Aku pulang setelah dua bulan berada di luar negeri. Tanpa memberitahu orang rumah, aku datang secara diam-diam bermaksud memberikan kejutan. Namun, bukannya memberi kejutan, justru aku lah yang menerima kejutan itu. Ya, kejutan atas perlakuan istri pada ibuku sendiri!
Lihat lebih banyakEXTRA PART ZAHRA (2)"Zah, aku serius, loh." Aku mengernyitkan kening. "Apa?" "Aku, ingin mengajakmu nikah." Debar dalam dada kian terasa. Haruskah aku menerimanya?__"Gimana ya..." Jujur saja aku bingung. Mas Leman adalah teman sekaligus rekan kerjanya Mas Gani di kantor dulu. Iya memang sudah berlalu, tapi rasanya aneh jika aku menikah dengan lelaki yang bahkan ada hubungan dengan mantan suamiku. "Please. Aku sudah mengumpulkan niat ini dari lama." "Tapi, Mas, kamu kan..." "Temannya Gani?" Perlahan aku mengangguk. Memang itu kenyataannya. "Tapi kita tinggal di sini. Lagipula kenapa? Gani bahkan sudah menikah lagi, dan sudah punya anak. Sudah berapa tahun kamu sendiri? Apa kamu nggak memiliki rasa sama aku?" Aku terdiam. Rasa? Yah, aku nyaman dengannya. Mas Leman orang yang perhatian. Beberapa kali, ia membawaku liburan ke pantai dan membelikan berbagai macam barang tanpa kupinta. Selama ini, aku membatasi diri untuk tak terlalu dekat dengannya. Namun sayang, rupanya Mas
EXTRA PART-- ZAHRA "Sekarang, kamu mau bagaimana untuk hidup ke depannya?" tanya Bapak padaku. Aku meremas jari jemari. Kini semuanya telah hancur. Mas Beni pun kini sudah mendekam di balik jeruji. "Jujur saja, Bapak malu. Apa sebaiknya Bapak kirim kamu ke rumah Pak De Wito di kampung?" Aku terkejut mendengar rencana yang Bapak ucapkan. Tinggal bersama keluarga adik Bapak di kampung? Aku membayangkan betapa menjijikannya di sana. Rumah yang dikelilingi dengan kandang ayam itu, tak pantas menjadi tempat tinggalku. "Zahra nggak mau, Pak." "Bapak nggak peduli, Zah. Pokoknya kamu harus tinggal di kampung bersama dengan Paman dan Bibimu," ucap Bapak. "Bu, tolong, Zahra nggak mau ke kampung. Tolong pucuk bapak, Bu."Ibu hanya terdiam, namun matanya juga terluka. Aku menjadi serba salah. "Zahra akan melakukan apapun, asal Bapak tidak mengirim Zahra ke kampung.""Kalau begitu, kamu mau Bapak masukkan pesantren supaya bisa berpikir jernih dan belajar agama sekalian? Selama ini, Bapak s
"Jadi, kalian hendak menikah, Nak?" tanya Ibu, saat kuminta pendapat setelah dua tahun kami menjalin hubungan kembali. Ya, ini tahun kedua setelah kejadian di terminal itu. Sudah berbagai jalan kami lalui, dan memang aku belum benar-benar move on dari Intan. Wanita itu, memang memiliki ruang terbesar di hatiku. "Iya, Bu. Menurut Ibu bagaimana?" tanyaku. Ibu tampak bepikir, kenapa Ibu malah ragu juga? Aku membuang napas panjang, jika memang beliau tak ingin, maka aku takkan menikah juga. "Apa Ibu nggak merestui Intan dan Gani?" tanyaku pelan. "Bukan begitu. Ibu hanya trauma," jawabku. "Bukankah Ibu menyukai Intan?" "Memang. Tapi untuk ke jenjang pernikahan, Ibu masih takut, Nak. Takut pada masalah yang sama." Aku mengangguk. Wajar jika Ibu begitu. Apalagi saat dulu stroke, Zahra pernah menyiksanya. Aku memaklumi, dan semoga saja Intan mau mengerti juga. "Ya sudah, Bu. Biar nanti Gani bicarakan dengan Intan." Ibu mengangguk. Memang, sulit untuk melupakan kejadian yang begitu m
