Beberapa hari kemudian. "Ini sudah saya resepkan obat buat anaknya, ya, Bu. Bisa ditebus di apotik." Nabila menyerahkan kertas resep obat yang sudah dia tulis pada orang tua pasiennya yang menderita penyakit dendam dan flu. "Terima kasih, Dok," ucap ibu pasien menerima kertas resep itu. "Sama-sama." Nabila lantas memandangi anak laki-laki yang duduk di kursi sebelah ibunya. "Obatnya diminum secara teratur, ya, Dek. Semoga cepat sembuh." Sebagai dokter anak, Nabila menasihati pasiennya. Anak laki-laki itu hanya mengangguk. "Kalau begitu kami permisi dulu, ya, Bu Dokter. Sekali lagi terima kasih." "Sama-sama Ibu." Sepeninggal pasien, Nabila bertanya pada perawat yang membantunya sejak tadi. "Masih ada pasien nggak Sus di luar?" "Yang tadi terakhir, Dok," jawab sang perawat perempuan itu. "Oke." Nabila melirik jam tangan di pergelangan tangannya. "Hari ini aku bisa pulang lebih awal dari biasanya, nih." Perempuan mengenakan snelli putih dan bername tag dr. Nabila Putri itu lanta
"Jadi apa yang mau kamu jelaskan?" tanya Nazwa lagi ketika mereka--Nazwa, Reza, dan Nabila--duduk di sofa ruang tamu. Nabila duduk di kursi tunggal berhadapan dengan Nazwa dan Reza. Akhirnya Nazwa mau memberi kesempatan untuk selingkuhan suaminya itu bicara, walau kini wajahnya masih terlihat kesal. "Sebelumnya saya minta maaf sama kamu atas ucapan saya yang kemarin di kafe," tutur Nabila hati-hati, sesekali memandangi Reza yang diam saja. "Iya, lalu?" Nazwa tak kuasa berbasa-basi. "Saya ke sini mau meralat ucapan saya di kafe waktu itu." "Maksudnya?" "Saya nggak akan ganggu hubungan kamu dan Reza lagi. Saya dan Reza sekarang udah nggak ada hubungan apa-apa lagi, kok," terang Nabila. Wajah Nazwa masih tampak tenang menatapnya. Wanita itu lantas tertawa. "Lalu kamu pikir aku percaya dengan semua ucapanmu? Apa yang sebenarnya kamu rencanakan?" "Kamu harus percaya, Nazwa. Kami memang sudah nggak ada hubungan apa-apa lagi. Sungguh." Nazwa mengernyit. "Sejak kapan dan kenapa?" Sej
Nazwa telah menyaksikan bagaimana Nabila sungguh-sungguh meminta maaf padanya akan kesalahan-kesalahannya. Nabila bahkan bisa membuktikan kalau dia ingin dijodohkan oleh orang tuanya. Nabila juga menunjukkan perhatian pada bapaknya yang sakit dan menjenguknya. Logikanya jika memang benar Nabila mau menikah, tak mungkin dia masih mengganggu suami orang. Mungkin benar mereka sudah tak ada hubungan apa-apa lagi. Pemikiran itulah yang membuat Nazwa akhirnya mau memaafkan Nabila dan memberinya kepercayaan. Nazwa juga merasa suaminya butuh diberi kesempatan kedua. Lagi pula mana ada di dunia ini manusia yang tidak pernah berbuat salah. Allah saja maha mengampuni, memaafkan kesalahan hamba-hambanya walau dosa manusia sebanyak buih di lautan. Kenapa tidak dengan dirinya yang hanyalah manusia biasa? Ketika Nabila sudah pamit pulang, Nazwa berkata pada suaminya. "Mas, aku mau liat keadaan Bapak dulu." Reza mengangguk saja. Nazwa lantas masuk, menuju kamar bapaknya. Selagi Nazwa mengunjungi
