Akhirnya Pak Rahman di bawa ke rumah sakit menggunakan ambulans. Selama di ambulans, Nazwa terus menangis. Dia begitu mengkhawatirkan keadaan bapaknya. Bahkan ketika bapaknya tiba di rumah sakit pun dia masih menangis. Dia setia duduk di sisi ranjang, sesekali menciumi tangan krisut bapaknya yang sejak tadi belum sadarkan diri. Barusan dokter mengatakan bahwa Pak Rahman terkena serangan jantung. Awalnya, Nazwa syok mendengarnya. Pasalnya selama ini dia tidak pernah tahu jika bapaknya menderita sakit jantung. Dokter juga mengatakan bahwa sakit jantungnya Pak Rahman kambuh sebab stres dan syok yang berlebihan. Nazwa tahu, bapaknya begini pasti karena melihat dirinya dan suaminya bertengkar. Bapaknya sudah semakin tua, sudah banyak menderita berbagai macam penyakit. Dia takut bapaknya meninggalkan dirinya seperti ibunya. Pasalnya banyak kasus di luar sana orang tua meninggal karena serangan jantung mendadak. Tapi untunglah, dokter sudah memeriksanya dan mengatakan kalau Pak Rahman ba
"Ka-kamu? Ngapain kamu ke sini?" "Kamu kok nanya nya gitu, Reza? Ini aku lho yang datang?" respons perempuan itu tidak terima. Lantas perempuan itu memperhatikan sekujur tubuh Reza yang duduk di atas kursi roda dan menggenggam tangan pria itu yang bertengger di atas lengan kursi. "Ya ampun Reza, kondisi kamu sekarang begini? Pakai kursi roda? Untunglah kamu masih bisa sembuh, nggak kenapa-kenapa. Aku kangen banget sama kamu. Aku udah lama nggak liat kamu." Tanpa diduga, Reza malah menarik tangannya dari genggaman perempuan itu. Wajahnya terlihat panik. "Ngapain kamu ke sini ngapain? Untung aja rumah aku nggak ada orang." Perempuan itu yang tak lain adalah Nabila tertawa. "Kamu takut, ya. Kamu bilang rumahmu nggak ada orang? Emangnya istrimu ke mana? Lagian kalau pun ada istrimu, aku malah senang ketemu dia." "Nazwa lagi di rumah sakit, bapaknya terkena serangan jantung mendadak." Nabila tampak terkejut. "Oh ada bapak mertuamu juga?" "Iya, kamu ngapain ke sini?" "Aku jengukin kam
Jam baru menunjukkan pukul sembilan malam. Tapi ruang rawat inap Pak Rahman terasa begitu sunyi senyap. Menyisakan deru AC--yang dinginnya memenuhi ruangan VIP itu--dan suara detak jam di dinding. Di ruang itu hanya ada mereka berdua--Nazwa dan Pak Rahman. Sembari menemani bapaknya yang sedang tidur, Nazwa hanya merenung sejak tadi, duduk di kursi sofa yang ada di ruangan itu, menangis memikirkan masalah yang menderanya. Perselingkuhan suaminya, pertemuannya dengan Nabila tadi pagi, dan bapaknya yang kini menderita penyakit jantung. Masalah bertubi-tubi mendera hidupnya membuat kepalanya pening. Percakapannya dengan Nabila tadi pagi tiba-tiba kembali terngiang. "Kalau udah nyangkut perasaan itu apa pun jadi rumit, Nazwa. Karena cinta nggak ada logika." "Sekarang aku cuma minta kamu jauhi suamiku. Aku minta dengan cara baik-baik. Aku mohon jauhi suamiku. Biarkan kami bahagia." "Kalau saya nggak mau, kamu mau apa? Tanya juga suamimu, mau nggak jauhi saya?" "Tamu itu nggak akan mas
"Aku lupa sesuatu. Aku belum kasih tahu Mas Reza tentang keadaan Bapak, ya ampun." Nazwa menatap jam dinding yang menunjukkan jam sembilan. "Udah jam segini lagi. Mas Reza pasti khawatir nungguin aku, nih." Dia mengotak-atik ponselnya untuk menelepon, tapi tiba-tiba dia terpikirkan sesuatu yang membuatnya ragu. Apa benar Reza mengkhawatirkannya? Apa Reza menunggu kabar darinya? Apa dia harus memberitahu Reza? Sesaat Nazwa terdiam menatap ponselnya. Kenyataannya suaminya tidak ada meneleponnya. Ya Allah seandainya Reza tidak selingkuh. Sulit sekali rasanya dia menerima kenyataan itu. Nazwa menarik napas dalam-dalam lantas menghembuskannya pelan. "Biar bagaimana pun Mas Reza suamiku, aku tetap harus beritahu dia. Semoga dia nggak marah aku baru kasih tahu sekarang." Nazwa mengklik nomor ponsel suaminya dan meneleponnya. "Halo, Assalamua'alaikum, Mas." "Wa'alaikumussalam, Sayang. Kenapa baru nelepon sekarang? Aku nungguin dari tadi, lho. Keadaan Bapak gimana? Bapak baik-baik aja, kan?
