Segera aku berlari menuju tempat berdiri Mila dan juga Ibu yang terletak jauh di halaman. Tadi memang sengaja aku menyuruh mereka berdiri di sana. "M-mas Gani?" "Iya." Zahra langsung salah tingkah dan merapikan bajunya. Entah, kenapa ia keluar dari tempat gelap dengan baju acak-acakan? "Kenapa, Mas? Kamu mau mengajak aku balikan, kan?" tanyanya dengan tingkat kepedean di atas rata-rata. "Nggak usah ngawur. Aku mau balikin baju kamu yang ketinggalan. Juga tas-tasnya. Masih kurang baik apa aku? Seharusnya kubakar saja semua ini," ucapku padanya. Lama-lama, aku malah jadi keliatan lebay. "Bilang aja kamu kangen, Mas," ucapnya sambil memeluk lenganku.Aku bergidik ngeri, lalu melangkah maju bersama Mila, meninggalkan karung tempat tas tadi yang tengah dibuat senderan tubuh Zahra. Begitu melangkah, ia otomatis terjatuh. "Mas, tega banget, sih?" Aku hanya m
@Mbak Sinta:[Suruh istrimu untuk tak mengganggu suamiku lagi, Gan.] Aku diamkan saja, malas menanggapinya. Namun, beberapa pesan pun masuk kembali. @Mbak Sinta:[Gani!] Akhirnya, dengan setelah malas kubalas juga pesannya. [Mbak, aku ini sudah bercerai secara agama sama Zahra. Jadi kalau mau, bilangin saja sendiri.] [Tapi, Gan. Tadi pagi mereka datang ke sini. Mereka, meminta izin untuk menikah.?] G*la! Apa katanya? Mereka bakal menikah? Bahkan secara negara, Zahra masih istriku. Aku tak cemburu, hanya saja terkejut jika mereka senekat itu. Padahal, Mbak Sinta sangat baik orangnya. Hanya saja, salah menemukan seorang suami. Sudah pengangguran, juga kelakuannya yang astaghfirullah. Aku jadi teringat lagi sama rencana mereka yang kudengar waktu hari rabu malam, tepat saat aku sekeluarga datang untuk mengantarkan barang-barangnya Zahra. Flasbac
Loh, temenku pernah nemu kaya gini di kos-kos-an pacarnya, Bang," ucap Mila, saat sore hari kutunjukan penemuanku ini pada Ibu dan juga dia."Oh, ya? Terus kata temenmu, ini apa?" "Setelah tanya ke orang pintar, katanya ini adalah pelet." Mataku membeliak. Pelet? Aku jadi teringat sama balasan Leman. Ia juga mengatakan ini pelet, karena pernah menggunakannya. Dih, jadi ketahuan belangnya dia. "Pantes, selama ina Abang kaya bucin sama dia. Ga peduli apapun yang dia lakukan, dia minta, abang pasti akan mengangguk dan mengatakan iya." "Emang Abang kaya gitu, ya?" "Lah, gitu lah, kalau orang dipelet. Gak sadar. Iya kan, Bu?" tanya Mila pada Ibu yang dijawab dengan anggukan. Pantas saja. Terkadang aku merasa aneh pada diriku sendiri. Kadang ingin menolak, tapi mulut selalu mengatakan iya, kepala selalu mengangguk, pada setiap omongannya. Aku pun masuk ke dalam kamar, membaca pesan yang Leman kirimkan tadi dan membalasnya. [Jadi, selama ini gue beneran dipelet sama dia.] [Wih, mant
