"Aku nggak mau pergi, Bu! Aku mau ketemu sama Mas Gani," teriakan Zahra masih saja terdengar sampai ke sini. Karena suasana menjadi kian ricuh, aku pun keluar dan menarik lengannya sampai ke teras. Aku meminta Ibu untuk membubarkan ibu-ibu yang tengah rewang itu. "Mas, kamu mau kan kembali sama aku? Aku mohon, Mas. Aku masih cinta sama kamu," ucap Zahra. "Untuk apa, Zah? Aku nggak memiliki rasa apapun sama kamu lagi. Ditambah, kamu telah berbuat jahat pada ibuku. Apa jaminannya kalau hal yang sama tak akan kamu lakukan lagi?" tanyaku padanya. "Aku janji, Mas. Sumpah mati, aku akan bersikap baik dan mengurus Ibu dengan baik juga. Aku bisa jamin," jawab Zahra dengan suara bergetar. Ekor matakj menangkap sosok Intan yang tengah berdiri di samping kursi yang telah ditumpuk. Aku menghela napas, kenapa mereka berdua bisa datang ke sini, sih? "Maaf, Zah, tapi aku sudah mendaftarkan perceraian kita. Kamu tinggal tunggu hasilnya."Zahra membeliakkan matanya. Mungkin ia tak menyangka jika
"Iya. Kata ibumu, dia dulu sering datang pas kamu kuliah dan dia lagi libur. Katanya juga, Intan itu beda jauh sama Zahra. Makanya, pas kamu nikahnya malah sama Zahra, ibumu kece- Eh, Intan, ayo duduk sini." Aku terkejut saat melihat Intan di belakangku, lalu aku keluar, berbaur bersama bapak-bapak lain. Dari luar, aku melihat Intan begitu gampang mendekatkan diri pada keluarga dan juga tetanggaku. Senyumnya sedari tadi tak lepas dari wajahnya. "Kenapa, Gan? Cantik ya dia," goda Mas Furqon, suaminya Mbak Umi. "Namanya wanita, Mas, ya cantik." Aku pun kembali bercerita bersama yang lain, meski mata sedari tadi tak hentinya melirik ke dalam sana. Ibu, bahkan sampai tertawa kala bercerita dengan Intan. Hal langka yang tak pernah kutemukan saat masih bersama Zahra. Ah, tapi tetap saja. Jika mengingat alasannya meninggalkanku karena uang, aku jadi kesal sendiri. --Alhamdulillah, acara berjalan lancar. Kupikir, Intan sudah pulang sedari tadi, namun ternyata ia di kamar Mila. Itu k
"Aku, masih menyukaimu, Mas." Aku tersenyum sinis. Menyukaiku, katanya? Lalu, kenapa dulu ia malah pergi meninggalkanku? Apakah itu bisa disebut dengan cinta? "Jika menyukaiku, seharusnya kamu nggak ninggalin aku dulu, Tan. Sudah lah, waktu sudah berlalu. Jangan dekati lagi keluargaku." "Tapi, aku ada alasan untuk itu semua, Mas." "Aku nggak mau dengar alasanmu, Tan. Yang penting sekarang, silakan pergi dari rumah ini. Dan jika di kantor, kuharap kamu bisa bersikap seolah-olah kita tak mengenal," ucapku sambil melangkah pergi meninggalkannya. Tak lama kemudian aku mendengar suara Ibu menghampiri Intan dan menawarinya untuk menginap. Aku sedikit kesal dengan Ibu. Kenapa beliau malah menyuruh dia menginap?Terdengar penolakan dari Intan, tapi Ibu kekeuh bahkan terkesan memaksa. Aku melirik jam tangan, memang sudah jam mau jam sembilan. Ah, entahlah. Kubuka ponsel, sebuah pesan masuk dari Zahra. [Kenapa kamu tega menceraikanku, Mas? Jika kamu tetap tega melakukan itu, kamu akan men
"Astaghfirullah, maaf ya, Mas. Aku kebiasaan sama Bapak di rumah." "Eh? Iya, nggak papa." "Ehem, malah pandang-pandangan. Gantian ya gaes ya." Kami tersentak mendengar suara Mila sudah berada di belakang kami sambil menahan senyum. Astaghfirullah! Kenapa lah aku ini?Aku segera bangkit, begitupun Intan. Aku masuk ke kamar, sementara ia menghampiri Ibu. Sampai di kamar, kupegang dada. Sungguh memalukan. Padahal jelas-jelas kemarin aku menolaknya, tapi kenap sekarang aku yang deg-degan beradu pandang dengannya? Aku membuka lemari, bersiap untuk ke kantor sebentar lagi. Setelah selesai memakai kemeja dan celana, aku keluar menuju teras. Menghirup udara pagi sungguh sangat menyejukkan. Sayup-sayup, terdengar suara Ibu memanggilku dari dalam. Saat kuhampiri, ternyata Intan hendak pulang dan Ibu memintaku untuk mengantarnya. "Mila aja, Bu. Kalau Gani n
A-aku..." "Kenapa, Tan? Apa yang sudah diperbuat oleh Zahra selain memberimu uang?""Sebenarnya, dia menyuruhku untuk meninggalkanmu, Mas. Pas itu, dia mengancam akan membunuhku jika masih menjalin hubungan denganmu." "Apa? Astaghfirullah, Zahra! Kenapa ia bisa berbuat begitu." "Maafkan aku, Mas. Aku memang salah sudah meninggalkanmu. Tapi jujur, hingga kini aku masih mencintaimu." Aku menatap Intan. Apa benar, ia masih mencintaiku? Sejujurnya, hatiku mulai goyah sejak ia datang kembali. Apalagi, kini kami satu kantor. "Zahra bilang apa lagi, Tan?" "Dia bilang, akan membuat imagemu buruk di kampus. Bagaimana aku bisa membuatmu merasakan itu, Mas? Dan yang terakhir..." "Yang terakhir apa?" "Soal dia memberiku uang. Aku memang sangat butuh saat itu, Mas. Usaha Bapak bangkrut, untuk bayar uang kuliah, aku tak
Tapi apa?" tanyaku. "Ini semua Ibumu yang meminjam, Mas," ucap Zahra. Aku berdecak kesal. Sudah begini pun, ia masih memfitnah Ibuku? Ya Allah, terbuat dari apa, hati wanita yang pernah menjadi istriku itu? Kenapa tega sekali memfitnah ibuku?"Jujur saja, Zah. Jangan bikin kami malu seperti ini. Sudah untung kamu dimaafkan dan tak jadi diarak oleh Gani. Sekarang, jujur dan jelaskan semuanya," ucap Bapak. "Pak, kan Zahra sudah bilang, kalau itu bukan dia yang meminjam. Bisa saja kan, ibunya yang meminjam atas nama dia?" Seperti biasa, Mama membela Zahra. Ini yang membuatnya menjadi keras kepala."Benar, Pak. Zahra sama sekali tak meminjamnya."Aku menghela napas panjang, drama sekali memang keluarga ini. "Sudah lah, Zah, Mas nggak mau bertele-tele, kamu juga jangan drama. Lunasi itu, Mas nggak mau orang-orang itu datang lagi ke rumah dan membuat Ibu ketakutan. Kalau begitu, saya permisi, Pak," ucapku pada Bapak, lalu menyalami kedua mantan mertuaku itu. Zahra memanggilku, bahkan m
Aku mengangguk, sementara wanita yang pernah menjadi kakak iparku itu mengelus dadanya. Tentu ini hal yang sangat mengejutkan untuknya. Selama ini, ia yamg banting tulang untuk mencukupi kehidupan rumah tangganya, sementara suaminya hanya ongkang-ongkang kaki dan berselingkuh dengan istriku. "Ya sudah, Mbak. Aku pulang dulu, sudah mau magrib," ucapku berpamitan pada Mbak Sinta."Iya, Gan. Hati-hati di jalan. Terima kasih, sudah menceritakan semuanya padaku." Aku mengangguk, lalu pergi dari restoran tersebut dan melajukan mobil. Saat melewati kantor, kulihat Intan masih berdiri di depan kantor sendirian. Kulewati ia begitu saja, meski terlihat bahwa ia mengenali mobilku. Pun saat sudah melewatinya, ia masih menatap ke arah sini. Tiba-tiba, hujan mengguyur. Aku mencoba untuk tak memedulikan keberadaan Intan di belakang sana. "Ah, sial!" Otak dan hatiku tidak sinkron. Aku merasa khawatir ia akan sakit, dan memutuskan untuk berbelok. Sampai di depan kantor, ia sudah tak ada. Ah, mun
Ibu dan Zahra membeliakkan matanya saat melihatku. Tadi aku hanya mendengar suaranya saja. Namun sekarang, ketika melihat Zahra tengah mengacungkan sapu ke arah Ibu, membuatku benar-benar murka. "Apa yang kamu lakukan, Zah?" bentakku sambil melemparkan sapu ijuk ke tembok. Zahra panik bukan main, tangannya terus digesek-gesekkan ke celana, pertanda ia tengah gugup. Emosiku sudah mencapai batasnya. Astaga! "Mas, aku-""Apa? Apa yang akan kamu jadikan alasan? Lalu, rahasia apa yang kamu pegang tentang Ibu?" tanyaku. "I-itu..." "Jawab, Zah!" Zahra dan Ibu berkali-kali melonjak kaget karena aku membentak perempuan itu. Sementara Mila hanya duduk terdiam di sofa. "Kenapa kamu nggak hubungi Mas, Mil? Kamu diam saja melihat Ibu diperlakukan begini?" tanyaku tak percaya. Mila yang kukenal cerewet, bawel, dan garang