Aku pun permisi sebentar sama Om Sobri dan berjalan ke depan, melewati Ibu-ibu yang tengah sibuk membantu mengupas sayuran. Saat sampai di depan, mataku membeliak sempurna. "Intan?" "Mas Gani?" Ini kali pertama aku bertemu dengannya setelah lima tahun tak bertemu. Wanita pertama yang mampu membuatku jatuh cinta, namun sekaligus memberi luka yang cukup mendalam. "Ada apa?" tanyaku datar. "Aku nggak tahu kalau ada acara di rumahmu. Aku ke sini, mau silaturahmi sama Ibu." "Ngapain? Apa karena kamu sudah mendengar aku yang telah bercerai? Makanya kamu berani ke sini setelah sekian lama?" "Mas, tolong dengerin penjelasan aku..." "Aku tak butuh penjelasanmu, Tan." "Intan?" Aku dan Intan menoleh ke pintu utama. Di sana Ibu sudah berdiri dan berjalan menghampiri kami. Intan memang akrab dengan keluargaku. Durasi hubungan lami yang lama, membuat mereka saling mengenal. "Kenapa nggak diajak masuk?" tanya Ibu. "Nggak lah, Bu. Nanti dibilang yang nggak-nggak sama orang lain." "Nggak-
"Aku nggak mau pergi, Bu! Aku mau ketemu sama Mas Gani," teriakan Zahra masih saja terdengar sampai ke sini. Karena suasana menjadi kian ricuh, aku pun keluar dan menarik lengannya sampai ke teras. Aku meminta Ibu untuk membubarkan ibu-ibu yang tengah rewang itu. "Mas, kamu mau kan kembali sama aku? Aku mohon, Mas. Aku masih cinta sama kamu," ucap Zahra. "Untuk apa, Zah? Aku nggak memiliki rasa apapun sama kamu lagi. Ditambah, kamu telah berbuat jahat pada ibuku. Apa jaminannya kalau hal yang sama tak akan kamu lakukan lagi?" tanyaku padanya. "Aku janji, Mas. Sumpah mati, aku akan bersikap baik dan mengurus Ibu dengan baik juga. Aku bisa jamin," jawab Zahra dengan suara bergetar. Ekor matakj menangkap sosok Intan yang tengah berdiri di samping kursi yang telah ditumpuk. Aku menghela napas, kenapa mereka berdua bisa datang ke sini, sih? "Maaf, Zah, tapi aku sudah mendaftarkan perceraian kita. Kamu tinggal tunggu hasilnya."Zahra membeliakkan matanya. Mungkin ia tak menyangka jika
"Iya. Kata ibumu, dia dulu sering datang pas kamu kuliah dan dia lagi libur. Katanya juga, Intan itu beda jauh sama Zahra. Makanya, pas kamu nikahnya malah sama Zahra, ibumu kece- Eh, Intan, ayo duduk sini." Aku terkejut saat melihat Intan di belakangku, lalu aku keluar, berbaur bersama bapak-bapak lain. Dari luar, aku melihat Intan begitu gampang mendekatkan diri pada keluarga dan juga tetanggaku. Senyumnya sedari tadi tak lepas dari wajahnya. "Kenapa, Gan? Cantik ya dia," goda Mas Furqon, suaminya Mbak Umi. "Namanya wanita, Mas, ya cantik." Aku pun kembali bercerita bersama yang lain, meski mata sedari tadi tak hentinya melirik ke dalam sana. Ibu, bahkan sampai tertawa kala bercerita dengan Intan. Hal langka yang tak pernah kutemukan saat masih bersama Zahra. Ah, tapi tetap saja. Jika mengingat alasannya meninggalkanku karena uang, aku jadi kesal sendiri. --Alhamdulillah, acara berjalan lancar. Kupikir, Intan sudah pulang sedari tadi, namun ternyata ia di kamar Mila. Itu k