"Karena ia bahkan sampai berani bersumpah atas nama Allah di hadapanku dan Ibu.""Bro, zaman sekarang orang gampang mengucapkan hal yang bahkan menurut kita itu sakral. Emang bener, kita nggak boleh su'udzon. Tapi kalau udah ngelihat bukti kaya gitu, mau gimana lagi? Siapa yang naroh itu bacaan pengasihan di lemari lu kalau bukan bini lu itu? Lagian, kakak ipar lu yang cewek kok kayak b*go amat, sih? Udah liat suaminya selingkuh, bahkan sampai zina sama adik kandungnya sendiri, malah dibela begitu?" "Dia bukan adik kandungnya. Mbak Sinta hanyalah pancingan kalau kata orang zaman dulu, untuk mendapatkan Zahra." "Oh, pantas saja mereka nggak mirip." Aku mengangguk, lalu menghela napas panjang. Sekarang kepalaku malah terasa panas dan amat pening. Sepertinya terlali banyak pikiran, lebih baik besok aku ajukan cuti saja. "Si Intan, nanyain lu, kemarin," ucap Leman tiba-tiba. "Lu nggak ada kerjaan, sampai ngeghibah di meja gue?" tanyaku. "Udah beres. Bentar lagi kan udah mau jam pul
Mataku semakin melebar saat melihat Ibu mengeluarkan sebuah kertas dan memasukkannya ke dalam lemari bajuku. Tunggu, jadi, ini perbuatan Ibu? "Kenapa Ibu melakukan ini semua? Apa Ibu memang tak menyukai Zahra?" Ingin aku menanyakan ini semua, namun aku takut Ibu merasa tertekan. Apa yang sebenarnya terjadi, Bu?"Gani." Terdengar suara Ibu dari luar. "Ya, Bu?" "Ayo, kita makan malam. Fikri sudah pulang.", "Baik, Bu." Kami pun makan malam bersama. Tak ada keanehan di antara kami. Malah Ibu semakin bahagia kelihatannya. "Ehem, Bu. Soal kertas yang katanya pelet itu..." Aku sengaja menggantung ucapanku. "Ke-kenapa, Gan?" tanya Ibu, tanpa memandangku. "Apa bener, Zahra yang naruh, ya?" tanyaku sambil menatap Ibu. Baru kali ini, aku berani bertanya sambil menatap tajam matanya. Aku melakukan ini bukan karena ingin menjadi anak durhaka ataupun membela Zahra. Hanya saja, aku tak suka jika Ibu menebar fitnah, bahkan pada orang yang sudah tak bersangkutan denganku. "Ya kalau bukan Mb
Aku pun permisi sebentar sama Om Sobri dan berjalan ke depan, melewati Ibu-ibu yang tengah sibuk membantu mengupas sayuran. Saat sampai di depan, mataku membeliak sempurna. "Intan?" "Mas Gani?" Ini kali pertama aku bertemu dengannya setelah lima tahun tak bertemu. Wanita pertama yang mampu membuatku jatuh cinta, namun sekaligus memberi luka yang cukup mendalam. "Ada apa?" tanyaku datar. "Aku nggak tahu kalau ada acara di rumahmu. Aku ke sini, mau silaturahmi sama Ibu." "Ngapain? Apa karena kamu sudah mendengar aku yang telah bercerai? Makanya kamu berani ke sini setelah sekian lama?" "Mas, tolong dengerin penjelasan aku..." "Aku tak butuh penjelasanmu, Tan." "Intan?" Aku dan Intan menoleh ke pintu utama. Di sana Ibu sudah berdiri dan berjalan menghampiri kami. Intan memang akrab dengan keluargaku. Durasi hubungan lami yang lama, membuat mereka saling mengenal. "Kenapa nggak diajak masuk?" tanya Ibu. "Nggak lah, Bu. Nanti dibilang yang nggak-nggak sama orang lain." "Nggak-
"Aku nggak mau pergi, Bu! Aku mau ketemu sama Mas Gani," teriakan Zahra masih saja terdengar sampai ke sini. Karena suasana menjadi kian ricuh, aku pun keluar dan menarik lengannya sampai ke teras. Aku meminta Ibu untuk membubarkan ibu-ibu yang tengah rewang itu. "Mas, kamu mau kan kembali sama aku? Aku mohon, Mas. Aku masih cinta sama kamu," ucap Zahra. "Untuk apa, Zah? Aku nggak memiliki rasa apapun sama kamu lagi. Ditambah, kamu telah berbuat jahat pada ibuku. Apa jaminannya kalau hal yang