"Cerah banget tu muka," ledek Leman saat aku masuk kantor. Ia memang paling rajin, karena rumahnya tergolong jauh, dia berangkat habis subuh dan selalu datang yang pertama. "Akhirnya, setelah sekian lama, urusan gue dengan Zahra selesai juga," ucapku. "Iya, tapi urusan lu dan Intan belum selesai-selesai," cibir Leman. "Lu laki-laki bibirnya lemes amat sih elah. Gue sama dia juga masalalu, kali," ucapku sambil meletakkan tas dan menyalakan komputer. "Tu anak mengundurkan diri." Tangan yang sedang beraktivitas ini pun berhenti. Apa katanya? Mengundurkan diri? "Kenapa?" tanyaku. "Nah, kan, kepo juga lu? Mungkin dia malu. Apalagi semua orang tahu kalau kalian pernah ada hubungan, ditambah kemarin Zahra kan sumpah serapah ke dia. Kasihan sih, kalau gue lihat. Dia segitu sukanya sama elu, sampai diam aja pas Zahra permalukan kemarin."
Aku segera masuk ke dalam kamar untuk mengambil ponsel dan memperlihatkan history cctv pada tanggal sebelum mereka ketahuan selingkuh olehku. Di sana, terlihat Mas Beni memegang sebuah kertas dan membicarakannya dengan Zahra. Beruntung, aku memasang cctv dengan model terbaru. Yang bisa terdengar suaranya, sehingga kali ini Mas Beni tak bisa mengelak. "Di sini terdengar kan, kalau kamu menyuruh Zahra untuk meminta uang dariku karena ingin membeli motor baru? Bahkan, tak segan-segan kamu menyuruhnya seperti menyuruh anak membeli garam. Aku curiga, jangan-jangan Mas Beni menggunakan ilmu pelet juga untuk Zahra?" "Apa? Pelet?" Om Ade sedikit terkejut, karena menantu adiknya itu ternyata menggunakan hal begituan demi menggaet Zahra. "Tidak, Om! Jangan percaya dia. Dia hanya sedang berhalusinasi. Masa iya, aku pakai pelet, Om? Nggak mungkin, kan? Tolong percaya padaku, Om."
Setelah berkutat dengan pekerjaan seharian, aku pulang dan melihat Intan tengah bermain ponsel di loby kantor. Melihatnya, membuatku teringat dengan kejadian kemarin. Aku pun memberhentikan mobil di depannya, dan menyuruhnya masuk. "Masuk!" perintahku. "Aku, Mas?" tanya Intan, wajahnya sudah tak sepucat tadi pagi. "Ya iya, siapa lagi?" Dengan tersenyum, Intan masuk ke dalam mobil, dan aku melajukannya. Sepanjang perjalanan, tak ada percakapan apapun. Hanya dia yang terus menoleh memperhatikanku. "Maaf ya," ucapku pada akhirnya. "Untuk apa, Mas? Yang tadi pagi?" tanya Intan. "Semuanya. Termasuk karena kemarin aku membiarkanmu ujan-ujanan tanpa menawarkan payung. Andai kupinjamkn, mungkin kamu takkan sakit," ucapku sedikit menyesal. "Oh, nggak papa kok, Mas," ucapnya sambil tersenyum. Membuatku sedikit terpana. Namun aku segera meng
Breee, itu mantan bini lu ngamuk!" ujar Leman yang ternyata sedari tadi sudah di dalam. "Ngapain dia?" tanyaku. "Masih nanya lu, ye! Lerai dulu itu. Dia ngamukin si Intan. Mana baru sembuh tu bocah," ucap Leman. Mataku seketika membeliak mendengar ucapan Leman. "Itu, Intan?" tanyaku. "Iyeee." Aku pun berlari ke dalam, dan benar saja. Zahra tengah menjambak rambut Intan, sementara mantan kekasihku itu hanya diam sambil berteriak. Banyak orang yang malah hanya menonton dan mengabadikan momennya. "Stoooooop!" teriakku. Mendengar suaraku, Zahra berhenti melakukan kegiatannya. Napas keduanya masih ngos-ngosab. Apalagi aku? Mau ditaruh di mana muka ini? Astaga! Aku pun menyuruh yang lain bubar, dengan terpaksa mereka pergi meninggalkan loby satu persatu. Kubawa dua wanita itu ke luar. Memalukan!