"Aku, masih menyukaimu, Mas." Aku tersenyum sinis. Menyukaiku, katanya? Lalu, kenapa dulu ia malah pergi meninggalkanku? Apakah itu bisa disebut dengan cinta? "Jika menyukaiku, seharusnya kamu nggak ninggalin aku dulu, Tan. Sudah lah, waktu sudah berlalu. Jangan dekati lagi keluargaku." "Tapi, aku ada alasan untuk itu semua, Mas." "Aku nggak mau dengar alasanmu, Tan. Yang penting sekarang, silakan pergi dari rumah ini. Dan jika di kantor, kuharap kamu bisa bersikap seolah-olah kita tak mengenal," ucapku sambil melangkah pergi meninggalkannya. Tak lama kemudian aku mendengar suara Ibu menghampiri Intan dan menawarinya untuk menginap. Aku sedikit kesal dengan Ibu. Kenapa beliau malah menyuruh dia menginap?Terdengar penolakan dari Intan, tapi Ibu kekeuh bahkan terkesan memaksa. Aku melirik jam tangan, memang sudah jam mau jam sembilan. Ah, entahlah. Kubuka ponsel, sebuah pesan masuk dari Zahra. [Kenapa kamu tega menceraikanku, Mas? Jika kamu tetap tega melakukan itu, kamu akan men
"Astaghfirullah, maaf ya, Mas. Aku kebiasaan sama Bapak di rumah." "Eh? Iya, nggak papa." "Ehem, malah pandang-pandangan. Gantian ya gaes ya." Kami tersentak mendengar suara Mila sudah berada di belakang kami sambil menahan senyum. Astaghfirullah! Kenapa lah aku ini?Aku segera bangkit, begitupun Intan. Aku masuk ke kamar, sementara ia menghampiri Ibu. Sampai di kamar, kupegang dada. Sungguh memalukan. Padahal jelas-jelas kemarin aku menolaknya, tapi kenap sekarang aku yang deg-degan beradu pandang dengannya? Aku membuka lemari, bersiap untuk ke kantor sebentar lagi. Setelah selesai memakai kemeja dan celana, aku keluar menuju teras. Menghirup udara pagi sungguh sangat menyejukkan. Sayup-sayup, terdengar suara Ibu memanggilku dari dalam. Saat kuhampiri, ternyata Intan hendak pulang dan Ibu memintaku untuk mengantarnya. "Mila aja, Bu. Kalau Gani n
A-aku..." "Kenapa, Tan? Apa yang sudah diperbuat oleh Zahra selain memberimu uang?""Sebenarnya, dia menyuruhku untuk meninggalkanmu, Mas. Pas itu, dia mengancam akan membunuhku jika masih menjalin hubungan denganmu." "Apa? Astaghfirullah, Zahra! Kenapa ia bisa berbuat begitu." "Maafkan aku, Mas. Aku memang salah sudah meninggalkanmu. Tapi jujur, hingga kini aku masih mencintaimu." Aku menatap Intan. Apa benar, ia masih mencintaiku? Sejujurnya, hatiku mulai goyah sejak ia datang kembali. Apalagi, kini kami satu kantor. "Zahra bilang apa lagi, Tan?" "Dia bilang, akan membuat imagemu buruk di kampus. Bagaimana aku bisa membuatmu merasakan itu, Mas? Dan yang terakhir..." "Yang terakhir apa?" "Soal dia memberiku uang. Aku memang sangat butuh saat itu, Mas. Usaha Bapak bangkrut, untuk bayar uang kuliah, aku tak
Tapi apa?" tanyaku. "Ini semua Ibumu yang meminjam, Mas," ucap Zahra. Aku berdecak kesal. Sudah begini pun, ia masih memfitnah Ibuku? Ya Allah, terbuat dari apa, hati wanita yang pernah menjadi istriku itu? Kenapa tega sekali memfitnah ibuku?"Jujur saja, Zah. Jangan bikin kami malu seperti ini. Sudah untung kamu dimaafkan dan tak jadi diarak oleh Gani. Sekarang, jujur dan jelaskan semuanya," ucap Bapak. "Pak, kan Zahra sudah bilang, kalau itu bukan dia yang meminjam. Bisa saja kan, ibunya yang meminjam atas nama