sama tak akan kamu lakukan lagi?" tanyaku padanya. "Aku janji, Mas. Sumpah mati, aku akan bersikap baik dan mengurus Ibu dengan baik juga. Aku bisa jamin," jawab Zahra dengan suara bergetar. Ekor matakj menangkap sosok Intan yang tengah berdiri di samping kursi yang telah ditumpuk. Aku menghela napas, kenapa mereka berdua bisa datang ke sini, sih? "Maaf, Zah, tapi aku sudah mendaftarkan perceraian kita. Kamu tinggal tunggu hasilnya."Zahra membeliakkan matanya. Mungkin ia tak menyangka jika
"Iya. Kata ibumu, dia dulu sering datang pas kamu kuliah dan dia lagi libur. Katanya juga, Intan itu beda jauh sama Zahra. Makanya, pas kamu nikahnya malah sama Zahra, ibumu kece- Eh, Intan, ayo duduk sini." Aku terkejut saat melihat Intan di belakangku, lalu aku keluar, berbaur bersama bapak-bapak lain. Dari luar, aku melihat Intan begitu gampang mendekatkan diri pada keluarga dan juga tetanggaku. Senyumnya sedari tadi tak lepas dari wajahnya. "Kenapa, Gan? Cantik ya dia," goda Mas Furqon, suaminya Mbak Umi. "Namanya wanita, Mas, ya cantik." Aku pun kembali bercerita bersama yang lain, meski mata sedari tadi tak hentinya melirik ke dalam sana. Ibu, bahkan sampai tertawa kala bercerita dengan Intan. Hal langka yang tak pernah kutemukan saat masih bersama Zahra. Ah, tapi tetap saja. Jika mengingat alasannya meninggalkanku karena uang, aku jadi kesal sendiri. --Alhamdulillah, acara berjalan lancar. Kupikir, Intan sudah pulang sedari tadi, namun ternyata ia di kamar Mila. Itu k
EXTRA PART ZAHRA (2)"Zah, aku serius, loh." Aku mengernyitkan kening. "Apa?" "Aku, ingin mengajakmu nikah." Debar dalam dada kian terasa. Haruskah aku menerimanya?__"Gimana ya..." Jujur saja aku bingung. Mas Leman adalah teman sekaligus rekan kerjanya Mas Gani di kantor dulu. Iya memang sudah berlalu, tapi rasanya aneh jika aku menikah dengan lelaki yang bahkan ada hubungan dengan mantan suamiku. "Please. Aku sudah mengumpulkan niat ini dari lama." "Tapi, Mas, kamu kan..." "Temannya Gani?" Perlahan aku mengangguk. Memang itu kenyataannya. "Tapi kita tinggal di sini. Lagipula kenapa? Gani bahkan sudah menikah lagi, dan sudah punya anak. Sudah berapa tahun kamu sendiri? Apa kamu nggak memiliki rasa sama aku?" Aku terdiam. Rasa? Yah, aku nyaman dengannya. Mas Leman orang yang perhatian. Beberapa kali, ia membawaku liburan ke pantai dan membelikan berbagai macam barang tanpa kupinta. Selama ini, aku membatasi diri untuk tak terlalu dekat dengannya. Namun sayang, rupanya Mas
EXTRA PART-- ZAHRA "Sekarang, kamu mau bagaimana untuk hidup ke depannya?" tanya Bapak padaku. Aku meremas jari jemari. Kini semuanya telah hancur. Mas Beni pun kini sudah mendekam di balik jeruji. "Jujur saja, Bapak malu. Apa sebaiknya Bapak kirim kamu ke rumah Pak De Wito di kampung?" Aku terkejut mendengar rencana yang Bapak ucapkan. Tinggal bersama keluarga adik Bapak di kampung? Aku membayangkan betapa menjijikannya di sana. Rumah yang dikelilingi dengan kandang ayam itu, tak pantas menjadi tempat tinggalku. "Zahra nggak mau, Pak." "Bapak nggak peduli, Zah. Pokoknya kamu harus tinggal di kampung bersama dengan Paman dan Bibimu," ucap Bapak. "Bu, tolong, Zahra nggak mau ke kampung. Tolong pucuk bapak, Bu."Ibu hanya terdiam, namun matanya juga terluka. Aku menjadi serba salah. "Zahra akan melakukan apapun, asal Bapak tidak mengirim Zahra ke kampung.""Kalau begitu, kamu mau Bapak masukkan pesantren supaya bisa berpikir jernih dan belajar agama sekalian? Selama ini, Bapak s