"Tadi ada siapa di luar?" Pak Rahman yang mengenakan syal di leher dan bersandar di tempat tidur, bertanya pada Nazwa. Orang tua itu rupanya juga mendengar ada suara tamu. Nazwa diam sebelum akhirnya menjawab. "Nabila, Pak." "Nabila siapa?" Pak Rahman bertanya sambil terbatuk-batuk. Dengan ragu Nazwa menjawab. "Selingkuhannya Mas Reza." Nazwa lalu menatap bapaknya khawatir, takut juga orang tua itu terkejut. Tapi bapaknya sudah telanjur tahu dan dia tak bisa terus-terusan berbohong pada bapaknya. "Kenapa kamu nggak bilang-bilang Bapak?" Nazwa menatap bapaknya tak mengerti. "Buat apa, Pak?" "Bapak mau ngomong sama dia." Lagi Pak Rahman terbatuk-batuk. Nazwa tersenyum tipis. "Nazwa tahu, Bapak peduli pada keadaan rumah tangga kami. Nazwa sangat berterima kasih dan bersyukur. Tapi sekarang semuanya udah baik-baik aja, kok. Nggak ada yang perlu Bapak bicarakan lagi. Bapak nggak perlu khawatir, ya. Masalahnya udah selesai." Nazwa menggenggam tangan krisut bapaknya, meyakinkan orang t
"Mungkin? Kamu sendiri nggak tahu suamimu di mana? Dia kan baru operasi? Kenapa dibiarin pergi-pergi aja." "Aku juga nggak tahu, Ma. Soalnya--" "Eh, ada Mama." Rissa dan Nazwa menoleh ke sumber suara. Terlihat Reza muncul. "Mas, kamu dari mana aja, Mas?" Nazwa mendatangkan suaminya dengan mimik wajah khawatir. "Aku barusan keliling komplek. Iseng aja cari angin udah lama juga nggak liat pemandangan luar. Tapi tadi aku ketemu mamang bakso di jalan. Ya udah aku beliin buat kamu dan Bapak." Reza meninting dua kantong bakso di hadapan Nazwa dengan tersenyum. Nazwa menghela napas. "Ada-ada aja kamu, Mas. Tapi makasih, ya." Nazwa menerima kantong bakso itu. "Ya ampun, Za. Kamu itu kan belum pulih bener. Kok udah keluyuran aja. Nggak pakai kursi roda lagi." Mama Rissa menyahut. Beliau tampak khawatir memperhatikan anaknya dari ujung kaki hingga kepala. Reza terkekeh. "Tenang aja, Ma. Buktinya nih aku baik-baik aja kan? Aku udah lumayan enakan kok." Mama Rissa menghela napas. "Tadi a
"Memangnya Mama kenapa?" "Mama makin ke sini kayaknya makin nggak senang sama aku." "Kenapa kamu bisa berpikir begitu?" Nazwa menatap Reza. "Iya, Mas. Sejak tahu aku belum bisa kasih kamu keturunan, sikap Mama Rissa dan Papa Galih berubah ke aku. Aku ingat dulu waktu awal-awal kita nikah, Mama dan Papa begitu menyayangiku, menganggapku sebagai menantu kesayangan, selalu mengistimewakan aku, tapi sejak itu ...." Kalimat Nazwa terputus. Wanita itu malah terdiam dan menggeleng. "Dan sampai sekarang sikap mereka berubah ke aku." Reza memegang kedua pundak istrinya erat dan menatap wajah istrinya lekat-lekat "Nggak begitu ... Kamu jangan overthingking dulu, dong. Mungkin sikap Mama begitu tadi karena Mama lagi badmood aja, atau Mama terlampau panik karena nyariin aku. Jadinya imbasnya marah-marah ke kamu, aku paham kok Mama Papa itu gimana orangnya. Mama dan Papa nggak berubah kok. Mereka tetap menganggap kamu menantu kesayangan. Kamu kan istri kesayangan aku ...." "Tapi aku ngerasanya
Reza menatap mamanya dengan tenang, berusaha menahan perasaannya yang kini seperti deburan ombak. "Maksud apa ya, Ma?" Reza pura-pura tak mengerti. Nazwa pun berbalik badan, menatap Mama. Mama Rissa berjalan mendekat. "Nazwa mau memberi kesempatan kedua buat kamu itu apa maksudnya, Reza? Kamu habis melakukan kesalahan apa?" Tatapan Mama Rissa tajam menatap anak dan menantunya, menuntut penjelasan. Nazwa pun tahu, ternyata Mama Rissa tak mendengar semua percakapan mereka. "Eng--" Reza malah gelagapan. "Kesempatan itu, Ma ...." "Kesempatan untuk memperbaiki diri, Ma," sahut Nazwa. Mama Rissa malah mengernyit tak percaya. Nazwa pun meyakinkan. "Iya, itu kan akhir-akhir ini Mas Reza susah kalau dibilangin. Ngajinya masih bolong-bolong mesti tunggu di suruh-suruh gitu, Ma. Kan aku juga ngeluh, nanya ke Mas Reza kapan sih dia bisa benar-benar berubah gitu. Mas Reza bilang beri dia kesempatan waktu buat berubah, gitu, Ma." "Bener?" Mama Rissa menatap keduanya ragu. "Iya, Ma." "Be