dia?" Seperti biasa, Mama membela Zahra. Ini yang membuatnya menjadi keras kepala."Benar, Pak. Zahra sama sekali tak meminjamnya."Aku menghela napas panjang, drama sekali memang keluarga ini. "Sudah lah, Zah, Mas nggak mau bertele-tele, kamu juga jangan drama. Lunasi itu, Mas nggak mau orang-orang itu datang lagi ke rumah dan membuat Ibu ketakutan. Kalau begitu, saya permisi, Pak," ucapku pada Bapak, lalu menyalami kedua mantan mertuaku itu. Zahra memanggilku, bahkan m
Aku mengangguk, sementara wanita yang pernah menjadi kakak iparku itu mengelus dadanya. Tentu ini hal yang sangat mengejutkan untuknya. Selama ini, ia yamg banting tulang untuk mencukupi kehidupan rumah tangganya, sementara suaminya hanya ongkang-ongkang kaki dan berselingkuh dengan istriku. "Ya sudah, Mbak. Aku pulang dulu, sudah mau magrib," ucapku berpamitan pada Mbak Sinta."Iya, Gan. Hati-hati di jalan. Terima kasih, sudah menceritakan semuanya padaku." Aku mengangguk, lalu pergi dari restoran tersebut dan melajukan mobil. Saat melewati kantor, kulihat Intan masih berdiri di depan kantor sendirian. Kulewati ia begitu saja, meski terlihat bahwa ia mengenali mobilku. Pun saat sudah melewatinya, ia masih menatap ke arah sini. Tiba-tiba, hujan mengguyur. Aku mencoba untuk tak memedulikan keberadaan Intan di belakang sana. "Ah, sial!" Otak dan hatiku tidak sinkron. Aku merasa khawatir ia akan sakit, dan memutuskan untuk berbelok. Sampai di depan kantor, ia sudah tak ada. Ah, mun
EXTRA PART ZAHRA (2)"Zah, aku serius, loh." Aku mengernyitkan kening. "Apa?" "Aku, ingin mengajakmu nikah." Debar dalam dada kian terasa. Haruskah aku menerimanya?__"Gimana ya..." Jujur saja aku bingung. Mas Leman adalah teman sekaligus rekan kerjanya Mas Gani di kantor dulu. Iya memang sudah berlalu, tapi rasanya aneh jika aku menikah dengan lelaki yang bahkan ada hubungan dengan mantan suamiku. "Please. Aku sudah mengumpulkan niat ini dari lama." "Tapi, Mas, kamu kan..." "Temannya Gani?" Perlahan aku mengangguk. Memang itu kenyataannya. "Tapi kita tinggal di sini. Lagipula kenapa? Gani bahkan sudah menikah lagi, dan sudah punya anak. Sudah berapa tahun kamu sendiri? Apa kamu nggak memiliki rasa sama aku?" Aku terdiam. Rasa? Yah, aku nyaman dengannya. Mas Leman orang yang perhatian. Beberapa kali, ia membawaku liburan ke pantai dan membelikan berbagai macam barang tanpa kupinta. Selama ini, aku membatasi diri untuk tak terlalu dekat dengannya. Namun sayang, rupanya Mas
EXTRA PART-- ZAHRA "Sekarang, kamu mau bagaimana untuk hidup ke depannya?" tanya Bapak padaku. Aku meremas jari jemari. Kini semuanya telah hancur. Mas Beni pun kini sudah mendekam di balik jeruji. "Jujur saja, Bapak malu. Apa sebaiknya Bapak kirim kamu ke rumah Pak De Wito di kampung?" Aku terkejut mendengar rencana yang Bapak ucapkan. Tinggal bersama keluarga adik Bapak di kampung? Aku membayangkan betapa menjijikannya di sana. Rumah yang dikelilingi dengan kandang ayam itu, tak pantas menjadi tempat tinggalku. "Zahra nggak mau, Pak." "Bapak nggak peduli, Zah. Pokoknya kamu harus tinggal di kampung bersama dengan Paman dan Bibimu," ucap Bapak. "Bu, tolong, Zahra nggak mau ke kampung. Tolong pucuk bapak, Bu."Ibu hanya terdiam, namun matanya juga terluka. Aku menjadi serba salah. "Zahra akan melakukan apapun, asal Bapak tidak mengirim Zahra ke kampung.""Kalau begitu, kamu mau Bapak masukkan pesantren supaya bisa berpikir jernih dan belajar agama sekalian? Selama ini, Bapak s