Jam sudah menunjukkan pukul tengah malam. Reza sudah tidur di sofa ruangan. Sedangkan Nazwa entah kenapa dia tidak bisa tidur. Dia sudah mencoba berbaring di sofa seberang suaminya, memejamkan mata, tapi pikirannya ke mana-mana. Dia terus mengingat percakapannya dengan suaminya di depan ruangan tadi. Suaminya berkali-kali meyakinkannya kalau pria itu tak selingkuh lagi. Tapi Nazwa masih ragu dan malah sedih. Entah kenapa dia sulit untuk percaya lagi pada suaminya itu. Hingga akhirnya wanita itu memutuskan terjaga dan menghabiskan waktu menekuni hobi barunya menggunakan laptop. Ya, belakangan ini Nazwa punya kebiasaan baru, lebih tepatnya dia sedang mempelajari sebuah skill baru yaitu menulis. Menulis apa saja terutama sebuah cerita. Dan saat ini dia sedang mencurahkan isi hatinya ke dalam kata-kata mutiara yang memotivasi. Ya, Nazwa juga punya sosial media. Sosial media itu dia gunakan untuk berdakwah melalui statusnya. "Ketika tidak ada bahu untuk bersandar. Masih ada sajadah unt
Nazwa terkejut kala melihat wajah suaminya tampak tegang. Namun, sedetik kemudian dia menyadari sesuatu. Langsung saja dia mengambil alih laptopnya dan menutupnya. Wajahnya pun terlihat panik. "Kamu baca, Mas?" Nazwa menatap suaminya takut-takut. Dia mengerti Reza pasti tersinggung dan marah jika membaca tulisannya. Wajah tegang Reza perlahan berubah tenang. Pria itu lalu tersenyum menenangkan. "Iya, aku baca. Kamu mau nulis cerita, ya?" Nazwa mengangguk, masih dengan raut takut-takut. "Kamu marah?" "Ya, nggak dong." Reza melebarkan senyumnya, berusaha terlihat semeyakinkan mungkin. "Coba jawab kenapa aku harus marah?" Ditanya demikian, Nazwa malah makin tergugup. Dia menundukkan pandangan. Reza mendekat ke istrinya. "Kamu pasti masih mengira aku selingkuh, ya?" Reza menilik lekat-lekat wajah istrinya yang kini membisu. "Harus berapa kali aku bilang. Aku nggak selingkuh lagi. Aku nggak ada hubungan apa pun lagi sama Nabila. Kamu harus percaya itu. Aku harus lakuin apa supaya kam
Beberapa hari kemudian. "Ini sudah saya resepkan obat buat anaknya, ya, Bu. Bisa ditebus di apotik." Nabila menyerahkan kertas resep obat yang sudah dia tulis pada orang tua pasiennya yang menderita penyakit dendam dan flu. "Terima kasih, Dok," ucap ibu pasien menerima kertas resep itu. "Sama-sama." Nabila lantas memandangi anak laki-laki yang duduk di kursi sebelah ibunya. "Obatnya diminum secara teratur, ya, Dek. Semoga cepat sembuh." Sebagai dokter anak, Nabila menasihati pasiennya. Anak laki-laki itu hanya mengangguk. "Kalau begitu kami permisi dulu, ya, Bu Dokter. Sekali lagi terima kasih." "Sama-sama Ibu." Sepeninggal pasien, Nabila bertanya pada perawat yang membantunya sejak tadi. "Masih ada pasien nggak Sus di luar?" "Yang tadi terakhir, Dok," jawab sang perawat perempuan itu. "Oke." Nabila melirik jam tangan di pergelangan tangannya. "Hari ini aku bisa pulang lebih awal dari biasanya, nih." Perempuan mengenakan snelli putih dan bername tag dr. Nabila Putri itu lanta