Pov Gani Setelah menginterogasi Ibu, besoknya badanku demam. Mungkin karena terkejut dengan fakta baru mengenai aku sendiri. Bahwa aku dan kedua adikku tidak bernasab pada orang yang sama. "Bang, nggak kerja? Ini sudah jam tujuh, loh." Suara Mila membuatku membuka mata. Jangankan untuk bekerja, sekedar membuka mata saja rasanya berat. "Bang, aku masuk, ya?" Mila membuka pintu, dan menggoyang tubuhku. Tangannya meraba dahi dan langsung mengangkatnya kembali. "Panas sekali, Bang. Sebentar, Mila ambilkan kompres dulu." Tak lama kemudian, Mila datang kembali, namun kali ini bersama Ibu. Beliau mengompres dahiku dan memijat tubuhku sebentar. Meski beliau salah telah menyembunyikan semuanya dariku, namun aku tak bisa marah. Aku tahu, Ibu pasti memiliki banyak alasan untuk itu. "Maafkan Ibu ya, Gan. Gara-gara kemarin, kamu jadi saki
Sudah, kamu nggak usah pikirkan ucapan si Sinta itu. Dia hanya iri karena Beni menyukaimu," ucap Mama.Makin ke sini, rasa tidak suka Mama pada Mbak Sinta semakin terlihat jelas. Di jalan, aku bertemu Mas Beni, namun ia terlihat biasa saja. Apa karena tak ingin kurepotkan soal hutang? Sampai di rumah, aku mencari cara. Bagaimana caranya membuat Mbak Sinta mau membantuku. Meminta bantuan Mas Gani sudah tak memungkinkan lagi karena laki-laki itu sudah tak mungkin mau membantuku. Kuremas rambut. Aaargh! Semua ini karena Ibu! Andai dia tetap tutup mulut, pasti sampai sekarang aku dan Mas Gani tetap bersama. Meski aku tak mencintainya, namun uangnya bisa kukeruk. Selama ini, uang kiriman Mas Gani memang kuhabiskan dengan Mas Beni. Masih teringat jelas saat kakak ipar dan juga kekasihku itu menyarankanku untuk mendekati Mas Gani kala kami belum menikah. Flashback-"Dia seperti
KEJUTAN SAAT AKU PULANG KAMPUNG"Dasar mertua cacat! Masa makan yang benar saja tak bisa?!" Langkah kakiku terhenti saat mendengar lengkingan suara Zahra-istriku, ketika aku memasuki rumah. Hari ini aku memang pulang tanpa memberitahu pada Zahra atau anggota keluargaku yang lain. Kejutan, niatnya. Namun, melihat keadaan kini, kenapa malah jadi aku yang terkejut? "Tapi, Zah, tangan Ibu kan belum sembuh betul," ucap Ibu dengan nada sedih pada menantunya itu. "Ya nggak mau tahu, nanti mau aku foto biar Mas Gani tahu, aku mengurusmu dengan baik, Bu," ucap Zahra. Aku masuk dengan mengendap-endap, lalu mengintip dari kaca celah pintu kamar Ibu. Hatiku teriris melihat pemandangan di depan sana. Ibu, wanita yang paling kucinta, kini tengah terduduk di kursi dengan tumpahan makanan di atas tubuhnya. Ibu memang mengalami stroke ringan. Beliau masih bisa berbicara, bisa jalan juga setelah melakukan terapi. Zahra tidak tahu aku pulang, ia tahunya aku masih ada di Semarang, tempat kerjaku s
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen