduanya mendukung perceraian itu diputuskan secepatnya. Bahkan ketika sang hakim menanyakan kasus perselingkuhan yang Reza lakukan, Reza pun mengakuinya, sama sekali tidak membantah tuduhan tersebut meskipun Nazwa tidak ada membawa bukti apa pun mengenai perselingkuhan suaminya. Semua yang hakim tanyakan diiyakan saja oleh kedua belah pihak seolah sidang perceraian itu hanyalah sebuah formalitas. Hingga akhirnya sang hakim memutuskan mereka resmi bercerai dengan mengetuk palu tiga kali. Dan semuanya selesai begitu saja dengan mudah secepat kedipan mata, tanpa sanggahan, tanpa penolakan, tanpa pertengkaran. Nazwa keluar dari ruangan itu dengan kesedihan meliputi hati. Dia sungguh tak percaya, pernikahannya benar-benar berakhir. Padahal rasanya baru kemarin dia menikah dengan pria pilihan ora
Mobil yang dikendarai Reza memasuki halaman rumahnya yang luas. Dia baru saja pulang dari rumah sakit. Begitu dia memasuki rumah, Bi Juminten muncul, mendatanginya tergesa-gesa. "Ada apa, Bi?" tanya Reza heran. "Eng ini, Pak." Bi Juminten merogoh saku dasternya. "Tadi ada surat panggilan buat Pak Reza." Bi Juminten menyodorkan amplop di hadapan Reza. "Surat panggilan buat saya?" Reza mengernyit sambil menerima surat itu. "Iya. Dari Pengadilan Agama." Seketika jantung Reza berdebar lebih kencang. Bergegas dia membuka amplop tersebut seiring dengan rasa penasaran yang membesar. Bi Jum pamit mundur dari hadapannya, kembali ke dapur. Reza mulai membentang dan membaca surat itu pelan-pelan. Benar, surat itu adalah surat gugatan cerai dari pengadilan agama untuknya. Reza lalu meremas surat itu dengan perasaan kesal yang tak dapat didiskripsikan. Percakapannya dengan Nazwa tempo hari pun terngiang. " .... Aku mantap untuk bercerai dari kamu." "Kamu nggak akan bisa melakukannya, Nazw
"Eh, gosip Dokter Nabila selingkuh sama Dokter Reza itu bener nggak sih?" "Ya benar lah. Itu bukan gosip lagi, tapi fakta. Bahkan katanya Dokter Reza terancam bercerai dari istrinya." "Dokter Reza cerai karena Dokter Nabila?" "Ya iyalah." "Kita tahu sih mereka dari dulu emang deket, kirain teman ternyata mereka ada udang di balik batu." "Dokter Nabila kan mantannya Dokter Reza dulu." "Ehem." Kedua koas manggang yang sedang menjaga IGD itu seketika terdiam mendengar suara dehaman yang amat familier itu. Mereka menoleh menemukan gadis yang baru saja mereka bicarakan. Gadis itu menatap mereka tak suka. Mungkin dia sudah mendengar bisik-bisik itu. "Eh, ada Bu Dokter Nabila," lirih salah satunya cengengesan. Sedangkan yang satunya lagi pura-pura sibuk merapikan lembar kertas di tangannya. "Selamat pagi, Bu. Pagi-pagi udah cantik aj--" "Ngomongin apa kalian barusan?" tanya Nabila menatap kedua cewek itu tajam. "Eng enggak, Bu ...." "Ingat, ya, kalian itu anak magang di sini! Saya
"Kalau Nazwa nggak mau, Papa nggak akan anggap kamu anak!" Kalimat itu terus bertalu-talu di kepala Reza. Reza berharap papanya tidak serius dengan ucapannya. Tapi waktu itu Reza bisa melihat wajah papanya serius saat mengatakan hal itu. Reza takut bagaimana seandainya papanya benar-benar serius membuangnya dari keluarga? Sial! "Ini semua gara-gara Nazwa. Seandainya dia nggak ngomong di depan Mama semuanya nggak akan jadi begini." Reza menggebrak meja di hadapannya. "Nggak ada cara lain. Aku harus bisa bujuk Nazwa buat berbaikan denganku dan membatalkan rencana perceraiannya." Sejak saat itu hampir setiap hari Reza berulang ke rumah orang tuanya, menemui Nazwa dan membujuk istrinya untuk pulang. Namun, percakapan mereka selalu berakhir dengan penolakan Nazwa atau pertengkaran. "Buat apa kamu ngelakuin semua ini, Mas?" tanya Nazwa. "Buat apa lagi kamu memperjuangkan aku setelah apa yang udah kamu lakuin. Kamu tuh sadar nggak? Kamu itu udah nggak waras, ya?! Sakit kamu?!" "Aku mi
"Dulu waktu Mama sedang hamil kamu dan hendak melahirkan, kami pergi ke rumah sakit terdekat, tapi tiba-tiba mobil kami mengalami kecelakaan. Papa berusaha keluar dari mobil dan menggendong Mama yang tengah kesakitan. Waktu itu tengah malam dan sepi. Sama sekali tidak ada orang lewat yang bisa dimintai tolong. Tapi Papa terus berteriak minta tolong. Sampai akhirnya ada orang yang menemui kami. Dialah Pak Rahman. Papa bercerita panjang lebar dengannya bahwa Papa ingin mengantar Mama ke rumah sakit, tapi kami mengalami kecelakaan. Dia yang katanya hendak pulang ke rumah majikan untuk mengantarkan mobil nggak keberatan membawa kami ke rumah sakit sebentar. Singkat cerita kami pergi ke rumah sakit menggunakan mobil majikannya. Satu detik setelah kami pergi, mobil kami di belakang meledak. Waktu itu terjadi Papa terkejut sekaligus bersyukur. Sedikit saja kalau kami nggak pergi dari tempat itu kami bisa-bisa ikut terbakar. Di dalam mobil Mama terus berteriak kesakitan. Air ketubannya bahkan
"Maaf, Mas, aku nggak bisa tinggal sama kamu lagi. Aku mohon kamu hargai keputusanku buat tinggal di rumah Mama. Jadi jangan tahan-tahan aku ...." Kalimat terakhir yang Nazwa ucapkan terngiang-ngiang di telinga Reza seakan membekas dan bertalu-talu. Sakit dan benci hatinya tiap kali mengingatnya. Harga dirinya seakan jatuh di hadapan keluarganya sendiri. Apalagi mengingat wajah Mama dan Risma terakhir kali menatapnya penuh kekecewaan. Dia tak menyangka kesalahan yang dia lakukan kini berdampak parah. Tidak hanya menyakiti perasaan Nazwa, perempuan itu bahkan minta cerai. Bahkan ikut mengecewakan perasaan keluarganya. Lagi pula kenapa Nazwa tega membongkar perselingkuhannya yang sudah tertutup rapat selama ini? Pernikahannya dengan Nazwa benar-benar di ujung tanduk. Apakah pernikahan ini masih bisa dipertahankan? Apakah masih ada harapan? Dering ponsel tiba-tiba berbunyi yang seketika membuyarkan lamunan Reza yang tengah duduk merenung di ruang keluarga. Tatapan Reza lalu mengarah ke