"Jadi apa yang mau kamu jelaskan?" tanya Nazwa lagi ketika mereka--Nazwa, Reza, dan Nabila--duduk di sofa ruang tamu. Nabila duduk di kursi tunggal berhadapan dengan Nazwa dan Reza. Akhirnya Nazwa mau memberi kesempatan untuk selingkuhan suaminya itu bicara, walau kini wajahnya masih terlihat kesal. "Sebelumnya saya minta maaf sama kamu atas ucapan saya yang kemarin di kafe," tutur Nabila hati-hati, sesekali memandangi Reza yang diam saja. "Iya, lalu?" Nazwa tak kuasa berbasa-basi. "Saya ke sini mau meralat ucapan saya di kafe waktu itu." "Maksudnya?" "Saya nggak akan ganggu hubungan kamu dan Reza lagi. Saya dan Reza sekarang udah nggak ada hubungan apa-apa lagi, kok," terang Nabila. Wajah Nazwa masih tampak tenang menatapnya. Wanita itu lantas tertawa. "Lalu kamu pikir aku percaya dengan semua ucapanmu? Apa yang sebenarnya kamu rencanakan?" "Kamu harus percaya, Nazwa. Kami memang sudah nggak ada hubungan apa-apa lagi. Sungguh." Nazwa mengernyit. "Sejak kapan dan kenapa?" Sej
Semua pasang mata yang ada di sana menatap Nazwa, tidak terkecuali Hanif. "I-iya, Nazwa, maaf kalau ini mengejutkanmu, dan mungkin juga terlalu cepat buatmu setelah apa yang barusan kamu alami. Kalau kamu memang butuh waktu buat menjawab, aku siap menunggu." Nazwa malah terdiam. Begitu pun yang lainnya. Suasana ruangan itu seketika jadi hening. Hingga tiba-tiba Bi Ifah menjawab. "Gimana kalau kita beri Nazwa dan Hanif ruang? Biarkan mereka bicara dari hati ke hati. Iya kan, Nazwa?" *** Akhirnya Nazwa dan Hanif berbicara empat mata sambil berkeliling di sekitar lingkungan rumahnya. Sesekali melihat anak-anak mengejar layangan di tanah kosong yang dipenuhi ilalang. "Aku pikir kamu syok karena ini terlalu cepat bagimu," ucap Hanif yang berjalan di sisi Nazwa sejak tadi. Nazwa yang sejak tadi hanya menunduk, menggeleng pelan. "Bukan masalah waktu. Hanya saja ada banyak hal yang tiba-tiba mengganggu pikiranku," jawabnya. "Apa itu?" Nazwa mendongak menatap Hanif. "Aku nggak nyangka k
Lima bulan kemudian.Seminggu setelah perceraian mereka, seperti yang telah direncanakan, Nazwa memutuskan pulang ke kampung halaman bibinya di Cikidang. Beberapa hari setelah itu dia mendengar kabar bahwa Reza menikah dengan Nabila.Di Cikidang, Nazwa menyibukkan diri dengan mengajar mengaji bagi anak-anak sekitar desa itu di sebuah mushola. Di samping itu, Nazwa juga melanjutkan novelnya, novel yang dulu sempat tertunda. Novel yang terinspirasi dari pernikahannya dengan Reza."Shadaqallahul-'adzim' ...." Nazwa menyudahi bacaan Al-Qur'annya seraya menutup mushafnya. Dan diikuti oleh anak-anak didiknya. "Alhamdulillah sudah selesai." Nazwa lalu menatap anak-anak didiknya yang duduk bersila di hadapannya. "Ngajinya lanjut besok lagi ya anak-anak. Jangan lupa pe-er yang Ibu kasih tadi, hapalan surah Al-Kahfi-nya, ya. Besok boleh disetor.""Baik, Bu ....""Kalau begitu kalian boleh siap-siap pulang, ya."Anak-anak itu pun mulai memasukkan mushaf ke dalam tas masing-masing, bersalaman de
Seminggu kemudian. "Jadi apa yang mau kamu bicarakan?" Reza datang ke rumah orang tuanya dan mengabarkan bahwa dia ingin membicarakan sesuatu yang penting pada orang tuanya. Kini mereka berkumpul di ruang tamu. Kini kedua orang tuanya menatapnya penuh rasa penasaran. "Aku tahu mungkin Papa dan Mama nggak akan setuju dengan keputusan ini. Mama terutama Papa mungkin marah besar, tapi ini keputusanku. Dan aku udah bulat dengan keputusanku. Jadi aku harap Mama dan Papa harus setuju dan merestuiku." "Langsung saja katakan," potong Galih. "Aku ... bakal ngelamar Nabila, Pa, Ma." Reza menatap kedua orang tuanya bergantian. "Nabila?" Mama Rissa tampak terkejut. "Selingkuhanmu itu?" Sementara Galih tampak tenang saja. "Iya, Ma ...." Rissa menoleh menatap suaminya. "Bagaimana, Pa? Papa setuju?" Rissa berbisik, tapi Reza bisa mendengar. Wajah mamanya juga terlihat tidak senang. "Kenapa kamu harus menikahi dia?" tanya Galih setelah lama dia terdiam. "Ya iyalah, Pa. Aku sekarang juga uda
Proses sidang perceraian itu berjalan lancar. Nazwa dan Reza datang menghadirinya. Kedua orang tua Reza dan adiknya, Risma, ikut hadir di sana. Keduanya tidak menginginkan perdamaian dan mediasi. Keduanya mendukung perceraian itu diputuskan secepatnya. Bahkan ketika sang hakim menanyakan kasus perselingkuhan yang Reza lakukan, Reza pun mengakuinya, sama sekali tidak membantah tuduhan tersebut meskipun Nazwa tidak ada membawa bukti apa pun mengenai perselingkuhan suaminya. Semua yang hakim tanyakan diiyakan saja oleh kedua belah pihak seolah sidang perceraian itu hanyalah sebuah formalitas. Hingga akhirnya sang hakim memutuskan mereka resmi bercerai dengan mengetuk palu tiga kali. Dan semuanya selesai begitu saja dengan mudah secepat kedipan mata, tanpa sanggahan, tanpa penolakan, tanpa pertengkaran. Nazwa keluar dari ruangan itu dengan kesedihan meliputi hati. Dia sungguh tak percaya, pernikahannya benar-benar berakhir. Padahal rasanya baru kemarin dia menikah dengan pria pilihan ora
Mobil yang dikendarai Reza memasuki halaman rumahnya yang luas. Dia baru saja pulang dari rumah sakit. Begitu dia memasuki rumah, Bi Juminten muncul, mendatanginya tergesa-gesa. "Ada apa, Bi?" tanya Reza heran. "Eng ini, Pak." Bi Juminten merogoh saku dasternya. "Tadi ada surat panggilan buat Pak Reza." Bi Juminten menyodorkan amplop di hadapan Reza. "Surat panggilan buat saya?" Reza mengernyit sambil menerima surat itu. "Iya. Dari Pengadilan Agama." Seketika jantung Reza berdebar lebih kencang. Bergegas dia membuka amplop tersebut seiring dengan rasa penasaran yang membesar. Bi Jum pamit mundur dari hadapannya, kembali ke dapur. Reza mulai membentang dan membaca surat itu pelan-pelan. Benar, surat itu adalah surat gugatan cerai dari pengadilan agama untuknya. Reza lalu meremas surat itu dengan perasaan kesal yang tak dapat didiskripsikan. Percakapannya dengan Nazwa tempo hari pun terngiang. " .... Aku mantap untuk bercerai dari kamu." "Kamu nggak akan bisa melakukannya, Nazw
"Eh, gosip Dokter Nabila selingkuh sama Dokter Reza itu bener nggak sih?" "Ya benar lah. Itu bukan gosip lagi, tapi fakta. Bahkan katanya Dokter Reza terancam bercerai dari istrinya." "Dokter Reza cerai karena Dokter Nabila?" "Ya iyalah." "Kita tahu sih mereka dari dulu emang deket, kirain teman ternyata mereka ada udang di balik batu." "Dokter Nabila kan mantannya Dokter Reza dulu." "Ehem." Kedua koas manggang yang sedang menjaga IGD itu seketika terdiam mendengar suara dehaman yang amat familier itu. Mereka menoleh menemukan gadis yang baru saja mereka bicarakan. Gadis itu menatap mereka tak suka. Mungkin dia sudah mendengar bisik-bisik itu. "Eh, ada Bu Dokter Nabila," lirih salah satunya cengengesan. Sedangkan yang satunya lagi pura-pura sibuk merapikan lembar kertas di tangannya. "Selamat pagi, Bu. Pagi-pagi udah cantik aj--" "Ngomongin apa kalian barusan?" tanya Nabila menatap kedua cewek itu tajam. "Eng enggak, Bu ...." "Ingat, ya, kalian itu anak magang di sini! Saya