"Jadi, kalian hendak menikah, Nak?" tanya Ibu, saat kuminta pendapat setelah dua tahun kami menjalin hubungan kembali. Ya, ini tahun kedua setelah kejadian di terminal itu. Sudah berbagai jalan kami lalui, dan memang aku belum benar-benar move on dari Intan. Wanita itu, memang memiliki ruang terbesar di hatiku. "Iya, Bu. Menurut Ibu bagaimana?" tanyaku. Ibu tampak bepikir, kenapa Ibu malah ragu juga? Aku membuang napas panjang, jika memang beliau tak ingin, maka aku takkan menikah juga. "Apa Ibu nggak merestui Intan dan Gani?" tanyaku pelan. "Bukan begitu. Ibu hanya trauma," jawabku. "Bukankah Ibu menyukai Intan?" "Memang. Tapi untuk ke jenjang pernikahan, Ibu masih takut, Nak. Takut pada masalah yang sama." Aku mengangguk. Wajar jika Ibu begitu. Apalagi saat dulu stroke, Zahra pernah menyiksanya. Aku memaklumi, dan semoga saja Intan mau mengerti juga. "Ya sudah, Bu. Biar nanti Gani bicarakan dengan Intan." Ibu mengangguk. Memang, sulit untuk melupakan kejadian yang begitu m
"Cerah banget tu muka," ledek Leman saat aku masuk kantor. Ia memang paling rajin, karena rumahnya tergolong jauh, dia berangkat habis subuh dan selalu datang yang pertama. "Akhirnya, setelah sekian lama, urusan gue dengan Zahra selesai juga," ucapku. "Iya, tapi urusan lu dan Intan belum selesai-selesai," cibir Leman. "Lu laki-laki bibirnya lemes amat sih elah. Gue sama dia juga masalalu, kali," ucapku sambil meletakkan tas dan menyalakan komputer. "Tu anak mengundurkan diri." Tangan yang sedang beraktivitas ini pun berhenti. Apa katanya? Mengundurkan diri? "Kenapa?" tanyaku. "Nah, kan, kepo juga lu? Mungkin dia malu. Apalagi semua orang tahu kalau kalian pernah ada hubungan, ditambah kemarin Zahra kan sumpah serapah ke dia. Kasihan sih, kalau gue lihat. Dia segitu sukanya sama elu, sampai diam aja pas Zahra permalukan kemarin."
Aku segera masuk ke dalam kamar untuk mengambil ponsel dan memperlihatkan history cctv pada tanggal sebelum mereka ketahuan selingkuh olehku. Di sana, terlihat Mas Beni memegang sebuah kertas dan membicarakannya dengan Zahra. Beruntung, aku memasang cctv dengan model terbaru. Yang bisa terdengar suaranya, sehingga kali ini Mas Beni tak bisa mengelak. "Di sini terdengar kan, kalau kamu menyuruh Zahra untuk meminta uang dariku karena ingin membeli motor baru? Bahkan, tak segan-segan kamu menyuruhnya seperti menyuruh anak membeli garam. Aku curiga, jangan-jangan Mas Beni menggunakan ilmu pelet juga untuk Zahra?" "Apa? Pelet?" Om Ade sedikit terkejut, karena menantu adiknya itu ternyata menggunakan hal begituan demi menggaet Zahra. "Tidak, Om! Jangan percaya dia. Dia hanya sedang berhalusinasi. Masa iya, aku pakai pelet, Om? Nggak mungkin, kan? Tolong percaya padaku, Om."