Nazwa menoleh kala suaminya kembali memeluk pinggangnya. Bahunya terasa hangat karena ada bahu pria itu yang bertopang. Reza membalas pandangannya dan menaikkan kedua alis. "Kenapa, Sayang?" "Kita udah banyak bohong, Mas." "Nggak pa-pa. Bohong demi kebaikan. Alhamdulillah Mama percaya. Dan setelah ini kita akan memperbaiki semuanya. Makasih tadi kamu udah bantu aku jawab." Nazwa diam saja. "Nazwa," bisik Reza yang membuat kembali menatapnya. Mereka bersitatap dengan jarak yang amat dekat. "Aku kangen sama kita yang dulu. Kita yang selalu romantis dan mesra kayak gini." "Iya, Mas." "Iya apa?" "Iya, aku juga kangen ...." Nazwa lalu teringat sesuatu. "Kok aku jadi berasa kayak ABG labil yang baru pacaran, ya?" Reza terkekeh mendengarnya. "Bagus kalau gitu. Itu artinya, kamu udah beneran maafin aku, nggak ragu-ragu lagi. Nggak ada yang mengganjal lagi kan di hati kamu?" Nazwa hanya menggeleng, lantas tersenyum. "Eh, kamu ngomong begitu barusan, emangnya kamu pernah pacaran? Tahu
Semua pasang mata yang ada di sana menatap Nazwa, tidak terkecuali Hanif. "I-iya, Nazwa, maaf kalau ini mengejutkanmu, dan mungkin juga terlalu cepat buatmu setelah apa yang barusan kamu alami. Kalau kamu memang butuh waktu buat menjawab, aku siap menunggu." Nazwa malah terdiam. Begitu pun yang lainnya. Suasana ruangan itu seketika jadi hening. Hingga tiba-tiba Bi Ifah menjawab. "Gimana kalau kita beri Nazwa dan Hanif ruang? Biarkan mereka bicara dari hati ke hati. Iya kan, Nazwa?" *** Akhirnya Nazwa dan Hanif berbicara empat mata sambil berkeliling di sekitar lingkungan rumahnya. Sesekali melihat anak-anak mengejar layangan di tanah kosong yang dipenuhi ilalang. "Aku pikir kamu syok karena ini terlalu cepat bagimu," ucap Hanif yang berjalan di sisi Nazwa sejak tadi. Nazwa yang sejak tadi hanya menunduk, menggeleng pelan. "Bukan masalah waktu. Hanya saja ada banyak hal yang tiba-tiba mengganggu pikiranku," jawabnya. "Apa itu?" Nazwa mendongak menatap Hanif. "Aku nggak nyangka k
Lima bulan kemudian.Seminggu setelah perceraian mereka, seperti yang telah direncanakan, Nazwa memutuskan pulang ke kampung halaman bibinya di Cikidang. Beberapa hari setelah itu dia mendengar kabar bahwa Reza menikah dengan Nabila.Di Cikidang, Nazwa menyibukkan diri dengan mengajar mengaji bagi anak-anak sekitar desa itu di sebuah mushola. Di samping itu, Nazwa juga melanjutkan novelnya, novel yang dulu sempat tertunda. Novel yang terinspirasi dari pernikahannya dengan Reza."Shadaqallahul-'adzim' ...." Nazwa menyudahi bacaan Al-Qur'annya seraya menutup mushafnya. Dan diikuti oleh anak-anak didiknya. "Alhamdulillah sudah selesai." Nazwa lalu menatap anak-anak didiknya yang duduk bersila di hadapannya. "Ngajinya lanjut besok lagi ya anak-anak. Jangan lupa pe-er yang Ibu kasih tadi, hapalan surah Al-Kahfi-nya, ya. Besok boleh disetor.""Baik, Bu ....""Kalau begitu kalian boleh siap-siap pulang, ya."Anak-anak itu pun mulai memasukkan mushaf ke dalam tas masing-masing, bersalaman de