"Jadi, kalian hendak menikah, Nak?" tanya Ibu, saat kuminta pendapat setelah dua tahun kami menjalin hubungan kembali. Ya, ini tahun kedua setelah kejadian di terminal itu. Sudah berbagai jalan kami lalui, dan memang aku belum benar-benar move on dari Intan. Wanita itu, memang memiliki ruang terbesar di hatiku. "Iya, Bu. Menurut Ibu bagaimana?" tanyaku. Ibu tampak bepikir, kenapa Ibu malah ragu juga? Aku membuang napas panjang, jika memang beliau tak ingin, maka aku takkan menikah juga. "Apa Ibu nggak merestui Intan dan Gani?" tanyaku pelan. "Bukan begitu. Ibu hanya trauma," jawabku. "Bukankah Ibu menyukai Intan?" "Memang. Tapi untuk ke jenjang pernikahan, Ibu masih takut, Nak. Takut pada masalah yang sama." Aku mengangguk. Wajar jika Ibu begitu. Apalagi saat dulu stroke, Zahra pernah menyiksanya. Aku memaklumi, dan semoga saja Intan mau mengerti juga. "Ya sudah, Bu. Biar nanti Gani bicarakan dengan Intan." Ibu mengangguk. Memang, sulit untuk melupakan kejadian yang begitu m
"Cerah banget tu muka," ledek Leman saat aku masuk kantor. Ia memang paling rajin, karena rumahnya tergolong jauh, dia berangkat habis subuh dan selalu datang yang pertama. "Akhirnya, setelah sekian lama, urusan gue dengan Zahra selesai juga," ucapku. "Iya, tapi urusan lu dan Intan belum selesai-selesai," cibir Leman. "Lu laki-laki bibirnya lemes amat sih elah. Gue sama dia juga masalalu, kali," ucapku sambil meletakkan tas dan menyalakan komputer. "Tu anak mengundurkan diri." Tangan yang sedang beraktivitas ini pun berhenti. Apa katanya? Mengundurkan diri? "Kenapa?" tanyaku. "Nah, kan, kepo juga lu? Mungkin dia malu. Apalagi semua orang tahu kalau kalian pernah ada hubungan, ditambah kemarin Zahra kan sumpah serapah ke dia. Kasihan sih, kalau gue lihat. Dia segitu sukanya sama elu, sampai diam aja pas Zahra permalukan kemarin."
Aku segera masuk ke dalam kamar untuk mengambil ponsel dan memperlihatkan history cctv pada tanggal sebelum mereka ketahuan selingkuh olehku. Di sana, terlihat Mas Beni memegang sebuah kertas dan membicarakannya dengan Zahra. Beruntung, aku memasang cctv dengan model terbaru. Yang bisa terdengar suaranya, sehingga kali ini Mas Beni tak bisa mengelak. "Di sini terdengar kan, kalau kamu menyuruh Zahra untuk meminta uang dariku karena ingin membeli motor baru? Bahkan, tak segan-segan kamu menyuruhnya seperti menyuruh anak membeli garam. Aku curiga, jangan-jangan Mas Beni menggunakan ilmu pelet juga untuk Zahra?" "Apa? Pelet?" Om Ade sedikit terkejut, karena menantu adiknya itu ternyata menggunakan hal begituan demi menggaet Zahra. "Tidak, Om! Jangan percaya dia. Dia hanya sedang berhalusinasi. Masa iya, aku pakai pelet, Om? Nggak mungkin, kan? Tolong percaya padaku, Om."