Setelah berkutat dengan pekerjaan seharian, aku pulang dan melihat Intan tengah bermain ponsel di loby kantor. Melihatnya, membuatku teringat dengan kejadian kemarin. Aku pun memberhentikan mobil di depannya, dan menyuruhnya masuk. "Masuk!" perintahku. "Aku, Mas?" tanya Intan, wajahnya sudah tak sepucat tadi pagi. "Ya iya, siapa lagi?" Dengan tersenyum, Intan masuk ke dalam mobil, dan aku melajukannya. Sepanjang perjalanan, tak ada percakapan apapun. Hanya dia yang terus menoleh memperhatikanku. "Maaf ya," ucapku pada akhirnya. "Untuk apa, Mas? Yang tadi pagi?" tanya Intan. "Semuanya. Termasuk karena kemarin aku membiarkanmu ujan-ujanan tanpa menawarkan payung. Andai kupinjamkn, mungkin kamu takkan sakit," ucapku sedikit menyesal. "Oh, nggak papa kok, Mas," ucapnya sambil tersenyum. Membuatku sedikit terpana. Namun aku segera meng
Breee, itu mantan bini lu ngamuk!" ujar Leman yang ternyata sedari tadi sudah di dalam. "Ngapain dia?" tanyaku. "Masih nanya lu, ye! Lerai dulu itu. Dia ngamukin si Intan. Mana baru sembuh tu bocah," ucap Leman. Mataku seketika membeliak mendengar ucapan Leman. "Itu, Intan?" tanyaku. "Iyeee." Aku pun berlari ke dalam, dan benar saja. Zahra tengah menjambak rambut Intan, sementara mantan kekasihku itu hanya diam sambil berteriak. Banyak orang yang malah hanya menonton dan mengabadikan momennya. "Stoooooop!" teriakku. Mendengar suaraku, Zahra berhenti melakukan kegiatannya. Napas keduanya masih ngos-ngosab. Apalagi aku? Mau ditaruh di mana muka ini? Astaga! Aku pun menyuruh yang lain bubar, dengan terpaksa mereka pergi meninggalkan loby satu persatu. Kubawa dua wanita itu ke luar. Memalukan!
Pov Gani Setelah menginterogasi Ibu, besoknya badanku demam. Mungkin karena terkejut dengan fakta baru mengenai aku sendiri. Bahwa aku dan kedua adikku tidak bernasab pada orang yang sama. "Bang, nggak kerja? Ini sudah jam tujuh, loh." Suara Mila membuatku membuka mata. Jangankan untuk bekerja, sekedar membuka mata saja rasanya berat. "Bang, aku masuk, ya?" Mila membuka pintu, dan menggoyang tubuhku. Tangannya meraba dahi dan langsung mengangkatnya kembali. "Panas sekali, Bang. Sebentar, Mila ambilkan kompres dulu." Tak lama kemudian, Mila datang kembali, namun kali ini bersama Ibu. Beliau mengompres dahiku dan memijat tubuhku sebentar. Meski beliau salah telah menyembunyikan semuanya dariku, namun aku tak bisa marah. Aku tahu, Ibu pasti memiliki banyak alasan untuk itu. "Maafkan Ibu ya, Gan. Gara-gara kemarin, kamu jadi saki
Sudah, kamu nggak usah pikirkan ucapan si Sinta itu. Dia hanya iri karena Beni menyukaimu," ucap Mama.Makin ke sini, rasa tidak suka Mama pada Mbak Sinta semakin terlihat jelas. Di jalan, aku bertemu Mas Beni, namun ia terlihat biasa saja. Apa karena tak ingin kurepotkan soal hutang? Sampai di rumah, aku mencari cara. Bagaimana caranya membuat Mbak Sinta mau membantuku. Meminta bantuan Mas Gani sudah tak memungkinkan lagi karena laki-laki itu sudah tak mungkin mau membantuku. Kuremas rambut. Aaargh! Semua ini karena Ibu! Andai dia tetap tutup mulut, pasti sampai sekarang aku dan Mas Gani tetap bersama. Meski aku tak mencintainya, namun uangnya bisa kukeruk. Selama ini, uang kiriman Mas Gani memang kuhabiskan dengan Mas Beni. Masih teringat jelas saat kakak ipar dan juga kekasihku itu menyarankanku untuk mendekati Mas Gani kala kami belum menikah. Flashback-"Dia seperti