Seminggu kemudian. "Jadi apa yang mau kamu bicarakan?" Reza datang ke rumah orang tuanya dan mengabarkan bahwa dia ingin membicarakan sesuatu yang penting pada orang tuanya. Kini mereka berkumpul di ruang tamu. Kini kedua orang tuanya menatapnya penuh rasa penasaran. "Aku tahu mungkin Papa dan Mama nggak akan setuju dengan keputusan ini. Mama terutama Papa mungkin marah besar, tapi ini keputusanku. Dan aku udah bulat dengan keputusanku. Jadi aku harap Mama dan Papa harus setuju dan merestuiku." "Langsung saja katakan," potong Galih. "Aku ... bakal ngelamar Nabila, Pa, Ma." Reza menatap kedua orang tuanya bergantian. "Nabila?" Mama Rissa tampak terkejut. "Selingkuhanmu itu?" Sementara Galih tampak tenang saja. "Iya, Ma ...." Rissa menoleh menatap suaminya. "Bagaimana, Pa? Papa setuju?" Rissa berbisik, tapi Reza bisa mendengar. Wajah mamanya juga terlihat tidak senang. "Kenapa kamu harus menikahi dia?" tanya Galih setelah lama dia terdiam. "Ya iyalah, Pa. Aku sekarang juga uda
Proses sidang perceraian itu berjalan lancar. Nazwa dan Reza datang menghadirinya. Kedua orang tua Reza dan adiknya, Risma, ikut hadir di sana. Keduanya tidak menginginkan perdamaian dan mediasi. Keduanya mendukung perceraian itu diputuskan secepatnya. Bahkan ketika sang hakim menanyakan kasus perselingkuhan yang Reza lakukan, Reza pun mengakuinya, sama sekali tidak membantah tuduhan tersebut meskipun Nazwa tidak ada membawa bukti apa pun mengenai perselingkuhan suaminya. Semua yang hakim tanyakan diiyakan saja oleh kedua belah pihak seolah sidang perceraian itu hanyalah sebuah formalitas. Hingga akhirnya sang hakim memutuskan mereka resmi bercerai dengan mengetuk palu tiga kali. Dan semuanya selesai begitu saja dengan mudah secepat kedipan mata, tanpa sanggahan, tanpa penolakan, tanpa pertengkaran. Nazwa keluar dari ruangan itu dengan kesedihan meliputi hati. Dia sungguh tak percaya, pernikahannya benar-benar berakhir. Padahal rasanya baru kemarin dia menikah dengan pria pilihan ora
Mobil yang dikendarai Reza memasuki halaman rumahnya yang luas. Dia baru saja pulang dari rumah sakit. Begitu dia memasuki rumah, Bi Juminten muncul, mendatanginya tergesa-gesa. "Ada apa, Bi?" tanya Reza heran. "Eng ini, Pak." Bi Juminten merogoh saku dasternya. "Tadi ada surat panggilan buat Pak Reza." Bi Juminten menyodorkan amplop di hadapan Reza. "Surat panggilan buat saya?" Reza mengernyit sambil menerima surat itu. "Iya. Dari Pengadilan Agama." Seketika jantung Reza berdebar lebih kencang. Bergegas dia membuka amplop tersebut seiring dengan rasa penasaran yang membesar. Bi Jum pamit mundur dari hadapannya, kembali ke dapur. Reza mulai membentang dan membaca surat itu pelan-pelan. Benar, surat itu adalah surat gugatan cerai dari pengadilan agama untuknya. Reza lalu meremas surat itu dengan perasaan kesal yang tak dapat didiskripsikan. Percakapannya dengan Nazwa tempo hari pun terngiang. " .... Aku mantap untuk bercerai dari kamu." "Kamu nggak akan bisa melakukannya, Nazw
"Eh, gosip Dokter Nabila selingkuh sama Dokter Reza itu bener nggak sih?" "Ya benar lah. Itu bukan gosip lagi, tapi fakta. Bahkan katanya Dokter Reza terancam bercerai dari istrinya." "Dokter Reza cerai karena Dokter Nabila?" "Ya iyalah." "Kita tahu sih mereka dari dulu emang deket, kirain teman ternyata mereka ada udang di balik batu." "Dokter Nabila kan mantannya Dokter Reza dulu." "Ehem." Kedua koas manggang yang sedang menjaga IGD itu seketika terdiam mendengar suara dehaman yang amat familier itu. Mereka menoleh menemukan gadis yang baru saja mereka bicarakan. Gadis itu menatap mereka tak suka. Mungkin dia sudah mendengar bisik-bisik itu. "Eh, ada Bu Dokter Nabila," lirih salah satunya cengengesan. Sedangkan yang satunya lagi pura-pura sibuk merapikan lembar kertas di tangannya. "Selamat pagi, Bu. Pagi-pagi udah cantik aj--" "Ngomongin apa kalian barusan?" tanya Nabila menatap kedua cewek itu tajam. "Eng enggak, Bu ...." "Ingat, ya, kalian itu anak magang di sini! Saya