"Kalau Nazwa nggak mau, Papa nggak akan anggap kamu anak!" Kalimat itu terus bertalu-talu di kepala Reza. Reza berharap papanya tidak serius dengan ucapannya. Tapi waktu itu Reza bisa melihat wajah papanya serius saat mengatakan hal itu. Reza takut bagaimana seandainya papanya benar-benar serius membuangnya dari keluarga? Sial! "Ini semua gara-gara Nazwa. Seandainya dia nggak ngomong di depan Mama semuanya nggak akan jadi begini." Reza menggebrak meja di hadapannya. "Nggak ada cara lain. Aku harus bisa bujuk Nazwa buat berbaikan denganku dan membatalkan rencana perceraiannya." Sejak saat itu hampir setiap hari Reza berulang ke rumah orang tuanya, menemui Nazwa dan membujuk istrinya untuk pulang. Namun, percakapan mereka selalu berakhir dengan penolakan Nazwa atau pertengkaran. "Buat apa kamu ngelakuin semua ini, Mas?" tanya Nazwa. "Buat apa lagi kamu memperjuangkan aku setelah apa yang udah kamu lakuin. Kamu tuh sadar nggak? Kamu itu udah nggak waras, ya?! Sakit kamu?!" "Aku mi
"Dulu waktu Mama sedang hamil kamu dan hendak melahirkan, kami pergi ke rumah sakit terdekat, tapi tiba-tiba mobil kami mengalami kecelakaan. Papa berusaha keluar dari mobil dan menggendong Mama yang tengah kesakitan. Waktu itu tengah malam dan sepi. Sama sekali tidak ada orang lewat yang bisa dimintai tolong. Tapi Papa terus berteriak minta tolong. Sampai akhirnya ada orang yang menemui kami. Dialah Pak Rahman. Papa bercerita panjang lebar dengannya bahwa Papa ingin mengantar Mama ke rumah sakit, tapi kami mengalami kecelakaan. Dia yang katanya hendak pulang ke rumah majikan untuk mengantarkan mobil nggak keberatan membawa kami ke rumah sakit sebentar. Singkat cerita kami pergi ke rumah sakit menggunakan mobil majikannya. Satu detik setelah kami pergi, mobil kami di belakang meledak. Waktu itu terjadi Papa terkejut sekaligus bersyukur. Sedikit saja kalau kami nggak pergi dari tempat itu kami bisa-bisa ikut terbakar. Di dalam mobil Mama terus berteriak kesakitan. Air ketubannya bahkan
"Maaf, Mas, aku nggak bisa tinggal sama kamu lagi. Aku mohon kamu hargai keputusanku buat tinggal di rumah Mama. Jadi jangan tahan-tahan aku ...." Kalimat terakhir yang Nazwa ucapkan terngiang-ngiang di telinga Reza seakan membekas dan bertalu-talu. Sakit dan benci hatinya tiap kali mengingatnya. Harga dirinya seakan jatuh di hadapan keluarganya sendiri. Apalagi mengingat wajah Mama dan Risma terakhir kali menatapnya penuh kekecewaan. Dia tak menyangka kesalahan yang dia lakukan kini berdampak parah. Tidak hanya menyakiti perasaan Nazwa, perempuan itu bahkan minta cerai. Bahkan ikut mengecewakan perasaan keluarganya. Lagi pula kenapa Nazwa tega membongkar perselingkuhannya yang sudah tertutup rapat selama ini? Pernikahannya dengan Nazwa benar-benar di ujung tanduk. Apakah pernikahan ini masih bisa dipertahankan? Apakah masih ada harapan? Dering ponsel tiba-tiba berbunyi yang seketika membuyarkan lamunan Reza yang tengah duduk merenung di ruang keluarga. Tatapan Reza lalu mengarah ke