Setelah berkutat dengan pekerjaan seharian, aku pulang dan melihat Intan tengah bermain ponsel di loby kantor. Melihatnya, membuatku teringat dengan kejadian kemarin. Aku pun memberhentikan mobil di depannya, dan menyuruhnya masuk. "Masuk!" perintahku. "Aku, Mas?" tanya Intan, wajahnya sudah tak sepucat tadi pagi. "Ya iya, siapa lagi?" Dengan tersenyum, Intan masuk ke dalam mobil, dan aku melajukannya. Sepanjang perjalanan, tak ada percakapan apapun. Hanya dia yang terus menoleh memperhatikanku. "Maaf ya," ucapku pada akhirnya. "Untuk apa, Mas? Yang tadi pagi?" tanya Intan. "Semuanya. Termasuk karena kemarin aku membiarkanmu ujan-ujanan tanpa menawarkan payung. Andai kupinjamkn, mungkin kamu takkan sakit," ucapku sedikit menyesal. "Oh, nggak papa kok, Mas," ucapnya sambil tersenyum. Membuatku sedikit terpana. Namun aku segera meng
Breee, itu mantan bini lu ngamuk!" ujar Leman yang ternyata sedari tadi sudah di dalam. "Ngapain dia?" tanyaku. "Masih nanya lu, ye! Lerai dulu itu. Dia ngamukin si Intan. Mana baru sembuh tu bocah," ucap Leman. Mataku seketika membeliak mendengar ucapan Leman. "Itu, Intan?" tanyaku. "Iyeee." Aku pun berlari ke dalam, dan benar saja. Zahra tengah menjambak rambut Intan, sementara mantan kekasihku itu hanya diam sambil berteriak. Banyak orang yang malah hanya menonton dan mengabadikan momennya. "Stoooooop!" teriakku. Mendengar suaraku, Zahra berhenti melakukan kegiatannya. Napas keduanya masih ngos-ngosab. Apalagi aku? Mau ditaruh di mana muka ini? Astaga! Aku pun menyuruh yang lain bubar, dengan terpaksa mereka pergi meninggalkan loby satu persatu. Kubawa dua wanita itu ke luar. Memalukan!
Pov Gani Setelah menginterogasi Ibu, besoknya badanku demam. Mungkin karena terkejut dengan fakta baru mengenai aku sendiri. Bahwa aku dan kedua adikku tidak bernasab pada orang yang sama. "Bang, nggak kerja? Ini sudah jam tujuh, loh." Suara Mila membuatku membuka mata. Jangankan untuk bekerja, sekedar membuka mata saja rasanya berat. "Bang, aku masuk, ya?" Mila membuka pintu, dan menggoyang tubuhku. Tangannya meraba dahi dan langsung mengangkatnya kembali. "Panas sekali, Bang. Sebentar, Mila ambilkan kompres dulu." Tak lama kemudian, Mila datang kembali, namun kali ini bersama Ibu. Beliau mengompres dahiku dan memijat tubuhku sebentar. Meski beliau salah telah menyembunyikan semuanya dariku, namun aku tak bisa marah. Aku tahu, Ibu pasti memiliki banyak alasan untuk itu. "Maafkan Ibu ya, Gan. Gara-gara kemarin, kamu jadi saki
Sudah, kamu nggak usah pikirkan ucapan si Sinta itu. Dia hanya iri karena Beni menyukaimu," ucap Mama.Makin ke sini, rasa tidak suka Mama pada Mbak Sinta semakin terlihat jelas. Di jalan, aku bertemu Mas Beni, namun ia terlihat biasa saja. Apa karena tak ingin kurepotkan soal hutang? Sampai di rumah, aku mencari cara. Bagaimana caranya membuat Mbak Sinta mau membantuku. Meminta bantuan Mas Gani sudah tak memungkinkan lagi karena laki-laki itu sudah tak mungkin mau membantuku. Kuremas rambut. Aaargh! Semua ini karena Ibu! Andai dia tetap tutup mulut, pasti sampai sekarang aku dan Mas Gani tetap bersama. Meski aku tak mencintainya, namun uangnya bisa kukeruk. Selama ini, uang kiriman Mas Gani memang kuhabiskan dengan Mas Beni. Masih teringat jelas saat kakak ipar dan juga kekasihku itu menyarankanku untuk mendekati Mas Gani kala kami belum menikah. Flashback-"Dia seperti