"Kalau Nazwa nggak mau, Papa nggak akan anggap kamu anak!" Kalimat itu terus bertalu-talu di kepala Reza. Reza berharap papanya tidak serius dengan ucapannya. Tapi waktu itu Reza bisa melihat wajah papanya serius saat mengatakan hal itu. Reza takut bagaimana seandainya papanya benar-benar serius membuangnya dari keluarga? Sial! "Ini semua gara-gara Nazwa. Seandainya dia nggak ngomong di depan Mama semuanya nggak akan jadi begini." Reza menggebrak meja di hadapannya. "Nggak ada cara lain. Aku harus bisa bujuk Nazwa buat berbaikan denganku dan membatalkan rencana perceraiannya." Sejak saat itu hampir setiap hari Reza berulang ke rumah orang tuanya, menemui Nazwa dan membujuk istrinya untuk pulang. Namun, percakapan mereka selalu berakhir dengan penolakan Nazwa atau pertengkaran. "Buat apa kamu ngelakuin semua ini, Mas?" tanya Nazwa. "Buat apa lagi kamu memperjuangkan aku setelah apa yang udah kamu lakuin. Kamu tuh sadar nggak? Kamu itu udah nggak waras, ya?! Sakit kamu?!" "Aku mi
"Dulu waktu Mama sedang hamil kamu dan hendak melahirkan, kami pergi ke rumah sakit terdekat, tapi tiba-tiba mobil kami mengalami kecelakaan. Papa berusaha keluar dari mobil dan menggendong Mama yang tengah kesakitan. Waktu itu tengah malam dan sepi. Sama sekali tidak ada orang lewat yang bisa dimintai tolong. Tapi Papa terus berteriak minta tolong. Sampai akhirnya ada orang yang menemui kami. Dialah Pak Rahman. Papa bercerita panjang lebar dengannya bahwa Papa ingin mengantar Mama ke rumah sakit, tapi kami mengalami kecelakaan. Dia yang katanya hendak pulang ke rumah majikan untuk mengantarkan mobil nggak keberatan membawa kami ke rumah sakit sebentar. Singkat cerita kami pergi ke rumah sakit menggunakan mobil majikannya. Satu detik setelah kami pergi, mobil kami di belakang meledak. Waktu itu terjadi Papa terkejut sekaligus bersyukur. Sedikit saja kalau kami nggak pergi dari tempat itu kami bisa-bisa ikut terbakar. Di dalam mobil Mama terus berteriak kesakitan. Air ketubannya bahkan
"Maaf, Mas, aku nggak bisa tinggal sama kamu lagi. Aku mohon kamu hargai keputusanku buat tinggal di rumah Mama. Jadi jangan tahan-tahan aku ...." Kalimat terakhir yang Nazwa ucapkan terngiang-ngiang di telinga Reza seakan membekas dan bertalu-talu. Sakit dan benci hatinya tiap kali mengingatnya. Harga dirinya seakan jatuh di hadapan keluarganya sendiri. Apalagi mengingat wajah Mama dan Risma terakhir kali menatapnya penuh kekecewaan. Dia tak menyangka kesalahan yang dia lakukan kini berdampak parah. Tidak hanya menyakiti perasaan Nazwa, perempuan itu bahkan minta cerai. Bahkan ikut mengecewakan perasaan keluarganya. Lagi pula kenapa Nazwa tega membongkar perselingkuhannya yang sudah tertutup rapat selama ini? Pernikahannya dengan Nazwa benar-benar di ujung tanduk. Apakah pernikahan ini masih bisa dipertahankan? Apakah masih ada harapan? Dering ponsel tiba-tiba berbunyi yang seketika membuyarkan lamunan Reza yang tengah duduk merenung di ruang keluarga. Tatapan Reza lalu mengarah ke